Anda di halaman 1dari 5

Grace Siahaan, SH, MH, LLM Hukum Perjanjian Internasional

Tujuan Perkuliahan – Week 10

• Menjelaskan penger<an pensyaratan terhadap perjanjian internasional menurut


Konvensi Wina 1969
• Menjelaskan akibat hukum pensyaratan perjanjian internasional
• Menjelaskan ketentuan tentang pensyaratan terhadap perjanjian internasional
• Menjelaskan prinsip pensyaratan menurut Konvensi Wina 1969

I. Penger5an pensyaratan terhadap perjanjian internasional menurut Konvensi Wina


1969

Penger<an pensyaratan atau reservasi (reserva&on) dalam Konvensi Wina 1969 adalah
suatu pernyataan sepihak, apapun perumusan atau namanya yang dibuat oleh suatu
negara pada waktu menandatangani, mera<fikasi, menerima, mengesahkan atau
mengaksesi suatu perjanjian, yang isi pokoknya adalah untuk
mengeluarkan/mengecualikan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan-ketentuan
tertentu dalam pembentukannya terhadap negara itu.

Kemudian reservasi atau pensyaratan dalam UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional adalah suatu pernyataan sepihak dari suatu negara untuk <dak menerima
berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional dalam rumusan yang dibuat
ke<ka menandatangani, menerima, menyetujui atau mengesahkan perjanjian
internasional yang bersifat mul<lateral.

Reservasi atau pensyaratan memang lazim digunakan dalam praktek perjanjian


internasional. Pensyaratan mencerminkan azas kedaulatan suatu negara, dimana suatu
negara memiliki hak untuk menolak ketentuan-ketentuan tertentu dalam perjanjian
internasional yang bertentangan dengan hukum nasional negara tersebut.

II. Akibat hukum pensyaratan perjanjian internasional

Pasal 20 ayat (4) Konvensi Wina 1969 mengatur tentang akibat hukum dari pensyaratan,
yakni sebagai berikut:

1. Suatu pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara dan diterima oleh negara peserta
lain, maka antara negara yang menyatakan pensyaratan dan negara yang
menerimanya, perjanjian itu akan berlaku diantara mereka;
2. Suatu keberatan oleh negara peserta lain terhadap suatu pensyaratan <dak
mengesampingkan berlakunya perjanjian (diantara mereka), kecuali jika maksud
yang bertentangan secara tegas dinyatakan oleh negara yang berkeberatan tersebut;
3. Suatu <ndakan yang menyatakan keinginan suatu negara untuk diikat dalam suatu
perjanjian dan berisikan suatu pensyaratan, mulai berlaku sejak se<dak-<daknya satu
peserta lain menerima pensyaratan tersebut.

1
Grace Siahaan, SH, MH, LLM Hukum Perjanjian Internasional

Sedangkan pasal 20 ayat (5) Konvensi Wina 1969, menegaskan bahwa kecuali dinyatakan
lain, suatu pensyaratan dianggap diterima oleh suatu negara, jika <dak menimbulkan
suatu keberatan (penolakan) terhadap pensyaratan tersebut maka pensyaratan dianggap
telah diterima pada akhir 12 bulan setelah pensyaratan itu diajukan, atau pada saat
tanggal negara yang bersangkutan menyatakan persetujuannya untuk mengikatkan diri
pada perjanjian. Jadi, apabila setelah masa satu tahun itu lewat, berar< pensyaratan yang
diajukan oleh negara yang bersangkutan dianggap berlaku (mengikat) bagi seluruh
peserta perjanjian, atau dengan kata lain penolakan atau keberatan oleh suatu negara
yang diajukan setelah lewat masa satu tahun tersebut, dianggap <dak sah atau <dak
dapat diterima.

III. Ketentuan tentang pensyaratan terhadap perjanjian internasional

Dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, ketentuan mengenai
pensyaratan ini secara terperinci diatur dalam pasal 19 sampai dengan pasal 23, dimana
masing-masing pasal mengatur masalah penyusunan suatu pensyaratan (pasal 19),
penerimaan dan penolakannya (pasal 20), akibat hukum dari penerimaan dan penolakan
pensyaratan (pasal 21), pembatalan atau penarikan kembali suatu pensyaratan (pasal 22)
dan prosedur mengenai pensyaratan (pasal 23).

Pasal-pasal tersebut pada pokoknya menentukan bahwa larangan atau pembatasan


terhadap pensyaratan, atau perumusan syarat-syarat khusus untuk mengatur
penerimaannya, harus diatur oleh ketentuan-ketentuan yang dimuatkan di dalam
perjanjian yang bersangkutan.

Penyusunan, Penerimaan, dan Penolakan Suatu Pensyaratan

Menurut ketentuan pasal 19 Konvensi Wina 1969, negara berhak mengemukakan


pensyaratan pada saat penandatanganan, penyerahan instrument ra<fikasi, menerima
suatu perjanjian, menyatakan turut serta, kecuali apabila perjanjian itu melarang untuk
mengadakan pensyaratan, atau perjanjian tersebut menyebutkan bahwa hanya
pensyaratan khusus yang diperbolehkan, sedangkan pensyaratan lain <dak
diperkenankan, atau pensyaratan itu bertentangan dengan maksud dan tujuan dari
perjanjian itu sendiri.

Secara detail, yaitu se<ap negara berhak untuk mengajukan pensyaratan kecuali jika:
1. Perjanjian melarangnya atau ada ketentuan (pasal-pasal) dalam perjanjian yang
bersangkutan yang melarang negara-negara peserta untuk mengajukan pensyaratan.
Larangan itu dapat ditujukan baik terhadap seluruh materi dalam konvensi ataupun
hanya terbatas pada pasal-pasal tertentu saja dari konvensi yang bersangkutan.
Ini berar< bahwa dalam beberapa pasal atau ayat dalam perjanjian tersebut
kemudian melarang dan menentukan bagi seluruh negara peserta untuk <dak
mengajukan pensyaratan ke<ka menyatakan persetujuannya untuk terikat pada
perjanjian.
2. Perjanjian menentukan bahwa hanya pensyaratan yang khusus saja yang
diperkenankan.

2
Grace Siahaan, SH, MH, LLM Hukum Perjanjian Internasional

Tegasnya, hanya ketentuan-ketentuan tertentu saja yang boleh dikenakan


pensyaratan, sedangkan atas ketentuan lainnya <dak boleh dikenakan pensyaratan.
Jadi di dalam salah satu ketentuan dari perjanjian itu sendiri ditegaskan tentang pasal
atau ketentuan manakah yang boleh dikenakan pensyaratan. Hal ini berar< bahwa
ketentuan-ketentuan perjanjian lainnya, selain dari ketentuan yang secara tegas
diperbolehkan untuk dikenakan pensyaratan <dak boleh dikenakan pensyaratan.
3. Pensyaratan <dak sesuai dengan tujuan dan maksud perjanjian.

Pasal 20 ayat (1) Konvensi Wina 1969 menyebutkan bahwa bila pensyaratan diijinkan oleh
perjanjian, maka <dak perlu meminta suatu pernyataan diterima oleh negara lain, kecuali
jika hal demikian itu disebutkan dalam perjanjian itu. Hal ini berar< jika suatu pensyaratan
secara tegas diperbolehkan maka pernyataan menerima pensyaratan negara-negara
pihak lainnya <dak diperlukan kecuali perjanjian menentukan lain.

Sedangkan pasal 20 ayat (2) menghendaki bahwa dalam keadaan khusus, yakni jika
perjanjian tersebut harus berlaku secara keseluruhan (seutuhnya), maka persetujuan dari
se<ap negara peserta perjanjian disyaratkan. Kemudian pasal 20 ayat (3) menjanjikan
bahwa jika perjanjian dimaksud merupakan suatu Anggaran Dasar suatu organisasi
internasional, misalnya PBB, kecuali ditentukan lain, maka pensyaratan memerlukan
persetujuan dari lembaga yang berwenang dari organisasi internasional itu.

IV. Prosedur Pensyaratan

Prosedur mengenai pensyaratan diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 23 Konvensi Wina 1969.

Pensyaratan harus dinyatakan secara formal dan dalam bentuk tertulis. Pernyataan
formal biasa dilakukan pada saat negara menandatangani ataupun menyatakan
persetujuan mengikatkan diri pada perjanjian (ra<fikasi, penerimaan, atau penyetujuan).

Apabila pensyaratan dirumuskan pada waktu menandatangani perjanjian, untuk


perjanjian yang memerlukan ra<fikasi, penerimaan atau penyetujuan, maka haruslah
dikuatkan secara formal oleh negara yang mengajukan pensyaratan (reserving state) pada
waktu menyatakan persetujuannya untuk mengikatkan diri pada perjanjian tersebut.
Dengan demikian, pensyaratan dianggap telah dibuat pada saat penguatannya.

Pernyataan menerima atau menolak suatu pensyaratan haruslah diformulasikan secara


tertulis dan harus diberitahukan kepada negara peserta (contrac&ng state) dan negara-
negara lain yang berhak menjadi pihak perjanjian.

V. Prinsip pensyaratan menurut Konvensi Wina 1969 “Prinsip/Sistem Pan American”

Prinsip Pan American yang terkandung di dalam advisory opinion Mahkamah


Internasional adalah prinsip yang kemudian diadopsi dan dimasukkan dalam Konvensi
Wina 1969. Prinsip ini merupakan suatu sistem yang fleksibel karena memperkenankan
atau memungkinkan negara yang mengajukan pensyaratan menjadi pihak peserta
perjanjian berhadapan dengan negara yang menerima pensyaratan yang bersangkutan.

3
Grace Siahaan, SH, MH, LLM Hukum Perjanjian Internasional

Pendekatan ini lebih prak<s dan fleksibel telah diterima dalam praktek negara-negara
karena fakta jika 100 negara yang berbeda kultur, sistem ekonomi tetap mempertahankan
prinsip kebulatan persetujuan, maka hal ini akan mengakibatkan keseganan banyak
negara untuk turut serta dalam perjanjian mul<lateral yang umum.

Dalam sejarahnya, Pan American System mulai diterapkan secara eksplisit pada tahun
1951 atas permintaan Majelis Umum PBB terhadap Mahkamah Internasional. Mahkamah
Internasional mengeluarkan suatu advisory opinion mengenai reservasi/pensyaratan.
Advisory opinion tersebut berkenaan dengan suatu Konvensi tentang pencegahan dan
penghukuman terhadap kejahatan pembunuhan massal manusia (genocide conven&on).
Dimana dalam konvensi tersebut terdapat persoalan hukum mengenai
reservasi/pensyaratan, persoalan mana menyangkut masalah kriteria untuk menentukan
hak mengajukan pensyaratan dan hak untuk menolak atau menyatakan keberatan
terhadap pensyaratan. Mahkamah kemudian mengeluarkan advisory opinion nya sebagai
berikut:

a. Suatu negara yang telah mengajukan pensyaratan dan ditolak oleh negara peserta
lain, sedangkan negara itu tetap mempertahankan pensyaratannya, maka negara
yang mengajukan pensyaratan (the reserving state) dapat dianggap sebagai peserta
konvensi apabila pensyaratan yang diajukan itu sesuai dengan tujuan dan maksud
dari konvensi.
b. Apabila salah satu pihak peserta konvensi menolak pensyaratan yang diajukan oleh
pihak peserta lain, karena dipandang <dak sesuai dengan tujuan dan maksud
konvensi, maka negara yang menolak (the objec&ng state) dapat menganggap bahwa
negara yang mengajukan pensyaratan (the reserving state) bukan sebagai pihak
peserta konvensi. Sebaliknya apabila pihak peserta yang lain menerima pensyaratan
tersebut, karena dipandang sesuai dengan tujuan dan maksud konvensi, maka pihak
yang menerima pensyaratan itu dapat menganggap bahwa pihak yang mengajukan
pensyaratan sebagai pihak peserta konvensi.
c. Penolakan terhadap pensyaratan yang dilakukan oleh negara penandatangan
(signatory state), yang belum mera<fisir konvensi, dapat mempunyai akibat hukum,
seper< pada huruf (a) diatas, hanya apabila negara itu mengadakan ra<fikasi.

Penolakan atas suatu pensyaratan oleh satu atau beberapa peserta konvensi, <dak
secara otoma<s mengakibatkan status negara yang mengajukan pensyaratan sebagai
pihak peserta perjanjian menjadi hilang, melainkan ia akan tetap dianggap sebagai pihak
peserta oleh yang menerima pensyaratan tersebut, kecuali antara pihak yang
mengajukan pensyaratan dengan pihak yang menolak maka konvensi itu dianggap <dak
berlaku dalam hal pensyaratan dipandang <dak sesuai dengan tujuan dan maksud
konvensi.

Konvensi Wina 1969 memakai “Pan American Doctrine” dalam kaitannya dengan
penerimaan dan penolakan terhadap pensyaratan, dan bukan memakai prinsip lama
yaitu prinsip kebulatan persetujuan (unanimity principe) yang pernah dipakai oleh Liga
Bangsa-Bangsa.

4
Grace Siahaan, SH, MH, LLM Hukum Perjanjian Internasional

VI. Contoh Praktek Negara mengenai Pensyaratan

Pengalaman dari Indonesia adalah ke<ka mengajukan pensyaratan terhadap Konvensi


Jenewa 1958 tentang Hukum Laut. Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1961,
Indonesia mera<fikasi Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut, dimana sebelumnya
Indonesia telah ikut menandatangani konvensi tersebut.

Undang-Undang tersebut pada prinsipnya mengandung adanya persetujuan terhadap


<ga Konvensi Jenewa mengenai Hukum Laut, yakni Konvensi mengenai Perikanan dan
Perlindungan Kekayaan Haya< Laut Lepas, Konvensi mengenai Landas Kon<nen dan
Konvensi mengenai Laut Lepas. Ikut sertanya Indonesia terhadap ke<ga konvensi ini
diberikan dengan suatu pensyaratan, yang pada prinsipnya berkaitan dengan penafsiran
terhadap laut wilayah (territorial sea) dan perairan pedalaman (internal waters). Dalam
mana Indonesia menginginkan bahwa sepanjang yang mengenai perairan Indonesia,
maka harus ditafsirkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia.

Ternyata ra<fikasi dengan suatu pensyaratan yang dilakukan oleh Indonesia terhadap
ke<ga konvensi tersebut hanyalah ra<fikasi mengenai Konvensi tentang Laut Lepas saja
yang diterima oleh Sekjen PBB.

Dengan demikian hanya ra<fikasi mengenai Laut Lepas sajalah yang sah menurut hukum.
Sedangkan oleh karena ra<fikasi yang disertai dengan pensyaratan terhadap dua konvensi
lainnya ditolak, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia bukan merupakan peserta atas
dua konvensi tersebut, karena dua konvensi itu memang <dak boleh dibubuhi
pensyaratan.

Apabila masalah diatas dikaitkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Wina
1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, maka dapat dikatakan bahwa ditolaknya
pensyaratan yang diajukan Indonesia terhadap Konvensi mengenai Perikanan dan
Perlindungan Kekayaan Haya< Laut Lepas dan Konvensi mengenai Landas Kon<nen,
karena dianggap pensyaratan yang diajukan Indonesia itu <dak sesuai dengan tujuan dan
maksud konvensi. Karena itu konsekuensi hukumnya adalah bahwa Indonesia sebagai
negara yang mengajukan pensyaratan, dianggap bukan sebagai pihak peserta atas kedua
konvensi tersebut, yakni Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Haya<
Laut Lepas dan Konvensi mengenai Landas Kon<nen.

Pada dasarnya se<ap negara dalam suatu perjanjian internasional berhak untuk
mengajukan pensyaratan terhadap materi perjanjian, asalkan pensyaratan <dak dilarang
oleh perjanjian, atau pensyaratan <dak bertentangan dengan tujuan dan maksud
perjanjian.

Apabila suatu pensyaratan dianggap “<dak sesuai” dengan tujuan dan maksud perjanjian,
maka akan berakibat bahwa pensyaratan itu akan ditolak oleh seluruh peserta konvensi,
dengan demikian pihak yang mengajukan pensyaratan <dak dapat menjadi peserta
perjanjian.

Anda mungkin juga menyukai