Anda di halaman 1dari 6

Nama : Muhammad Ariq Fakhri Mulyana

NPM : 110110180062

Mata Kuliah : Hukum Perjanjian Internasional

Task 7 Tidak berlakunya Perjanjian Internasional (Invalidity of Law of Treaties)

1. Hal-Hal yang Mengakibatkan Ketidakabsahan Perjanjian Internasional

a. Alasan berdasarkan hukum atau perundang-undangan nasional


Pasal 46 VCLT 1969 menentukan bahwa:
“1. A State may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty
has been expressed in violation of a provision of its internal law regarding
competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that
violation was manifest and concerned a rule of its internal law of fundamental
importance.
2.A violation is manifest if it would be objectively evident to any State
conducting itself in the matter in accordance with normal practice and in good
faith.”
Berdasarkan Pasal tersebut suatu negara tidak diperkenankan
mengklaim bahwa suatu perjanjian internasional merupakan perjanjian yang
tidak sah dan kerena itu harus dibatalkan disebabkan karena persetujuannya
untuk terikat pada perjanjian internasional itu sendiri merupakan pelanggaran
atas ketentuan hukum nasionalnya, tegasnya hukum nasionalnya yang
mengatur tentang kewenangan untuk membuat maupun menyatakan
persetujuan untuk terikat (meratifikasi) pada suatu perjanjian internasional. 1
Dan berdasarkan ayat 2 memungkinkan adanya pengecualian jika
persetujuan untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian itu ternyata
bertentangan dengan kepentingan nasional yang fundamental.

b. Kesalahan (error) atas fakta atau situasinya


Mengenai kesalahan (error) ditentukan dalam Pasal 48 VCLT 1969 yaitu:

1
Dian Utami Mas Bakar, “Pengujian Konstitusional Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional”,
Yuridika, Volume 29, No 3, 2014, hlm. 281.
“1. A State may invoke an error in a treaty as invalidating its consent to be
bound by the treaty if the error relates to a fact or situation which was
assumed by that State to exist at the time when the treaty was concluded and
formed an essential basis of its consent to be bound by the treaty.
2. Paragraph 1 shall not apply if the State in question contributed by its own
conduct to the error or if the circumstances were such as to put that State on
notice of a possible error.
3.An error relating only to the wording of the text of a treaty does not affect its
validity; article 79 then applies.”
Berdasarkan Pasal tersebut pada ayat 1 dijelaskan terkait persyaratan
yang harus dipenuhi supaya kekeliruan atau kesalahan tersebut dapat
digunakan sebagai alasan untuk pembatalan suatu perjanjian, yaitu
kekeliruan atau kesalahan itu berkenaan dengan suatu fakta atau situasi dan
fakta atau situasi tersebut dianggap oleh negara yang bersangkutan pada
waktu perumusan ketentuan naskah perjanjian itu. Dan pada ayat 2
dijelaskan bahwa ayat 1 tidak akan berlaku jika negara yang bersangkutan
berkontribusi oleh tindakannya sendiri atas kesalahan tersebut atau jika
situasinya seperti membuat Negara itu diberitahu tentang kemungkinan
kesalahan. Dan pada ayat 3 dijelaskan bahwa Kesalahan yang hanya
berkaitan dengan susunan kata dari teks perjanjian tidak mempengaruhi
validitasnya.

c. Kecurangan (fraud) dari negara lain


Mengenai kecurangan (fraud) diatur di dalam Pasal 49 VCLT 1969 yaitu:
“If a State has been induced to conclude a treaty by the fraudulent conduct of
another negotiating State, the State may invoke the fraud as invalidating its
consent to be bound by the treaty.”
Berdasarkan Pasal tersebut menentukan bahwa jika suatu negara
telah dibujuk untuk membuat perjanjian dengan tindakan curang dari negara
peserta yang lain, negara dapat meminta bahwa penipuan (fraud) sebagai hal
untuk melakukan pembatalan terhadap persetujuannya untuk terikat oleh
perjanjian tersebut.

d. Korupsi (corruption) dari wakil suatu negara


Mengenai korupsi dari wakil suatu negara diatur pada Pasal 50 VCLT 1969
yaitu:
“If the expression of a State’s consent to be bound by a treaty has been
procured through the corruption of its representative directly or indirectly by
another negotiating State, the State may invoke such corruption as
invalidating its consent to be bound by the treaty.”
Berdasarkan Pasal tersebut ditentukan bahwa jika pernyataan
persetujuan suatu negara untuk diikat oleh suatu perjanjian telah diperoleh
melalui korupsi perwakilannya secara langsung atau tidak langsung oleh
negara perunding lainnya, negara tersebut dapat meminta bahwa korupsi
sebagai hal untuk membatalkan persetujuannya untuk terikat oleh perjanjian
itu.

e. Paksaan (coercion) yang dilakukan oleh wakil dari suatu negara


Mengenai paksaan oleh wakil dari suatu negara diatur pada Pasal 51 VCLT
1969 yaitu:
“The expression of a State’s consent to be bound by a treaty which has been
procured by the coercion of its representative through acts or threats directed
against him shall be without any legal effect.”
Berdasarkan Pasal tersebut ditentukan bahwa pernyataan persetujuan
suatu negara untuk diikat oleh suatu perjanjian yang telah diadakan dengan
paksaan perwakilannya melalui tindakan atau ancaman yang ditujukan
kepadanya tidak akan memiliki akibat hukum apa pun.

f. Ancaman atau penggunaan kekerasan oleh suatu negara


Mengenai ancaman atau peggunaan kekerasan oleh suatu negara diatur
pada Pasal 52 VCLT 1969 yaitu:
“A treaty is void if its conclusion has been procured by the threat or use of
force in violation of the principles of international law embodied in the Charter
of the United Nations.”
Berdasarkan Pasal tersebut ditentukan bahwa suatu perjanjian tidak
berlaku jika diperoleh dengan ancaman atau penggunaan kekerasan yang
melanggar prinsip-prinsip hukum internasional yang terkandung dalam
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
g. Perjanjian Internasional yang bertentangan dengan Jus Cogens
Mengenai perjanjian Internasional yang bertentangan dengan Jus Cogens
diatur pada Pasal 53 VCLT 1969 yaitu:
“A treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a peremptory
norm of general international law. For the purposes of the present
Convention, a peremptory norm of general international law is a norm
accepted and recognized by the international community of States as a whole
as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified
only by a subsequent norm of general international law having the same
character.”
Berdasarkan Pasal tersebut ditentukan bahwa suatu perjanjian
dianggap batal jika bertentangan dengan Jus Cogens atau ketentuan hukum
internasional yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional,
dan ketentuan tersebut tidak dapat disimpangi, atau dikecualikan oleh
ketentuan hukum lain.

2. Mengenai Apakah Indonusa dan Malari Tetap Terikat pada Konvensi Anti
Terorisme (Anti-Terrorism Convention) berdasarkan VCLT 1969
Indonusa dan Malari tidak terikat lagi pada Konvensi Anti Terorisme.
Seperti diketahui bahwa Indonusa termasuk negara yang secara tegas
menolak Konvensi Anti Terorisme. Namun, jelang proses akhir pembentukan
konvensi, perwakilan dari Amerini menyuap delegasi Indonusa agar mau
menandatangani perjanjian ini di antaranya dengan memberikan sejumlah
uang, fasilitas dan perjanjian investasi Amerini di Indonusa. Upaya ini
dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun kemudian diketahui oleh para
diplomat junior Indonusa. Praktik penyuapan tersebut termasuk tindakan
korupsi, dan mengenai korupsi yang dilakukan oleh wakil suatu negara maka
negara tersebut dapat meminta bahwa korupsi sebagai hal untuk
membatalkan persetujuannya untuk terikat oleh Konvensi Anti Terorisme
sebagaimana diatur dalam Pasal 50 VCLT 1969. Dan karena Indonusa telah
secara tegas menolak Konvensi Anti Terorisme maka Indonusa masih bisa
membatalkan, menghentikan, menarik diri dari atau menangguhkan
berlakunya Konvensi tersebut, sebab suatu negara tidak dapat lagi meminta
dasar untuk membatalkan, menghentikan, menarik diri dari atau
menangguhkan perjanjian berdasarkan pasal 46 sampai 50 atau pasal 60 dan
62 jika setelah menyadari fakta bahwa negara harus secara tegas setuju
bahwa perjanjian itu valid atau tetap berlaku sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 45 VCLT 1969.
Malari juga merupakan negara yang secara tegas menolak Konvensi
Anti Terorisme. Namun, Uka melakukan intimidasi militer kepada Malari jika
Malari tidak bersedia menandatangani konvensi tersebut dengan
mengarahkan misil balistik dari kapal induk Angkatan Laut Uka yang berada
di wilayah ZEE Malari. Tindakan yang dilakukan Uka merupakan suatu
ancaman atau penggunaan kekerasan oleh suatu negara, oleh sebab itu
berdasarkan Pasal 52 VCLT 1969 maka Konvensi Anti Terorisme tidak
berlaku jika diperoleh dengan ancaman atau penggunaan kekerasan yang
melanggar prinsip-prinsip hukum internasional yang terkandung dalam
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dan berdasarkan Pasal 69 VCLT 1969 ditentukan bahwa “A treaty the
invalidity of which is established under the present Convention is void. The
provisions of a void treaty have no legal force.” Berdasarkan Pasal tersebut
ditentukan bahwa Invalidity of Law of Treaties tidak memiliki akibat hukum.

3. Prosedur untuk Menyatakan Ketidakabsahan Konvensi Anti Terorisme


(Anti-Terrorism Convention) berdasarkan VCLT 1969
Mengenai prosedur untuk menyatakan ketidakabsahan perjanjian
internasional diatur pada Pasal 65 VCLT 1969. Pasal 65 VCLT 1969
menentukan bahwa:
“1. A party which, under the provisions of the present Convention, invokes
either a defect in its consent to be bound by a treaty or a ground for
impeaching the validity of a treaty, terminating it, withdrawing from it or
suspending its operation, must notify the other parties of its claim. The
notification shall indicate the measure proposed to be taken with respect to
the treaty and the reasons therefor.
2. If, after the expiry of a period which, except in cases of special urgency,
shall not be less than three months after the receipt of the notification, no
party has raised any objection, the party making the notification may carry out
in the manner provided in article 67 the measure which it has proposed.
3. If, however, objection has been raised by any other party, the parties shall
seek a solution through the means indicated in Article 33 of the Charter of the
United Nations.
4. Nothing in the foregoing paragraphs shall affect the rights or obligations of
the parties under any provisions in force binding the parties with regard to the
settlement of disputes.
5. Without prejudice to article 45, the fact that a State has not previously
made the notification prescribed in paragraph 1 shall not prevent it from
making such notification in answer to another party claiming performance of
the treaty or alleging its violation.”
Berdasarkan Pasal tersebut ditentukan bahwa suatu negara yang
mengatakan bahwa suatu perjanjian terdapat ketidak absahan dari suatu
perjanjian, maka harus memberitahukan hal tersebut kepada negara lain.
Apabila setelah lewat jangka waktu yang kecuali dalam keadaan mendesak
khusus tidak kurang dari tiga bulan setelah diterimanya pemberitahuan, tidak
ada negara yang mengajukan keberatan, negara yang membuat
pemberitahuan dapat melakukan dengan cara yang ditentukan. Namun, jika
keberatan telah diajukan oleh negara lain, para pihak harus mencari solusi
melalui cara yang disebutkan dalam Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa.
Berdasarkan Pasal 66 VCLT 1969 menentukan mengenai prosedur
penyelesaian sengketa, apabila tidak ada solusi sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam
jangka waktu 12 bulan. Dan berdasarkan Pasal 67 ayat 1 VCLT 1969
ditentukan bahwa “The notification provided for under article 65, paragraph 1,
must be made in writing.” Diartikan bahwa pemberitahuan terkait
ketidakabsahan konvensi sifatnya harus tertulis.

Anda mungkin juga menyukai