Dosen Pengajar
FUAT ALBAYUMI, Sip., MA.
Dra. SRI YUNIATI, M.Si
Oleh :
1. Obligasi, berarti negara atau aktor lain diikat oleh suatu aturan atau komitmen atau
oleh sekumpulan komitmen. Hal ini juga berarti tingkah laku dan t i n d a k a n
aktor-aktor tersebut ditentukan oleh suatu aturan-aturan umum, prosedur-
prosedur, diskursus- diskursus hukum internasional, dan juga hukum domestik.
2. Presisi, berarti seperangkat aturan yang secara jelas (unambigously) menjadi acuan
bagi tingkah laku yang dibutuhkan, disahkan/diperbolehkan atau yang dilarang.
Indikator Obligasi
Indikator Presisi
Indikator Delegasi
2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di Laut yang
Luka, Sakit, dan Korban Karam (Geneva Convention for the Amelioration of the
Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, of
August 12, 1949).
3. Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Geneva Convention relative to
the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949).
4. Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu Perang (Geneva
Convention relative to the Protection of Civilian Persons in time of War, of August 12,
1949).
Yang dimana keempat konvensi tersebut di atas awal mulanya dibentuk pada Tahun
1864. Pembentukan Konvensi Jenewa 1864, dalam sejarahnya berkaitan dengan pembentukan
Komite Internasional Palang Merah atau International Committee of the Red Cross (ICRC).
Pembentukan Konvensi Jenewa 1864, sedikit banyak, dipengaruhi dari ide yang terpublikasi
dari buku “A Memory of Solferino” yang ditulis oleh salah satu pendiri ICRC, yaitu Henry
Dunant. Dalam buku tersebut, Henry Dunant menggambarkan pengalamannya menyaksikan
penderitaan para tentara yang menjadi korban dan tidak memperoleh pertolongan di medan
bekas pertempuran di Solferino.
Peran Komite Palang Merah Internasional (International Committee of the Red
Cross) Terhadap Negara Yang Sedang Berkonflik Dalam Hukum Internasional, berikut
adalah perannya :
1. ICRC Bantu Warga Sipil di Gaza
2. Iran dan Irak: Berjuang Mengakhiri Ketidakpastian Kabar Keluarga yang Hilang
Akibat Perang.
3. Suriah: Bantuan bagi Yang Masih Butuh.
4. ICRC Tegaskan Komitmen Penuh Bantu Somalia.
5. Puluhan Warga Sipil dalam Pertempuran Sengit di Abyan, Yaman.
6. Sudan Selatan: Pertempuran di Pibor Mengakibatkan Ribuan Korban Terluka dan
Mengungsi.
7. Republik Demokratik Kongo: ICRC evakuasi korban perang di Kivu Selatan.
8. Minggu Sibuk ICRC di Kolombia.
1. Perlindungan Umum
Berdasarkan Konvensi Jenewa IV, perlindungan umum yang
diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara
diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas
penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran
agamanya.
Di antara penduduk sipil yang harus dilindungi, terdapat beberapa
kelompok orang-orang sipil yang perlu dilindungi, seperti :
Selain Konvensi Den Haag, HHI juga memiliki instrumen hukum lain yang
berisi ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan korban konflik bersenjata, yang
dikenal sebagai Konvensi Jenewa. Aturan perlindungan korban tersebut dimuat dalam
empat Konvensi Jenewa 1949, yang melindungi antara lain:
Ketentuan yang sama diperkuat dengan selanjutnya juga dibahas dalam pasal
13 KJ serta Pasal 41 KJ IV dimana mengatur ketentuan tentang orang-orang yang
dilindungi, dalam pengertian sempit, terbatas pada orang- orang yang turut serta
dalam perang atau sengketa bersenjata yang telah menjadi korban perang karena sakit
dan tertawan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 47, juga berturut-turut pasal 48, pasal 127, pasal
144 KJ IV, ditegaskan bahwa pada negara-negara peserta Konvensi mempunyai
tanggung jawab dalam menyebarluaskan ketentuan- ketentuan Konvensi di negaranya
masing- masing. Penyebarluasan ini meliputi pengintegrasian pemahaman mengenai
ketentuan tersebut dalam pengajaran di dalam program-program pendidikan militer
dan jika mungkin dalam program- program pendidikan sipil, baik di masa damai
maupun masa perang.
Sedangkan Pasal 49, 50, 129 dan 146 Konvensi Jenewa IV berturut- turut
meletakkan kewajiban kepada pemerintah nasional untuk membuat aturan
perundang-undangan yang diperlukan untuk memberikan sanksi yang efektif bagi
orang-orang yang melakukan atau memerintahkan melakukan pelanggaran
tersebut; keharusan mencari orang-orang yang didakwa melakukan atau
memerintahkan tindakan pelanggaran berat tersebut termasuk mereka yang
menyebabkan kegagalan untuk bertindak manakala mereka berkewajiban melakukan
hal tersebut . pasal- pasal ini juga mengharuskan komandan militer untuk mencegah
pelanggaran atas Konvensi dan Protokol, menindak mereka dan bila perlu melaporkan
mereka kepada penguasa yang berwenang. Dalam Konvensi Jenewa 1949, terdapat
ketentuan untuk memberikan kebebasan negara peserta untuk tidak turut serta dalam
konvensi yaitu Pasal 63, 62, 142 dan 158 KJ IV.
Atas semua dasar pertimbangan itulah kami meyakini bahwa derajat obligasi
dari konvensi jenewa berada pada posisi tertinggi yaitu derajat 2 dari 6 pada indikator
Political Treaty : implicit condition on obligation atau paling tinggi yaitu pada
indikator 1 dari 5 indikator yang ada yaitu Unconditional Obligation, language and
other indicia of intend to be legally bounded dan merupakan termasuk dalam derajat
High
2) Presisi Konvensi Jenewa 1949
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Presisi merujuk kepada aturan-aturan yang
secara jelas menjadi acuan bagi tingkah laku yang dibutuhkan , disahkan/dibolehkan
atau yang dilarang.
Selanjutnya presisi dapat diukur dengan adanya 5 indikator yang
menunjukkan derajat dari yang tinggi (high) sampai rendah (low) dalam urutan
sebagai berikut : (5) Determinate rules : only narrow issues of interpretation), (4)
Substantial but limited issues of interpretation, (3) Broad areas of discretion, (2)
Standards: only meaningfull with reference to specific situations, serta (1)
Impossible to determine whether conduct complies
Unsur presisi dalam sebuah perjanjian internasional sangat penting untuk
menentukan kepastian dan kejelasan dari sebuah instrumen hukum sehingga tidak
terjadi multi tafsir yang akan berakibat pada penyelewengan ataupun pemanfaatan celah
hukum. Presisi sebuah perjanjian memuat aturan-aturan, dalam bentuk kata-kata yang
secara spesifik dan detail, untuk menjelaskan ketentuan yang harus dipatuhi. Semakin
detail atau semakin spesifik kata-kata yang digunakan maka akan semakin m e m p e r
s e m p i t ruang bagi multi interpretasi sehingga semakin sempit pula celah atau
kelemahan aturan tersebut. Sebaliknya semakin umum kata-kata yang dipakai maka
akan semakin memungkinkan berbagai tafsir dan celah atau kelemahanya sehingga
kemungkinan akan terjadinya pelanggaran hukum akan semakin besar. Untuk
mengetahui derajat presisi Konvensi Jenewa 1949, berikut ini akan dianalisis
derajat presisi konvensi tersebut.
H. Kesimpulan
Di dalam setiap peperangan yang terjadi antar negara di dunia ini selalu
menimbulkan korban jiwa yaitu penduduk sipil yang ada di negara yang sedang
berperang tersebut. Penduduk sipil yang menjadi korban di dalam peperangan tersebut
sudah sepantasnya mendapatkan perlindungan di dalam peperangan yang terjadi di
negara mereka. Maka pada Tahun 1949 negara- negara di dunia sepakat membentuk
Konvensi Jenewa IV yang berisi tentang perlindungan penduduk sipil di waktu perang.
Konvensi ini seluruhnya terdiri dari 159 pasal dan tiga buah lampiran. Dimana
negara-negara yang ikut dalam Konvensi ini wajib menghormati dan mematuhi isi
Konvensi tersebut. Beberapa kelompok penduduk sipil yang harus dilindungi adalah
orang asing di wilayah pendudukan atau yang juga bisa disebut dengan warganegara
sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa, kemudian orang yang tinggal di
wilayah pendudukan yang disebut juga dengan penduduk sipil di wilayah yang
diduduki dan juga interniran sipil yang dimana penduduk sipil yang dilindungi tersebut
dapat diinternir.
Negara-negara yang sedang berperang menurut hukum internasional adalah
negara yang sedang mengalami suatu kondisi tertinggi dari bentuk konflik antar
manusia, dimana menyangkut konsep-konsep krisis, ancaman, penggunaan kekerasan,
aksi gerilya, penaklukkan, pendudukan bahkan terror.
Bentuk legalisasi Konvensi Jenewa merupakan kombinasi tingkat obligasi,
presisi, dan obligasinya. Adapun tingkat obligasinya tergolong tinggi, tingkat presisi
tergolong tinggi dan tingkat delegasinya tergolong rendah. Dengan menggunakan
konsep Legalisasi maka dapat disimpulkan bahwa Konvensi Jenewa 1949
mempunyai derajat Legalisasi yang tergolong tinggi, yang artinya konvensi tersebut
memiliki bentuk Hukum Keras. Bentuk legalisasi ini berarti bahwa ketentuan-
ketentuan konvensi jenewa tegas dan detail/terperinci sehingga sangat sedikit sekali
ruang negara-negara untuk memberikan interpretasi yang ambigu. Pelanggaran
terhadap pasal-pasal konvensi seharusnya dapat dihindarkan karena perbedaan
interpretasi negara- negara peserta dapat diminimalisir. Lebih lanjut, bentuk Legalisasi
yang tinggi memberikan ruang yang lebih besar terhadap aspek hukum dibandingkan
aspek politik. Artinya Konvensi tersebut tidak memberikan peluang terhadap multi-
interpretasi negara-negara peserta karena ketentuan-ketentuan hukumnya telah cukup
jelas. Namun hal ini tidak langsung menggambarkan efektifitas sebuah perjanjian
internasional karena efektif tidaknya sebuah perjanjian sangat tergantung pada
komitmen negara-negara peserta untuk melaksanakan ketentuan yang disepakatinya.
Namun, minimal, pilihan negara untuk memilih sebuah bentuk perjanjian merupakan
gambaran perilaku negara yang tentunya didasari oleh pertimbangan-pertimbangan
yang menguntungkan negaranya. Salah satu pertimbangan dipilihnya bentuk hukum
yang Keras adalah agar setiap pihak, tanpa kecuali, dapat terikat secara hukum dan
mempunyai tanggung jawab yang sama untuk wajib melaksanakan segala
ketentuan yang telah disepakati. Namun di sisi yang lain, negara-negara tersebut juga
menghindari intervensi pihak ketiga y a n g d i b e r i k a n o t o r i t a s u n t u k memberikan
sanksi terhadap segala bentuk pelanggaran konvensi tersebut. Dengan demikian,
efektif atau tidaknya sebuah perjanjian internasional sangat dipengaruhi oleh bentuk
legalisasinya sehingga penting untuk terlebih dahulu melihat pilihan rasional negara
atas sebuah bentuk legalisisasi perjanjian internasional.
Komite Palang Merah Internasional juga berperan pada negara-negara yang
berperang yakni memberikan bantuan kemanusiaan seperti menolong korban perang
dengan menyediakan obat-obatan seperti pada warga sipil di Gaza, mencari korban
yang hilang pada konflik antara irak dan iran, memberikan alat-alat kebersihan dan
obat- obatan pada konflik di Suriah, dan bantuan-bantuan kemanusiaan lainnya pada
negara-negara yang berperang.
Pelaksanaan Konvensi Jenewa IV sebagai sumber hukum bagi negara yang
berperang, dimana negara-negara yang sedang berperang harus memahami ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Jenewa IV yaitu Ketentuan Umum,
Ketentuan Hukum Terhadap Pelanggaran dan Penyalahgunaan serta Ketentuan
Pelaksanaan dan Ketentuan Penutup. Sedangkan bentuk pelanggaran Konvensi Jenewa
IV Tahun 1949 yaitu pada konflik Israel terhadap Palestina, dimana pada konflik ini
melanggar beberapa ketentuan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 yaitu pasal 47 dan
pasal 54. Berikutnya pada Konflik Balkan 1992 yakni melanggar pasal 3, pasal 23 dan
pasal 24 Konvensi Jenewa IV Tahun 1949.
DAFTAR PUSTAKA
Arlina Permanasari et. al, (1999). Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: ICRC.
Boer, Mauna. (2005). Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi
dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni.