Anda di halaman 1dari 4

TAFSIR AL-BAQARAH AYAT : 234 (Masa Iddah Bagi Seorang Istri yang Suaminya

Meninggal Dunia)
Senin, 22 Maret 10

Pada ayat yang mulia ini Allah Ta’ala masih menjelaskan tentang masalah-masalah rumah
tangga, khususnya adalah bagi seorang istri yang suaminya meninggal dunia, apa yang harus dia
lakukan setelahnya dan berapa lama masa iddahnya. Allah Ta’ala berfirman….

‫َو اَّلِذ يَن ُيَتَو َّفْو َن ِم نُك ْم َو َيَذ ُروَن َأْز َو اًج ا َيَتَر َّبْص َن ِبَأنُفِس ِهَّن َأْر َبَعَة َأْش ُهٍر َو َعْش ًر ا َفِإَذ ا َبَلْغ َن َأَج َلُهَّن َفَال ُج َناَح َع َلْيُك ْم ِفيَم ا َفَعْلَن ِفي‬
}234{ ‫َأنُفِس ِهَّن ِباْلَم ْعُر وِف َو ُهللا ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َخ ِبيُُر‬

"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri


(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat ." (Al-Baqarah: 234)

Tafsir Ayat : 234

Maksudnya, apabila suami meninggal, istrinya harus tinggal dan wajib menunggu selama empat
bulan sepuluh hari. Hikmahnya adalah untuk membuktikan kehamilan pada masa empat bulan
dan awal-awal bergeraknya (janin) pada bulan yang kelima; (dan masih ada hikmah lain yang
insya Allah akan disebutkan pada ‘pelajaran dari ayat ini’, pen.). Ayat yang umum ini
dikhususkan dengan wanita-wanita yang hamil karena iddah mereka adalah melahirkan bayinya,
demikian juga hamba wanita sahaya karena iddahnya adalah setengah dari iddah wanita merdeka
yaitu dua bulan lima hari.

FirmanNya, { ‫" } َفِإَذ ا َبَلْغ َن َأَج َلُهَّن‬Kemudian apabila telah habis iddahnya", artinya, telah selesai
masa iddahnya, { ‫" } َفَال ُج َناَح َع َلْيُك ْم ِفيَم ا َفَعْلَن ِفي َأنُفِس ِهَّن‬maka tiada dosa bagimu, (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka", artinya, untuk berhias dan memakai wangi-
wangian, { ‫" } ِباْلَم ْعُر وِف‬menurut yang patut". Maksudnya dalam bentuk yang tidak diharamkan
dan tidak pula dimakruhkan.

Ayat ini menunjukkan kewajiban ihdad, (meninggalkan bersolek) dalam masa iddah atas wanita
yang ditinggal mati suaminya dan tidak selainnya dari wanita-wanita yang diceraikan dan
ditinggalkan (suaminya), dan ini merupakan kesepakatan para ulama.

{ ‫" } َوُهللا ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر‬Allah mengetahui apa yang kamu perbuat", maksudnya, mengetahui
perbuatan-perbuatan kalian secara lahiriyahnya maupun bathiniyahnya, yang tampak maupun
yang tersembunyi, maka pasti Allah akan membalasnya. Dan tentang mengarahkan firmanNya
kepada para wali dengan firmanNya, { ‫" } َفَال ُج َناَح َع َلْيُك ْم ِفيَم ا َفَعْلَن ِفي َأنُفِس ِهَّن‬maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka", merupakan dalil bahwa wali itu
memperhatikan wanita tersebut dan melarangnya dari hal-hal yang tidak boleh dilakukan, dan
memaksanya untuk melakukan yang wajib dan bahwasanya ayat ini dihadapkan untuk wali dan
menjadi tanggung jawabnya.

Pelajaran dari Ayat:

 Penjelasan mengenai masa iddah seorang istri yang suaminya meninggal dunia, yaitu
empat bulan sepuluh hari, dan di dalam sunnah (hadits) dijelaskan bahwa masa iddah
wanita hamba sahaya (budak) adalah separuhnya, yaitu dua bulan lima hari.
 Wajibnya ihdad (berkabung) bagi seorang istri yang suaminya meninggal dunia. Yaitu
dengan tidak berhias (seperti celak, lipstik, dan sejenisnya), tidak boleh memakai
wewangian, dan tidak boleh menawarkan diri untuk di khithbah (dilamar). Dan dalam
masa iddahnya tersebut hendaknya ia selalu didalam rumah suaminya yang ia dan bekas
suaminya tinggal bersama di sana, tidak keluar dari rumah itu kecuali keadaan sangat
dharurat. Hal ini berdasarkan sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya,
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk
berihdad (berkabung) atas mayyit lebih dari tiga malam kecuali atas suaminya (yang
meninggal) yaitu empat bulan sepuluh hari.” (hadits muttafaq ‘alaih).
 Wajib melakukan iddah (menunggu masa iddah) atas seorang istri yang suaminya
meninggal dunia, sesuai ayat, “(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah)”, ayat ini adalah berbentuk khabar (informasi) yang bermakna perintah.
 Wajibnya beriddah atas seorang istri yang suaminya meninggal dunia darinya, baik istri
tersebut kecil, atau dewasa, muda atau tua. Berdasarkan keumuman ayat tersebut, istrinya
yang dewasa (tua) maka wajib berihdad (berkabung), dan bagi seorang istri yang masih
kecil (belum baligh) maka walinyalah yang menjauhkanya dari hal-hal yang dijauhi oleh
istri yang telah dewasa (ketika masa berkabung).
 Wajibnya beriddah atas seorang istri yang suaminya meninggal dunia darinya, baik dia
telah melakukan hubungan suami istri dengannya ataupun belum, berdasarkan keumuman
ayat di atas, selain itu bahwa istri telah resmi menjadi seorang istri bagi suaminya adalah
hanya dengan melakukan aqad nikah saja, berbeda dengan thalak (cerai); adapun thalak
sebelum melakukan hubungan suami istri, (dan khalwah/berdua-duaan, menurut sebagian
ulama) sejak dari awal aqad nikah maka tidak ada iddah baginya, sebagaimana ayat, “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-
kali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya....”
(QS. Al-Ahzab : 49).
 Kewajiban atas seorang wanita menunggu dirinya selama masa iddah, yaitu dengan tidak
menikah, dan tidak menawarkan diri untuk menikah.
 Bahwasanya apabila ternyata ketika suaminya wafat terbukti bahwa aqad nikah yang
mereka lakukan bathil (rusak) maka istrinya tidak beriddah dengan iddah karena
meninggalnya suaminya tersebut. Misalnya ketika suaminya wafat ternyata istriny yang
ditinggalkan tersebut adalah adiknya dari sepersusuan; karena nikah seperti itu adalah
bathil (rusak) maka ‘wujuduhu kal ‘adam’ (adanya suaminya tersebut seperti tidak
adanya), sehingga tidak beriddah denganya. Demikian menurut penjelasan Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah.
 Bahwa masa iddah seorang istri yang suaminya meninggal dunia adalah empat bulan
sepuluh hari, baik apakah ia dalam kondisi haidh, atau tidak haidh; dan dikecualikan dari
hal itu adalah bagi istri yang suaminya meninggal sedang dia dalam keadaan hamil; maka
masa iddah adalah sampai ia melahirkan, sebagaimana ayat,

}4{ ‫َو ُأْو َالُت ْاَألْح َم اِل َأَج ُلُهَّن َأن َيَض ْعَن ِح ْم َلُهَّن َو َم ن َيَّتِق َهللا َيْج َعل َّلُه ِم ْن َأْمِر ِه ُيْسًر ا‬

“....Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath-Thalaq : 4).
Dan tidak ada masa iddah bagi seorang istri yang suaminya meninggal dunia kecuali dua
macam masa iddah tersebut.

 Hikmah Allah dengan menentukan jumlah masa iddah bagi seorang istri yang suaminya
meninggal dunia dengan empat bulan sepuluh hari, dan menyertakan hukum dengan
jumlah ini bukan dengan tiga masa quru’ (haid atau suci) sebagaimana pada umumnya
wanita-wanita yang ditalaq; karena masa terpendek yang memungkinkan bergeraknya
janin adalah empat bulan; dan ditambah sepuluh hari untuk meyakinkan; demikian kata
sebagian ahli ilmu. Akan tetapi menurut Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menilai,
“Setelah diperhatikan lebih teliti ternyata alasan tersebut terdapat kelemahan, karena
wanita yang suaminya meninggal dunia bermacam-macam, terkdang ada yang belum
digauli (berhubungan suami istri), ada yang masih kecil yang tidak memungkinkan untuk
hamil; ada pula yang sudah manopouse; maka untuk kehati-hatian dengan masa iddah
selama empat bulan sepuluh hari; mungkin pula dapat diketahui kosongnya rahim
sebelum masa ini selesai. Maka jelas sekali dengan hal ini bahwa hikmah dari hal itu
adalah sesuatu yang lain. Maka menurut hemat saya (Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah) hikmah dari masa iddah selama empat bulan sepuluh hari (Wallahu A’lam)
adalah bahwa: mereka pada masa jahiliyah ketika ada seorang istri yang suaminya
meninggal dunia masa iddahnya adalah berdiam diri selama setahun penuh setelah
meninggalnya suaminya disebuah rumah yang kecil, seperti tempat bersembunyi baginya,
dan tidak menyentuh air sama sekali selama itu; makan dan minum agar tidak mati; ia
menetap bersama keringatnya, baunya, haidhnya dan bau busuknya selama satu tahun
penuh; apabila telah sempurna hitungan setahun maka mereka mendatangkan tikus atau
burung kecil untuknya, lalu mereka berkata kepadanya, ‘gosoklah kemaluanmu
dengannya’; maka tidaklah ia menggosokkan sesuatu (yang hidup) terhadapnya kecuali ia
pasti mati, dan sangat sedikit sekali yang tidak demikan, karena baunya yang sangat
busuk. Selama setahun bisa jadi ia mendapati haidh sebanyak 12 kali sedangkan dia di
tempat itu. Kemudian jika telah sempurna satu tahun mereka juga mendatangkan
kepadanya kotoran hewan, lalu diapun mengambilnya dan melemparkannya; seolah-olah
sambil berkata, ‘seluruh apa yang saya alami selama ini adalah lebih ringan dari pada
melempar kotoran ini’; kemudian datanglah Islam dan mengganti masa satu tahun dengan
empat bulan; karena empat bulan adalah sepertiga dari setahun, sedangkan sepuluh hari
adalah sepertiga dari satu bulan; dan sepertiga itu banyak; maka dijadikan masa iddah itu
dari setahun dengan sepertiganya, dari satu bulan dengan sepertiganya. Maka apabila
hikamh ini terbukti maka demikianlah yang dikehendaki oleh Allah, dan ini merupakan
karunia Allah; dan apabila ternyata tidak terbukti, maka kita katakan, ‘Allah lebih tahu
dari apa yang Dia kehendaki’; dan hal ini seperti halnya ibadah-ibadah lain yang
memiliki jumlah bilangan yang kita tidak mengetahui hikmahnya”.
 Bahwa apabila masa iddah telah selesai maka boleh bagi wanita tersebut melakukan hal-
hal yang ma’ruf (menurut yang patut bagi wanita pada umumnya) seperti berhias, keluar
rumah, dan yang lainnya, sebagaimana ayat, “Kemudian apabila telah habis iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut...”.
 Bahwa para wali adalah bertanggung jawab terhadap wanita atau siapa saja yang berada
dibawah perwaliannya; sebagaimana ayat, “...maka tiada dosa bagimu (para wali)....”,
ayat ini terdapat isyarat bahwa bagi kaum laki-laki ada hak perwalian (penguasaan) atas
kaum wanita; maka mereka bertanggung jawab atas para wanita yang dibawah
penguasaannya.
 Dianggapnya ‘urf (suatu kebiasaan yang patut dimasyarakat) dalam hukum; sebagaimana
ayat di atas, selama tidak menyelisihi syariat, jika menyelisihi syari’at maka ‘urf tidak
lagi dianggap.
 Penetapan Ilmu (pengetahuan) Allah ‘Azza wajalla terhadap hal-hal yang nampak dan
yang tersembunyi, sebagaimana ayat, { ‫" } َوُهللا ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر‬Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat", kalimat ‘Khabiir’ adalah mengetahui perkara-perkara yang tersembunyi;
maka siapa yang mengetahui perkara-perkara yang tersembunnyi maka lebih-lebih
perkara-perkara yang nampak.
 Peringatan dan ancaman dari menyelisihi hukum tersebut di atas; firmanNya { ‫َوُهللا ِبَم ا‬
‫" } َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر‬Allah mengetahui apa yang kamu perbuat", maknanya jauhilah dari
menyelisihinya karena sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu lakukan.
Wallahu A’lam

Dikumpulkan oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim


Sumber :
1. Aisar Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah
2. Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
3. Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)

Anda mungkin juga menyukai