Anda di halaman 1dari 21

Muh Nur Ilyas Husain

Hukum Keluarga Islam


Semester 4 kelas A
NIM 212012044
MATERI 4

Talak raj’i berbeda dengan talak bain. Merujuk pada buku Aspek-Aspek Maqashid Asyariah
dalam Penetapan Perceraian karya Endra M, talak bain dapat mengakhiri hubungan perkawinan
secara total, sedangkan talak raj’i tidak.

Seorang suami yang menjatuhi talak raj’i kepada istrinya, baik itu talak satu maupun dua, masih
bisa melakukan rujuk. Syaratnya adalah masa iddah istri belum selesai. Sehingga, mereka bisa
rujuk tanpa harus melakukan akad nikah ulang.

Namun, jika suami menjatuhkan talak raj’i dan tidak rujuk sampai masa iddah berakhir, maka
istrinya haram baginya. Dalam hal ini, hubungan perkawinan mereka benar-benar sudah
berakhir.

Selama masa iddah, istri yang dijatuhi talak raj’i haram untuk disetubuhi. Ketetapan ini diperkuat
oleh pendapat para fuqaha seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i.

Bahkan mereka berpendapat bahwa memandang tanpa syahwat pun tidak diperbolehkan. Ini
karena talak raj'i adalah bentuk perpisahan sama seperti talak bain.

Suami yang menjatuhi talak raj’i kepada istrinya tetap harus memenuhi kewajiban. Mengutip
buku Al-Qur'an Hadits Madrasah Aliyah Kelas X, ia berkewajiban memberi uang belanja dan
tempat tinggal kepada istrinya, selama masa iddah belum berakhir. Nabi SAW bersabda:

“Sesungguhnya tempat tinggal dan nafkah bagi orang yang bisa merujuk istrinya atau bagi istri
yang bisa diruju’". (HR. Ahmad dan Nasai).
Kemudian, ia juga tidak diperkenankan menikah dengan beberapa golongan wanita selama masa
iddah istri belum berakhir. Dalam surat an-Nisa ayat 23, Allah Swt berfirman:

"Diharamkan bagimu memadu dua orang permpuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau."

Adapun daftar wanita yang tidak boleh dinikahi adalah sebagai berikut:

 Saudara perempuan istrinya, baik kandung seayah maupun seibu


 Saudara perempuan ibu istrinya (bibi istri) baik kandung seayah ataupun kandung seibu dengan
ibu istrinya.
 Saudara perempuan bapak istrinya (bibi istrinya) baik kandung seayah atupun seibu dengan
bapak istrinya.
 Anak perempuan saudara permpuan istrinya (keponakan istrinya) baik kandung seayah maupun
seibu.
 Anak perempuan saudara laki-laki istrinya baik kandung seayah maupun seibu
 Semua perempuan yang bertalian susuan dengan istrinya.

ْ ‫( اِإْل‬ithlaq) yang artinya melepas atau meninggalkan.


Talak secara bahasa berasal dari kata ‫طاَل ق‬
Sedangkan secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan.

Dalil dari diperbolehkannya talak berasal dari firman Allah SWT,

‫يَا َأيُّهَا النَّبِ ُّي ِإ َذا طَلَّ ْقتُ ُم النِّ َسا َء فَطَلِّقُوه َُّن لِ ِع َّدتِ ِه َّن‬

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1)

Ibnu Hajar Al Asqolani menjelaskan tentang perkara hukum talak, yakni boleh jadi haram,
makruh, wajib, hingga sunnah.
 Talak haram atau talak bid’i, yaitu talak yang menyelisihi syariat. Seperti seorang suami
mentalak istri saat haid maupun suami yang mentalak istrinya sebanyak 3 kali dalam satu waktu.
 Talak makruh yaitu talak yang dilakukan tanpa sebab apapun, padahal masih bisa jika pernikahan
masih bisa diteruskan.
 Talak wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan atau keretakan dalam
rumah tangga yang tidak bisa disatukan kembali.
 Talak sunnah adalah talak yang disebabkan karena istri tidak memiliki sifat menjaga kehormatan
diri dan istri tidak tidak memperhatikan perkara-perkara wajib meskipun sulit untuk
diperingatkan.

Pembagian Talak
Talak sendiri dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara sharih dan kinayah.

Sharih merupakan sebuah kalimat yang mengandung kata langsung. Artinya talak sharih
merupakan pemberian talak secara langsung meskipun itu bercanda maupun tanpa niat.
Sebagaimana yang dijelaskan Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda,

“Tiga hal yang bila dikatakan dengan sungguh-sungguh akan jadi dan bila dikatakan dengan
main-main akan jadi pula, yaitu nikah, talak dan rujuk.” (HR. Ibnu Majah no. 2039, Abu Dawud
no. 2180, dan at-Tirmidzi no. 1195)
Di sisi lain, talak kinayah adalah talah yang mengandung makna talak dan selainnya atau secara
tersirat. Sebagaimana dalam sebuah hadits dari Ka’ab bin Malik saat ia bersama sahabat yang
lain yang diboikot oleh Rasulullah SAW karena tidak mengikuti perang. Rasulullah SAW
mengutus seseorang untuk mengabarkan,

Bahwasanya beliau menyuruhmu untuk menjauhi isterimu.” Ka’ab bertanya, “Aku ceraikan atau
apa yang aku lakukan?” Orang itu menjawab, “Jauhi saja dan jangan sekali-kali kau dekati.”
Maka kemudian Ka’ab bin Malik berkata kepada isterinya, “Kembalilah kepada keluarga-mu.”
(HR. Bukhari no. 4418 dan Muslim no. 2769)
Talak sendiri terdiri dari beberapa jenis, salah satunya adalah talak bain.
Dikutip dari buku Fenomena Medsos karya Muthi’ Ahmad, S.H (2019:42), talak bain adalah talak
di mana suami tidak berhak rujuk kepada bekas istrinya, kecuali melalui akad baru. Talak bain
terbagi atas dua macam, yakni:

 Talak Bain Sugra

Talak bain sugra adalah talak peertama dan kedua yang diberikan suami kepada istrinya.
Sehingga suami tidak dapat kembali kepada mantan istrinya kecuali akad nikah dan juga mahar
baru.

 Talak Bain Kubra

Talak bain kubra adalah talak yang dijatuhkan ketiga kalinya oleh suami, sehingga ia tidak dapat
dirujuk kembali, kecuali mantan istrinya menikah dengan laki-laki lainnya dan bercerai atau
pernah berkumpul dengan suami baru.
Hal ini didasarkan firman Allah SWT,

ِ ‫ُوف َأوْ تَس‬


ٍ ‫ْري ٌح بِِإحْ َس‬
‫ان‬ ٌ ‫َان فَِإ ْم َسا‬
ٍ ‫ك بِ َم ْعر‬ ُ ‫الطَّاَل‬
ِ ‫ق َم َّرت‬

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)

Syekh Abu Malik Kamal menjelaskan bahwa maksud “menahan” dari ayat ini adalah rujuk
dengan menggaulinya dengan cara yang baik. Artinya, talak bisa batal dengan melakukan
hubungan suami istri atau mengucapkan rujuk sebelum masa iddah habis. Hikmah dari talak
raj’iyy adalah memberikan kesempatan bagi suami untuk berpikir apakah keputusan untuk
berpisah adalah jalan terbaik

iddah

Pengertian Iddah. Secara bahasa, iddah berasal dari Bahasa Arab, dari kata al-add dan al-


ihsha’ yang berarti bilangan.

Secara istilah iddah adalah masa penantian seorang perempuan setelah diceraikan atau ditinggal
mati oleh suaminya.

Pengertian Iddah Menurut Ulama (Ahli):


Ulama Hanafiyah

Iddah adalah ketentuan masa penantian bagi seorang perempuan untuk mengukuhkan status
memorial pernikahan (atsar al-nikah) yang bersifat material, seperti memastikan kehamilan.
Atau untuk merealisasikan hal-hal yang bersifat etika–moral, seperti menjaga kehormatan suami.

Ulama Malikiyah

Iddah merupakan masa kosong yang harus dijalani seorang perempuan. Pada masa itu ia dilarang
kawin disebabkan sudah ditalak (cerai) atau ditinggal mati sang suami.

Ulama Syafiiyyah

Iddah adalah masa menunggu bagi seorang wanita guna mengetahui apakah di dalam rahimnya
ada benih janin dari sang suami atau tidak.

Ulama Hanabilah

Iddah adalah masa menunggu bagi wanita yang ditentukan oleh agama. Dalam keterangan
mereka tidak pernah menyinggung mengapa harus ada waktu menunggu bagi seorang wanita
setelah ditalak atau ditinggal mati suaminya.

Dasar Hukum Iddah

Surat al-Baqarah Ayat 234.

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah


para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila
telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap
diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Surat Al-Ahzab Ayat 49

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib
atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut'ah  dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.

Larangan dalam Masa Iddah

1. Haram menikah dengan laki-laki lain.

2. Haram keluar rumah kecuali karena alasan darurat.


3. Wajib melakukan ihdad  (kata ihdad berarti tidak memakai perhiasan, wewangian, pakaian
bermotif, pacar dan celak mata.)

Macam-Macam Iddah

Iddah Karena Perceraian

Iddah karena perceraian memiliki dua kategori yang masing-masing memiliki hukum
sendiri. Yang pertama adalah perempuan yang diceraikan dan belum disetubuhi. Dalam hal ini ia
tidak wajib menjalani masa iddah.

Kategori kedua adalah perempuan yang diceraikan dan sudah disetubuhi. Bagi perempuan yang
dalam kategori seperti ini, dia memiliki dua keadaan.

1. Perempuan itu dalam keadaan hamil. Masa iddah baginya adalah sampai melahirkan
kandungannya.

2. Perempuan itu tidak dalam keadaan hamil. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak luput dari dua
kemungkinan. Pertama, dia masih menstruasi. Dalam keadaan ini iddahnya adalah tiga kali
menstruasi.

Iddah karena kematian

Perempuan yang ditinggal mati suaminya itu tidak dalam keadaan hamil. Masa iddah baginya
adalah empat bulan sepuluh hari, baik dia telah melakukan hubungan badan dengan suaminya
yang telah meninggal itu maupun belum.

Perempuan yang ditinggal mati suaminya itu dalam keadaan hamil. Masa iddah baginya adalah
sampai dia melahirkan kandungannya.

idhah

Menurut Abu Zakaria al-Anshari, ihdad berasal dari kata ‫ َ د َح‬dan ‫ أ‬biasa pula disebut dengan ‫ّح‬
ِ ‫دة‬
‫ ْال‬yang diambil dari kata ‫ِ د ح‬secara bahasa, ihdad diartikan sama dengan ‫ ع ن ْ َم ْال‬yang berarti
cegahan atau larangan.1 Menurut Istilah, sebagaimana tersebut dalam beberapa kitab fikih adalah
“mencegah diri sendiri untuk berhias pada badan2 selama masa iddah”. Pembicaraan di sini
menyangkut untuk siapa dia berbuat, kenapa dia berbuat, apa yang tidak boleh diperbuat dan
hukum berbuat.3 Ihdad maknanya meninggalkan perhiasan dan wangi-wangian di waktu
tertentu, oleh seseorang yang ditinggalkan oleh orang dekat yang dikasihinya karena kehilangan
dan kesedihan yang mendalam. Perlu ditekankan di sini, ihdad berbeda dengan iddah, meskipun
masa ihdad sama dengan masa iddah. Sebelum berbicara tentang ihdad, disinggung iddah
terlebih dahulu karena antara iddah dan ihdad saling berhubungan, yaitu ihdad (berkabung)
berada dalam masa iddah. 4 Menurut bahasa iddah berarti perhitungan, atau sesuatu yang
dihitung. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah waktu untuk

menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami. Atau masa tunggu
bagi seorang wanita setelah dicerai talak atau setelah kematian suaminya untuk mengetahui
kekosongan rahimnya. Dan pada saat itu, wanita tidak boleh menikah dengan pria lain.5 Menurut
Sayyid Sabiq, iddah berasal dari kata ‘adada yang berarti menghitung. Maksudnya, wanita (istri)
menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.6 Iddah dalam istilah agama menjadi nama bagi
masa lamanya wanita (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau
setelah pisah dari suaminya sebelum selesai iddah. Sedangkan makna ihdad, atau juga disebut
dengan hidad menurut bahasa berarti larangan. Sedangkan menurut istilah syara’, ihdad adalah
meninggalkan memakai pakaian yang dicelup warna yang dimaksudkan untuk perhiasan, atau
menahan diri dari bersolek/berhias pada badan.7 Abdul Mujieb menjelaskan dengan gamblang
bahwa ihdad adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati suaminya. Masa
tersebut adalah empat bulan sepuluh hari disertai dengan laranganlarangannya, yaitu: bercelak
mata, berhias diri dan keluar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa.

Mengenai hukum ihdad bagi wanita kitabiah (ahli kitab), para ulama berbeda pendapat. Menurut
Jumhur, kewajiban ihdad meliputi semua istri yang dinikahi secara sah, baik wanita yang masih
kecil, dewasa, gila, muslimah atau kitabiah. Bahkan Hanabilah berpendapat termasuk budak
yang dijadikan isteri

Imam Malik berpendapat bahwa ihdad diwajibkan atas wanita muslimah dan ahli kitab, baik
yang masih kecil maupun yang sudah dewasa. karena wanita kitabah yang melakukan
perkawinan dengan laki-laki muslim memiliki hak yang sama dengan hak wanita yang beragama
Islam.

Adapun menurut Abu Hanifah tidak wajib ihdad atas wanita kitabiyah, demikian juga pendapat
As-Syafi’i. Alasan mereka ialah bahwa hadits Nabi: “Tidak boleh bagi wanita yang beriman
kepada Allah dan hari kemudian berihdad dan seterusnya,” menunjukan bahwa syarat wanita
yang ber-ihdad adalah beriman, tanpa keimanan berarti tidak berlaku ketentuanketentuan tentang
ihdad pada diri wanita tersebut. Karenanya tidak wajib ihdad atas wanita non muslimah termasuk
kitabiyah

Para ulama’ Madzhab bersepakat atas wajibnya wanita yang ditinggal mati suaminya untuk
melakukan ihdad (berkabung), baik wanita itu sudah lanjut usia maupun masih kecil, muslimah
maupun non-muslimah, keculai Hanafi. Madzhab ini mengatakan bahwa, perempuan dzimmiy
dan yang masih kecil tidak harus menjalani ihdad. Sebab mereka berdua adalah orang-orang
yang tidak dikenai kewajiban

Adapun terhadap suami yang menceraikannya dalam bentuk thalaq ba’in, ulama’ berbeda
pendapat. Menurut Imam Malik tidak wajib berkabung untuk selain suami yang meninggal. Abu
Hanifah dan alTsawriy berpendapat bahwa wajib berkabung untuk suami yang menceraikanyya
dalam bentuk ba’in, dikiaskan kepada suami yang mati. Imam Syafi’i mengatakan, bahwa
berkabung untuk suami yang cerai ba’in hanyalah sunnah.

Ruju’

Rujuk berasal dari bahasa arab yaitu raja‟a - yarji‟u - ruju‟an yang berarti kembali atau
mengembalikan. Rujuk menurut istilah adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara
penuh setelah terjadi thalak raj‟i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam
masa iddahnya dengan ucapan tertentu. 1 Rujuk ialah mengembalikan istri yang telah dithalak
pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan. Sedangkan rujuk menurut para ulama madzhab
adalah sebagai berikut:

1. Hanafiyah, rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya penggantian dalam
masa iddah, akan tetapi tetapnya hak milik tersebut akan hilang bila masa iddah.

2. Malikiyah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak, karena takut berbuat dosa tanpa
akad yang baru, kecuali bila kembalinya tersebut dari talak ba‟in, maka harus dengan akad baru,
akan tetapi hal tersebut tidak bisa dikatakan rujuk.
3. Syafi‟iyah, rujuk adalah kembalinya istri ke dalam ikatan pernikahan setelah dijatuhi talak
satu atau dua dalam masa iddah. Menurut golongan ini bahwa istri diharamkan berhubungan
dengan suaminya sebagaimana berhubungan dengan orang lain, meskipun sumi berhak
merujuknya dengan tanpa kerelaan. Oleh karena itu rujuk menurut golongan syafi‟iyah adalah
mengembalikan hubungan suami istri kedalam ikatan pernikahan yang sempurna.

4. Hanabilah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijtuhi talak selain talak ba‟in kepada suaminya
dengan tanpa akad. Baik dengan perkataan atau perbuatan (bersetubuh) dengan niat ataupun
tidak.

Pada dasarnya para ulama madzhab sepakat, walaupun dengan redaksi yang berbeda bahwa
rujuk adalah kembalinya suami kepada istri yang dijatuhi talak satu dan atau dua, dalam masa
iddah dengan tanpa akad nikah yang baru, tanpa melihat apakah istri mengetahui rujuk suaminya
atau tidak, apakah ia senang atau tidak, dengan alasan bahwa istri selama masa iddah tetapi
menjadi milik suami yang telah menjatuhkan talak tersebut kepadanya

Hadhanah

Secara terminologis, hadhânah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat
dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan
dirinya. Hukum hadhânah ini hanya dilaksanakan ketika pasangan suami istri bercerai dan
memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari ibunya. Hal ini disebabkan karena si
anak masih perlu penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal
demi kemaslahatannya.Inilah yang dimaksu dengan perwalian (wilâyah).

Hadhânah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak akan hancur dengan sebab
ditelantarkan. Oleh karena itu, wajib menjaga anak tersebut dari kehancuran sebagaimana
diwajibkan menafkahinya dan menyelamatkannya dari kebinasaan. Anak-anak kecil yang masih
memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan
perawatan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang
dapat merusaknya. Sebagian Ulama fikih menukilkan Ijma’ tentang kewajiban mengasuh anak
kecil hingga mempu mandiri.
1. Fukaha Hanfiah mendepinisikan hadhanah sebagai usaha mendidik anak yang dilakukan oleh
seorang yang mempunyai hak mengasuh.

2. Ulama Syafi‟iyah, hadhanah adalah mendidik orang yang tidak dapat mengurus diriya sendiri
dengan apa yang bermaslahat baginya dan memeliharanya dari apa yang membahayakannya,
meskipun orang tersebut telah dewasa. Seperti membantu dalam hal membersihkan jasadnya,
mencucikan pakaiannya, meminyaki rambutnya, dan lainlainnya. Demikian pula menggendong
anak dalam buaian dan mengayun-ngayunkannya supaya cepat dapat tidur.

Dalam hukum Perkawinan Islam dikenal asas yang disebut dengan asas
selektivitas. Maksud dari asas ini adalah seseorang yang hendak mau menikah, harus
terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah, dan dengan siapa ia terlarang
menikah(Ramulyo,1996).
Hukum Islam juga mengenal adanya larangan perkawinan yang didalam fikih
disebut dengan Mahram (orang yang haram dinikahi). Dikalangan masyarakat istilah ini
sering disebut dengan Muhrim. Sebuah istilah yang sebenarnya tidak terlalu tepat. Muhrim
kalaupun kata ini ingin di gunakan maksudnya adalah suami yang menyebabkan
isterinya tidak boleh kawin dengan wanita lain selama masih terikat dengan sebuah tali
perkawinan atau masih berada dalam masa ‘iddah thalak raj’i.
Disamping itu muhrim juga digunakan untuk menyebut orang yang sedang ihram
(Dahlan). Ulama fikih telah membagi mahram kepada dua macam. Pertama, Mahram
mu’aqqat yaitu larangan untuk menikah dalam waktu tertentu, dan kedua, mahram
mu’abbad yaitu larangan untuk melangsungkan pernikahan untuk
selamanya. Wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya ini terbagi kepada
tiga kelompok, yaitu, karena pertalian keturunan (nasab), karena hubungan sepersusuan
(Radha’ah), dan kerena hubungan persemendaan atau mushaharah. (Nuruddin&Akmal 2006).
Sebagaimana firman Allah STW yang Artinya:

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-


saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-
laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(Q.S. Annisa’ :23).

Dari ayat di atas dapat kita ketahui bahwa Islam memberikan batasan-batasan
kepada umatnya yang hendak meakukan pernikahan, untuk tidak menikah dengan
orang-orang yang diharamkan Allah menikah dengan nya. Dua di antaranya adalah orang-
orang yang murni mempunyai hubungan berupa pertalian keturunan dan kekeluargaan yang
jelas dan tampak sebelum ataupun sesudah terjadinya pernikahan, yaitu hubungan nasab dan
Mushaharah. Tetapi ada satu keharaman yang terjadi, disebabkan perbuatan seorang ibu
yang memberikan air susunya untuk disusui kepada orang lain, yang bahkan mungkin bukan
merupakan orang yang mempunyai hubungan dengan nya. Inilah kemahraman yang
disebut dengan Mahram sepersusuan (Radha’ah).
Telah disepakati dikalangan para ulama, bahwa susuan secaraglobal dapat
mengharamkan sebagaimana haram karena sebab nasab (keturunan), maksudnya bahwa
wanita yang menyusui, kedudukannya sama dengan seorang ibu. Maka ia diharamkan bagi
anak yang disusuinya dan semua wanita yang diharamkan bagi anak laki-laki darisegi ibu
nasab. Dan ulama juga sepakat susuan dapat memahramkan didalam usia dua tahun.

Di dalam Al-Qur’an, telah disebutkan bahwa seorang suami hendaknya mempergauli istrinya
dengan jalan yang ma’ruf. Istilah ma’ruf, menurut terminologi bahasanya sering dimaknai
sebagai ‘baik’. Menurut pengertian syara’nya, sebuah perbuatan ma’ruf sering diartikan sebagai:

‫ وفي مقدمتها توحيد هللا عز وجل‬،‫ ويدخل في ذلك جميع الطاعات‬،‫كل ما يعرفه الشرع ويأمر به ويمدحه ويثني على أهله‬
‫واإليمان به‬

  Artinya, “segala sesuatu yang memiliki landasan syara’, diperintahkan, dipuji atau dihimbaukan
kepada para ahlinya. Padanya terdapat sekumpulan perbuatan ketaatan, dan yang paling utama di
antara ketaatan itu adalah mentauhidkan Allah Azza Wa Jalla dan sekaligus mengimanani-Nya”
(Abdul Aziz al-Rajihy, al-Qaul al-Bayyin al-Adhar fi al-Da’wati Ila Allahi wa Al-Amri bi al-
Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-Munkar, [Riyadl: Muassisah al-Risalah, tt], h. 8).

Di sisi lain ma’ruf kadang juga diartikan sebagai:  

‫ كل قول حسن وفعل جميل وخلق كامل للقريب والبعيد‬ 

Artinya, “Segala bentuk ucapan yang baik, perbuatan yang indah, dan akhlak yang sempurna,
baik untuk konsekuensi jangka waktu dekat maupun jauh.” (Abdul Aziz al-Rajihy, al-Qaul al-
Bayyin al-Adhar fi al-Da’wati Ila Allahi wa Al-Amri bi al-Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-Munkar,
[Riyadl: Muassisah al-Risalah, tt], h. 8).   Jadi, dengan melihat definisi ini maka perintah
mempergauli istri dengan baik itu sebagaimana diperintahkan oleh Syari’ (Allah Ta’ala) di dalam
Al-Qur’an, adalah juga bermakna sebagai perintah mengeluarkan kata-kata yang baik kepada
pasangan, sikap yang baik dalam perbuatan, serta akhlak yang sempurna, atau setidaknya yang
mendekati sempurna untuk menjaga konsekuensi logisnya di masa yang akan datang, dalam
jangka waktu dekat atau jauh. Konsekuensi logis yang dimaksud di sini, salah satunya adalah
antisipasi terhadap perbuatan “nusyuz” dari istri.   ‘Nusyuz’ dalam Al-Qur’an disinggung
sebanyak dua kali. Pertama, nusyuz disinggung dalam Surat Al-Nisa’ [4] ayat 34; dan kedua,
disinggung dalam Surat Al-Nisa’ [4] ayat 128.  

Di dalam Surat al-Nisa’ [4] ayat 34, Allah SWT berfirman:  

﴿َ‫ب بِ َما َحفِظ‬ِ ‫ت َح ٰـفِظَ ٰـت لِّ ۡلغ َۡی‬ ٌ ‫ت قَ ٰـنِتَ ٰـ‬
ُ ‫ص ٰـلِ َح ٰـ‬ ۟ ُ‫ضهُمۡ َعلَ ٰى بَ ۡعض َوبم ۤا َأنفَق‬
َّ ‫وا ِم ۡن َأمۡ َو ٰلِ ِهمۡۚ فَٱل‬ َّ َ‫ٱلرِّ َجا ُل قَ َّو ٰ ُمونَ َعلَى ٱلنِّ َس ۤا ِء بِ َما ف‬
َ ‫ض َل ٱهَّلل ُ بَ ۡع‬
َِ
‫وا َعلَ ۡی ِه َّن َسبِیاًل ۗ ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلِیّا‬۟ ‫ٱضربُوه ۖ َُّن فَ ۡن َأطَ ۡعنَ ُكمۡ فَاَل ت َۡب ُغ‬ َ ‫ٱه ُجرُوه َُّن فِی ۡٱل َم‬
ۡ ‫ٱهللُ َوٱلَّ ٰـتِی تَخَافُونَ نُ ُشو َزه َُّن فَ ِعظُوه َُّن َو‬
‫ِإ‬ ِ ۡ ‫ضا ِج ِع َو‬
]٣٤ ‫ َكبِیرا﴾ [النساء‬ 

Artinya, "Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki)
telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka
yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah
menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah
kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan
(kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-
cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung."  
Sementara itu di dalam Surat Al-Nisa [4] ayat 128, Allah SWT berfirman:  

﴿‫ت ٱَأۡلنفُسُ ٱل ُّش ۚ َّح‬ ِ ‫حا َوٱلصُّ ۡل ُح خ َۡی ۗر َوُأ ۡح‬


ِ ‫ض َر‬ ۡ ‫وَِإ ِن ٱمۡ َرَأةٌ خَافَ ۡت ِم ۢن بَ ۡعلِهَا نُ ُشو ًزا َأ ۡو ِإ ۡع َراضا فَاَل ُجنَا َح َعلَ ۡی ِه َم ۤا َأن ی‬
ۚ ‫ُصلِ َحا بَ ۡینَهُ َما ص ُۡل‬

]١٢٨ ‫وا فَِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ بِ َما ت َۡع َملُونَ خَ بِیرا﴾ [النساء‬ ۟ ُ‫وا َوتَتَّق‬
۟ ُ‫ و ن تُ ۡح ِسن‬ 
‫َِإ‬

Artinya, "Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh,
maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki
(pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka
sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."   Dilihat dari sisi penyandaran
pada kedua ayat di atas, lafadh nusyuz pada ayat pertama, disandarkan pada (1) kepemimpinan
seorang suami dalam lingkup rumah tangga terhadap istrinya sebab kelebihan yang
dianugerahkan kepada suami, dan (2) sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istrinya berupa
nafkah dan mahar. Karena faktor keduanya ini, lantas hadir tuntutan sebagaimana termaktub
dalam lafadh al-shalihatu qanitatun hafidhatun li al-ghaibi bi ma hafidha allah (perempuan
shalihah itu perempuan yang gemar ber-imadah, menjaga diri saat suaminya tidak ada di rumah
dengan penjagaan sebagaimana yang sudah diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepadanya).  
Sementara dalam ayat kedua, lafadh ‘nusyuz’, justru berlaku sebaliknya, yaitu ketakutan seorang
istri dari perbuatan nusyuz suami, berpaling atau bersikap acuh tak acuh. Walhasil, penggunaan
lafadh nusyuz di dalam Al-Qur’an, ternyata juga berlaku bagi suami dan tidak hanya pada istri
saja. Sekarang mari kita lihat kajian nusyuz ini dari para mufassir!   Mufassir pertama, kita ruju’
pada Tafsir ath-Thabari (w. 310 H). Ketika menafsiri Surat Al-Nisa [4] ayat 34, dan sampai pada
penggalan ayat ‘wal lâti takhâfûna nusyûzahunna’ (ketika seorang istri kalian khawatirkan sikap
nusyuz-nya), ath-Thabari (w. 310 H) menyatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ahli ta’wil.   Sebagian ahli ta’wil melakukan pengalihan makna terhadap bunyi teks ‘al-
khauf’ sebagai ‘al-ilmu’, sehingga makna bergeser dari sebelumnya memiliki pengertian ‘takut’
menjadi berpengertian ‘tahu’. Namun, unsur ‘tahu’ di sini juga memuat pengertian ‘dhan’
(prasangka) sehingga lebih pasnya jika lafadh ‘takhafuna’ dalam ayat di atas, dialihkan
maknanya sebagai ‘kalian menduga’.   Akan tetapi, mayoritas ahli ta’wil memiliki pengertian
yang kiranya agak berbeda dengan di atas. Sebagaimana disampaikan oleh ath-Thabari (w. 310
H), mayoritas ahli ta’wil sepakat mengalihkan makna ayat sebagai:  

،‫ واسترْ بتم بأمرهن‬،‫ ويَد ُخلن ويخرجن‬،‫ من نظر إلى ما ال ينبغي لهن أن ينظرن إليه‬،‫إذا رأيتم منهن ما تخافون أن ينشزن عليكم‬
ّ
‫واهجروهن‬ ‫فعظُوهن‬
ِ  

Artinya: “Apabila kalian melihat istri-istri kalian, lalu kalian timbul rasa takut akan perbuatan
nusyuz-nya atas diri kalian, karena melihatnya mereka kepada sesuatu yang tidak sepatutnya
mereka lihat, mereka masuk dan keluar semaunya sehingga menimbulkan rasa ragu pada diri
kalian atas ulahnya, maka nasehati mereka, dan pisahilah mereka dari rangjangnya.” (ath-
Thabari, Jamiu al Bayan li ta’wili ayi Al-Qur’an, Damaskus: Daru al-Kutub al-Islamiyah, Tanpa
Tahun), Juz 4, halaman 64).   Ath-Thabari (w.310) secara spesifik memberikan kesimpulan
terhadap makna ‘khauf’ dalam ayat ini sebagai:

‫ الخوف الذي هو خالف"الرجاء‬:‫ "معنى"الخوف" في هذا الموضع‬ 

Artinya, “Makna ‘khauf’ pada ayat ini adalah seolah bermakna sebagai takut yang merupakan
lawan dari ‘al-raja’ (pengharapan akan terjadinya sesuatu).” (ath-Thabari, Jamiu al Bayan li
ta’wili ayi Al-Qur’an, Damaskus: Daru al-Kutub al-Islamiyah, Tanpa Tahun), Juz 4, halaman
64).   Mungkin lebih pasnya, ‘al-khauf’ di sini adalah semakna dengan ‘kekhawatiran akan
terjadinya sesuatu’. Dengan demikian, seolah ayat berbicara dengan konteks ketika seorang
suami sangat mengkhawatirkan timbulnya sikap ‘nusyuz’ dari istri, disebabkan adanya gejala
mereka suka keluar masuk rumah dan pergi seenaknya sendiri tanpa adanya izin dari suami
(sebagaimana pengertian ini sudah disampaikan sebelumnya), maka disarankan bagi suami untuk
menasehatinya atau melakukan pisah ranjang dengan pasangannya.

Syiqaq merupakan salah satu alternative yang ditawarkan oleh agama islam untuk menyelesaikan
pertengkaran yang terjadi dalam suatu keluarga, hal ini dijelaskan dalam firman allah surat
Annisa Ayat 35:

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Annisa’:35)

Firman allah tersebut menjelaskan, jika terjadi kasus syiqaq antara suami isteri maka dianjurkan
untuk mengutus seorang hakam dari pihak laki-laki maupun perempuan, dengan tujuan untuk
menyelidiki dan mencari sebab musabab permasalahan antara keduanya, dan allah menganjurkan
agar pihak yang berselisih apabila memungkinkan untuk kembali membina rumah tangga (hidup
bersama) kembali. Dan perlu diketahui yang dimaksud hakam dalam ayat tersebut adalah
seorang bijak yang dapat atau cakap untuk menjadi penengah dalam menghadapi konflik yang
sedang terjadi.

Ibnu Qudamah secara kronologis menjelaskan langkah-langkah yang diambil oleh seorang
hakam dalam menghadapi konflik tersebut, yaitu:
Pertama, hakim mempelajari dan meneliti penyebab terjadinya konflik tersebut, dan apabila
ditemukan penyebabnya adalah nusyuznya isteri maka penyelesaiannya adalah sebagaiman
dalam kasusu nusuz isteri, dan bila asal permasalahan terjadi karena nusyusnya suami maka yang
harus dilakukan adalah mencari orang yang disegani untuk menasehati sang suami supaya
menghentikan sikap nusyuznya terhadap isteri. Dan apabila konflik tersebut berasal dari
keduanya dan keduanya saling menyalahkan maka hakim mencarikan orang yang disegani untuk
menasehati keduanya.
Kedua, bila langkah-langkah di atas tidak membuahkan hasil, maka hakim menunjuk seseorang
dari pihak suami dan pihak isteri untuk menyelesaikan konflik tersebut. Kepada kedua orang
yang ditunjuk oleh hakim tersebut diserahi wewenang untuk menyatukan kembali keluarga yang
hampir pecah itu dan apabila hal tersebut tidak memungkinkan maka diperbolehkan untuk
menceraikannya.
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan orang yang diangkat menjadi hakam.
Pendapat yang pertama, berasal dari riwayat imam ahmad dan juga imam syafi’I serta dijadikan
pegangan oleh atha yang pada intinya kedudukan dua orang hakam tersebut adalah sebagai wakil
dari suami isteri. Oleh karena itu, kedua hakam tersebut hanya berwenang untuk mendamaikan
keduanya, dan tidak berwenang untuk menceraikan keduanya kecuali atas izin dan persetujuan
dari pihak suami isteri. Mereka beralasan bahwa kehormatan yang dimiliki istri menjadi hak bagi
suami. Selain itu keduanya telah dewasa dan cerdas, oleh karena itu pihak lain tidak dapat
memutuskan sesuatu kecuali atas persetujuannya.

Golongan kedua yang terdiri dari ali, ibnu abbas, imam malik, dan lain-lain berpendapat bahwa
dua orang hakam tersebut berkedudukan sebagai hakim. Oleh karena itu keduanya dapat
bertindak menurut apa yang dianggapnya baik tanpa persetujuan suami isteri.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mewakili
pihak suami ataupun pihak istri dalam hal syiqaq berkedudukan, pertama, sebagai wakil dari
suami istri dan dalam hal ini kedua orang tersebut tidak berhak untuk memutuskan perkara tanpa
adanya persetujuan dari kedua orang yang berselisih. Kedua, seseorang yang mewakili dari pihak
suami ataupun pihak isteri berkedudukan sebagai hakim dan mereka mempunyai kewenangan
untuk memutuskan perkara walaupun tanpa persetujuan orang yang bersangkutan

Hakamain adalah salah satu istilah yang terdapat dalam hukum islam sebagai alternatif
penyelesaian sengketa perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus
syiqaq. Secara umum diketahui bahwa hakamain ( juru damai dalam perkara syiqaq) seorang berasal
dari pihak keluarga suami dan seorang lagi berasal dari pihak isteri.

Hakamain berasal dari bahasa arab sebagai kata dasar adalah ‘Hakam’ yang berarti berarti
perwakilan. Namun apabila ditambah dengan kata ‘Ain’, maka artinyapun berubah menjadi dua
orang perwakilan yang disebut sebagai hakamain dalam hukum islam, yaitu seorang hakam dari
pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri untuk menyelesaikan kasus syiqaq. [21]

Istilah hakamain juga terdapat dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 35 yang juga dapat
dijadikan sebagai dasar hukum pelaksanaan hakamian. Allah SWT berfirman:

Artinya : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka  kirimlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri
itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. An-Nisa:35).

Dari ayat diatas terbut dapat dipahami bahwa, Hakamain adalah seorang utusan atau
delegasi dari pihak suami isteri, yang akan dilibatkan dalam penyelesaian sengketa
perdata  (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) temasuk didalamnya kasus perceraian.

Namun dalam pandangan tentang hakamain ulama berbeda pandapat tentang kekuasaan
dua orang hakamain, yakni apakah dua orang hakam tersebut berkuasa untuk mempertahankan
perkawinan atau menceraikannya tanpa izin suami istri, ataukah tidak ada kekuasaan bagi kedua
orang hakam itu tanpa seizin keduanya, di antaranya yaitu:

Menurut Imam Malik, Bahwa kedua orang hakam itu dapat memberikan suatu ketetapan
pada suami istri tersebut tanpa seizinnya, jika hal tersebut di pandang oleh kedua orang  hakam
tersebut dapat mendatangkan maslahat, seperti seorang laki-laki menjatuhkan talak satu
kemudian istri memberikan tebusan dengan hartanya untuk mendapatkan talak dari suaminya.
Artinya, kedua orang hakam tersebut merupakan dua orang hakim yang di berikan kekuasaan
oleh pemerintah.

Menurut Imam Abu Hanafiyah, Bahwa kedua orang  hakam tidak boleh menceraikan
suatu perkawinan tanpa izin dari suami istri, karena  hakamain adalah wakil dari suami istri
tersebut. Artinya bahwa seorang  hakam dari pihak suami tidak tidak boleh menjatuhkan talak
kepada pihak istri sebelum mendapat persetujuan dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak
istri juga tidak dapat menjatuhkan khuluk sebelum mendapatkan persetujuan dari pihak suami.

Menurut Imam Al-Syafi’i, Bahwa tugas hakamain itu adalah sebagai wakil dari pihak
suami dan istri, menjalankan keinginan keduanya dan tidak boleh sampai memisahkan kehidupan
perkawinan antara keduanya.[22]

Sedangkan menurut Ulama Ahli Fiqh, Bahwa kedua hakam itu di kirimkan dari keluarga
suami dan istri, di kecualikan apabila dari kedua belah pihak yaitu suami dan istri tidak ada
orang yang pantas menjadi juru damai, maka dapat dikirim orang lain yang bukan dari keluarga
suami atau istri. Apabila kedua  hakam tersebut berselisih, maka keduanya tidak dapat
dilaksanakan dan untuk mengumpulkan kedua suami istri bisa dilakukan tanpa adanya
pemberian kuasa dari keduanya. Akan tetapi ulama berbeda pendapat tentang pemisahan suami
dan istri yang dilakukan oleh hakam, apabila keduanya sepakat untuk menceraikan mereka,
apakah diperlukan persetujuan dari kedua belah suami istri atau tidak

Kemudian Hakamain secara istilah yang cukup popular di kalangan Hakim Peradilan
Agama di Indonesia secara langsung diartikan dengan, “ Dua orang Hakam dari Pihak
Hakim”. Diketahui bahwa hakam ( juru damai dalam perkara syiqaq) seorang berasal dari pihak
keluarga suami dan seorang lagi berasal dari pihak isteri. Tetapi dalam kondisi tertentu Majelis
Hakim dapat mengangkat ,“Hakamain min Jihatil Hakim” yang bukan dari pihak keluarga para
pihak, diantaranya yang berasal dari Hakim Mediator yang sudah ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan Agama.[23]

Menurut Insyafli Garis hukum yang dapat kita tarik dari kutipan di atas adalah bahwa,
dalam hal khusus (misalnya pihak keluarga kurang memenuhi persyaratan), maka Hakim dapat
mempertimbangkan untuk mengangkat dua orang yang  bukan keluarga sebagai hakamain,
dalam hal ini misalnya Mediator yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah
(Aceh) yang berasal dari kalangan Hakim. Apalagi mengingat kemampuan mereka untuk
mengemban tugas, mencari penyelesaian dalam sengketa para pihak pasti lebih unggul
dibandingkan dengan dari pihak keluarga.[24]

Lembaga “Hakam” merupakan lex specialis di dunia Peradilan Agama yang notabene


merupakan penerapakan “Hukum Manshuskh” dari firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang
terdapat surat An Nisa’ ayat 135 dalam perkara“Syiqaq” atau perceraian dengan alasan
percekcokan yang memuncak.

1.1. Syarat-syarat menjadi Hakamain

Dalam hal persyaratan menjadi hakamain pada dasarnya tidak diatur dalam hukum islam
sebagai ketetapan yang bisa menjadi dasar hukum yang kuat, karena menurut Al-Qur’an yang
terdapat dalam surat An Nisa’ Ayat 135 yang sudah disebutkan diatas hannya mewajibkan adanya
dua hakam yang diutus dari pihak suami isteri tersebut, artinya masih terdapat perbedaan
pendapat, tetapi menurut Syeikh Jalaluddin al-Mahally syarat-syarat menjadi hakam adalah
sebagai berikut: [25]

‫ويشترط فيهما الحرية والعدا لة واال هتداء الى ما هو المقصود من بعتهما‬


Artinya: “Disyaratkan kedua Hakam itu merdeka, adalah (jujur) serta punya pengetahuan tentang tugas-
tugas yang dibebankan kepadanya”.
Kemudian Sebagai landasan ilmiyah fiqhiyah, dapat kita lihat pendapat Wahbah az-
Zuhaili, sewaktu menguraikan syarat-syarat hakam sebagai berikut:[26]

‫بحا ل الزوجين و‬ ‫فان لم يكونا من اهلهما بعث القا ضي رجلين اجنبيين و يستحسن ان يكون من جران الزوجين ممن لهما خبرة‬
‫قدرة علي اال صالح بينهما‬
Artinya: “Jika keduanya tidak berasal dari keluarga kedua suami isteri, Hakim mengangkat dua orang
laki-laki yang bukan kelaruga (orang lain: ajnabiy). Baik sekali keduanya berasal dari tetangga
suami isteri, yang mengetahui  betul keadaan suami isteri, serta memiliki kemampuan untuk
mendamaikan keduanya”.

Selain dari pada syarat-syarat diatas untuk menjadi hakamain menurut jumhur ulama
adalah orang muslim, adil, di kenal istiqamah, keshalihan pribadi dan kematangan berpikir, dan
bersepakat atas satu keputusan. Keputusan mereka berkisar pada perbaikan hubungan dan
pemisahan antara mereka berdua. Berdasarkan pendapat jumhur ulama, keputusan dua penengah
ini mempunyai kekuatan untuk mempertahankan hubungan atau memisahkan mereka.

1.2  Tujuan Hakamaian

           Tugas hakamain adalah mengarahkan segala upaya untuk mengetahui akar permasalahan
yang menjadi sebab perseteruan antara suami istri dan menyingkirkannya, serta memperbaiki dan
mendamaikan  hubungan suami-istri yang sedang dilanda masalah dan dapat menyatukan
kembali pasangan suami istri tersebut.

Peranan hakamain sebagai mediator (pemberi saran) dalam penyelesaian sengketa


perceraian atas dasar syiqaq, sangatlah bermanfaat dan berarti dalam memberi masukan pada
hakim guna ikut menyelesaiakan perselisihan yang terjadi. Kewenangan hakam selaku mediator
dalam penyelesaian sengketa perceraian hanya sebatas memberikan usulan pendapat dan
pertimbangan dari hasil yang telah dilakukan kepada hakim. Karena Undang-undang tidak
memberikan kewenangan kepadanya untuk menjatuhkan putusan sebagai hasil dari pada proses
penyelesaian sengketa perdata (Mu’ammalah Al Ahwal As-Syakhsyiah) tersebut.
Menurut firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 135 diatas, jika terjadi kasus antara
suami istri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami da seorang hakam dari pihak istri yang
berfungsi untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab-musabab terjadi syiqaq
dimaksud, serta berusaha mendamaikannya, atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan
kalau sekiranya jalan inilah yang terbaik.

Terhadap kasus syiqaq ini, hakam yang disebut sabagai hakamain bertugas menyelidiki
dan mencari sebab-sebab timbulnya persengketaan, dan berusaha sebesar mungkin untuk
mendamaikan kembali. Agar suami istri kembali hidup bersama dengan sebaik-baiknya,
kemudian jika dalam perdamian itu tidak mungkin ditempuh, maka kedua hakamain berhak
mengambil inisiatif untuk menceraikannya, kemudian atas dasar prakarsa hakamain ini maka
hakim dengan keputusannya menetapkan perceraian tersebut. Hakammain (kedua hakam) itu
boleh memutuskan perpisahan antara suami istri, tanpa suami menjatuhkan talaq.

1.3.  Hikmah Di Utusnya Dua Penengah

            Hikmah adanya hakamian di antaranya untuk menghilangkan adanya tindakan-tindakan


yang merugikan pihak-pihak lain, untuk menyelesaikan perselisihan, mencegah permusuhan,
menyelesaikan pertengkaran. Hakam baru boleh di utus bila cara-cara seperti nasihat,
pengacuhan, pemukulan sudah tidak bias memberikan efek jera kepada pasangan suami-istri
tersebut.

            Dalam kehidupan rumah tangga terjadinya perselisihan adalah yang biasa dan mungkin
terjadi bahkan sering terjadi perselisihan bila sudah mulai tampak ketidak cocockan dalam
membina rumah tangga. Hal yang kecilpun menjadi besar dan hal yang besarpun menjadi lebih
fatal.[27] Islam sejak dulu sudah mengantisipasi problem rumah tangga yang memburuk dengan
adanya perceraian, perceraian itu oleh islam di perbolehkan walaupun di benci agama. Namun
sebelum terjadinya perceraian pasangan suami-istri hendaknya selalu untuk berusaha menjaga
hubungan tersebut agar perselihan tersebut tidak berakhir dengan perceraian.
            Perselisihan yang semakin meruncing tentunya akan mengakibatkan suami-istri itu tidak
cakap lagi dalam menyelesaikan biduk rumah tangganya lagi, kalau keadaan semacam itu maka
perlu di utus adanya hakamaian guna memperbaiki dan mendamaikan pasangan suami tersebut,
terkait dengan masalah yang di hadapi.

            Hakamain yang di utus dalam perselisihan tersebut terdiri dari seorang hakam dari pihak
laki-laki dan hakam dari pihak-pihak perempuan, dan sebaiknya mengutus seorang hakam yang
benar-benar tahu keadaan suami mapun istri tersebut (orang yang banyak mengetahui karakter
maupun perilaku suami maupun istri tersebut). Bila mana dari salah satu pihak maupun keduanya
tidak mempunyai hakam dari keluarga sendiri maka tentunya mencari seorang hakam yang di
anggap mampu baik dari segi ilmunya maupun cara dia menyelesaikan sengketa tersebut.

            Hakamain dari pihak luar yang mempunyai kapasitas dan kredibilitas yang dipilih oleh
pengadilan agama disebut dengan hakam min jihat al-hakim di mana dia menjadi wakil atau
penyambung lidah dari hakim untuk bernegoisasi dan mendamaikan suami-istri yang sedang
bersengketa guna mencari titik temu.

            Bila mana hakamain dalam menegoisasi dan memediatori pihak suami istri yang
berselisih berhasil dan mendapatkan titik temu maka suami-istri tersebut hendaknya melakukan
islah sebagaimana yang telah di anjurkan oleh al-Qur’an dalam surat al-Nisa’ ayat 35. Dan
apabila hakamain dalam menegoisasi dan memediatori tidak menemukan titik temu terkait
masalah suami-istri tersebut maka lebih baik bercerai dari pada nantinya akan terjadi suatu hal
yang makin memperburuk keadaan.

Anda mungkin juga menyukai