Anda di halaman 1dari 13

Hadis Tentang Nikah Mut’ah, Syigor, Nihil

Dan Nikah Ketika Sedang Berihram

Makalah

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Hadis Ahkam

Dosen Pengampu : Munirah S.THI.,M.Hum

Kelompok 4

M. Wahyudinnor

Norhidayat

Hadi Rusadi

Sekolah Tinggi Agama Islam Rasyidiyah Khalidiyah

Ahwal Al-Syaksiyah

2019

Amuntai
0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan itu merupakan suatu akad untuk menghalalkan hubungan antara


laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga
yang diridloi oleh Allah SWT. Dari pengertian itu dapat kta ketahui bawasanya untuk
menciptakan kehidupan keluarga yang yang bahagia , kemudian menghalalkan
hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan, membangun rumah tangga yang
tentram atas dasar cinta dan kasih saying, sebagaimana yang dianjurkan Allah SWT
dalam surat Ar-Rum, 21

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu


isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Didalam agama islam itu sudah jelas, mana saja pernikahan yang dilarang
islam dan mana saja yang diperbolehkan. Adapun yang dimaksud dari pernikahan
yang dilarang yakni bentuk-bentuk perkawinan yang tidak boleh dilakukan seperti
kawin mut'ah kawin hanya untuk bersenang-senang, kawin syhighor, kawin muhallil
dan lain-lain, bentuk perkawinan tersebut merupakan bawaan yang berasal dari
zaman jahiliyyah yang mana pada zaman itu orang-orang bagaikan binatang yang
memiliki prinsip bahwa siapa kuat dialah yang berkuasa.

B. Rumusan Masalah

1. Mengetahui tentang Nikah Mut’ah, Syighor, Nikah Nihil dan Nikah


dalam ke adaan ihram

2. Mengetahui tentang pernikahan yang dilarang dalam islam

1
BAB II

PEMBAHASAN

Ada beberapa bentuk pernikahan yang dilarang oleh Islam yakni:


1. Nikah Mut'ah
Yaitu suatu pernikahan yang dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu, jika
waktu yang ditentukan sudah habis maka siwanita atau istri dinyatakan terlepas dari
ikatan pernikahannya dan dia berhak menerima mut'ah dari suaminya.
a. Hadits tentang Nikah Mut’ah
‫ َر َّخ َص َر ُسوُل ِهَّللَا صلى هللا عليه وسلم َعاَم َأْو َطاٍس ِفي‬: ‫َو َع ْن َس َلَم َة ْبِن اَأْلْك َو ِع رضي هللا عنه َقاَل‬
‫ ُثَّم َنَهى َع ْنَها (متفق عليه‬, ‫ َثاَل َثَة َأَّياٍم‬, ‫َاْلُم ْتَعِة‬
Salamah Ibnu Al-Akwa' berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
pernah memberi kelonggaran untuk nikah mut'ah selama tiga hari pada tahun Authas
(tahun penaklukan kota Mekkah), kemudian beliau melarangnya.1

‫ ( ِإِّنى ُكْنُت‬: ‫َو َع ْن َر ِبْيِع اْبِن َس ُبَر َة َع ْن َأِبْيِه َر ِض َي ُهللا َع ْنُه َأَّن َر ُسْو َل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬
‫َأِذ ْنُت َلُك ْم ِفى ْاِإل ْس ِتْم َتاِع ِم َن الِّنَس اِء َو ِإَّن َهللا َقْد َح َّر َم َذ اِلَك ِإَلى َيْو ِم اْلِقَياَم ِة َفَم ْن َك اَن ِع ْنَد ُه ِم ْنُهَّن َش ْيٌئ‬
‫َفْلُيَح ِّل َس ِبْيَلَها َو َال َتْأُخ ُذ ْو ا ِمَّم ا أَتْيُتُم ْو اُهَّن َشْيًئا) َأْخ َر َج ُه ُم ْس ِلٌم َو َأُبْو ا َداُوَد َو الَّنَس اِئُّى َو اْبُن َم اَج ُه‬
‫َو َأْح َم ُد َو اْبُن ِح َّباَن‬

Dari Rabi' Ibnu Saburah, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa


Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Aku dahulu telah mengizinkan
kalian menikahi perempuan dengan mut'ah dan sesungguhnya Allah telah
mengharamkan cara itu hingga hari kiamat. maka barangsiapa yang masih
mempunyai istri dari hasil nikah mut'ah, hendaknya ia membebaskannya dan jangan
mengambil apapun yang telah kamu berikan padanya." Riwayat Muslim, Abu
Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.

1
Al-Asqalany, Al-Hafidz Ibn Hajar, tt. Buluughul Maroom min Adillatil Ahkaam, Pekalongan: Raja
Mjurah. Hlm.133

2
b. Penjelasan Maksud Hadits

Para ulama tidak mengemukakan satu takrif yang jelas terhadap amalan
pernikahan ini selain sekadar menjelaskan yang intinya adalah seorang lelaki yang
memakai wanita untuk disetubuhi dalam waktu yang telah ditentukan dengan bayaran
sesuai dengan kesepakatan bersama antara mereka, sementara wanita itu tidak berhak
mendapatkan nafkah, malah dia juga tidak wajib beriddah kecuali sampai dia suci.
Mazhab Imamiyah memberikan masa iddahnya hingga sampai dua kali suci.

Oleh kerana mut’ah merupakan pelecehan terhadap kaum wanita kerana


mereka dianggap barang dagangan yang boleh diperjualbelikan, maka Islam
mengharamkannya, meskipun sewaktu diharamkan itu masih berwujud keringanan
yang membolehkannya karena ada alasan-alasan yang jelas.2

Al-Nawawi berkata: “Pengharaman dan pembolehan nikah mut’ah terjadi


sebanyak dua kali. Pertama, nikah ini dibolehkan sebelum Perang Khaibar, kemudian
diharamkan pada waktu Perang Khaibar. Kedua, dibolehkan pada tahun penaklukkan
kota Makkah, kemudian diharamkan untuk selama-lamanya sampai hari kiamat.”

Aspek hukum dari Hadits

Nikah mut’ah adalah haram, dalil-dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama
tentang keharaman nikah mut`ah,antara lain:

1) Firman Allah SWT : "Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara
kemaluannya kecuali terhadap isteri atau jariah mereka: maka sesungguhnya
mereka (dalam hal ini) tiada tercela" (QS. Al-mukminun:5-6).3

Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan


kepada wanita yang berfungsi sebagai isteri atau jariah. Sedangkan wanita yang
2
Al-Asqalany, Al-Hafidz Ibn Hajar, tt. Buluughul Maroom min Adillatil Ahkaam, Pekalongan: Raja
Mjurah. Hlm.134
3
Allusy, Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘, 2004, Ibanah al-Ahkam Syarah Bulugh Al-
Maram, Beirut: Dar al-Fikr. Hlm.90

3
diambil dengan jalan mut`ah tidak berfungsi sebagai isteri atau sebagai jariah. Ia
bukan jariah,karena akad mut`ah bukan akad nikah, dengan alasan sebagai berikut:

- Tidak saling mewarisi. Sedang akad nikah menjadi sebab memperoleh harta
warisan.

- Iddah Mut`ah tidak seperti iddah nikah biasa.

- Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan
kebolehan beristeri empat. Sedangkan tidak demikian halnya dengan mut`ah.

- Dengan melakukan mut`ah, seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, karena


wanita yang diambil dengan jalan mut'ah tidak berfungsi sebagai isteri, sebab
mut`ah itu tidak menjadikan wanita berstatus sebagai isteri dan tidak pula berstatus
jariah. Oleh karena itu, orang yang melakukan mut`ah termasuk didalam firman
Allah: "Barang siapa mencari selain dari pada itu, maka mereka itulah orang yang
melampaui batas"(QS. al-Mukminin :7)4

2) Sebagaimana juga rasulullah, yang diketahui dari perkataan "Tsumma Nuhii


`anhaa" dalam hadist menyebutkan bahwa nikah mut`ah bertentangan dengan
tujuan persyari`atan akad nikah, yaitu untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan
melahirkan keturunan
3) Nikah mut`ah bertentangan juga dengan peraturan perundang-undangan
pemerintah/negara Republik Indonesia tentang perkawinan Islam di Indonesia dan
tidak sah untuk dilakukan, karena dilihat dari tata cara dan tujuan perkawinan
mut’ah, yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam.5

2. Nikah Syighor
4
Allusy, Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘, 2004, Ibanah al-Ahkam Syarah Bulugh Al-
Maram, Beirut: Dar al-Fikr. Hlm.91

5
Allusy, Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘, 2004, Ibanah al-Ahkam Syarah Bulugh Al-
Maram, Beirut: Dar al-Fikr. Hlm.91
4
Yaitu suatu pernikahan yang dilakukan dengan cara tukar menukar anak
perempuannya untuk dijadikan istrinya masing-masing tanpa mas kawin, seperti
seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain : "Nikahkanlah aku dengan anakmu
dan nanti aku nikahkan kamu dengan anakku"6

a. Hadits tentang Nikah Syighor

‫ َأْن ُي َز ِّو َج َالَّرُج ُل‬: ‫ ( َنَهى َر ُسوُل ِهَّللَا صلى هللا عليه وسلم َع ِن الِّش َغاِر ; َو الِّش َغاُر‬: ‫ َع ْن ِاْبِن ُع َم َر َقاَل‬, ‫َو َع ْن َناِفٍع‬
‫ َو َلْيَس َبْيَنُهَم ا َص َداٌق ) ُم َّتَف ٌق َع َلْي ِه َو اَّتَفَق ا ِم ْن َو ْج ٍه آَخ َر َع َلى َأَّن َتْفِس يَر‬, ‫ِاْبَنَتُه َع َلى َأْن ُيَز ِّو َج ُه َاآْل َخُر ِاْبَنَت ُه‬
‫َالِّش َغاِر ِم ْن َكاَل ِم َناِفٍع‬

Nafi' dari Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi


wa Sallam melarang perkawinan syighar. Syighar ialah seseorang menikahkan
puterinya kepada orang lain dengan syarat orang itu menikahkan puterinya
kepadanya, dan keduanya tidak menggunakan maskawin. Muttafaq Alaihi. Bukhari-
Muslim dari jalan lain bersepakat bahwa penafsiran "Syighar" di atas adalah dari
ucapan Nafi'.7

b. Penjelasan Maksud Hadits

Islam telah menetapkan hukum-hakam yang salah satu daripadanya adalah


syarat perkahwinan adalah adanya ijab setelah adanya permohonan, disamping
kewujudan wali, saksi dan menyebut mahar. Jika ada syarat selain itu, maka syarat itu
dianggap batal. Dalam kaitan, Rasulullah (s.a.w) bersabda:

‫َم ا َباُل ُأَناٍس َيْش َتِرُطْو َن ُش ُرْو ًطا َلْيَس ْت ِفي ِكَتاِب ِهللا َم ْن اْش َتَر َط َشْر ًطا َلْيَس ِفي ِكَتاِب ِهللا َفَلْيَس َلُه‬
‫َو ِإْن َش َر َط ِم اَئَة َم َّر ٍة َشْر ُط ِهللا َأَح ُّق َو َأْو َثُق‬

Tiada gunanya orang mempersyaratkan syarat-syarat yang tidak ada di


dalam Kitabullah. Siapa saja yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada dalam

6
Badru Salam, 2006, Terjemah Bulughul Marom, Bogor: Pustaka Ulil Albab. Hlm.125
7
Badru Salam, 2006, Terjemah Bulughul Marom, Bogor: Pustaka Ulil Albab. Hlm.125

5
Kitabullah maka tidak ada hak baginya (atas syarat itu) meskipun ia
mensyaratkannya seratus kali. Syarat Allah lebih layak (diikuti) dan lebih kuat
(untuk dipegangi) (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i).

Demikian pula dengan nikah syighar yang di dalamnya memuatkan syarat


batil, kerana menyimpang dari ajaran Allah. Selain itu, nikah syighar ini pada
hakikathnya adalah menyia-nyiakan hak wanita yaitu mahar.8

Aspek hukum dari Hadits

Meskipun ulama bersepakat mengenai larangan terhadap nikah syighar, tetapi


mereka berbeda pendapat mengenai pernikahan itu sendiri, apakah batal atau tidak.
Menurut Imam al-Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad, pernikahan itu batal.
Menurut mazhab Hanafi dan selain mereka, pernikahan itu sah dan masing-masing
perempuan wajib diberi mahar mitsil.

Menurut Imam al-Syafi’i, jika mahar perkahwinan itu disebutkan sewaktu


akad dilangsungkan, maka pernikahan itu tidak termasuk syighar yang dilarang dalam
agama, kerana nikah syighar adalah nikah yang dilakukan tanpa mahar. Oleh itu,
nikah seperti ini dianggap sah, sementara maharnya tidak ada dan wajib digantikan
dengan memberikan mahar mitsil.9

3. Nikah Tahlil

Yaitu suatu perkawinan antara laki-laki dan wanita yang telah dithalak tiga oleh
suaminya dengan tujuan untuk menghalalkan kembali pernikahan antara wanita
dengan bekas suaminya setelah dia dithalak oleh suaminya yang kedua.

a. Hadits tentang nikah Tahlil


8
Badru Salam, 2006, Terjemah Bulughul Marom, Bogor: Pustaka Ulil Albab. Hlm.126
9
Al-Asqalany, Al-Hafidz Ibn Hajar, tt. Buluughul Maroom min Adillatil Ahkaam, Pekalongan: Raja
Mjurah. Hlm 136

6
‫ ( َلَع َن َر ُسوُل ِهَّللَا صلى هللا عليه وسلم َاْلُمَح ِّل َل‬: ‫َو َع ِن اْبِن َم ْسُعوٍد رضي هللا عنه َقاَل‬
‫ َع ْن َع ِلٍّي‬: ‫ َو َالِّتْر ِم ِذ ُّي َو َص َّح َح ُه َو ِفي َاْلَب اِب‬, ‫ َو الَّنَس اِئُّي‬, ‫َو اْلُمَح َّلَل َل ُه ) َر َو اُه َأْح َم ُد‬
‫َأْخ َر َج ُه َاَأْلْر َبَع ُة ِإاَّل الَّنَس اِئَّي‬

Ibnu Mas'ud berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat muhallil


(laki-laki yang menikahi seorang perempuan dengan tujuan agar perempuan itu
dibolehkan menikah kembali dengan suaminya) dan muhallal lah (laki-laki yang
menyuruh muhallil untuk menikahi bekas istrinya agar istri tersebut dibolehkan untuk
dinikahinya lagi)." Riwayat Ahmad, Nasa'i, Dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut
Tirmidzi.10

b. Penjelasan

Maksud Hadits

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah
orang-orang yang zalim.11

Hadits ini menjelaskan jika talak tiga telah dijatuhkan, maka wanita itu tidak
halal lagi bagi suaminya sampai wanita tersebut menikah dengan lelaki lain. Dalam
kaitan ini, Allah (s.w.t) berfirman:
10
Allusy, Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘, 2004, Ibanah al-Ahkam Syarah Bulugh Al-
Maram, Beirut: Dar al-Fikr. Hlm.93
11
Allusy, Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘, 2004, Ibanah al-Ahkam Syarah Bulugh Al-
Maram, Beirut: Dar al-Fikr. Hlm.94
7
kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.
kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum
Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Surah al-Baqarah:
230)12

Suami kedua mestilah benar-benar ingin menikahi perempuan itu tanpa ada
boleh menikah dengan mantan isterinya yang pernah ditalak tiga itu.

Namun ada sebagian pihak yang melakukan tahlill (cinta buta), di mana
seorang suami menyuruh orang lain untuk menikahi isteri yang telah diceraikannya
supaya halal baginya untuk dinikahi lagi, kemudian Rasulullah (s.a.w) melaknat
muhallil dan muhallal lahu. Dalam riwayat lain disebutkan bahawa muhallil dianggap
sebagai pelacur sewaan. Hadits ini merupakan dalil yang mengharamkan Tahlill.

Aspek hukum dari Hadits

Haram melakukan Tahlill. Haram menghalalkan isteri yang telah ditalak tiga
oleh suaminya dengan melakukan Tahalill, kecuali jika dia menikahinya tanpa niat
untuk menghalalkannaya. Jumhur ulama berpendapat bahawa nikah seperti ini batil,
sementara wanita tersebut tetap tidak halal lagi bagi suaminya yang pertama. Menurut
mazhab Hanafi, nikah dianggap sah namun syaratnya dianggap batal dan wanita
tersebut berhak mendapatkan mahar mitsil. Jika suami kedua menyetubuhinya,
kemudian menceraikannya, maka suami pertama boleh menikahinya setelah masa
iddahnya berakhir.

Dalil mazhab Hanafi adalah perkataan al-muhallil yang membawa maksud


pernikahannya itu adalah sah. Namun jumhur ulama menyanggah pendapat ini
12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT Karya Thoha Putra, 1995.
Hlm.58

8
dengan mengatakan bahawa istilah al-muhallil tidak dapat difahami mengikut makna
yang sebenarnya, kerana Rasulullah (s.a.w) melaknat perbuatan mereka dan laknat
tidak ditujukan kecuali ke atas perbuatan yang diharamkan. Sementara perbuatan
haram dilarang dan perbuatan yang dilarang akan menyebabkan fasid. Al-Tirmidhi
menukil perkataan Waki yang mengatakan sepatutnya perbahasan dalam masalah ini
dinisbahkan kepada ashhabur ra’yi.13

4. Nikah dalam keadaan Ihram

, ‫ ( اَل َيْنِكُح َاْلُم ْح ِر ُم‬: ‫َو َع ْن ُع ْثَم اَن ْبِن َع َّفاَن رضي هللا عنه َأَّن َر ُسوَل ِهَّللَا صلى هللا عليه وسلم َقاَل‬
‫ َو اَل َيْخ ُطُب ) َر َو اُه ُم ْس ِلٌم‬, ‫َو اَل ُيْنِكُح‬

Dari Utsman Ibnu Affan Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu


'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan
menikah, menikahkan, dan melamar." Riwayat Muslim.

‫ ( َتَز َّوَج َالَّنِبُّي صلى هللا عليه وسلم َم ْيُم وَنَة َو ُهَو ُم ْح ِر ٌم ) ُم َّتَفٌق َع َلْيِه‬: ‫ َقاَل‬-‫َرِض َي ُهَّللَا َع ْنُهَم ا‬- ‫َو َع ِن اْبِن َعَّباٍس‬

‫ َع ْن َم ْيُم وَنَة َنْفِسَها ( َأَّن َالَّنِبَّي صلى هللا عليه وسلم َتَز َّوَجَها َو ُهَو َح اَل ٌل‬: ‫َو ِلُم ْس ِلٍم‬

Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam


menikahi Maimunah ketika beliau sedang ihram. Muttafaq Alaihi.

Menurut riwayat Muslim dari Maimunah sendiri: Bahwa Nabi Shallallaahu


'alaihi wa Sallam menikahinya ketika beliau telah lepas dari ihram.14

Penjelasan Hadits

13
Al-Asqalany, Al-Hafidz Ibn Hajar, tt. Buluughul Maroom min Adillatil Ahkaam, Pekalongan: Raja
Mjurah. Hlm 137
14
Allusy, Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘, 2004, Ibanah al-Ahkam Syarah Bulugh Al-
Maram, Beirut: Dar al-Fikr. Hlm.94
Al-Asqalany, Al-Hafidz Ibn Hajar, tt. Buluughul Maroom min Adillatil Ahkaam, Pekalongan: Raja
Mjurah. Hlm 137
9
Hadits pertama dan kedua tidaklah bertentangan antara satu sama lain setelah
menegaskan bahawa hadits pertama tidak membolehkan seorang yang sedang
berihram menikah dan dinikahkan. Namun Ibn ‘Abbas tidak sependapat dengan
kaedah ini. Apapun, menerima hadits ini lebih diutamakan kerana periwayatnya lebih
mengetahui dengan permasalahan ini.

Ibn ‘Abbas berpendapat mengenai firman Allah: “dan engku halal terhadap
negeri ini.”(Surah al-Balad: 2) bahwa Rasulullah (s.a.w) telah dihalalkan untuk
melakukan apa saja dan sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam
kitabnya al-Mustadrak.

Ketika Ibn ‘Abbas mengetahui Rasulullah (s.a.w) menikah dengan Maimunah,


beliau meyakini bahawa baginda melakukan demikian dalam keadaan berihram
kerana baginda memiliki keistimewaan yang dibolehkan baginya melakukan segala
sesuatu di tanah haram. Adapun, tafsiran Ibn Abbas masih diragukan kesahihannya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada beberapa pernikahan yang dilarang dalam agama Islam, diantaranya :


1.Nikah Mut'ah; ialah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang laki-laki
terhadap wanita dengan batas waktu tertentu, misalnya untuk satu hari, satu
minggu dan seterusnya.
2. Nikah Syighor; yakni seorang laki-laki memberikan saudara wanitanya, anak
perempuannya/anak perempuan di bawah perwaliaannya kepada seorang laki-
10
laki dengan imbalan diterimanya anak perempuan/saudara perempuan bawah
perwaliaannya, tanpa memakai maskawin.
3. Nikah Muhallil/Tahlill; suatu bentuk perkawinan yang semata-mata untuk
menghalalkan kembalinya suami kepada mantan istrinya, akibat dari hak rujuk
setelah talak ketiga.
4. Menikah pada saat ihram
5. Menikah dengan bibinya

11
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalany, Al-Hafidz Ibn Hajar, tt. Buluughul Maroom min Adillatil Ahkaam,
Pekalongan: Raja Mjurah

Allusy, Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘, 2004, Ibanah al-Ahkam Syarah
Bulugh Al- Maram, Beirut: Dar al-Fikr.

Badru Salam, 2006, Terjemah Bulughul Marom, Bogor: Pustaka Ulil Albab

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT Karya Thoha


Putra, 1995

12

Anda mungkin juga menyukai