Anda di halaman 1dari 11

HUKUM PERSELISIHAN ISLAM

{ PENGERTIAN NIKAH MUT’A H, PELAKSANAAN NIKAH


MUT’AH, DAN SUMBER HUKUM NIKAH MUT’AH }

Dosen pengampu :

Ali Hamdan, M.ag

Oleh:
Fitria Kholifatun Ni`mah (201955020300089)
A. Pengertian Nikah Mut’ah
Nikah mut`ah atau sering disebut dengan kawin
kontrak adalah pernikahan dalam tempo masa tertentu. Nikah
mut`ah adalah pernikahan dalam masa waktu yang telah
ditetapkan dan setelah itu ikatan perkawinan tersebut sudah
tidak berlaku lagi. Contohnya, seorang lelaki melakukan
perkawinan dengan akad nikah sebagai berikut, "Aku
menikahimu selama satu bulan atau satu tahun." Kemudian,
wanita itu menjawab, "Aku terima." Maka masa nikah suami-
istri akan berakhir dalam waktu sesuai dengan akad tersebut.

2
Nikah Mut'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum
stabilitasnya syari'at islam, yaitu diperbolehkannya pada waktu
berpergian dan peperangan. Akan tetapi kemudian diharamkan.Rahasia
diperbolehkan Nikah Muth'ah waktu itu adalah karena masyarakat islam
pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah
kepada islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang
biasa. Maka setelah islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk
pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu
penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan
adapula yang sebagian tidak kuat imannya.

3
Dari Ar-Rabi' bin Sabrah Al-Juhani berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Wahai
manusia, dahulu aku mengizinkan kamu nikah mut'ah. Ketahuilah bahwa Allah swt telah
mengharamkannya sampai hari kiamat." (HR. Muslim). Karena itulah, para ulama dari seluruh
mazhab pun sepakat bahwa nikah mut'ah hukumnya haram dan memasukannya dalam jenis
pernikahan yang bathil. Bahkan, pelaku nikah disamakan dengan pezina. Sahabat Nabi Muhammad
saw, Umar bin Khattab, menganggap nikah mut'ah sebagai sebuah kemungkaran. Selain itu,
pelakunya diancam dengan hukum rajam, karena tidak ada bedanya dengan zina. Di zaman
sekarang, nikah mut'ah semakin jelas akan keharamannya. Sebab, jika ditinjau dari perspektif
rukunnya, nikah mut'ah dipandang bathil karena ketiadaan saksi, wali, dan pembatasan masa nikah
yang menjadikan nikah tidak sah. Quraish Shihab juga mengatakan, bahwa nikah mut'ah tidak
sejalan dengan tujuan perkawinan yang diharapkan Alquran. Dalam hal ini, suatu pernikahan
tentunya diharapkan langgeng, sehidup dan semati, bahkan sampai hari kiamat.

4
B. Pelaksanaan Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah memiliki beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Menurut ulama Syi’ah,
syarat-syarat tersebut adalah :
1. Baligh
2. Berakal, dan
3. Tidak ada halangan syar’i untuk melangsungkanya seperti adanya pertalian nasab, saudara sesusuan
atau masih menjadi istri orang lain.
Adapaun rukun nikah mut’ah yang harus dipenuhi adalah:
1. Sighat (ikrar nikah mut’ah)
2. Calon istri
3. Mahar/ maskawin,
4. Batas waktu tertentu.
Di samping syarat dan rukun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Calon istri hendaknya wanita muslim atau dianjurkan mengawini wanita baik-baik, sedangkan wanita
tuna susila dihukumkan makruh,
2. Batas waktu harus ditentukan pada saat akad berlangsung, dan
3. Besar kecilnya mahar juga disebutkan pada saat akad, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
5
Pelaksaaan nikah mut‘ah memiliki bentuk ijab-qobul atau ikrar
pernyataan dan penerimaan. Ikrar memerlukan kerelaan dalam melakukan
mut‘ah dan dinyatakan dengan menggunakan pernyataan yang dimengerti
oleh kedua belah pihak. Namun demikian, ketika salah satu pihak tidak
dapat berbicara (bisu) maka ikrar pun dinyatakan dalam bentuk
isyarat.Adapun ikrar yang dimaksud di antaranya ialah: aku mut’ahkan
(matta’tu), aku nikahkan (ankahtu), dan aku kawinkan (zawwajtu).
Persyaratan lain yang harus dipenuhi dalam nikah mut‘ah ialah
menyebutkan mas kawin yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan
menentukan kadarnya, baik dari segi bentuknya maupun jumlahnya
dengancara-cara yang dapat menghilangkan kesalah-pahaman. Selain itu,
mas kawin tersebut harus milik dari suami itu sendiri yang diperolehnya
secara halal baik sedikit ataupun banyak

6
C. Sumber Hukum Nikah Mut’ah
Pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab (581-644) secara tegas
melarang siapa saja yang melakukan nikah mut’ah dengan ancaman hukum
rajam. Larangan Umar ini dapat menghentikan secara total praktek nikah
mut’ah. Keadaan ini tetap terpelihara sampai generasi berikutnya. Dalam
konteks ini al- Hafizh Ibnu Katsir berkata :
‘‘Tidak ada keraguan lagi, nikah mut’ah hanya diperbolehkan pada
permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian
dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian
yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi
beberapa kali.’’
7
Menurut ulama mazhab empat serta jumhur sahabat dan tabi’in, yang dirujuk oleh
kaum Sunni nikah mut’ah untuk selanjutnya dilarang. Ada beberapa hal yang menjadi
dasar larangan tersebut yaitu:
1. larangan Rasulullah SAW., dalam beberapa hadis. Menurut Ibnu Rusyd larangan
tersebut diketahui secara mutawatir. Seluruh hadis yang memuat larangan ini menurut ahli
hadis adalah shahih.
2. Di antaranya adalah hadis riwayat Ibnu Majah, Rasulullah SAW., bersabda, “Wahai
sekalian manusia, aku telah membolehkan kalian melakukan nikah mut’ah. Ketahuilah!
Sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat nanti.”
3. Sebagian ulama berpendapat bahwa keharaman nikah mut’ah dalam Islam sudah
merupakan hasil ijma’.
4. Dilihat dari tujuannya, nikah mut’ah hanya untuk memenuhi kebutuhan syahwat, bukan
untuk menjaga kesejahteraan dan kelangsungan keturunan, sebagaimana diharapkan dari
perkawinan.

8
Sementara itu, beberapa ulama lainnya di kalangan sahabat dan tabi’in,
antara lain Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas memandang sebaliknya, yakni nikah
mut’ah masih boleh dilakukan. Hal ini didasarkan pada surah an-Nisa’ (4)
ayat 24:
Artinya: ‘‘Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan
hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu, dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (QS. al-Nisaa’ : 24).’’
9
Dalam satu qiraatnya, mereka menambahkan kalimat ilaa ajal
musamma (sampai batas waktu tertentu), sehingga ayat tersebut dapat
dijadikan acuan hukum dalam memperbolehkan nikah mut’ah.
Menurut Ibnu Abbas, nikah mut’ah diperbolehkan sejauh dibutuhkan
dan dalam situasi darurat atau terpaksa seperti hal-ya waktu perang.
Dalam pembahasan fiqihnya, Syi’ah berkeyakinan, bahwa nikah
mut’ah masih dibolehkan berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan
Qiyas. Mereka juga berpendapat bahwa mut’ah adalah sebuah solusi
untuk menghindarkan seseorang dari perzinaan.

10
Thanks!
Any questions?

Anda mungkin juga menyukai