Anda di halaman 1dari 3

A.

Nikah Mut’ah
1. Pengertian Nikah mut’ah
Nikah mut’ah adalah akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap
perempuan dengan memakai lafadz “tamattu, istimta” atau sejenisnya. Ada yang
mengatakan nikah mut’ahdisebut juga kawin kontrak (muaqqat) dengan jangka waktu
tertentu atau tak tertentu, tanpa wali atau saksi. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa nikah
mut’ah disebut juga kawin sementara atau kawin putus, karena laki-laki yang mengawini
perempuannya itu menentukan waktu, sehari atau seminggu, atau sebulan. Dinamakan
mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang temporer. 1 Mut’ah juga
berarti, memungut (mengambil, memetik) hasil atay buah; kesenangan, kenikmatan
(usufruct, enjoyment). Jadi nikah mut’ah adalah nikah yang di lakukan seseorang dengan
tujuan semata-mata untuk melepaskan hawa nafsu dan bersenang-senang untuk
sementara waktu. Nikah tersebut dilarang karena di lakukan untuk waktu yang terbatas
dan tujuannya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan yang di syari’atkan

Lalu definisinya dirumuskan oleh beberapa Ahli, antara lain:

a. Ibnu Qudāmah
Nikah mut'ah adalah adanya seseorang mengawini wanita (dengan terikat) hanya
waktu yang tertentu saja, misalnya (seorang wali) mengatakan: Saya mengawinkan
putriku dengan engkau selama sebulan, atau setahun, atau sampai habis musim ini,
atau sampai berakhir perjalanan haji ini dan sebagainya. Sama halnya dengan waktu
yang telah ditentukan atau yang belum.
b. Sayyid Sabiq mengatakan
Perkawinan mut'ah adalah adanya seorang pria mengawini wanita selama sehari,
atau seminggu, atau sebulan. Dan dinamakan mut'ah karena laki-laki mengambil
manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan bersenang-
senang sampa kepada waktu yang telah ditentukannya. 2

2. Syarat dan Rukun Nikah Mut’ah Menurut Syi’ah

Syarat-syarat nikah mut’ah menurut Syi’ah Imammiyah adalah sebagai berikut:


a. Ucapan ijab qabulnya dengan lafadz “zawwajtuka atau ankahtuka atau
matta’tuka.
b. Isterinya harus seorang muslimah atau kitabiyah. Tetapi diutamakan muslimah
yang tahu menjaga diri atau tidak suka berzina.
c. Harus dengan mahar dan harus disebutkan maharnya (boleh dengan membawa
saksi) yang diperhitungkan jumlahnya dengan suka sama suka, sekalipun
jumlahnya hanya segenggam gandum.
d. Batas waktunya jelas dan hal ini menjadi syarat dalam pernikahan.
e. Diputuskan berdasarkan persetujuan masing-masing umpamanya sehari,
sebulan atau setahun, pokoknya harus ada batasan waktu. 3

3. Hukum nikah mut’ah

1
Beni Ahmad Soebani, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 55
2
Mahmuddin, Masail Al Fiqh, (jakarta: kalam Mulia, 2016), h 56
3
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid ke-2, (Damaskus: Dar al-Fiqr, 1404H.), h. 37
Nikah mut’ah pada awal Islam mubah, dalam hadist dijelaskan bahwa Nabi saw.,
pernah mengizinkannya dalam suatu peperangan dan sahabat dalam kondisi berat
membujang (meninggalkan isteri berbulan-bulan), namun kemudian ditetapkan secara
pasti bahwa beliau melarang pernikahan mut’ah dan menasekh (menghapus)
kebolehannya. Larangan kemudianini melalui periwayatan yang mencapai tingkat
mutawattir. Beliau melarang nikah mut’ah ini terjadi sampai enam kali dalam enam
peristiwa untuk memperkuat penghapusan tersebut. 4Oleh karena itu, mayoritas fuqaha’
berpendapat batal dan tidak sah nikah mut’ah. Tidak ada yang berbeda pendapat
tersebut kecuali syi’ah Imamiyah yang masih memperbolehkannya. Jumhur ulama’
membatalkan nikah mut’ah dengan beberapa dalil yang diambil dari al-Qur’an, sunah,
dan ijma’ para ulama, diantaranya adalah firman Allah swt., Firman Allah swt., dalam
surat al-Mukminun ayat 5-6 :

‫ِظ ْو َن‬ُ ‫  َوا لَّ ِذي َْن ُه ْم لِفُر ُْو ِج ِه ْم ٰحف‬


ۤ
ْ ‫  ِااَّل َع ٰلى اَ ْز َوا ِج ِه ْم اَ ْو َما َملَـ َك‬
‫ت اَ ْي َما ُن ُه ْم َف ِا َّن ُه ْم غَ ْي ُر َملُ ْو ِمي َْن‬

Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-


isteri mereka atau budak yang mereka miliki;18 Maka Sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada tercela”. (QS. al-Mu’munun: 5-6).

Dalam dua ayat tersebut Allah swt., hanya membolehkan mengawini wanita
dengan dua jalur, yaitu jalur beristeri dengan wanita dan jalur pemilikan budak dan
melarang selain dua jalur tersebut dalam firmannya dalam surat al-Mukminun ayat 7:

‫ِئك ُه ُم ْال ٰعد ُْو َن‬ ٓ ٰ ُ ‫  َفمن ا ْب َت ٰغى ورٓاء ٰذلِك َفا‬
َ ‫ول‬ َ َ َ َ ِ َ
Artinya: “ Barangsiapa mencari yang di balik itu,19 Maka mereka Itulah orang-
orang yang melampaui batas” (QS. al-Mukminun: 7).

Nikah mut’ah keluar dari dua jalur yang diperbolehkan tersebut, karena dalam
nikah mut’ah status wanita bukan isteri menurut consensus ulama sehingga Syi’ah
sendiri tidak mengatur hak-hak wanita adaikan sebagai isteri seperti nafkah dan harta
warisan. Demikian juga dalam pernikahan syar’i menimbulkan hukum nasab, dalam
nikah mut’ah tidak ditetapkan nasab.

Nikah mut'ah di larang oleh syara' , pelarangan tsb di bawa oleh 4 madzhab kita .
seperti dari imam syafi'i di kitabnya al Um jus 7 halaman 85 ,

‫ زوجتك ابنتي يوما‬:‫ نكاح المتعة هو أن يقول‬:‫ وعرفوه بقولهم‬،‫يعتبره الشافعيةـ من أنواع األنكحة المحرمة‬
‫أو شهرا‬

Dan imam nawawi di kitab Al Majmu'nya jus 17 halaman 356 ,

4
Rudi santoso, Hukum Nikah Mut’ah Pendekatan Tekstual Dan Kontekstual, El-Izdiwaj: Indonesian Journal of
Civil and Islamic Family Law, Lampung. Vol. 1 No.1, Januari-Juni 2020
‫وقالوا‪ :‬إنه ال يجوز هذا النكاح‪ ،‬واستدلوا على ذلل بحديث علي رضي هللا عنه السابق ‪-‬وهو تحريم الرسول‬
‫صلى هللا عليه وسلم للمتعة زمن خيبر وقالوا إنه عقد يجوز مطلقا ً فلم يصح مؤقتة كالبيع‪ ،‬وإنه نكاح ال يتعلق به‬
‫الطالق والظهار واإلرث وعدة الوفاة‪ ،‬فكان باطال كسائر األنكحة الباطلة‬

‫‪Juga di kitab fiqh islamiyah wa adilatuh , dr, wabah az zuhaili jus 9 halaman 6612‬‬
‫‪(maktabah syamilah) ,‬‬

‫‪ .‬وهو النكاح إلى أجل ‪ .‬وإن تزوج بشرط الخيار بطل العقد؛ ألنه عقد يبطله التوقيت‪ ،‬فبطل بالخيار كالبيع‬

‫‪Sama juga dari kitab fiqh islamiyah wa adilatuh Jus 9 halaman 6611 (maktabah‬‬
‫‪syamilah) , sepakat dari jumhur ulama'  . bahwa ,‬‬

‫وأما نكاح المتعة‪( ‬وهو أن يقول المرأة‪ :‬أتمتع بك لمدة كذا)‪ ‬والنكاح المــؤقت‪( ‬وهو أن يــتزوج امــرأة عشــرة‬
‫أيــام مثالً)‪ ‬فهو باطــل‪ ،‬أما األول فباإلجمــاع ما عــدا الشــيعة عمالً عنــدهم بــرأي ابن عبــاس وجماعة من الصــحابة‬
‫والتــابعين‪ ،‬وأما الثــاني فبطالنه عند الجمهــور؛ ألنه أتى بمعــنى المتعــة‪ ،‬والعــبرة في العقــود للمعــاني‪ ،‬وأجــازه زفر‬
‫والشيعة‪ ،‬وقول زفر‪ :‬هو أنه صحيح الزم؛ ألن النكاح ال يبطل بالشروط الفاسدة ‪ .‬وقد سبق تفصيل الكالم فيه‬

‫‪Daftar pustaka‬‬

‫‪‬‬ ‫)‪Beni Ahmad Soebani, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999‬‬
‫‪‬‬ ‫‪Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid ke-2, Damaskus: Dar al-Fiqr, 1404H.‬‬
‫‪‬‬ ‫‪Rudi santoso, Hukum Nikah Mut’ah Pendekatan Tekstual Dan Kontekstual, El-Izdiwaj:‬‬
‫‪Indonesian Journal of Civil and Islamic Family Law, Lampung. Vol. 1 No.1, Januari-Juni 2020‬‬
‫‪‬‬ ‫)‪Mahmuddin, Masail Al Fiqh, (jakarta: kalam Mulia, 2016‬‬

Anda mungkin juga menyukai