Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ruju’

Menurut bahasa Arab, kata ruju’ berasal dari kata raja’a-yarji’u-rujk’an


yang berarti kembali, dan mengembalikan. dalam istilah hukum Islam, para
fuqaha mengenal istilah ruju dan istilah raj’ah yang keduanya semakna1.

Sedangkan menurut para fuqaha, rujuk ialah sebagai berikut :

a. Menurut Ulama Hanafiyah sebagaimana dikemukakan oleh Abu Zahrah,


rujuk ialah melestarikan perkawinan dalam masa iddah (raj’i)2
b. Menurut Imam Syafi’I rujuk ialah mengembalikan status hukum
perkawinan sebagai suami isteri di tengah-tengah iddah setelah terjadinya
talak (raj’i)3
c. Menurut Imam Malik rujuk adalah kembalinya isteri yang telah ditalak
selain ba’in, kepada perlindungan suami, dengan tanpa ada pembaharuan
akad serta dalam masa iddah4
d. Menurut Imam Hambali rujuk adalah mengembalikan keadaan isteri
kepada keadaan yang semula setelah terjadinya talak raj’i dan masih
berada dalam masa iddah tanpa akad yang baru5
e. Menurut Al-Mahalli rujuk adalah kembali ke dalam hubungan perkawinan
dari cerai yang bukan bain, selama dalam masa iddah6

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ruju’ ialah mengembalikan status hukum


perkawinan secara penuh setelah terjadinya talak raj’I yang dilakukan oleh
bekas suami kepada bekas isterinya dalam massa iddah dengan cara terentu.

B. Dalil tentang Ruju’

1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, Jakarta, Kencana, 2008, hal. 285
2
Ibid,
3
Ibid, hal. 286
4
Abd. Ghofar, ar Raja’ah fi al-Islam, 21
5
Ibid
6
Amin Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2009, hal. 337

1
1. Q.S Al-Baqarah ayat 229
ُۢ ‫انُفإ ِ ۡمس‬
ُۢ ‫اكُبِمعۡ روفٍ ُأ ۡوُت ۡس ِر‬ َٰ َّ
ُ‫يحُبُِإِ ۡح َٰسن‬ ِ ِۖ ‫ٱلطلقُُم َّرت‬
Artinya: “ Thalaq itu dua kali, sesudah itu tahnlah dengan baik atau
lepaskanlah dengan baik”

2. Q.S Al-Baqarah ayat 228

ُ‫يُذ ِلكُ ِإ ۡنُأرُاد ٓواُُُِإصۡ َٰل ٗح ۚا‬


َٰ ‫وبعولته َّنُأح ُّقُبر ِد ِه َّنُ ِف‬
ِ
Artinya: “ suaminya lebih berhak untuk kembali kepadanya dalam
hal itu jika mereka berkehendak untuk damai”

3. Q.S Al-Baqarah ayat 231

ِ ُ ‫و ِإذا ُطلَّ ۡقتم‬


ۚ ‫ٱلنسآءُ ُفبل ۡغن ُأُجله َّن ُفأ ۡمسِكوهُ َّنُ ِبمعۡ روفٍ ُأ ۡوَُس ِرحوه َّنُ ِبمعۡ ر‬
ُ‫وفُوَُل‬
ۚ ‫اُلتعۡ تد‬
ُ‫واُومنُي ۡفع ۡل َُٰذ ِلكُفقُ ۡدُظلمُن ۡفسه‬ ِ ‫ت ۡمسِكوه َّن‬
ِ ‫ُضر ٗار‬
Artinya: “ apabila kamu mentalaq isteri-isterimu, lalu dekat kepada
iddahnya maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf pula. Janganlah rujuki
mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
menganiyaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian maka sungguh ia
telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri”.

4. Ibnu Umar berkata: “ saya menceraikan isteri saya sedang dalam haid,
maka umar bertanya padanabi SAW tentang itu.” Nabi bersabda: “
suruhilah dia merujuk isterinya.” (H.R Muttafaq Alaih)7
5. “Perintahlah ia (anakmu) hendaklah ia merujuk istrinya lalu
memeliharanya sehingga ia suci dari haid kemudian haid, kemudian
suci lagi, kemudian jika ia mau hendaklah ia pelihara sesudah itu, atau
jika ia berkehendak boleh ia mentalaknya sebelum ia mencampurinya,

7
Ibid, hal 339

2
demikian itulah waktu yang didirikan Allah bagi suami untuk mentalak
istrinya. (Muttafaq Alaih)8
C. Hukum Ruju’
a. Wajib, terhadap suami yang menalak salah seorang istrinya sebelum ia
sempurnakan pembagian waktunya terhadap istrinya yang ditalak.
b. Haram, apabila ruju’nya itu menyakiti si istri.
c. Makruh, jika perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya.
d. Jaiz (boleh), ini adalah hukum ruju’ yang asli.
e. Sunnat, jika maksud suami adalah untuk memperbaiki keadaan istrinya
atau ruju’ itu lebih berfaedah bagi keduanya.9

Sementara itu, Ibnu Rusyd10 membagi hukum ruju’ kepada dua:


hukum ruju pada talak raj’I dan hukum ruju’ pada talak ba’in.

a. Hukum Ruju’ pada Talak Raj’i

Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak


meruju istri pada talak raj’I, selama istri masih berada dalam masa iddah,
tanpa mempertimbangkan persetujuan istri.

b. Hukum Ruju’ padaTalak Ba’in

Hukum ruju’ setelah talak ba’in sama dengan nikah baru, yakni
tentang persyaratannya adanya mahar, wali dan persetujuan. Hanya saja
jumhur Fuqaha berpendapat bahwa untuk perkawinan ini tidak
dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.

Hukum ruju’ padatalak ba’in dapat diperinci menjadi dua:

1. Talak Ba’in karena Talak Tiga


Mengenai isteri yang ditalak tiga, para ulama mengatakan bahwa ia
tidak halal lagi lagi bagi suaminya yang pertama, kecuali sesudah digauli
(oleh suami lain).

8
Ujang Dedih, Fiqih Munakahat dan Mawaris, Bandung: CV Insan Mandiri, 2013, Hal. 100
9
Ibid, Hal.101
10
Abul Rahman Ghozali, Op.Cit, hal. 289

3
2. Nikah Muhallil

Imam Malik berpendapat bahwa nikah tersebut rusak dan harus


difasakh, baik sesudah maupun setelah terjadi pergaulan. Demikian pula
syarat tersebut rusak dan tidak berakibat halalnya perempuan tersebut.

Imam Syafi’I dan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil


dibolehkan, dan niat untuk menikah itu tidak mempengaruhi sahnya.

Segolongan fuqaha lainnya berpendapat bahwa pernikahan


muhallil itu dibolehkan, tetapi syarat untuk menceraikan isteri dan
menyerahkan bagi suami pertama adalah batal. Yakni bahwa syarat
tersebut tidak menyebabkan kehalalan isteri yang dikawini tahlil.

D. Rukun dan Syarat Ruju’


1. Laki-laki yang meruju’istri
Adapun syarat bag laki-laki yang meruju’ itu adalah sebagai berikut:
a. Laki-laki yang meruju’ adalah suami bagi perempuan yang diruju’
yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah.
b. Laki-laki yang meruju’ itu mestilah seseorang yang mampu
melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu, yang telah
dewasa dan sehat akalnya dan bertindak dengan kesadarannya
sendiri.
2. Perempuan yang diruju’
Adapun syarat sahnya bagi perempuan yang diruju’ adalah:
a. Perempuan itu adalah istri yang sah dari laki-laki yang meruju’.
b. Istri itu telah diceraikannya dalam bentuk talak raj’i. tida sah
meruju’ istri yang masih terikat dalam tali perkawinan atau telah
ditalak namun dalam bentuk talak ba’in.
c. Istri itu masih berada dalam iddah talak raj’i.
d. Istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu.
3. Adanya ucapan ruju’

4
a. Secara terang-terangan misalnya, dikatakan “saya kembali kepada
istri saya,”
b. Melalui sindiran, misalnya “saya pegang engkau”.
4. Kesaksian dalam ruju’
Sebagian ulama termasuk salah satu pendapat Imam As-Syafi’I
mensyaratkan adanya kesaksian dua orang saksi sebagaimana yang
berlaku dalam akad nikah.
Pendapat kedua yang beralaku di kalangan Jumhur Ulama,
diantaranya Imam Ahmad mengatakan bahwa ruju’ itu tidak perlu
dipersaksikan, karena ruju’ itu hanyalah melanjutkan perawinan yang
telah terputus dan bukan memulai nikah baru.
Menurut Ulama Syai’ah Imamiyah mempersaksikan ruju’ itu
hukumnya hanyalah sunnah.11

Sedangkan syarat ruju’ yang terdapat dalam KHI terdapat dalam


pasal 104 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut:

“Ruju’ dapat dilakukan dengan syarat-syarat berikut:

a. Bekas istri sudah dicampuri


b. Talak yang telah diatuhkan tiada disertai dengan iwad dari pihak
istri
c. Ruju itu dilakukan waktu bekas istri masih dalam iddah.
d. Ruju’ itu dilakukan dengan diikrarkan dengan lisan menurut
Syafi’I dan boleh dilakukan dengan perbuatan menurut Jumhur”.
E. Tujuan dan Hikmah Ruju’
Diaturnya ruju’ dalam hukum syara’ karena padanya terdapat
beberapa hikmah yang akan mendatangkan kemaslahatan kepada manusia
atau menghilangkan kesulitan dari manusia. Banyak orang yang
menceraikan istrinya tidak dengan pertimbangan yang matang sehingga
segera setelah putus perkawinan penyesalan di satu atau kedua pihak. Dalam

11
Amir Syarifuddin, Op.Cit Hal. 44

5
keadaan menyesal itu sering timbul keinginan untuk kembali dalam hidup
perkawinan, namun akan memulai perkawinan baru akan menghadapi
beberapa kendala dan kesulitannya. Adanya lembaga ruju’ ini
menghilangkan kendala dan kesulitan tersebut.
Seorang istri yang berada dalam iddah talak raj’i disatu sisi
diharuskan tinggal dirumah yag disediakan oleh suaminya, sedangkan
suamipun dalam keadaan tertentu diam dirumah itu juga, disisi lain dia tidak
boleh bergaul suaminya itu. Maka, terjadilah kecanggungan psikologis
selama dalam masa iddah itu. Untuk keluar dari kecanggungan itu Allah
memberi pilihan yang mudah diikuti yaitu kembali kepada kehidupan
perkawinan sebagai mana semula. Kalau tidak mungkin ya, meninggalkan
istri sampai habis masa iddah nya sehingga pekawinan betul-betul menjadi
putus atau ba’in. 12
F. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Cara Ruju’
Beberapa pendapat para fuqaha tentang cara ruju’ :
1. Imam Syafi’I mengatakan ruju’ harus dilakukan dengan ucapan atau
Tulisan. Karena itu, ruju’ tidak sah bila dilakukan dengan
mencampurinya, sungguh pun hal itu diniatkan sebagai ruju’. Suami
haram mencampurinya dalam iddah. Kalau dia melakukan dalam hal itu,
ia harus membayar mahar mitsil, sebab pencampuran tersebut tergolong
pada pncampuran subhat.
2. Imam Maliki mengatakan : ruju’ boleh atau sah dilakukan melalui
perbuatan yang disertai dengan niat untuk ruju’ akan tetapi apabila tanpa
niat ruju’ wanita tersebut tidak bisa kembali menjadi istrinya namun
pencampuran itu tidak mengakibatkan adanya hukuman maupun
keharusan membayar mahar.
3. Imam Hambali mengatakan ruju’ hanya terjadi melalui pencampuran.
Begitu terjadi pencampuran ruju’pun terjadi sekalipun suami tidak
berniat ruju’. Sedangkan bila tindakan itu bukan pencampuran misalnya

12
Ibid. hal. 340

6
sentuhan atau ciuman yang disertai birahi tidak mengakibatkan
terjadinya ruju’
4. Imam Hanafi mengatakan ruju’ bisa terjadi melalui percampuran
sentuhan, ciuman dan hal-hal yang sejenisnya, yang dilakuka oleh laki-
laki yang menalak dan wanita yang ditalak nya dengan syarat semuanya
itu disertai degan birahi. Ruju’ juga bisa terjadi melalui tindakan yang
dilakukan oleh orang tidur, lupa, dipaksa, dan gila. Misalnya seorang
laki-laki menalak istrinya kemudian ia terserang penyakit gila. Lalu
istrinya itu dicampurinya sebelum ia habis masa iddahnya.
5. Imamiyah mengatakan ruju’ bisa terjadi melalui percampuran
berciuman dan sentuhan yang disertai dengan syahwat atau tidak dan
lain sebagaiya yang tidak halal dilakukan kecuali suami ruju’ tidak
membutuhkan pendahuluan berupa ucapan. Sebab wanita tersebut
adalah istrinya, sepanjang ia masih dalam masa iddah, bahkan perbuatan
tersebut tidak perlu disertai niat ruju’.

Kesimpulan dari perbedaan diatas bahwasanya imam syafi’I


berpendapat ruju’ itu dipersamakan dengan pernikahan, dan Allah telah
memerintahkan untuk diadakan penyaksian, sedangkan penyaksian tidak
terdapat kecuali pada kata-kata.

Perbedaan pendapat mengenai imam malik dan Abu Hanifah


disebabkan imam abu hanifah berpendapat bahwa ruju’ mengakibatkan
halalnya pergaulan karenadipersamakan dengan istri yang terkena
ialaa(sumpah tidak akan menggauli istri) dan istri yang terkena zihar
(pengharaman istri untuk dirinya) disamping karena hal milik atas istri
belum terlepas daripadanya. Sehingga terdapat hubungan saling mewarisi
antara keduanya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa menggauli
istri yang ditalak raj’I adalah haram, sehingga suami meruju’ dengan adanya
niat.13

13
Ibid Hal. 102

7
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 167 sampai dengan pasal 169
dijelaskan mengenai tata cara melaksanakan rujuk. Adapun bunyi pasal
tersebut adalah:

Pasal 167:
1. Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke
Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami isteri dengan membawa penetapan tentang
terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan.
2. Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri di hadapan Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
3. Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa
dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-
syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan
dilakukan itu masih dalam masa iddah talak raj’i, apakah perempuan yang
akan dirujuk itu adalah isterinya.
4. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing masing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
5. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah menasihati suami isteri tentang hukum-hukum dan
kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168:
1. Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-
masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada
Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai suratsurat keterangan
yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftar Rujuk dan yang lain
disimpan.
2. Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah
rujuk dilakukan.

8
3. Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,
dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.
Pasal 169:
1. Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk
dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya
talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan isteri masing-masing
diberikan Kutipan Buku Pendaftar Rujuk menurutcontoh yag ditetapkan
oleh Menteri Agama.
2. Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftar
Rujuk tersebut datang ke Pengadiln Agama di tempat berlangsungnya talak
dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-
masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama
dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa
yang bersangkutan telah rujuk
3. Catatan yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk
diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftar Rujuk dan tanda
tangan Panitera. Ketentuan tentang pencatatan rujuk ini hanya didasarkan
kepada konsep maslahat mursalah, karena tidak ada nash yang
mengaturnya. Dasar konsep ini adalah untuk membangun suatu hukum
untuk mewujudkan kemaslahatan umat, sebab sebagaimana nikah rujuk pun
hanya bisa dibuktikan dengan akta. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga
ketertiban hukum dan administrasi dalam masyarakat14
G. Pencatatan Ruju’ menurut UU No. 22 Tahun 1946
Dalam UU No. 22 Tahun 1946 ditetapkan bahwa:
1. Ruju’ yang dilakukan menurut agama islam diberitahukan kepada
PPN.

14
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal. 74

9
2. Jika seorang suami melakukan ruju’ kepada istrinya yang telah dicerai
(yang ada dalam masa iddah) tidak memberitahukan kepada PPN
selama seminggu setelah ruju’, dihukum sebesar-besarnya 50 rupiah.

Dalam dua pasal tersebut terdapat ketentuan bahwa ruju’ tidak mesti
dilakukan di hadapan PPN. Akan tetapi, ruju’yang tidak dilakukan di
hadapan PPN wajib dilaporkan kepada PPN untuk dicatat.15

DAFTAR PUSTAKA
Ghozali, Abdul Rahman. 2008. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana

15
Ibid Hal.104

10
Syarifuddin, Amin. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana

Dedih, Ujang. 2013. Fiqih Munakahat dan Mawaris. Bandung: CV Insan Mandiri

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia , Direktorat Pembinaan Badan Peradilan


Agama Islam,2001

11

Anda mungkin juga menyukai