Anda di halaman 1dari 76

1.

HUKUM KELUARGA DALAM ISLAM

A. Transaksi atau akad perkawinan


1) Pengertian akad perkawinan
Perkawinan atau akad nikah yaitu: secara bahasa berhimpun antara laki-laki
dan perempuan. Sedangkan menurut syara’ yaitu suatu transaksi yang
memperkawinkan antara laki-laki dan perempuan dengan lafadz tertentu.
2) Dasar hukum akad perkawinan
Terdapat dalam Q.S Ar-Rum ayat 21
‫ت لِقَوْ ٍم‬ َ ِ‫ق لَ ُك ْم ِم ْن أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ْز َواجًا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرحْ َمةً ۚ إِ َّن فِي ٰ َذل‬
ٍ ‫ك آَل يَا‬ َ َ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه أَ ْن خَ ل‬
َ‫يَتَفَ َّكرُون‬

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.

3) Hukum-hukum di syariatkannya menikah


a. Wajib , apabila sesorang laki-laki sudah balig, berakal, dan sudah mampu
memikul tanggung jawab, jika tidak menikah dikhawatirkan akan
melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah.
b. Haram, apabila seseorang laki-laki tidak sanggup memikul tanggung jawab
suami istri
c. Sunnah, apabila seseorang itu mampu memikul tanggung jawab suami istri
dan mampu mengendalikan diri dari yang dilarang oleh Allah.
4) Rukun perkawinan
Menurut imam Hanafi dan Hambali
a. Ijab
b. Qabul
Sedangkan secara umum, rukun perkawinan itu terdiri dari:
a. Wali
b. Wajib minta izin sebelum menikah
c. Ada 2 orang saksi

1
d. Mahar
e. Ijab dan qabul
B. Talak (cerai)
1) Pengertian talak
Kata talak berasal dari bahasa Arab artinya menurut bahasa melepaskan
ikatan. Adapun talak menurut istilah syariat Islam ialah melepaskan atau
membatalkan ikatan pernikahan dengan lafadz tertentu yang mengandung arti
menceraikan. Talak merupakan jalan keluar terakhir dalam suatu ikatan
pernikahan antara suami isteri jika mereka tidak terdapat lagi kecocokan dalam
membina rumah tangga.
Sebagaimana keharusan yang mesti ada pada bentuk-bentuk akad dan
transaksi yang lain, untuk keabsahan talak juga mesti memenuhi rukun dan
syarat itu, berbeda pengertiannya menurut pakar hukum Islam, namun
konsekwensi yang ditimbulkan keduanya apabila tidak terpenuhi dalam suatu
akad atau transaksi, relative sama, yaitu tidak sahnya akad atau transaksi
tersebut.
2) Rukun Talak
a. Kata-kata talak
b. Suami yang menjatuhkan talak
c. Istri yang dapat di jatuhkan talak
menurut ulama Malikiyah, rukun talak itu ada empat, yaitu:
a. Orang yang berkompeten melakukannya. Maksudnya, orang yang
menjatuhkan talak itu adalah suami atau wakilnya (kuasa hukumnya)
ataupun wali, jika ia masih kecil.
b. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, orang yang menjatuhkan talak itu
sengaja membacakan lafal-lafal yang termasuk kategori lafal shrih atau
lafal kinayah yang jelas.
c. Isteri yang dihalalkan. Maksudnya talak yang dijatuhkan itu mesti
terhadap isteri yang telah dimiliki melalui suatu pernikahan yang sah.
d. Adanya lafal, baik bersifat sharih ataupun termasuk kategori lafal kinayah.
3) Syarat Talak
Dalam menetapkan syarat-syarat yang terpenuhi untuk keabsahan talak
ini juga terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Secara umum,  mereka
dapat dikelompokkan kepada Hanafiyyah dan selain  Hanafiyyah.

2
Menurut ulama  dari kalangan Hanafiyyah, syarat-syarat talak yang
mesti tdipenuhi tersebut diklasifikasikan kepada tiga kategori, yaitu ada yang
terdapat pada suami, terdapat pada isteri dan ada terdapat pada rukun halal
atau lafal itu sendiri.
A. Syarat-syarat yang terdapat pada suami
Adapun syarat-syarat yang terdapat pada suami itu adalah:
a) Suami mesti orang yang berakal
Oleh  karena iu orang gila dan anak kecil tidak sah talaknya,
sebab keduanya tidak berakal, sementara berakalnya seseorang
merupakan syarat cakap untuk bertindak hukum
Ketentuan ini disandarkan kepada Hadits Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Arba'ah kecuali al-Tarmidzi sebagai
berikut:
‫ع القلم عن‬ll‫ال رف‬ll‫عن عائشة رضي هللا عنها أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ق‬
‫ل‬ll‫تى يعق‬ll‫ون ح‬ll‫ثالثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصغير حتى يكبر وعن المجن‬
1
)‫ وصححه الحاكم وأخرجه ابن حبان‬l‫أو يفيق (رواه أحمد واألربعة إال الترمذي‬
Artinya: "Diterima dari Aisyah r.a., dqari Nabi SAW  bahwa ia
bersabda: dibebaskan dari tiga macam orang, yaitu dari orang tidur
hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa dan dari orang
gila hingga ia ingat atau sadar" (H.R. Ahmad dan al-Arba'ah kecuali
al-Tirmidzi. Hadits dianggap shahih oleh al-Hakim dan jug
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban).

b) Suami itu tidak dungu, bingung, pitam ataupun sedang tidur.2Dasar


hukum tidak sahnya talak orang dungu dan bingug tersebut adalah
hadits Nabi SAW berikut:
‫كل طالق جائز إال طالق الصبي والمعتوه‬
"Setiap talak boleh kecuali talak anak kecil dan orang bodoh"

c) Suami itu telah Baligh.3


Oleh karena itu, apabila anak kecil menjatuhkan talak maka
talknya tidak sah.Ketentuan ini didasarkan kepada dua buah hadits
diatas.

1Al-Kahlaniy, op.cit., h. 180-181. Lihat juga al-Baqiy, op.cit., h. 658

2Ibid,. h. 658
3Ibid,. h. 658

3
d) Suami itu mesti meniatkan untuk menjatuhkan talak, jika ia
menjatuhkan talak melalui lafal kinayah.
B. Syarat-syarat yang terdapat pada wanita
adalah bahwa wanita tersebut adalah miliknya atau masih berada
dalam masa 'iddah talak. Oleh karena itu, apabila seorang laki-laki
menjatuhkan talak kepada wanita yang bukan isterinya atau tidak berada
dalam masa 'iddah maka talaknya tidak sah.Ketentuan ini berdasarkan
kepada hadits Nabi SAW, di antaranya adalah:
‫م ال نذر البن آدم فيما‬.‫عن عمرو بن سعيب عن أبيه عن جده قال قال رسول هللا ص‬
‫وا داود‬ll‫ه أب‬ll‫ك (أخرج‬ll‫ا ال يمل‬ll‫ه بيم‬ll‫ق ل‬ll‫ك وال طل‬ll‫ا ال يمل‬ll‫ه فيم‬ll‫ق ل‬ll‫ك وال عت‬ll‫ال يمل‬
4
)‫ وصححه ونقل عن البخاري أنه أصح ما رواه فيه‬l‫والترمذي‬
"Diterima dari 'Amru Bin Syu'aib, dari Bapaknya dari kakeknya, ia
berkata bahwa Nabi SAW pernah bersabda: Tidak ada (kewajiban
menunaikan) nadzar bagi anak adam (manusia) terhadap nadzar yang
tidak ia miliki, tidak ada kemerdekaan budak baginya terhadap apa yang
tidak ia miliki dan tidak ada talak baginya terhadap apa yang tidak ia
miliki"  (H.R. Abu Daud dan al-Tirmidzi men-shahih-kannya dinukilkan
dari al-Bukhari bahwa hadits ini adalah hadits yang paling shahih
tentang topic ini)

C. Syarat-syarat yang terdapat pada rukun itu sendiri, yaitu lafal yang
menunjukkan makna talak.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1) Lafal tersebut tidak diiringi oleh istitsna' (pengecualian), baik
pengecualian tersebut bersifat wadh'I maupun 'urfiiy.Demikian menurut
mayoritas ulama, kecuali Imam Malik yang menolerir pengecualian
yang menggunakan huruf istitsna' seperti: dan lain-lain, sedangkan
pengcualian yang bersifat 'urfi adalah pengecualian yang tidak
menggunakan huruf istitsna' namun mengaitkannya dengan kehendak
Allah SWT (menggunakan kalimat ‫)إن شاء هللا‬.
2) Lafal tersebut tidak ada madhrub fih. Apabila ada Madhrub fih maka
tidak jatuh dan yang jatuh hanya madhrub saja menurut Abu Hanifah,
Abu Yusuf, dan Muhammad.Sedang menurut Zufar, tidak adanya
madhrub fih bukan syarat. Oleh karena itu menurutnya, apabila dalam

4Al-Kahlaniy, loc.cit.

4
kalimat yang menjatuhkan talak itu ada madhrub fihnya maka jatuh
talak sesuai madhrub dan madhrub fih, misalnya seorang suami berkata
kepada isterinya:‫تين‬ll‫دة فى الثن‬ll‫الق واح‬ll‫دة فى ثالث وأنت ط‬ll‫الق واح‬ll‫أنت ط‬  atau ‫أنت‬
‫طالق اثنتين ف الثنتين‬  (Kamu ditalak satu kali dua, kamu ditalak satu kali
tiga atau kamu ditalak dua kali dua). Namun contoh diatas, madhrub
fihnya adalah ‫ثالث‬ ,‫تين‬lllll‫اثن‬dan ‫تين‬lllll‫اثن‬.Jadi apabila seorang suami
menjatuhkan talak isterinya dengan kalimat seperti diatas, maka
menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad talaknya tidak
sah.Namun menurut zufar talaknya sah sehingga pada contoh pertama
talaknya jatuh 2 (1 x 2), pada contoh kedua talknya jatuh 3 (1 x 3) dan
pada contoh ketiga talaknya jatuh 4 (2 x 2).Adapun menurut ulama
Syafi'iyyah, hukumnya tergantung kepada yang diniatkannya.
3) Syarat yang terdapat pda waktu, yaitu berlalu masa Ila' yang mana
masa tersebut (Empat Bulan) merupakan syarat terjadinya talak dengan
cara ila' dan talak tidak jatuh sebelum habis masa itu.
4) Macam-macam talak
A. Talak raj’i
Talak raj’i yaitu talak dimana suami masi mempunyai hak untuk
merujuk kembali isterinya Kategori talak raj’i adalahsebagai berikut:
1) Talak mati, tidak hamil
2) Talak hidup dan hamil
3) Talak mati dan hamil
4) Talak hidup dan tidak hamil
5) Talak hidup dan belum haid
B. Talak bain
Talak bain adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungnan
suami isteri. Talak bain terbagi menjadi dua bagian:
1) Talak bain shugraialah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari
bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada isteri
bekas isterinya itu. Yang termasuk dalam talak bain shugra ialah:
a) Talak yang dijatuhkan suaminya pada isteri yang belum terjadi
dukhul(setubuh)

5
b) Khulu’ Hukum talak bain shugra: - Hilangnya ikatan nikah antara
suami dan isteri Hilangnya hak bergaul bagi suami isteri termasuk
berkhalwat (menyendiri berdua-duaan)
c) Masing-massing tidak saling mewarisi manakala meninggal
d) Bekas isteri, dalam masa idah, berhak tinggal di rumah suaminya
dengan berpisah tempat tidur dan mendapat nafkah
e) Rujuk dengan akat dan mahar yang baru
2) Talak bain kubra
Adalah talak yang mengakibatkan hilangnnya hak rujuk pada bekas
isteri, walaupun kedua bekas suami isteri itu ingin melakukannya, baik
di waktu idah atau sesudahnya. Yang termasuk talak bain kubra adalah
segala macam talak yang mengandung unsur-unsur sumpah. Hukum
talak bain kubra
a) Sama dengan hukum talak bain shugra nomor 1, 2, dan 4
b) Suami haram kawin lagi dengan istrinya, kecuali bekas istri telah
kawin dengan laki-laki lain.5
D. Raja’ah (rujuk)
1. Pengertian Rujuk
           Menurut bahasa Arab, kata rujuk berasal dari kata – ‫ع‬lll‫ع – يرج‬lll‫رج‬
‫رجوعا‬   yang berarti kembali, dan mengembalikan. Dalam istilah hukum Islam,
para fuqaha mengenalkan istilah “ Ruju’ “ dan “ Raj’ah “ yang keduanya
semakna. Yaitu kembalinya seorang suami kepada istrinya yang telah ditalak
raj’i tanpa melalui perkawinan dalam masa iddah. Dasar hukum dari iddah ini
adalah QS. Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi :
‫ق هَّللا ُ ِفي أَرْ َحا ِم ِه َّن إِ ْن‬َ َ‫ات َيت ََربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء ۚ َواَل يَ ِحلُّ لَه َُّن أَ ْن يَ ْكتُ ْمنَ َما خَ ل‬ ُ َ‫وَ ْال ُمطَلَّق‬
‫ق بِ َر ِّد ِه َّن فِي ٰ َذلِكَ إِ ْن أَ َرادُوا إِصْ اَل حًا ۚ َولَه َُّن ِم ْث ُل الَّ ِذي‬ ُّ ‫ُك َّن ي ُْؤ ِم َّن بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ َوبُعُولَتُه َُّن أَ َح‬

ِ ‫لرِّجا ِل َعلَ ْي ِه َّن د ََر َجةٌ ۗ َوهَّللا ُ ع‬


‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ِ ‫َعلَ ْي ِه َّن بِ ْال َم ْعر‬
َ ِ‫ُوف ۚ َول‬

5Muhammad bin Muhammad Abi Hamid al-Ghazaliy, al-Wajiz fi Fiqħ Madzhab al-Imâm al-Syâfi'iy,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 286-289. Lihat juga: Al-Sayyid Abi Bakr (al-Sayyid al-Bakr), I'ânât al-Thâlibîn,
(Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-'Arabiy, t.th.), Jilid 4, h. 2

6
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.
dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi
Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Rujuk adalah tindakan suami kembali kepada istrinya yang telah dijatuhi
talak sebelum habis masa iddahnya. Suami boleh melakukan rujuk kepada
mantan istrinya yang dijatuhi talak satu atau talak dua dan tidak perlu akad
nikah lagi., Cuma menyatakan, “ Saya telah rujuk kepadamu “. Sedangkan
istri yang dijatuhi talak tiga, atau dicerai dengan cara faskh tidak boleh dirujuk
kembali oleh mantan suaminya.            
2. Dasar Hukum
Seorang suami yang hendak rujuk kepada istrinya, menurut Syafi’i dan
Hanbali harus ada dua orang yang menjadi saksi. Hal tersebut digunakan
untuk menghindari kemadhorotan dan menghindari fitnah atau gunjingan
masyarakat. Argumentasi yang digunakan kedua Ulama ternama ini adalah
firman Allah swt.
a) Dalam Q.s Ath-Thalaaq ayat 2
‫ُوف َوأَ ْش ِهدُوا َذ َويْ َع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم َوأَقِي ُموا‬
ٍ ‫ارقُوه َُّن بِ َم ْعر‬ ِ َ‫ُوف أَوْ ف‬ ٍ ‫فَإ ِ َذا بَلَ ْغنَ أَ َجلَه َُّن فَأ َ ْم ِس ُكوه َُّن بِ َم ْعر‬
ٰ
‫ق هَّللا َ يَجْ َعلْ لَهُ َم ْخ َرجًا‬ِ َّ‫ال َّشهَا َدةَ هَّلِل ِ ۚ َذلِ ُك ْم يُو َعظُ بِ ِه َم ْن َكانَ ي ُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ َو َم ْن يَت‬

Artinya: Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah


mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
Mengadakan baginya jalan keluar.
b) Q.S. Al-Baqarah ayat 228 .
3. Syarat dan Rukun Rujuk
Suami boleh melakukan rujuk kepada mantan istrinya dengan syarat:

7
a) Mantan istrinya sudah ditiduri
b) Talak yang dijatuhkan kepada istrinya tidak disertai iwadh
c)  Rujuk harus dilakukan pada waktu mantan istrinya masih dalam masa iddah
d)  Suami melontarkan keinginan rujuk degan ungkapan lisan baik secara
terang-terangan maupun sindiran, semisal “ saya rujuk kepadamu “ atau “
saya pegang tanganmu “.Melontarkan ungkapan dengan lisansemacam
diatas, menurut Syafi’i adalah wajib bagi mantan suaminya. Sedangkan bagi
Maliki, Hanafi dan Hanbali tidak wajib melontarkan dengan kata-kata, boleh
dengan perbuatan langsung dengan “ menggauli “ mantan istrinya, karena
mantan istrinya itu pada hakikatnya masih sebagai istri sah suami yang
bersangkutan.
4. Bagaimana rujuk dinyatakan sah ?
a) Oleh karena Allah telah menetapkan bahwa suami lebih berhak untuk rujuk
dengan istrinya dalam masa iddah, maka merupakan perkara yang cukup
jelas bahwa istri tidak berhak melarang suaminya untuk rujuk dengannya
dalam keadaan bagaimanapun, karena istri masih ada dalam kekuasaan
suami, bukan sebaliknya.
b) Termasuk perkara yang jelas pula, bahwa rujuk hanya terjadi melalui
perkataan bukan perbuatan, seperti bercampur atau yang lainnya. Rujuk
seseorang terhadap istrinya tidak dinyatakan sah hingga ia mengucapkan
perkataan yang bermakna rujuk. Adapun perkataan tersebut misalnya; “ Aku
rujuk dengannya “ atau “ Aku telah merujukinya “ atau “ Aku telah
mengembalikannya kepadaku “ atau “ Aku telah merujukinya untukku “.
Apabila suami mengucapkan kalimat ini, maka wanita tersebut kembali
menjadi istrinya yang sah. Apabila suami meninggal dunia, atau menjadi
bisu, atau akalnya terganggu, maka wanita itu tetap sebagai istrinya yang sah.
c) Apabila suami menceraikan istrinya, lalu si istri keluaar dari rumah
suaminya, namun suami mengembalikan istrinya itu dengan niat rujuk, atau
ia mencampurinya dengan niat rujuk maupun tidak meniatkannya, tapi ia
tidak mengucapkan perkataan yang bermakna rujuk, maka yang demikian
tidak dinamakan sebagai rujuk hingga diucapkan.
d) Apabila suami mencampuri istrinya setelah talak dengan niat rujuk atau tidak
meniatkannya, maka percampuran itu termasuk percampuran yang syubhat.
Tidak ada hukuman atas keduanya, namun keduanya diberi hukuman ta’zir

8
( yakni hukuman yang belum ditentukan kadarnya namun terserah kepada
kebijakan penguasa ) bila mengetahui hukum, dan istri berhak mendapatkan
mahar yang biasa diterima oleh wanita sepertinya. Adapun anak dinasabkan
kepada bapaknya, dan si istri harus menjalani iddah.
e) Jika seseorang yang bisu menceraikan istrinya melalui tulisan atau bahasa
isyarat yang dapat dipahami, maka talak telah mengikat atasnya. Demikian
pula, apabila ia rujuk dengan istrinya baik melalui tulisan maupun isyarat
yang dapat dipahami, maka rujuk mengikatnya. Bila seseorang sakit lalu
lidahnya menjadi kaku, maka hukumnya sama seperti orang bisu dalam hal
talak dan rujuk.
f) Tidak sah rujuk yang dilakukan oleh orang yang tidak waras, sebagaimana
tidak sah bila ia menikah.6
5. Pengakuan wanita bahwa iddahnya telah berakhir
a) Jika seseorang wanita diceraikan, kapanpun ia mengaku bahwa iddahnya
telah
b) berakhir pada waktu yang memungkinkan suatu iddah berakhir, maka
perkataannya
c) diterima. Tapi bila ia mengaku bahwa iddahnya berakhir pada waktu yang
tidak mungkin suatu iddah berakhir pada masa itu, maka perkataan itu tidaak
dapat dibenarkan.
d) Apabila seseorang menceraikan istrinya, lalu pada hari itu juga ia berkata “
Masa iddahku telah berakhir “, maka perkataannya tidak dapat diterima
hingga ditanyakan alasannya. Bila ia mengatakan “ Aku telah keguguran “
atau “ Aku telah melahirkan anak namun ia meninggal “, maka perkataannya
dibenarkan bila usianya telah mencapai usia yang umumnya seorang wanita
telah dapat hamil. Adapun jika usianya tidak memungkinkan untuk hamil,
seperti masih sangat kecil atau terlalu tua, maka perkataannya tidak dapat
dibenarkan.7
6. Waktu yang dapat diucapkan oleh seorang suami ketika rujuk
Apabila seseorang berkata kepada istrinya dalam masa iddah “ Aku
telah rujukdenganmu pada hari ini “ atau “ kemarin “ atau “ sebelumnya “,

6Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Terjemahan Ringkasan Kitab Al-Umm Buku 2
( jilid 3-6 ), Jakarta : Pustaka Azzam, 2007.h.525

7Ibid, h. 526

9
namun istri mengingkarinya, maka perkataan yang diterima adalah perkataan
suami, sebab ia memiliki hak rujuk dengan istrinya selama masih dalam
waktu masa iddah. Jika suami mengatakan kepada istrinya setelah iddah
berakhir, namun istri mengingkarinya, maka perkataan yang diterima adalah
perkataan istri dan suami harus mengajukan bukti bahwa ia telah rujuk
dengan istrinya saat dalam iddah. Jika iddah berakhir lalu suami berkata “
Aku telah rujuk denganmu pada masa iddah “ dan si istri membenarkan hal
itu, maka rujuk dianggap sah.8
7. Hikmah Rujuk
a) Aturan tentang rujuk ini merupakan indikasi bahwa islam sebenarnya
menghendaki suatu perkawinan itu dapat berlangsung kekal selamanya, oleh
karena itu jika terjadi perceraian, maka mantan suami tetap di prioritaskan
untuk menyambung kembali tali perkawinannya sebelum kesempatan itu
diambil oleh orang lain setelah berakhirnya masa iddah. Namun demikian,
istri juga berhak menerima atau menolak keinginan rujuk dari mantan
suaminya tersebut.
b) Oleh karena itu, seorang laki-laki di sarankan untuk tidak mudah
mengucapkan kata cerai terhadap istrinya, karena ketika istri yang telah
dicerai 3 kali ( talak ba’in ) maka hak suami untuk rujuk menjadi gugur, dia
tidak bisa lagi rujuk kepada mantan istrinya bahkan tidak boleh menikah
kembali kecuali mantan istrinya tersebut terlebih dahulu telah menikah
dengan oranglain lalu cerai ba’da ad-dukhul dan telah habis masa iddahnya.
c) Ketentuan tersebut di dasarkan pada firman Allah swt. Dalam surat Al-
Baqarah ayat 230
d) “ Kemudian jika si suami mentalaknya ( sesudah talak yang kedua ), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin lagi dengan suami
yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak
ada dosa bagi keduanya ( bekas suami pertama dan istri ) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum Allah”9

8Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Terjemahan Ringkasan Kitab Al-Umm Buku 2
( jilid 3-6 ), Jakarta : Pustaka Azzam, 2007.h.525

9Supriatna, Fatma Amalia, Yasin Baidi, Fikih Munakahat II, (Yogyakarta : Bidang Akademik, 2008),
h. 75-76

10
e) Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) mengatur persoalan rujuk ini pada bab
XVIII pasal 163-166, sedangkan tatacara rujuk diatur dalam pasal 167-169
C. Khuluq
1. Pengertian Khulu’
Khulu’  yang terdiri dari lafaz kha-la-‘a yang berasal dari bahasa Arab
secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian.
Dihubungkannya kata khulu’ dengan perkawinan karena dala Al-Qur’an
disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan
pakaian bagi suaminya dalam surat al-baqarah (2) ayat 187:10
Penggunaan kata khulu’ untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai
pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya.
Dalam artinya istilah hukum dalam beberapa kitab fiqh khulu’ diartikan dengan:
a) Putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan
ucapan thalaq atau khulu’.Menurut fuqaha, khulu’ secara  umum, yakni
perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh yang diberikan
oleh istri kepada suami untuk menembus diri agar terlepas dari ikatan
perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubara’ah maupun talak. Secara
khusus, yaitu talak atas dasar ‘iwadh sebagai tebusan dari istri dengan
kata-kata khulu’ (pelepasan) atau yang semakna
seperti mubara’ah (pembebasan).11
b) Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus
dirinya dari (ikatan) suaminya.12Menurut ulama fiqih, khulu’ adalah istri
memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya.
c) tau si suami mengatakan kepada istri, “Belilah talak (untukmu) dengan
harga sekian”. lalu si istri mengatakan, “baik, saya terima tawaranmu”.
Imam Syafi’I juga mempunyai pendapat yang sama tentang kebolehan
khulu’ dengan menggunakan redaksi jual beli.
d) Untuk maksud yang sama dengan kata khulu’ itu ulama menggunakan
beberapa kata, yaitu: fidhyah, shulh, mubaraah. Walaupun dalam makna
yang sama, namun dibedakan dari segi jumlah ganti rugi

10Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006, hl. 231.
11 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008, hl. 220
12Muhammad Jawwad Maghniyah, Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera, 2010, hl. 456

11
atau iwadh yang dugunakan. Bila ganti rugi untuk putusnya hubungan
perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah
disebut khulu’. Bila ganti rugi adalah separuh dari mahar, disebut shulh,
bila ganti rugi itu lebih banyak dari mahar yang diterima
desebut fidyah dan bila istri bebas dari ganti rugi disebut mubaraah.13
e) apabila hasrat bercerai dari istri karena tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah dinamakan khulu’, sedangkan bila persetujuan itu oleh
suami istri, keduanya hendak bercerai dinamakan mubara’ah.14
2. Dasar Hukum Khulu’
a) Mubah
Hukumnya menurut Jumhur Ulama adalah boleh atau mubah.Isteri
boleh boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia merasa tidak nyaman
apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk
suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau
karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan
terjaganya ketentuan ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini, Khulu' bagi
si isteri boleh dan sah-sah saja,
Demikian juga berdasarkan hadits berikut ini:
‫ يا رسول‬:‫عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى هللا عليه وسلم فقالت‬
‫ فقال‬,‫ ولكنى أكره الكفر فى اإلسالم‬,‫ ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق وال دين‬,‫هللا‬
‫ه‬l‫ علي‬l‫رددت‬l‫ ف‬,‫ نعم‬:‫الت‬l‫ فق‬,))‫ه‬l‫ه حديق‬l‫ردين علي‬ll‫ ((أت‬:‫لم‬l‫رسول هللا صلى هللا عليه وس‬
]‫ ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى‬:‫فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang
kepada Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati
kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya
saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan
kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu
bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu
menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu
kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah
kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).
b)  Haram

13Amir, Hukum Perkawinan .., hl. 231


14Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
dan Komplikasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, hl 139

12
Khulu'  bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi
berikut ini:
1) Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan
sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada
alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan Khulu'. Hal
ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
‫ ْيئًا إِاَّل أَ ْن‬l‫ْري ٌح بِإِحْ َسا ٍن ۗ َواَل يَ ِحلُّ لَ ُك ْم أَ ْن تَأْ ُخ ُذوا ِم َّما آتَ ْيتُ ُموه َُّن َش‬
ِ ‫ُوف أَوْ تَس‬
ٍ ‫ك بِ َم ْعر‬ ٌ ‫ق َم َّرتَا ِن ۖ فَإ ِ ْم َسا‬ُ ‫الطَّاَل‬
‫هَّللا‬
‫ دُو ُد ِ فَاَل‬llُ‫ك ح‬ َ ‫يَ َخافَا أَ يُقِي َما ُحدُو َد ِ ۖ فَإ ِ ْن ِخفت ْم أ يُقِي َما ُحدُو َد ِ فَاَل ُجنَا َح َعل ْي ِه َما فِي َما افتَدَت بِ ِه ۗ تِل‬
ْ ْ ْ َ ‫هَّللا‬ ‫اَّل‬َ ُ ْ ‫هَّللا‬ ‫اَّل‬
َ‫ك هُ ُم الظَّالِ ُمون‬ َ lllllllllllllllllllllِ‫ دُو َد هَّللا ِ فَأُو ٰلَئ‬lllllllllllllllllllll‫ َّد ُح‬lllllllllllllllllllll‫دُوهَا ۚ َو َم ْن يَتَ َع‬lllllllllllllllllllllَ‫تَ ْعت‬

Artinya: " Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri
untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).
‫ا فى‬ll‫ ((أيما امرأة سألت زوجها طالق‬l:‫عن ثوبان قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
]‫ عليها رائحة الجنة)) [رواه أبو داود وابن ماجه وأحمد‬l‫ فحرام‬,‫غير ما بأس‬
Artinya: "Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana
saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka
haram baginya untuk mencium wangi surga" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah
dan Ahmad).
2)  Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri
dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga haram
hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak berhak mendapatkan dan
mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan
berdosa.
3) Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si isteri berbuat
zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia
berhak mengambil 'iwadh tersebut.

3.  Akibat Khulu’
Dalam hal akibat khulu’, terdapat persoalan apakah perempuan yang
menerima khulu’ dapat diikuti dengan talak atau tidak. Imam Malik berpendapat
bahwa khulu’ itu tidak dapat diikuti dengan talak, kecuali jika pembicaranya

13
bersambung. Sedangkan Imam Hanafi mengatakan bahwa khulu’ dapat diikuti
dengan talak tanpa memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan
dengan segera atau tidak.
4. Rukun dan Syarat Khulu’
Di dalam khulu’ terdapat beberaa unsur yang merupakan rukun yang
menjadi karakteristik dari khulu’itu dan di dalam setiap rukun terdapat beberapa
syarat yang hampir keseluruhannya menjadi perbincangan di kalangan
Ulama.Adapun yang menjadi rukun dari khulu’ itu adalah:
A. Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan;
1) Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan;
2) Uang tebusan atau iwadh; dan
3) Alasan untuk terjadinya khulu’.
Pertama: suami
Syarat suami menceraikan istrinya dalam bentuk khulu’ sebagaimana
yang berlaku thalaq adalah seseorang yang ucapannya telah dapat
diperhitungkan secara syara’, yaitu akil, balig, dan bertindak atas
kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan syarat ini, bila
suami belum dewasa, atau suami sedang dalam keadaan gila, maka yang
akan menceraikan dengan nama khulu’ adalah walinya. Demikian pula
keadaannya seseorang yang berada di bawah pengampuan karena
kebodohannya (‫فه‬66‫ه بس‬66‫ور علي‬66‫ )محج‬yang menerima permintaan khulu’ istri
adalah walinya.
Kedua: istri yang di khulu’
Istri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya disyaratkan hal-hal
sebagai berikut:
1) Ia adalah seorang yang berada dalam wilayah si suami.
2)  Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta/
3) Khulu’ boleh terjadi dari pihak ketiga, seperti walinya dengan
persetujuan istri. Khulu’ sepeerti ini disebut khulu’
ajnabi.Pembayaran iwadh dalam khulu’ seperti ini ditanggung oleh
pihak ajnabi tersebut.
Ketiga: adanya uang tebusan, atau ganti rugi, atau iwadh.
Tentang iwadh ini ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama
menempatkan iwadh itu sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan

14
oleh sahnya khulu’. Pendapat lain, diantara nya disatu riwayat dari
Ahmad dan Imam Malik mengatakan boleh terjadi khulu’ tanpa iwadh.
Alasanya adalah bahwa khulu’ itu adalah salah satu bentuk dari
putusnya perkawinan, oleh karenanya boleh tanpa iwadh, sebagaimana
berlaku dalam thalaq. Adapun yang berkenaan dengan syarat dan hal-
hal yang berkenaan dengan iwadh itu menjadi perbincangan di
kalangan ulama.
Keempat: Shighat atau ucapan cerai yang disampaikanoleh suami yang
dalam ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau iwadh.
Kelima: adanya alasan untuk terjadinya khulu’.
Baik dalam ayat Al-Qur’an maupun dalam hadis Nabi terlihat
adanya alasan untuk terjadinnya khulu’ yaitu istri khawatir tidak akan
mungkin melaksanakan tuganya sebagai istri yang menyebabkan dia
tidak dapat menegakkan hukum Allah.

5. Tujuan dan Hikmah Khulu’


Tujuan dari kebolehan khulu’ itu adalah untuk menghindarkan si istri dari
kesulitan dan kemudharatan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan
tanpa merugikan pihak si suami karena ia sudah mendapat iwadh dari istrinya
atas permintaan cerai dari istrinya itu.
Hikmah yang terkandung di dalamnyasebagaiana telah disebutkan adalah
untuk menolak bahaya, yaitu pabila perpecahan antara suami istri telah
menumncak dan dikhawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syarat-syarat
dalam kehidupan suami-istri, maka khulu’ dengan cara-cara yang telah
ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana merupakan penolak terjadinya
permusuhan dan unutk menegakkan hukum-hukum Allah.
D. Iddah
1. Pengertian Iddah
Kata iddah berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung,
menduga, mengira. Menurut istilah   Fuqaha’ Iddah  berarti masa
menunggu wanita sehingga halal bagi suami lain.  Dari pengertian
diatas kami dapat menyimpulkan bahwa  Iddah  adalah masa menanti
atau menunggu yang diwajibkan atas seorang perempuan yang

15
diceraikan oleh  suaminya (cerai hidup atau cerai mati), tujuannya
untuk mengetahui kandungan perempuan itu berisi (hamil) atau
tidak serta untuk menunaikan satu perintah dari Allah SWT.
2. Macam – macam Iddah
1) Iddah Talak
Iddah talak adalah terjadi karena perceraian, perempuan yang
berada dalam iddahtalak antara lain:
1) Perempuan yang telah di campuri dan ia belum putus dalam
masa haid. Iddahnya 3 kali suci (3 kali haid atau 3 kali
Quru’). sebagaimana Firman Allah SWT:
l‫ن‬lْ lَ‫َّن أ‬l lُ‫ ه‬lَ‫ُّ ل‬l‫ ل‬lll‫ ِح‬lَ‫ ي‬l‫ ال‬l‫و‬lَ l‫ ٍء‬l‫ و‬l‫ ُر‬lllُ‫ ق‬lَ‫ ة‬lllَ‫ث‬l‫ال‬llَ‫َّن ث‬l l‫ ِه‬ll‫س‬l lِ lُ‫ ف‬l‫ ْن‬lَ‫ أ‬lِ‫ ب‬l‫ن‬lَ ll‫َّص‬ lْ l‫ ب‬l‫ر‬lَ lَ‫ ت‬lَ‫ ي‬l‫ت‬lُ l‫ ا‬lllَ‫َّ ق‬l‫ ل‬lَ‫ ط‬l‫ ُم‬l‫ ْل‬l‫ ا‬l‫و‬lَ
lِ‫ ر‬l‫خ‬lِ ‫آل‬l‫ ا‬l‫م‬lِ l‫و‬lْ lَ‫ ي‬l‫ ْل‬l‫ ا‬l‫و‬lَ lِ ‫هَّلل‬l‫ ا‬lِ‫َّن ب‬l l‫ ِم‬l‫ؤ‬lْ lُ‫َّن ي‬l l‫ ُك‬l‫ن‬lْ lِ‫ن إ‬َّl l‫ ِه‬l‫ ِم‬l‫ ا‬l‫ح‬lَ l‫ر‬lْ lَ‫ أ‬l‫ ي‬lِ‫ ف‬lُ ‫ هَّللا‬l‫ق‬ َ lَ‫ ل‬l‫خ‬lَ l‫ ا‬l‫ َم‬l‫ن‬lَ l‫م‬lْ lُ‫ ت‬l‫ ْك‬lَ‫ي‬
l‫ ُل‬ll‫ ْث‬l‫ن ِم‬ َّl lُ‫ ه‬lَ‫ ل‬l‫ َو‬l‫ ا‬l‫ح‬lً l‫ ال‬l ‫ص‬l lْ lِ‫ إ‬l‫ا‬l‫ و‬l‫ ُد‬l‫ ا‬l‫ َر‬lَ‫ أ‬l‫ن‬lْ lِ‫ إ‬l‫ك‬ َ l lِ‫ ل‬l‫ َذ‬l‫ ي‬lِ‫ن ف‬ َّl l‫ِّ ِه‬l‫ د‬l‫ر‬lَ llِ‫ ب‬lُّ‫ ق‬ll‫ َح‬lَ‫ن أ‬ َّl lُ‫ ه‬lُ‫ ت‬lَ‫ل‬l‫ و‬l‫ ُع‬lُ‫ ب‬l‫َو‬
l‫ ٌز‬lll‫ي‬ll‫ ِز‬l‫ َع‬lُ ‫ هَّللا‬l‫ َو‬lٌ‫ ة‬llll‫ َج‬l‫ر‬lَ l‫َّن َد‬l l‫ ِه‬l‫ ْي‬lَ‫ ل‬l‫ َع‬l‫ ِل‬l‫ ا‬llll‫ َج‬lِّ‫ر‬l‫ ل‬lِ‫ ل‬l‫و‬lَ l‫ف‬ lِ l‫ و‬l‫ ُر‬l‫ع‬lْ l‫ َم‬l‫ ْل‬l‫ ا‬llllِ‫َّن ب‬l l‫ ِه‬l‫ ْي‬lَ‫ ل‬l‫ َع‬l‫ ي‬l‫َّ ِذ‬l‫ل‬l‫ا‬
)228 l: l‫ة‬l‫ر‬l‫ق‬l‫ب‬l‫ل‬l‫ (ا‬l‫ ٌم‬l‫ ي‬l‫ ِك‬l‫َح‬
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan
tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.(Q.S. al baqarah:228)
2) Perempuan yang dicampuri dan tidak haid baik ia perempuan
belum balig atau perempuan tua yang tidak haid, maka
iddahnya untuk 3 bulan menurut penggalan, jika tertalak
dapat bertemu pada permulaan bulan.
.
3) Perempuan-perempuan yang tertalak dan belum di setubuhi,
perempuan ini, tidak ada iddahnya.Firman Allah SWT dalam
Q.S Al-Ahzab ayat 49

16
4) Jika perempuan belum pernah di setubuhi dan di tinggal mati
maka iddahnya seperti iddahnya orang i’lah di
setubuhi’’Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Baqarah ayat
234
5)  Iddah Hamil
Yaitu iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan
yangdiceraikan itu sedang hamil, iddahnya samapai
melahirkan. Allah SWT berfirman dalam Q.S At-talaq ayat 4
Apabila ia hamil dengan anak kembar maka iddahnya
belum habis sebelum anak kembarnya lahir semua jika
perempuan itu keguguran maka iddahnya ialah sesudah
melahikan baik baginya hidup, mati, sempurna badanya /
cacat, ruhya telah ditiup /belum.
6) Iddah Wafat
Iddah wafat adalah iddah yang terjadi apabila seseorang
(perempuan) di tinggal mati suaminya dan masa iddahnya
selama 4 bulan 10 hari. Sebagaimana Allah SWT berfirman
dalam Q.S Al-Baqarah ayat 234
7)  Iddah Wanita yang Kehilangan Suami
Seseorang perempuan yang kehilangan suaminya (tidak di
ketahui keberadaan suami, apakah dia telah mati atau hidup)
maka wajiblah di menunggu selama 4 tahun lamanya sesudah
itu hendaknya dia beriddah 4 bulan 10 hari.
8) Iddah Wanita yang di Ila’
Bagi perempuan yang di ila’ timbul perbedaan pendapat
apakah ia harus menjalani iddah atau tidak, diantaranya:
a) Jumhur Fuqoha’ mengatakan bahwa ia harus menjalani
Iddah.
b) Zabir bib Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah.
Perbedaan pendapat ini di sebabkan iddah itu
menghabungkan antara iddah dan maslahat bersama-sama.
Oleh karena itu bagi fuqoha’ yang lebih memperhatikan segi
kemaslahatan, mereka tidak memandang perlu adanya iddah,

17
sedangkan fuqoha’ yang lebih memperhatikan segi ibadah
maka mereka mewajibkan iddah atasnya.
3. Hikmah Iddah
a. Kita dapat mengetahui kebersihan rahim si wanita yang telah
ditalak atau karena kematian suami. Kalau tidak ada syari’at
tentang ‘iddah, si wanita dapat langsung menikah dengan laki-
laki lain, sehingga terjadi percampuran keturunan dan
menghasilkan generasi yang samar. Tujuan dharury Hukum
Islam yitu hifdzun nasli atau memelihara keturunan tidak akan
tercapai
b. Memperpanjang masa kembali bagi suami pertama (untuk
meruju’ mantan istri) dalam kasus talak raj’i. Menurut penulis
inilah yang menjadi yang menjadi esensi dari syari’ tentang
‘iddah ini, yaitu dalam upaya menyelamatkan institusi
perkawinan dari kehancuran yang lebih fatal. Nasa tenggang
waktu yang relative lama hendaknya dipergunakan untuk
instrokpeksi diri, menyadari kekeliruan, memaafkan kesalahan
istri atau suaminya dan harapan bersatuya mereka kembali
melalui ruju’, menyambung kembali silaturrahmi yang nyaris
putus.
c. Masa berkabung bagi istri yang ditinggal mati suami dan
digunakan untuk sedikit mengenang kembali kenangan lama
dengan suaminya. Sangat tidak etis, seandainya sang istri
dengan cepat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain,
sementara sang suami baru saja meninggalkan dirinya. Oleh
karena itu, ‘iddah bagi wanita yang ditinggal suami adalah masa
berkabung.
d. Sutu masa yang harus dipergunakanan oleh calon terutama
suami yang akan menikahinya, untuk tidak cepat-cepat masuk ke
dalam kehidupan si wanita yang baru dicerai mantan suaminya.
Ada kemungkinan si wanita masih memiliki persoalan, mungkin
masalah harta atau yang lainnya. Biarkan mereka selesaikan
pada masa ‘iddahnya sampai semua persoalan dengan mantan
suaminya telah selesai.  Seandainya kita (suami kedua) masuk

18
disaat persoalan dengan suami pertama belum selesai, hal itu
dapat merunyamkan keadaan. Bahkan, mungkin terjadi suami
pertama tadi – karena cemburu – akan cepat meruju’nya kembali
walaupun  itu hanya sekedar kesesalan akibat ulah calon si
suami kedua yang nekat dan terburu-buru tadi.
e. Iddah sebagai ta’abbudi kepada Allah. Pelaksanaan beriddah
juga merupakan gambaran tingkat ketaatan makhluk kepada
aturan Khaliknya yakni Allah. Terhadap aturan-aturan Allah itu,
merupakan kewajiban bagi wanita muslim untuk mentaatinya.
Apabila wanita muslim yang bercerai dari suaminya, apakah
karena cerai hidup atau mati. Disana ada tenggang waktu yang
harus dilalui sebelum menikah lagi dengan laki-laki lain.
Kemauan untuk mentaati aturan beriddah inilah yang merupakan
gambaran ketaatan, dan kemauan untuk taat itulah yang
didalamnya terkandung nilai ta’abbudi itu. Pelaksanaan nilai
ta’abbudi ini selain akan mendapatkan manfaat beriddah
sebagaimana digambarkan diatas, juga akan bernilai pahala
apabila ditaati dan berdosa bila dilangar dari Allah SWT.
f. Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu agar dapat
menghimpunkan orang-orang yang arif mengkaji masalahnya
dan memberikan tempo berpikir panjang. Jika tidak diberikan
kesempatan demikian, maka tak ubahnya seperti anak-anak kecil
bermain, sebentar disusun, sebentar lagi dirusaknya.
4. Tujuan Iddah
Sebagaimana pertanyaan yang sering dipertanyakan, kenapa
seorang perempuan yang bercerai dengan suaminya baik karena
cerai hidup atau karena suaminya meninggal dunia diwajibkan
beriddah, dan kenapa pula harus selama itu masa iddahnya.Adanya
iddah itu ada beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut.
a. Bagi suami mempunyai kesempatansaat berfikir untuk memilih
antara rujuk dengan istri atau melanjutkan talak yang telah
dilakukan.
b. Bagi istri mempunyai kesempatan saat untuk mengetahui keadaan
sebenarnya yaitu sedang hamil atau tidak sedang hamil.

19
c. Untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah perkawinan
dalam ajaran Islam.
d. Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup
manusia itu harus diusahakan agar kekal.
e. Dalam perceraian karena ditinggal mati, iddah diadakan untuk
menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami bersama-sama
keluarga suami.
f. Bagi perceraian yang terjadi antara suami istri yang pernah
melakukan hubungan kelamin, iddah diadakan untuk meyakinkan
kekosongan rahim.”
5.  Larangan Bagi Wanita yang Menjalani Iddah
Di antara yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang
ber`iddah adalah:
a. Tidak boleh menerima khitbah (lamaran) dari laki-laki lain
kecuali dalam bentuk sindiran.
b. Tidak boleh menikah.
c.  Tidak boleh keluar rumah.
d. Tidak Berhias (Al-Hidad/Al-Ihtidad) .
e. Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah dilarang untuk
berhias atau bercantik-cantik .       
6. Hukum Iddah
a. Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun,
cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid
atau tidak, hukumnya wajib menjalani masa iddah itu, sesuai
dengan firman allah swt dalam Q.S Al-Baqarah ayat 228
b. Q.S At-thalaaq ayat 4
E. Zihar
1. Pengertianzhihar
Secara bahasa zhihar berasal dari kata zahr yang berarti punggung.Kalau
seorang suami berkata pada istrinya, “Anti ‘alayya kazahri ummy”,artinya
‘engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku’.Ini berarti seorang suami telah
menzahir istrinya.
Menzihar tersebut maksudnya suami haram menggauli istrinya untuk
selama-lamanya.zihar adalah salah bentuk perceraian pada masa arab

20
jahiliah.Sebagaimana halnya dengan Ila’,maka zihar dilakukan oleh suami yang
tidak lagi menyukai istrinya dan tidak menyukai istrinya itu kawin dengan laki-
laki lain apabila telah di ceraikannya.Pada masa jahiliah zihar sama halnya
dengan talak.
Para ulama’ sepakat bahwa menyamakan istri dengan punggung ibu adalah
zihar,tetapi ulama’ berbeda pendapat tentang suami yang menyamakan istrinya
dengan bukan ibu.Misalnya menyamakan istri dengan punggung muhrim
suaminya.Menurut Abu Hanifah menyamakan istri dengan muhrim suaminya
adalah zihar.Ats-Tsauri,asy-syafi’i,al-auza’i, dan zaid ibnu ali pun sependapat
dengan abu hanifah.Dan segolongan ulama’ lain pun juga mengatakan bahwa
jika suami menzihar istrinya dengan bukan ibu atau mahramnya atau dengan
selain punggung ibu,maka itu termasuk zihar.
2. Dasar hukum zihar
Pada zaman permulaan datangnya agama islam,hukum zihar tersebut tetap
berlaku di kalangan kaum muslimin,sampai terjadi suatu peristiwa ketika
‘Uwais bin ash shaamit menzihari istrinya,Khaulah binti tsa’labah.Maka zihar
diharamkan.Dalam riwayat diceritakan bahwa ketika kejadian itu,Khaulah binti
tsa’labah mengadukan kejadian yang menimpanya itu kepada Nabi SAW
(diriwayatkan oleh abu daud).Maka turunlah surah al-mujaadilah ayat 1-4 :
1. Sesungguhnya Allah telah mendengar Perkataan wanita yang mengajukan
gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada
Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya
Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.
2. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap
isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-
ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan
Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan
mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.
3. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.

21
4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa
dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang
tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih

Ayat ini merupakan dasar hukum zihar tersebut.inti dari surah al-mujadalah
ayat 1-4 ini adalah : bahwa suami mendapatkan hukuman ukhrawi karna telah
mengatakan kata-kata yang mengingkari kenyataan,yaiyu mengatakan dia
haram mencampuri istrinya sebagaimana ia haram mencampuri ibunya.Dan
hukuman duniawi,ialah suami haram mencampuri istrinya sebelum ia
membayar kafarat.Para ulama’ sepakat bahwa zihar iru hukumnya haram.Dasar
hukum zihar juga terdapat dalam QS.al-ahzab ayat 4 :”Allah sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak
menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan
yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).”

3. Syarat-syarat zihar
a. Yang berhubungan dengan suami istri
Para ulama’ ahli fiqih sepakat bahwa suami yang menzihari istrinya
hendaklah yang baligh,berakal,dan telah terikat dengan akad nikah yang
sah.
b. Yang berhubungan dengan sigat zihar
Apabila suami mengatakan kepada istrinya : “ untukku kau seperti
punggung ibuku”,maka itu termasuk sigat zihar.tidak dihukumi zihar jika
suami menyamakan istrinya dengan ibunya dengan alasan menghormati
istrinya atau sebagai ucapan terimakasih karna istrinya telah berfungsi
menggantikan ibunya dan sebagainya.
4. Akibat zihar
Setelah suami menziharkan istrinya,belum berarti bubarlah perkawinan
itu,mereka masih terikat tali perkawinan,masih terikat dengan hak-hak dan
kewajiban sebagai seorang suami atau istri,kecuali hak suami mencampuri

22
istrinya.Sebab suami telah menyamai istrinya dengan orang yang haram ia
nikahi.
Jika suami hendak mencampuri istrinya,itu diharamkan sampai suami itu
membayar kafarat ziharnya.Dan haram bagi suami istri itu melakukan
halwat,sebab dapat menimbulkan kemungkinan suami mencampuri istrinya.
Agar istri tidak terkatung-katung dan menderita karna zihar itu,maka di
tetapkanlah waktu menunggu bagi suami yang telah menzihari istrinya.Waktu
menunggu maksimumnya adalah sealama empat bulan dengan dasar
mengqiyaskan dengan waktu menunggu ila’.jika waktu menunggu telah habis
dan suami belum menjatuhkan talaknya atau membayar kafarat,maka istri
berhak melakukan gugatan cerai ke pengadilan.
5. Kewajiban kafarat
Kewajiban membayar kafarat karna suami telah melakukan zihar dan telah
ada kehendak suami mencampuri istrinya.Ada tiga tingkatan dalam kafarat
zihar ini,yang jika pada tingkatan pertama tak sanggup suami lakukan,boleh
pada tingkatan yang ke dua,jika yang kedua juga tak sanggup maka yang
ketiga.Tingkatan itu adalah :
a. Memerdekakan budak
b. Berpuasa dua bulan berturut-turut
c. Memberi makan enam puluh orang miskin,yang masing-masing
memperoleh seperempat bahagian dari kewajiban seseorang membayar
zakat fitrah,yaitu seperempat dari 2,5 kilogram beras
F. Ila’
1. Pengertian Ila’
Menurut bahasa berarti sumpah.Ila’ adalah masdar dari
ala,ya’li,alaan,seperti a’tha,yu’th.Semakna dengan itu
i’tala,ya’tali’aqsama,yaqsimu,berarti sumpah.yakni ” bersumpah tidak akan
mengerjakan suatu pekerjaan.”Menurut syara’ ila’ berarti “ila’ adalah suami
bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya baik menyebut waktu atau tidak
menyebut waktu.”misalnya : “saya tidak akan mendekatinya selamanya”,atau
“ saya tidak akan mendekati atau mengumpuli istri saya selama lima bulan
atau selama setahun,atau seumur hidupnya,atau seumur langit dan bumi,atau
yang sama artinya dengan itu.”

23
Ila’ ini tidak membuat putusnya perkawinan,sehingga membuat istri ini
menderita sebab tidak di campuri juga tidak di talak.Ila’ ini sebenarnya telah
ada dan merupakan istilah dalam hukum perkawinan arab jahiliyah.Ila’ dalam
pandangan arab jahiliyah adalah sumpah suami untuk tidak mengadakan
hubungan suami istri dengan istrinya.Apabila seorang suami telah mengila’
istrinya berarti istrinya itu telah dicerai selama-lamanya dan tidak boleh
dikawini oleh laki-laki yang lain
2. Hukum Ila’
Berdasarkan QS.al-Baqarah ayat 226-227
3. Syarat-syarat Ila’s
Sebagaimana talaq,ila’ pun ada yang batal dan ada yang sah,tergantung
terpenuhi tidaknya syarat-syaratnya.yaitu :
a. Syarat yang berhubungan dengan suami istri
Para ahli fiqih sepakat bahwa syarat suami yang dapat mengila’ adalah
baligh,berakal,dan tidak gila.Imam Syafi’i mengatakan suami yang
mengila’ dan istri yang di ila’,harus orang yang sama-sama sanggup
melakukan hubungan suami istri.
b. Ila’ hendaklah berupa sumpah
Sebagaimana sumpah,maka ila’ hendaklah:
1) Sumpah ila’ harus disertai dengan nama Allah,atau salah satu sifatnya.
2) Pelanggaran ila’ oleh suami harus membayar kafarat,sesuai dengan sebagai
mana sumpah pada umumnya.besar kafarat itu dapat dilihat pada QS.al-
Maidah ayat ke 89 : Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat
(melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu
dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa
tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama
tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu
bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah
Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur
(kepada-Nya).
3) Isi ila’ hendaklah : sumpah suami untuk tidak mencampuri tubuh istrinya.

24
4. Waktu menunggu bagi ila’
Waktu menunggu ini ialah waktu yang ditentukan oleh suami dalam
ial’nya,yang dalam waktu tersebut ia tidak boleh mencampuri istrinya.Dalam
waktu ini pula suami diberi kesempatan untuk mempertimbangkan apakah
akan menalak istrinya atau kembali lagi mencampuri istrinya.Dan dalam
waktu menunggu ini juga adalah sebagai pelajaran bagi istri dan untuk dapat
menginstrokspeksi diri mengapa suaminya berbuat demikian
padanya,sehingga kemudian dia dapat mengakui kesalahan atau
kekurangannya menjalankan kewajiban sebagai istri.Lama waktu yang
ditentukan agama adalah empat bulan.
Al-qur’an dan hadis tidak menjelaskan dengan tegas lama waktu
minimum dalam masa menunggu,yang disebut oleh suami adalah lafaz
ila’nya.Sehingga dapat disimpulkan bahwa waktu yang minimum itu
ditentukan,apakah seahari,sepuluh hari dan sebagainya,sedang waktu
menunggu yang maksimum adalah empat bulan.Jika suami berkata pada istri :
“aku mengila’ kamu untuk selama-selamanya”,berarti suami haram
mencampuri istrinya selama-lamanya.Mengila’ istri untuk selama-lamanya itu
di larang agama,karna dapat merugikan pihak istri.Karena itu agama
memberikan waktu berpikir selama empat bulan.Setelah lewat dari empat
bulan itu suami harus memilih satu dari tiga hal berikut ini :
a. Ia menggauli istrinya,namun sebelumnya ia harus membayar kafarat
sumpahnya.Suami tidak diwajibkan membayar kafarat sumpahnya jika dia
menggauli istrinya setelah habis waktu menunggu sebagai yang tersebut
dalam lafaz ila’nya.Apabila suami menggauli istrinya sebelum habis masa
menunggunya maka ia wajib membayar kafarat sumpah itu.
b. Suami menjatuhkan talak pada istrinya.Talak itu adalah dihukumi talak
ba’in kubro.Ini di karenakan bekas suami istri ini tidak boleh kawin
untyuk selama-lamanya,kecuali jika suami telah membayar kafaratnya.
c. Apabila suami tidak melakukan dua ketentuan diatas maka istri berhak
mengajukan cerai kepada pengadilan.
Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa apabila suami tealh menjatuhkan
talak pada istrinya,maka talak suami telah menghapus sumpah ila’ dari

25
suami,karna itu suami boleh menikah lagi dengan istrinya tanpa harus
membayar kafarat.Namun apabila kita melihat ayat maupun hadis yang
berkaitan dengan ila’,maka ila’ itu adalah sejatinya sama dengan
sumpah.Artinya jatuhnya talak karena ila’,tidak dapat menghapus sumpah.Oleh
karenanya haram bekas suami menikahi istrinya tanpa terlebih dahulu
membayar kafarat sumpahnya.
G. Hal persusuan (alhakamnuridda’)
1. Pengertian ar-ridha’
Yaitu sampainya susu wanita sampai kepada anak yang akan disusukan.
2. Ketentuan
Apabila ia sempurna menyusukan sampai si anak yang ia susukan kenyeng dan
ber ulang-ulang sebanyak 5 kali.
3. Rukun-rukun alhakamnuridda’
a. Ada perempuan yang menyusukan
b. Ada anak yang akan disusukan
c. Adanya air susu, yang akan disusukan ke anak tersebut
4. Syarat-syarat alhakamnuridda’
a. Ukuran menyusukan sampai si anak yang disusukan kenyang
b. Umur anak tersebut batasnya 2 tahun (0-2 tahun), yang mena terdapat dalam
Q.S Al-Baqarah ayat 33
c. Adanya saksi yang melihat.
Adapun yang dapat dijadikan saksi antara berikut:
Adil, disini yang dapat dijadikan saksi yaitu 2 orang laiki-laki atau 1 laki-laki
2 orang perempuanTanggung jawab suami (nafaqah)
1. Pengetian Nafkah
Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata
anfaqa – yunfiqu- infaqan (‫ انفاقا‬-‫ق‬66‫ ينف‬-‫ق‬66‫)انف‬. Dalam kamus Arab-Indonesia,
secara etimologi kata nafkah diartikan dengan “ pembelanjaan dalam tata bahasa
Indonesia kata nafkah secara resmi sudah dipakai dengan arti
pengeluaran. Berdasarakn pengertian ini maka seorang perempuan yang sudah
dinikahi secara sah oleh seorang laki-laki berhak untuk mendapatkan nafkah
dari suaminya itu. Hal itu karena memang nafkah adalah kewajiban suami
terhadap istri yang wajib ditunaikan dan jika dialnggar  akan mendapatkan
balasan dosa dari Allah SWT.

26
Dalam kitab-kitab fiqh pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan
pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekuensi terjadinya suatu aqad
antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami
dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan oleh al-
Syarkawi : “Ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan)
oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan
binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya” .
2. Dasar Hukum Nafkah
Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat
dalam beberapa ayat Al-Qur’an, hadis Rasulullah, kesepakatan para imam
madzhab maupun UU yang ada di Indonesia, diantaranya adalah:
a. Surat Ath-Thalaq ayat 6-7
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu
untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah
di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta
yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
.kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan

Dalam ayat dapat kita pahami bahwa:

1) Suami wajib memberikan istri tempat berteduh dan nafkah lainnya.


2) Istri harus mengikuti suami dan bertempat tinggal di tempat suami.
Besarnya
kewajiaban nafkah tergantung pada keleluasaan suami. Jadi pemberian
nafkah berdasarkan atas kesanggupan suami bukan permintaan istri Al-
Qurthubi berpendapat bahwa firman Allah (‫ )لينفق‬maksudnya adalah;
hendaklah suami memberi nafkah kepada isterinya, atau anaknya yang masih

27
kecil menurut ukuran kemampuan baik yang mempunyai kelapangan atau
menurut ukuran miskin andaikata dia adalah orang yang tidak berkecukupan.
Jadi ukuran nafkah ditentukan menurut keadaan orang yang memberi nafkah,
sedangkan kebutuhan orang yang diberi nafkah ditentukan menurut
kebiasaan setempat. Sedangkan yang dimaksud dengan  ‫عة من‬666‫ق ذو س‬666‫لينف‬
‫سعته‬  adalah bahwa perintah untuk memberi nafkah tersebut ditujukan kepada
suami bukan terhadap isteri. Adapun maksud ayat ‫ا‬66‫أ ت‬66‫ا اال م‬66‫ف هللا نفس‬66‫ال يكل‬
‫ها‬  adalah bahwa orang fakir tidak dibebani untuk memberi nafkah layaknya
orang kaya dalam memberi nafkah.
b. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A

‫ ِه‬l‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬l‫ص‬ lِ l‫ ْفيَانَ َعلَى َر ُس‬l‫ت ُع ْتبَةَ ا ْم َرأَةُ أَبِي ُس‬
َ ِ ‫ول هَّللا‬ ُ ‫ت ِه ْن ٌد بِ ْن‬ ْ َ‫ع َْن عَائِ َشةَ قَالَت َد َخل‬
‫ا يَ ْكفِينِي‬l‫ ِة َم‬lَ‫ْطينِي ِم ْن النَّفَق‬ ْ َ ‫هَّللا‬
ِ ‫ ِحي ٌح اَل يُع‬l‫ ٌل َش‬lُ‫فيَانَ َرج‬l‫ا ُس‬lَ‫و َل ِ إِ َّن أب‬l‫ا َر ُس‬lَ‫ت ي‬ ْ َ‫ال‬lَ‫لَّ َم فَق‬l‫َو َس‬
ِ ‫و ُل هَّللا‬l ‫َاح فَقَا َل َر ُس‬ٍ ‫ك ِم ْن ُجن‬ َ ِ‫ي فِي َذل‬َّ َ‫ ِع ْل ِم ِه فَهَلْ َعل‬ ‫ت ِم ْن َمالِ ِه بِ َغيْر‬ ْ َ‫ي إِاَّل َما أ‬
ُ ‫خَذ‬ َّ ِ‫َويَ ْكفِي بَن‬
‫ك َويَ ْكفِي بَنِيك‬ِ ‫ُوف َما يَ ْكفِي‬ ْ
lِ ‫م ُخ ِذي ِم ْن َمالِ ِه بِال َم ْعر‬lَ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل‬
َّ َ
“Dari Aisyah beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan
masuk menghadap Rasulullah SAW seraya berkata : Ya Rasulullah
sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir. Dia tidak
memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anak-anakku selain
apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa setahunya. Apakah saya
berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw. bersabda: “Ambillah
olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik secukupnya
untukmu dan anak-anakmu.” (HR.Muslim)
Hadis tersebut jelas menyatakan bahwa ukuran nafkah itu relatif, jika
kewajiban nafkah mempunyai batasan dan ukuran tertentu Rasulullah
SAW. akan memerintahkan Hindun untuk mengambil ukuran nafkah yang
dimaksud, tetapi pada saat itu Rasulullah hanya memerintahkan Hindun
untuk mengambil sebagian harta suaminya dengan cara baik dan
secukupnya. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah Al-
Mujtahid mengemukakan pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang
ukuran nafkah ini bahwa besarnya nafkah tidak ditentukan oleh syara’, akan
tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami-isteri dan hal ini akan
berbeda–beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan keadaan.
3. Macam-macam Nafkah

28
Menurut jenisnya nafkah dibagi menjadi dua yaitu Pertama, nafkah lahir
yang bersifat materi seperti sandang,pangan, papan dan biaya hidup lainnya
termasuk biaya pendidikan anak. Kedua nafkah batin yang bersifat non-materi
seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian dan lain-lain
a. Menurut objeknya, Nafkah ada dua macam yaitu:
1) Nafkah untuk diri sendiri. Agama Islam mengajarkan agar nafkah untuk
diri sendiri didahulukan daripada nafkah untuk orang lain. Diri sendiri
tidak dibenarkan menderita, karena mengutamakan orang lain.
2) Nafkah untuk orang lain karena hubungan perkawinan dan hubungan
kekerabatan. Setelah akad nikah, maka suami wajib memberi nafkah
kepada istrinya paling tidak kebutuhan pokok sehari-hari seperti
sandang, pangan dan papan
4. Kadar Nafkah
Kadar Nafkah yang paling ideal diberikan oleh para suami kepada
segenap keluarganya adalah cukup, Tetapi, ketentuan cukup ini sangat
bervariasi dan relatif apalagi jika dilihat dari selera pihak yang diberi yang
notabene manusia itu sendiri memilliki sifat dasar tidak pernah merasa cukup.
Kaitannya dengan kadar nafkah keluarga, Islam tidak mengajarkan
untukmemberatkan para suami dan juga tidak mengajarkan kepada anggota
keluarga untuk gemar menuntut. Sehungga kadar cukup itu bukan ditentukan
dari pihak keluarga yang diberi, melainkan dari pihak suami yang memberi.
Kecukupan disesuikan dengan kemampuan suami, tidak berlebihan dan tidak
terlalu kikir.
5. Syarat-syarat Wajib Nafkah
Perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat menyebabkan
timbulnya hak dan kewajiban. Artinya istri berhak mendapatkan nafkah sesuai
dengan ketentuan ayat dan hadis sebagaimana telah penulis kemukakan
sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa setelah terjadinya akad nikah istri
berhak mendapatkan nafkah. Hanya saja ulama berbeda pendapat ketika
membahas apakah hak nafkah itu diperoleh ketika terjadi akad atau ketika istri
telah pindah ke tempat kediaman suami.
Sedangkan Syafi’i dalam qaul jadid, Malikiyah dan Hanabilah
mengungkapkan bahwa istri belum mendapatkan hak nafkahnya melainkan
setelah tamkin, seperti istri telah menyerahkan diri kepada suaminya. Sementara

29
itu sebagian ulama muta’akhirin menyatakan bahwa istri baru berhak
mendapatkan hak nafkah ketika istri telah pindah ke rumah suaminya.
Menurut jumhur ulama suami wajib memberikan nafkah istrinya apabila:
Istri menyerahkan diri kepada suaminya sekalipun belum melakukan senggama;
Istri tersebut orang yang telah dewasa dalam arti telah layak melakukan
hubungan senggama, perkawinan suami istri itu telah memenuhi syarat dan
rukun dalam perkawinan; Tidak hilang hak suami untuk menahan istri
disebabkan kesibukan istri yang dibolehkan agama.
6. Gugurnya Hak Nafkah
Konsekuensi akad perkawinan yang sah suami berkewajiban memberi
nafkah kepada isterinya. Hak mendapatkan nafkah isteri hanya didapat apabila
syarat-syarat untuk mendapatkan hak seperti diuraikan diatas telah terpenuhi,
serta isteri terhindar dari hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah
tersebut.Berkaitan dengan gugurnya hak nafkah berikut ini akan dijelaskan
beberapa hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah isteri. Adapun penyebab
gugur hak nafkah tersebut adalah sebagai berikut :
a. Nusyuz
Kata nusyuz merupakan bentuk jamak ( plural ) dari nusyz yang secara
etimologi berarti dataran tanah yang lebih tinggi atau tanah bukit, sesuai
dengan pengertian ini, maka wanita yang nusyuz menurut pengertian bahasa
berarti wanita yang merasa lebih tinggi dari suaminya, sehingga tidak mau
terikat dengan kewajiban patuh terhadap suami. Dari pengertian ini pula
selanjutnya dipahami pengertian nusyuz secara umum yaitu sikap angkuh,
tidak patuh seseorang dengan tidak bersedia menunjukkan loyalitas kepada
pihak yang wajib dipatuhinya Kata nusyuz secara resmi telah dipakai dalam
tata bahasa Indonesia yang secara terminologi berarti : perbuatan tidak taat
dan membangkang seorang istri terhadap suaminya (tanpa alasan) yang
dibenarkan hukum (Islam).
b. Wafat salah seorang suami istri
Nafkah isteri gugur sejak terjadi kematian suami, kalau suami meninggal
sebelum memberikan nafkah maka istri tidak dapat mengambil nafkah dari
harta suaminya. Dan jika istri yang meninggal dunia terlebih dahulu, maka
ahli warisnya tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya
c. Murtad

30
Apabila seorang istri murtad maka gugur hak nafkahnya karena dengan
keluarnya istri dari Islam mengakibatkan terhalangnya suami melakukan
senggama dengan istri tersebut. Jika suami yang murtad, maka hak nafkah
istri tidak gugur karena halangan hukum untuk melakukan persenggamaan
timbul dari pihak suami padahal kalau ia mau menghilangkan halangan
hukum tersebut dengan masuk kembali ke dalam Islam, dia bisa
melakukannya.
d. Talak
Berkaitan dengan talak, para ulama sepakat bahwa hak nafkah bagi isteri
hanyalah selama isteri masih dalam masa iddah. Adapun setelah habis masa
iddah tidak satu pun dalil yang mengungkapkan bahwa suami masih tetap
berkewajiban memberi nafkah bekas istrinya. Hal ini bisa dipahami kenapa
setelah habisnya masa iddah isteri tidak berhak lagi untuk menerima nafkah
dari suami.
H. Anak asuh (hadannah)
1. Pengertian Hadhanah
“Hadhanah” berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain:
hal memelihara, mendidik, mangatur, mengurus segala kepentingan atau urusan
anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk). Hadanah menurut bahasa, berarti meletakkan sesuatu di
dekat tulang rusuk atau di pangkuan. Seperti halnya waktu ibu menyusui
anaknya meletakkan anaknya di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu
melindungi dan memelihara anaknya.15
Para ulama fiqih mendefinisikan hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah
besar tetapi belum mumayyis, menyediakan sesuatu yang menjadikan
kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya,
mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi
hidup dan memikul tanggung jawabnya.

15Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 215

31
2. Dasar Hukum Hadhanah
Firman Allah Swt. QS At-Tahrim : 6
ٌ‫ارةُ َعلَ ْيهَا َماَل ئِ َكةٌ ِغاَل ظ‬
َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا قُوا أَ ْنفُ َس ُك ْم َوأَ ْهلِي ُك ْم نَارًا َوقُو ُدهَا النَّاسُ َو ْال ِح َج‬
َ‫ِشدَا ٌد اَل يَ ْعصُونَ هَّللا َ َما أَ َم َرهُ ْم َويَ ْف َعلُونَ َما ي ُْؤ َمرُون‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu


dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.

Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab


mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada
bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil,
karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan
orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini, terutama ibunyalah yang
berkewajiban melakukan hadhanah. Rosulullah Saw bersabda, yang
artinya: “Engkaulah (ibu) yang berhak terhadap anaknya”.

Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pangkuan


orang tuanya, karena dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat
menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya, serta
mempersiakan diri anak dalam menghadapi kehidupannya di masa yang akan
datang. 

3. Yang Berhak Melakukan Hadhanah


Orang yang melakukan hadhanah haruslah mempunyai rasa kasih sayang,
kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu menjadi baik (shaleh)
dikemudian hari. Disamping itu, ia juga harus mempunyai waktu yang cukup
untuk melakukan tugas itu. Dan orang yang memiliki syarat-syarat itu adalah
seorang wanita. Sebagaimana disebutkan dalam hadist:
“Dari Abdullah bin Umar bahwasanya seorang wanita berkata:”Ya
Rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, yang
mengasuhnya, yang mengawasinya, dan air susukulah yang diminumnya.

32
Bapaknya hendak mengambilnya dariku.” Maka, berkatalah
Rosulullah:”Eangkaulah lebih berhak atasnya (anak itu) selama engkau belum
nikah (dengan laki-laki yang lain).

.ُ‫أَال‬ ‫ َّم‬   ُ‫أَ ْعطَف‬ ‫ َو‬  ُ‫ ْالطَف‬   ْ‫ َوار‬ ‫ َح ُم‬  ‫حْ نَىا َو‬  ‫ َوا‬ ‫ ْخيَ ُر‬ ‫أَرْ ا َو‬  ُ‫ف‬ ‫ َو‬ ‫ ِه َى‬ ‫ق‬
ُّ ‫أَ َح‬ ‫بِ َو‬ ‫لِ ِد‬ ‫هَا‬
“Ibu lebih lembut (kepada anak), lebih halus, lebih pemurah, lebih baik, dan
lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya (selama ia belum kawin dengan
laki-laki lain).”

َ‫هُ َو بَ ْين‬lَ‫ق هّللا ُ بَ ْين‬


َ ‫افَ َر‬lَ‫ ُد ه‬lِ‫ َد ةٌ َو َول‬lِ‫ق بَ ْينَ َول‬ َ َ‫ َم ْن ف‬: ‫لم‬l‫ه وس‬l‫لى هللا علي‬l‫ هللا ص‬l‫ول‬l‫قال رس‬
َ ‫ر‬l
‫أَحْ بَتَهُ يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬.
“Rasulullah Saw. Bersabda:“barang siapa yang memisahkan antara seorang
ibu dengan anaknya niscaya Allah akan memisahkan antara orang itu dengan
kekasihnya di hari Kiamat.”

Menurut hadis-hadis di atas dapatlah ditetapkan bahwa si ibu dari seorang


anak adalah orang yang paling berhak melakukan hak asuh selama ia dalam
masa iddah talaq raj’i, talaq ba’in atau telah habis masa ‘iddahnya, tetapi ia
belum kawin atau menikah lagi dengan laki-laki lain.

Jika ibunya itu menikah dengan orang lain, sedangkan anak itu belum
mumayyiz, maka bapaknya yang lebih berhak mendidik jika ia (bapaknya)
meminta atau bersedia mendidiknya. Jika bapaknya tidak ada maka yang berhak
mendidiknya adalah bibiknya (saudara perempuan dari ibunya).

Rasulullah SAW. bersabda:“Dari Abu Hurairah r.a berkata,: Pernah aku


bersama-sama Nabi Saw. lalu datang seorang perempuan dan berkata,”Ya
Rasulullah, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, dan
sesungguhnya ia telah berjasa member minum dari sumur Abu Inabah. Dan
sesungguhnya ia telah berjasa kepadaku”.  Maka Rasulullah Saw. bersabda,
“Berundinglah kamu atas perkara anak itu”. Maka suaminya
berkata,”Siapakah yang berani menghalangi aku dengan anakku ini ?.” Nabi
Saw. bersabda (kepada anak itu): “Ini Bapakmu dan ini Ibumu. Maka ambillah
tangan di antara keduannya yang engkau kehendaki”. Lalu diambillah tangan
Ibunya, maka berjalanlah perempuan itu dengan anaknya. (H.R. Ashabus
Sunan).

33
Hadis ini menunjukkan bahwa anak kecil yang sudah mumayyiz dan
mengerti dengan dirinya sendiri, ia boleh memilih siapakah yang akan
mengasuhnya. Apakah Ibunya ataupun Ayahnya.

ُ‫ة‬lَ‫ ْالخَال‬:‫ال‬l
َ lَ‫ا َوق‬llَ‫ا لَتِه‬llَ‫ َز ةَ لِخ‬l‫ ِة َح ْم‬lَ‫ فِى اِ ْبن‬l‫ى‬l‫ض‬ َّ ِ‫ أَ َّن النَّب‬.‫ع‬.‫ب ر‬
َ َ‫ ق‬.‫م‬.‫ي ص‬ ِ l‫رَّا ِء اب ِْن َع‬lَ‫َع ِن ْالب‬
ٍ ‫از‬l
)‫ (رواه البخارى‬.‫بِ َم ْن ِزلَ ِة ااْل ُ ِّم‬
“Dari Al-Barra’ bin Azib r.a. bahwasanya Nabi Saw. telah memutuskan dalam
perkara anak perempuan oleh Hamzah (dalam perkara mengasuh) untuk bibinya
(adik perempuan Ibunya), dan beliau bersabda,”Bibi itu yang mengambil tempat
Ibunya”.(H.R. Bukhari)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa bibi itu lebih utama dari pada Bapak,
dan Ibu, dalam perkara mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil apabila
keduanya (Bapak dan Ibu) tidak mampu.16

Dengan dijelaskannya bahwa yang lebih berhak mengasuh anak itu adalah
ibu, maka dalam masalah ini adalah kaum wanita yang diutamakan. Karenanya
kerabat Ibulah yang lebih berhak untuk mengasuh anak dari pada kerabat dari
ayah. 

Dasar urutan orang-orang yang berkah melakukan hadhanah adalah:

a. Kerabat pihak ibu didahulukan atas kerabat pihak bapak, jika tingkatannya
dalam kerabat adalah sama
b.  Nenek perempuan didahulukan atas saudara perempuan, karena anak
merupakan bagian dari kakek, oleh sebab itu nenek lebih berhak dibanding
dengan saudara perempuan.
c. Kerabat sekandung didahulukan dari saudara bukan sekandung, dan kerabat
seibu lebih didahulukan atas kerabat seayah
d. Dasar urutan ini ialah urutan kerabat yang ada hubungan mahram, dengan
ketentuan bahwa pada tingkat yang sama pihak ibu lebih didahulukan atas
pihak ayah.
e. Apabila kerabat yang ada hubungan mahram tidak ada, maka hak hadhanah
pindah kepada kerabat yang tidak ada hubungan mahram.

16Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999),h. 173-


175

34
Adapun urutan-urutannya sebagaimana dibawah ini:

a. Ibu
b. Nenek (ibu dari ibu)
c.  Khalah (bibi) yang sekandung
d.  Khalah (bibi) yang seibu
e.  Khalah (bibi) yang seayah
f. Nenek (ibu dari ayah)
g. Saudara perempuan yang sekandung
h.  Saudara perempuan yang seibu
i.  Saudara perempuan seayah
j. Amah (kakak dari ibu) yang sekandung
k. Amah (kakak dari ibu) yang seibu
l. Amah (kakak dari ibu) yang seayah
m.  Anak perempuan dari perempuan yang sekandung
n. Anak perempuan dari perempuan yang seibu
o. Anak perempuan dari perempuan yang seayah
p. Anak perempuan dari laki-laki yang sekandung
q. Anak perempuan dari laki-laki yang seibu
r. Anak perempuan dari laki-laki yang seayah
s. Dan seterusnya dengan mendahulukan kerabat yang sekandung.

Jika tidak ada yang akan melakukan hadhanah pada tingkat perempuan,
maka yang melakukan hadhanah ialah pihak laki-laki yang urutannya sama
seperti urutan perempuan, jika dari pihak laki-laki tidak ada, maka hal tersebut
menjadi kewajiban pemerintah.

4. Syarat-syarat Hadhanah dan Hadhin


Adapun syarat-syaratnya antara lain:
a. Berakal sehat
b. Dewasa atau baligh. Hal ini karena anak kecil meskipun sudah mumayyiz,
tetap membutuhkan orang lain yang mengurusnya dan mengasuhnya
c. Mampu mendidik. Bukan orang yang sakit ataupun mempunyai kekurangn
pada jasmaninya, seperti orang buta, ataupun oreng yang memiliki penyakit
menular

35
d. Amanah dan berbudi, sebab orang yang curang tidak dapat dipercaya untuk
menunaikan kewajibannya dengan baik.
e. Orang yang tetap dalam Negri anak didikannya
f. Tidak terikat dengan satu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan
hadhanah dengan baik
g. Hendaklah ia seorang mukalaf, yaitu orang yang balig, berakal, dan tidak
terganggu ingatannya
h.  Hendaklah mempunyai kemampuan untuk melakukan hadhanah
i.  Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama
yang berhubungan dengan budi pekerti
j. Hendaklah orang yang melakukan hadhanah tidak bersuamikan laki-laki
yang tidak ada hubungan mahram dengan si anak
k. Hadhanah hendaklah orang yang tidak membenci si anak
l. Diharapkan hadhanah memiliki persamaan agama dengan si anak, kerena jika
seorang hadhanah orang non muslim, dikhawatirkan ia akan memalingkan si
anak dari agama islam.Sebab hadhanah merupakan masalah perwalian.
Sedangkan Allah tidak membolehkan seorang mukmin dibawah perwalian
orang kafir.
5. Masa Hadhanah
Masa berlakunya hadhanah akan berakhir apabila si anak kecil sudah tidak
lagi memerlukan pelayanan, telah dewasa, dan dapat berdiri sendiri, serta telah
mampu untuk mengurus kebutuhan pokoknya sendiri, seperti: makan,
berpakaian, mandi, dll. Dalam hal ini tidak ada betasan tertentu tentang waktu
habisnya. Hanya saja ukuran yang dipakai adalah tamyiz dan kemampuan untuk
mengurus dirinya sendiri. Jika si anak kecil itu dapat membedakan sesuatu yang
baik dan tidak baik, tidak membutuhkan pelayanan lagi, dan dapat memenuhi
kebutuhan pokoknya sendiri maka hadhanahnya telah habis.
Tidak dijumpai ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang menerangkan dengan
tegas tentang masa hadhanah. Namun, hanya terdapat isyarat-isyarat yang
menerangkan ayat tersebut. Karena itu, para ulama berijtihad masing-masing
dalam menetapkan dengan berpedoman kepada isyarat itu. Seperti menurut
madzab Hanafi, misalnya, hadhanah anak laki-laki berakhir saat anak itu tidak
lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari.

36
Sedangkan masa hadhanah wanita berahkir apabila ia telah balig, atau telah
datang masa haid pertamanya.
Pengikut madzab Hanafi generasi akhir yang menetapkan bahwa masa
hadhanah berakhir ketika umur 19 tahun bagi laki-lak, dan umur 11 tahun bagi
wanita.
2. HUDUD

Hudud adalah kosa kata dalam bahasa Arab yang merupakan


bentuk jamâ’ (plural) dari kata had yang asal artinya pembatas antara dua
benda. Dinamakan had karena mencegah bersatunya sesuatu dengan yang lainnya.
Ada juga yang menyatakan bahwa kata had berarti al-man’u (pencegah), sehingga
dikatakan Hudud Allah Azza wa Jalla adalah perkara-perkara yang Allah Azza wa
Jalla larang melakukan atau melanggarnya.
Menurut syar’i, istilah hudûd adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah
ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah terjerumusnya seseorang kepada kejahatan
yang sama dan menghapus dosa pelakunya.
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya sudah menetapkan hukuman-hukuman
tertentu bagi sejumlah tindak kejahatan tertentu yang disebut jaraimu al-hudûd (delik
hukuman kejahatan), yang meliputi kasus ; perzinahan, tuduhan berzina tanpa bukti
yang akurat, pencurian, mabuk-mabukan, muhârabah (pemberontakan dalam negara
Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan perbuatan melampui batas lainnya.

Dengan demikian Hudud meliputi tujuh jenis:

a. Had zina (hukuman Zina) ditegakkan untuk menjaga keturunan dan nasab.


b. Had al-Qadzf (hukuman orang yang menuduh berzina tanpa bukti) untuk menjaga
kehormatan dan harga diri.
c. Had al-Khamr (hukuman orang minum khamer (minuman memabukkan) untuk
menjaga akal.
d. Had as-Sariqah (hukuman pencuri) untuk menjaga harta.
e. Had al-Hirâbah (hukuman para perampok) untuk menjaga jiwa, harta dan harga diri
kehormatan.
f. Had al-Baghi (hukuman pembangkang) untuk menjaga agama dan jiwa

37
g. Had ar-Riddah (hukuman orang murtad) untuk menjaga agama.Ta’zir

1. HAD (Sanski) ZINA


Diwajibkan kepada wali umur (penguasa) untuk menegakkan dan menerapkan
Had kepada seluruh rakyatnya berdasarkan dalil dari al-Qur`ân, Sunnah dan Ijma’
serta dituntut qiyas yang shahih.
Dalil al-Qur`ân di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
َ ‫سا ِرقَةُ فَا ْقطَ ُعوا أَ ْي ِديَ ُه َما َج َزا ًء بِ َما َك‬
‫سبَا نَ َكااًل ِمنَ هَّللا ِ ۗ َوهَّللا ُ َع ِزي ٌز َح ِكي ٌم‬ َّ ‫ق َوال‬
ُ ‫سا ِر‬
َّ ‫َوال‬

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan


keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Mâidah/5:38]

Dalil Sunnah di antaranya adalah hadits Ubadah bin Shâmit yang mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ب َوا ْلبَ ِعي ِد َواَل تَأْ ُخ ْذ ُك ْم فِي هَّللا ِ لَ ْو َمةُ اَل ئِ ٍم‬
ِ ‫أَقِي ُموا ُحدُو َد هَّللا ِ فِي ا ْلقَ ِري‬

“Tegakkanlah hukuman-hukuman (dari) Allah Azza wa Jallakepada kerabat dan


lainnya, dan janganlah kecaman orang yang suka mencela mempengaruhi kamu
(dalam menegakkan hukum-hukum) karena Allah Azza wa Jalla.” [Hasan: Shahîh
Ibnu Mâjah No. 2058 dan Ibnu Mâjah No. 2540

Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya
ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur
subhat.Delik perzinaan  ditegaskan dalam al-Qur’an dan sunnah. Hukuman bagi
pelaku zina yang belum menikah (ghairu muhsan) didasarkan pada ayat al-Qur’an,
yakni didera seratus kali. Sementara bagi pezina muhsan dikenakan sanksi rajam. 

Rajam dari segi bahasa berarti melempari batu.rajam adalah melempari


pezina muhsan sampai menemui ajalnya. Adapun dasar hukum dera atau cambuk
seratus kali adalah firman Allah dalam surat an-Nur ayat 2: Sedangkan menurut
istilah,

38
‫اجلِد ُْوا ُك َّل َوا ِح ٍد ِم ْن ُه َما ِمائَةَ َج ْل َد ٍة َوالَ تَأْ ُخ ْذ ُك ْم بِ ِه َما َر ْأفَةٌ فِي ِد ْي ِن هللاِ اِنْ ُك ْنتُ ْم تُؤْ ِمنُ ْونَ ِباهللِ َوا ْليَ ْو ِم األَ ِخ ِر‬
ْ َ‫اَل َّزانِيَةُ َوال َّزانِى ف‬
َ‫طائِفَةٌ ِمنَ ا ْل ُمؤْ ِمنِيْن‬َ ‫َو ْليَشْــ َه ْد َع َذابَ ُه َما‬

“Pezina perempuan dan laki-laki hendaklah dicambuk seratus kali dan


janganlah merasa belas kasihan kepada keduanya sehingga mencegah kamu dalam 
menjalankan hukum Allah, hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir.
Dan hendaklah dalam menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman”

Sedangkan dasar penetapan hukum rajam adalah  hadis Nabi:

ِ ِّ‫ب بِالثَّي‬
‫ب َج ْل ُد ِمائَ ٍة َوال َّر ْج ُم‬ ُ ِّ‫سنَ ٍة َوالثَّي‬ َ َّ‫ُخ ُذوا َعنِّي ُخ ُذوا َعنِّي قَ ْد َج َع َل هللاُ لَ ُهن‬
َ ‫سبِيالً ا ْلبِ ْك ُر بِا ْلبِ ْك ِر َج ْل ُد ِمائَ ٍة َونَ ْف ُي‬

“ Terimalah dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan kepada mereka.
Bujangan yang berzina dengan gadis dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun.
Dan orang yang telah kawin yang berzina didera seratus kali dan dirajam”

Zina adalah perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya dikenakan sanksi
yang amat berat, baik itu hukum dera maupun rajam, karena alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan akal. Kenapa zina diancam dengan
hukuman berat. Hal ini disebabkan karena perbuatan zina sangat dicela oleh Islam dan
pelakunya dihukum dengan hukuman rajam (dilempari batu sampai meninggal
dengan disaksikan orang banyak), jika ia muhsan. Jika ia ghairu muhsan, maka 
dihukum cambuk 100 kali. Adanya perbedaan hukuman tersebut
karena muhsan seharusnya bisa lebih menjaga diri untuk melakukan perbuatan tercela
itu, apalagi kalau masih dalam ikatan perkawinan yang berarti menyakiti dan
mencemarkan nama baik keluarganya, sementara ghairu muhsan belum pernah
menikah sehingga nafsu syahwatnya lebih besar karena didorong rasa
keingintahuannya. Namun keduanya tetap sangat dicela oleh Islam dan tidak boleh
diberi belas kasihan, sebagaimana firman Allah:

ِ‫َوالَ تَأْ ُخ ْذ ُك ْم بِ ِه َما َر ْأفَةٌ فِى ِد ْي ِن هللا‬

39
Ancaman keras bagi pelaku zina tersebut karena dalam pandangan Islam zina,
merupakan perbuatan tercela yang menurunkan derajat dan harkat kemanusiaan
secara umum. Apabila zina tidak diharamkan niscaya martabat manusia akan hilang
karena tata aturan perkawinan dalam masyarakat akan rusak. Di samping itu pelaku
zina berarti mengingkari nikmat Allah tentang kebolehan dan anjuran Allah untuk
menikah.

Hukuman delik perzinaan yang menjadi perdebatan di kalangan umat Islam


adalah hukum rajam. Jumhur ulama menganggap tetap eksisnya hukum rajam,
sekalipun bersumber pada khabar ahad. Sementara golongan Khawarij, Mu’tazilah 
dan sebagian fuqaha Syiah menyatakan, sanksi bagi pezina adalah hukum dera
(cambuk). Adapun alasan mereka yang menolak hukum rajam adalah:

a. Hukum rajam dianggap paling berat di antara hukum yang ada dalam Islam
namun tidak ditetapkan dalam al-Qur`an. Seandainya Allah melegalkan
hukum rajam mestinya ditetapkan secara definitif dalam nas.
b. Hukuman bagi hamba sahaya separoh dari orang merdeka, kalau         hukum
rajam dianggap sebagai hukuman mati, apa ada hukuman separoh mati.
Demikian juga ketentuan hukuman bagi keluarga    Nabi dengan sanksi dua
kali lipat Apakah ada dua kali hukuman mati. Secara jelas ayat yang menolak
adalah surat an-Nisa ayat 25:

ِ ‫ت ِمنَ ا ْل َعــ َذا‬


…‫ب‬ ِ ‫صـنَـا‬ َ ‫ـصنَّ فَإِنْ أَتَــ ْينَا بِــفَا ِحـ‬
ْ ِ‫ش ٍة فَـ َعلَ ْيـ ِهنَّ ن‬
َ ‫ـصفُ َمــا َعلَى ا ْل ُم ْح‬ ِ ‫…فَإ ِ َذااُ ْح‬

… jika para budak yang telah terpelihara melakukan perbuatan keji (zina), maka
hukumannya adalah separoh dari wanita merdeka …

Ayat di atas menunjukan bahwa hukum rajam tidak dapat dibagi dua, maka hukum
yang logis diterapkan adalah hukum dera 100 kali. Jika pelakunya budak, maka berdasarkan
ketentuan surat an-Nisa ayat 25 adalah separoh, yakni lima puluh kali. Demikian halnya
dengan ketentuan surat al-Ahzab ayat 30.

‫ض ْعفَ ْي ِن‬ ُ ‫ضاعَفْ لَ َهاا ْل َع َذ‬


ِ ‫اب‬ ِ ْ‫سا َء النَّبِ ِّي َمنْ يَأ‬
َ ‫ت ِم ْن ُكنَّ بِفَا ِح‬
َ ُ‫ش ٍة ُمبَيِّنَ ٍة ي‬ َ ِ‫…يَان‬

40
Hai istri-istri Nabi jika di antara kalian terbukti melakukan perbuatan keji (zina), maka
dilipatgandakan sanksinya yaitu dua kali lipat…

Ayat di atas menggambarkan bahwa  hukum rajam tidak dapat dilipatgandakan, yakni
dua kali lipat. Jika diberlakukan hukum dera 100 kali maka dua kali lipatnya adalah 200 kali.

c. Hukum dera yang tertera dalam surat an-Nur ayat 2 berlaku     umum, yakni
pezina muhsan dan ghairu muhsan. Sementara hadis Nabi yang menyatakan
berlakunya hukum rajam adalah lemah.

Masih dalam aliran ini, Izzudin bin Abd as-Salam sebagaimana dikutip oleh Fazlur
Rahman, menyatakan bahwa hukum rajam dengan argumnetasi seluruh materi yang bersifat
tradisional bersifat non reiable, di samping tidak ditegaskan dalam al-Qur`an juga warisan
sejarah orang-orang Yahudi.

Sementara Anwar Haryono menyatakan, bahwa hukum rajam pertama kali diterapkan


dalam sejarah Islam terhadap orang Yahudi dengan mendasarkan kitab mereka, yakni Taurat.
Kejadian itu kemudian menjadi rujukan hukum, artinya siapa saja yang berzina dirajam.
Demikian halnya dengan pendapat Hasbi ash-Shiddieqy, hukum rajam ada dan dipraktekan
dalam Islam, akan tetapi terjadi sebelum diturunkannya surat an-Nur ayat (2). Maka hukum
yang muhkam. Alangkah bijaksananya kalau kita mengatakan hukum had itu tidak boleh
dilaksanakan, kecuali telah sempurna perbuatan dosa seseorang, yakni terpenuhinya syarat,
rukun dan tanpa adanya unsur subhat. sampai sekarang adalah hukum dera bagi pezina.

Tidak ada maksud mengklaim kebenaran pada salah satu pihak yang pro dan kontra
tentang sanksi bagi pezina (dera atau rajam). Ada baiknya merujuk pada teks dengan
mempertimbangkan realitas masyarakat kontemporer, seperti Indonesia yang plural. Artinya
harus bertolak  dari kenyataan bahwa hukum rajam bukan hukum yang hidup dalam sistem
negara Islam manapun, kecuali Saudi Arabia. Realitas ini tentunya tidak lepas dari adanya
perubahan konstruksi masyarakat sekarang, dengan konstruksi masyarakat muslim pada saat
hukum rajam diterapkan. Perubahan masyarakat pada gilirannya merubah rasa
hukum  masyarakat, sehingga masyarakat enggan melaksanakan hukum rajam, di sisi lain
pezina harus dihukum berdasarkan ketentuan al-Qur`an.

41
2. Had Qadzaf
Qadzaf adalah menuduh berzina. Misalnya salah seorang memanggil orang
lain dengan panggilan, “Hai pezina” atau ia berkata, “Aku melihat ia berzina atau
melakukan perbuatan mesum, baik berzina atau sodomi.”
Allah Ta’ala berfirman:
ٌ ‫ َذ‬66666َ‫ َر ِة َولَ ُه ْم ع‬66666‫ ُّد ْنيَا َواآْل ِخ‬66666‫وا فِيال‬66666ُ‫ت لُ ِعن‬
‫اب ع َِظي ٌم‬ ِ ‫ا‬66666َ‫ت ا ْل ُمؤْ ِمن‬
ِ ‫افِاَل‬66666‫ت ا ْل َغ‬ َ ‫ونَ ا ْل ُم ْح‬66666‫إِنَّ الَّ ِذينَ يَ ْر ُم‬
ِ ‫نَا‬66666‫ص‬
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang
lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka mendapat laknat di dunia dan akhirat,
dan bagi mereka adzab yang besar.”(An-Nuur: 23]
Dan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
َّ‫ َّر َم هللاُ إِال‬6‫س الَّتِي َح‬ ِ ‫ ُل النَّ ْف‬6 ‫ َوقَ ْت‬،‫س ْح ُر‬
ِّ ‫ َوال‬،ِ‫ الش ِّْر ُك بِاهلل‬:‫سو َل هللاِ؟ قَا َل‬
ُ ‫ َو َما هُنَّ يَا َر‬:‫ت قَالُ ْوا‬ ِ ‫س ْب َع ا ْل ُموبِقَا‬ َّ ‫اِ ْجتَنِبُوا ال‬
ِ َ‫افِال‬666‫ت ا ْل ُمؤْ ِمنَاتِ ْل َغ‬
‫ت‬ ِ ‫نَا‬666‫ص‬َ ‫ذفُ ا ْل ُم ْح‬666 ْ َ‫ َوق‬،‫ف‬ ْ ‫ َوالتَّ َولِّي َي‬،‫ا ِل ا ْليَتِ ْي ِم‬666‫ ُل َم‬666‫ َوأَ ْك‬،‫ا‬666َ‫ ُل ال ِّرب‬666‫ َوأَ ْك‬،ِّ‫ا ْل َحق‬666‫ ِب‬.
ِ 666‫و َم ال َّز ْح‬666
“Jauhilah oleh kalian tujuh dosa besar yang menghancurkan (kalian).” Para Sahabat
bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mensekutukan Allah,
sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali mempunyai hak, memakan
harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh
berzina wanita mukminah yang tidak tahu menahu serta terjaga
kehormatannya.”Barangsiapa menuduh seorang muslim berzina (tanpa mendatangkan
empat orang saksi.-pent.), maka ia dihukum hadd dengan dicambuk sebanyak delapan
puluh kali cambukan,sebagaimana firman Allah Ta’ala:
ۚ ‫دًا‬lllَ‫هَا َدةً أَب‬lll‫وا لَهُ ْم َش‬lllُ‫ َدةً َواَل تَ ْقبَل‬lll‫انِينَ َج ْل‬lll‫دُوهُ ْم ثَ َم‬lllِ‫هَدَا َء فَاجْ ل‬lll‫ ِة ُش‬lll‫أْتُوا بِأَرْ بَ َع‬lllَ‫ت ثُ َّم لَ ْم ي‬ َ ْ‫ونَ ْال ُمح‬lll‫َوالَّ ِذينَ يَرْ ُم‬
ِ ‫نَا‬lll‫ص‬
َ‫قُون‬llllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllll‫ُمالفَ ِس‬ ْ ‫َوأُو ٰلَئِكه‬
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka cambuklah mereka
(yang menuduh itu) dela-pan puluh kali cambukan, dan janganlah kamu terima
kesaksian yang mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik.” [An-Nuur: 4]

3. Sanksi Minum-Minum Keras


Miras sangatlah dilarang dalam agama. Dasar larangan miras: Q.S Al Maidah;
90,91.
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah

42
perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan)
itu agar kamu beruntung.

Sesuatu yang memabukkan sangat berbahaya bagi sesorang yang


mengkonsumsinya. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh seorang peneliti, bahwa
tidak ada bahaya yang lebih parah yang diderita manusia selain bahaya sesuatu yang
memabukkan. Kalau diadakan penelitian dirumah-rumah sakit, kebanyakan orang
yang gila dan mendapat gangguan syaraf disebabkan oleh sesuatu yang memabukkan.
Kebanyakan orang yang bunuh diri atau membunuh orang lain disebabkan barang
terlarang tersebut.
Begitulah, kalau terus diadakan suatu penelitian yang cermat, niscahya akan
mencapai batas klimaks yang sangat mengerikan yang kita jumpai. Nasehat-nasehat
tidak ada lagi gunanya bagi pemabuk.
Untuk kesekian kalinya Islam tetap bersikap tegas terhadap masalah minuman
keras, tidak dipandang minumannya sedikit atau banyak. Kiranya MIRAS telah cukup
dapat mengggelincirkan kaki manusia. Oleh karena itu sedikitpun tidak boleh
disentuh.
Lebih jauh, Nabi SAW tidak menganggap sudah cukup dengan
mengharamkan miras ssedikit atau banyak, bahkan memperdagangkan pun tetap
diharamkan sekalipun. Dalam hal ini Nabi SAW melaknat tentang miras, sepuluh
golongan:

a. Yang memerasnya,

b. Yang minta dibuatkannya,

c. Yang meminumnya,

d. Yang membawanya,

e. Yang memesannya,

f. Yang menuangkannya,

g. Yang menjualnya,

h. Yang makan hasil penjualnya,

43
i. Yang membelinya,

j. Yang minta dibelikannya.

Al-Faqih menasehati hendaklah berhati-hati jangan sampai engkau minum arak,


karena ada sepuluh bencana akibatnya, diantaranya;

1.Menempatkan dirinya pada maqam gila. Ada seorang dalam kondisi mabuk, ia kencing
dijalan bahkan air kencingnya diminumnya dan dibuat membasuh mukanya dan ditertawakan
oleh anak kecil, bukankah ini gila?

2.Menyebabkan kemiskinan

3.Menimbulkan permusuhan

4.Terhalang untuk mengingat Allah

5.Timbulnya perzinaan

6.Timbulnya kejahatan

7.Mengganggu malaikat hafadlah karena memaksanya ke tempat fasik yang bau busuk

8.Bencana hukum dera 80 kali pukulan

9.Tertolak amal baik dan doanya selama 40 hari (untuk minum sekali)

10.Mati tidak dalam keadaan iman

Kesepuluh penderitaan tersebut hanya di dunia, diakkhirat akan lebih pedih lagi. Oleh karena
itu, bagi manusia normal, tidak mungkin memilih kesenangan sesaat (minuman keras) dengan
melempar jauh kenikmatan besar dan kelezatan abadi yaitu surga.

Dari Asma binti Yasid, Nabi bersabda bahwa barang siapa coba-coba minum-
minuman keras/hanya sekedar tanpa mabuk, maka selama seminggu shalatnya ditolak, jika
sampai mabuk , maka 40 hari shalatnya tertolak, dan jika mati sebelum tobat maka matinya
kafir.

Riwayat lain menyebutkan sekali minum-minumn keras, ditolak shalat, puasa dan
amal kebajikan lain selama 40 hari, 2 kali munim ditolak semua itu selam 80 hari, 3 kali

44
ditolak sampai 120 hari, 4 kali minum miras maka darahnya halal dibunuh karena ia telah
kafir, dan pantaslah Allah memberinya minuman darah campur nanah dineraka.

Untuk itu bagi pecandu miras, bertobatlah. Beruntunglah masih diberi kesempatan
untuk bertobat. Allah Yang Maha Pengampun dari segala salah dan dosa. Perbanyaklah
istiqfar, tinggalkan miras yang menjadi sumber dari segala dosa, dan perbanyaklah amal
sholeh. Insya Allah, Allah akan mengampuni dosa-dosa. Amin

4. Sanksi Mencuri

Setiap orang yang berakal pasti akan sepakat bahwa mencuri adalah
perbuatan yang zalim dan merupakan kejahatan. Oleh karena itu Islam juga
menetapkan larangan mencuri harta orang lain. Bahkan ia termasuk dosa besar dan
kezaliman yang nyata.

a. Mencuri Adalah Dosa Besar

Allah Ta’ala berfirman:

ِ ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا أَ ْي ِديَهُ َما َج َزا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِمنَ هَّللا ِ َوهَّللا ُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al Maidah: 38).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menetapkan hukuman hadd bagi pencuri adalah dipotong
tangannya. Ini menunjukkan bahwa mencuri adalah dosa besar. Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan:

‫ بل ال بد من عقوبة‬،‫الكبائر هي ما رتب عليه عقوبة خاصة بمعنى أنها ليست مقتصرة على مجرد النهي أو التحريم‬
‫ والصغائر هي المحرمات‬،‫ هذه هي الكبائر‬،‫ أو ما أشبه ذلك‬،‫ أو فليس منا‬l،‫خاصة مثل أن يقال من فعل هذا فليس بمؤمن‬
‫التي ليس عليها عقوبة‬

“Dosa besar adalah yang Allah ancam dengan suatu hukuman khusus. Maksudnya perbuatan
tersebut tidak sekedar dilarang atau diharamkan, namun diancam dengan suatu hukuman
khusus. Semisal disebutkan dalam dalil ‘barangsiapa yang melakukan ini maka ia bukan
mukmin’, atau ‘bukan bagian dari kami’, atau semisal dengan itu. Ini adalah dosa besar. Dan

45
dosa kecil adalah dosa yang tidak diancam dengan suatu hukuman khusus” (Fatawa Nurun
‘alad Darbi libni Al-‘Utsaimin, 2/24, Asy-Syamilah).

Ibnu Shalah rahimahullah mengatakan:

َ ‫ َو ِم ْنهَا َوصْ ف‬, ‫ار َونَحْ وهَا فِي ْال ِكتَاب أَوْ ال ُّسنَّة‬
‫صا ِحبهَا‬ ِ ‫ َو ِم ْنهَا اإْل ِ ي َعاد َعلَ ْيهَا بِ ْال َع َذا‬, ‫لَهَا أَ َما َرات ِم ْنهَا إِي َجاب ْال َح ّد‬
ِ َّ ‫ب بِالن‬
ِ ‫بِ ْالفِس‬
‫ َو ِم ْنهَا اللَّعْن‬, ‫ْق‬

“Dosa besar ada beberapa indikasinya, diantaranya diwajibkan hukuman hadd kepadanya,
juga diancam dengan azab neraka atau semisalnya, di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Demikian juga, pelakunya disifati dengan kefasikan dan laknat ” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/285).

b. Pencuri Mendapat Laknat

Pencuri juga dilaknat oleh Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ ويسرق الحبل فتقطع يده‬l‫لعن هللا السارق يسرق البيضة فتقطع يده‬

“Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur, lalu di lain waktu ia dipotong
tangannya karena mencuri tali.” (HR. Bukhari no. 6285).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan:

‫ ثم يسرق ما يبلغ النصاب فيقطع‬،‫أن يراد بذلك أن هذا السارق قد يسرق البيضة فتهون السرقة في نفسه‬

“Maksud hadits ini adalah seorang yang mencuri telur lalu dia menganggap remeh
perbuatan tersebut sehingga kemudian ia mencuri barang yang melewati
nishab hadd pencurian, sehingga ia dipotong tangannya”(Syarhul Mumthi‘, 14/336-337).

c. Mencuri Adalah Kezaliman

Dan secara umum mencuri termasuk perbuatan mengambil harta orang lain
dengan cara batil. Padahal harta seorang Muslim itu haram.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

َ ‫فَإ ِ َّن هَّللا َ َح َّر َم َعلَ ْي ُك ْم ِد َما َء ُك ْم َوأَ ْم َوالَ ُك ْم َوأَ ْع َرا‬
‫ فِي بَلَ ِد ُك ْم هَ َذا‬،‫ فِي َشه ِْر ُك ْم هَ َذا‬، ‫ض ُك ْم َكحُرْ َم ِة يَوْ ِم ُك ْم هَ َذا‬

46
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas sesama kalian darah kalian (untuk
ditumpakan) dan harta kalian (untuk dirampais) dan kehormatan (untuk dirusak).
Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini dan haramnya negeri ini” (HR.
Bukhari no. 1742).

Dan mencuri juga termasuk perbuatan zalim. Padahal Allah Ta’ala berfirman:

َ‫أَالَ لَ ْعنَةُ هّللا ِ َعلَى الظَّالِ ِمين‬

“Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (QS. Hud: 18).

‫د‬lٌ ‫ك إِ َذا أَ َخ َذ ْالقُ َرى َو ِه َي ظَالِ َمةٌ إِ َّن أَ ْخ َذهُ أَلِي ٌم َش ِدي‬
َ ِّ‫ك أَ ْخ ُذ َرب‬
َ ِ‫َو َك َذل‬

“Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang
berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.” (QS. Hud: 102).

َ‫إِنَّهُ الَ يُ ْفلِ ُح الظَّالِ ُمون‬

“Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak mendapat keberuntungan” (QS. Al


An’am: 21).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ وجعلته بينكم محر ًما؛ فال تظالموا‬،‫ إني حرمت الظلم على نفسي‬،‫ يا عبادي‬:‫قال هللا تبارك وتعالى‬

“Allah Tabaaraka wa ta’ala berfirman: ‘Wahai hambaku, sesungguhnya aku haramkan


kezaliman atas Diriku, dan aku haramkan juga kezaliman bagi kalian, maka janganlah
saling berbuat zalim” (HR. Muslim no. 2577).

d. Hukuman Had Bagi Pencuri

Berdasarkan surat Al Maidah ayat 38 di atas, hukuman hadd bagi pencuri


dalam Islam adalah di potong tangannya. Juga berdasarkan hadits dari
‘Aisyah radhiallahu’anha, beliau berkata:

‫ من يُكلِّ ُم‬: ‫ فقالوا‬. ‫الفتح‬


ِ ‫ في غزو ِة‬. ‫د النب ِّي صلَّى هللا ُ عليه وسل َّ َم‬lِ ‫أن قري ًشا أه َّمهم شأنُ المرأ ِة المخزومي َّ ِة التي سرقت في عه‬ َّ
‫رسول هللاِ صلَّى هللا ُ عليه وسل َّ َم ؟‬
ِ ُّ‫ ِحب‬، ‫ئ عليه إال أسامةُ بنُ زي ٍد‬ ُ ‫ ومن يجتر‬: ‫فيها رسو َل هللاِ صلَّى هللا ُ عليه وسلَّ َم ؟ فقالوا‬
‫ فقال‬. ‫ فتلوَّنَ وجهُ رسو ِل هللاِ صلَّى هللا ُ عليه وسلَّ َم‬. ‫ فكلَّمه فيها أسامةُ بنُ زي ٍد‬. ‫فأتى بها رسو َل هللاِ صلَّى هللا ُ عليه وسل َّ َم‬

47
‫العشي قام رسو ُل هللاِ صلَّى هللا ُ عليه‬
ُّ ‫رسول هللاِ ! فلما كان‬
َ ‫ يا‬. ‫ استغفِرْ لي‬: ُ‫( أتشف ُع في ح ٍّد من حدو ِد هللاِ ؟ ) فقال له أسامة‬
‫ أنهم كانوا إذا سرق فيهم‬، ‫ فإنما أهلك الذين َمن قبلكم‬. l‫ ثم قال ( أما بعد‬. ‫ فأثنى على هللاِ بما هو أهلُه‬. ‫وسل َّ َم فاختطب‬
‫أن فاطمةَ بنتَ محم ٍد‬
َّ ‫ ! لو‬l‫ والذي نفسي بي ِده‬، ‫ وإني‬. ‫ أقاموا عليه الح َّد‬، ُ‫ وإذا سرق فيهم الضعيف‬. ‫ تركوه‬، ُ‫الشريف‬
ْ ‫ وتزو‬. l‫ت توبتُها بعد‬
. ‫َّجت‬ ْ ُ‫ فحسن‬: ُ‫ …قالت عائشة‬. ‫ت يدُها‬ ْ ‫سرقت فقُط َع‬
ْ ُ
‫لقطعت يدَها ) ثم أمر بتلك المرأ ِة التي‬ ‫سرقت‬
‫ ذلك فأرف ُع حاجتَها إلى رسو ِل هللاِ صلَّى هللا ُ عليه وسلَّ َم‬l‫وكانت تأتيني بعد‬

“Bahwa orang-orang Quraisy pernah digemparkan oleh kasus seorang wanita dari Bani
Mahzum yang mencuri di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tepatnya ketika
masa perang Al Fath. Lalu mereka berkata: “Siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam? Siapa yang lebih berani selain Usamah bin Zaid, orang yang
dicintai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?”. Maka Usamah bin Zaid pun
menyampaikan kasus tersebut kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, hingga
berubahlah warna wajah Rasulullah. Lalu beliau bersabda: “Apakah kamu hendak
memberi syafa’ah (pertolongan) terhadap seseorang dari hukum Allah?”. Usamah berkata:
“Mohonkan aku ampunan wahai Rasulullah”. Kemudian sore harinya Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam berdiri seraya berkhutbah. Beliau memuji Allah dengan pujian
yang layak bagi-Nya, kemudian bersabda: “Amma ba’du. Sesungguhnya sebab hancurnya
umat sebelum kalian adalah bahwa mereka itu jika ada pencuri dari kalangan orang
terhormat, mereka biarkan. Dan jika ada pencuri dari kalangan orang lemah, mereka
tegakkan hukum pidana. Adapun aku, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika
Fatimah bintu Muhammad mencuri maka akan aku potong tangannya”. Lalu Rasulullah
memerintahkan wanita yang mencuri tersebut untuk dipotong tangannya. Aisyah
berkata:”Setelah itu wanita tersebut benar-benar bertaubat, lalu menikah. Dan ia pernah
datang kepadaku setelah peristiwa tadi, lalu aku sampaikan hajatnya kepada Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam.” (HR. Al Bukhari 3475, 4304, 6788, Muslim 1688, dan ini
adalah lafadz Muslim).

Namun tidak dikenai hukuman potongan tangan jika:

1. Barang yang dicuri nilainya kecil. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:


‫اعدًا‬
ِ ‫ص‬ ٍ ‫ق إِال َّ فِي ُربْعِ ِد ْين‬
َ َ‫َار ف‬ ِ ‫الَ تُ ْقطَ ُع يَ ُد الس‬
ِ ‫َّار‬
“Pencuri tidak dipotong tangannya kecuali barang yang dicuri senilai seperempat
dinar atau lebih.” (Muttafaqun ‘alahi).
Yang ini disebut juga sebagai nisab pencurian.

48
2. Barang yang dicuri bukan sesuatu yang disimpan dalam tempat penyimpanan.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫ في تمر معلق‬l‫ال تقطع اليد‬
“Tidak dipotong tangan pencuri bila mencuri kurma yang tergantung.” (HR. Ibnu
Hazm dalam Al Muhalla 11/323, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’
7398)

Syaikh As Sa’di menjelaskan:

‫ وحسمت فإن‬،‫ قطعت يده اليمنى من مفصل الكف‬: ‫ أو ما يساويه من المال من حرزه‬،‫ومن سرق ربع دينار من الذهب‬
‫عاد قطعت رجله اليسرى من مفصل الكعب وحسمت فإن عاد حبس‬

“Orang yang mencuri 4 dinar emas (atau lebih) atau yang senilai dengan itu, dari tempat
penyimpanannya, maka ia dipotong tangannya yang kanan mulai dari pergelangan tangan.
Kemudian dihentikan pendarahannya. Jika ia mengulang lagi, maka dipotong kakinya yang
kiri dari mata kakinya. Kemudian dihentikan pendarahannya. Jika mengulang lagi, maka
dipenjara.” (Minhajus Salikin, 231-232).

Adapun jika mencurinya tidak sampai nisab pencurian, sehingga ia tidak dipotong
tangan, maka hukumannya adalah ta’zir. Ta’zir adalah hukuman yang ditentukan oleh ijtihad
hakim, bisa jadi berupa penjara, hukuman cambuk, hukuman kerja sosial atau lainnya.
Syaikh As Sa’di menjelaskan:

‫التعزير واجب في كل معصية ال حد فيه و ال كفارة‬

“Ta’zir hukumnya wajib bagi semua maksiat yang tidak ada hadd-nya dan tidak ada
kafarahnya” (Minhajus Salikin, 231).

e. Harta Hasil Mencuri Tidak Halal

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫كل لحم نبت من سحت فالنار أولى به‬

“Setiap daging yang tumbuh dari suhtun, maka api neraka lebih layak baginya” (HR.
Ahmad no. 14481, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami no. 4519).

49
5. Hukum Jinayat

Kata jinayat menurut bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari kata jinayah yang
berasal dari jana dzanba yajnihi jinâyatan ( ً‫ة‬llَ‫ ِه ِجنَاي‬llْ‫ب – يَجْ نِي‬
َ ‫ َذ ْن‬ll‫)جنَى ال‬
َ yang berarti
melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata jinâyah dipakai dalam
bentuk jama’ (plurals), karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Karena ia
kadang mengenai jiwa dan anggota badan, secara disengaja ataupun tidak.Kata ini
juga berarti menganiaya badan atau harta atau kehormatan. Sedangkan menurut istilah
syari’at jinâyat (Tindak Pidana) adalah menganiaya badan sehingga pelakunya wajib
dijatuhi hukuman qishâsh atau membayar diyat atau kafarah.

Pembunuh dan penganiaya badan manusia dihukumi sebagai fâsiq, karena


melakukan satu dosa besar. Hukum akhiratnya dikembalikan kepada Allah Azza wa
Jalla; apabila Allah Azza wa Jalla hendak mengadzabnya maka akan diadzab; dan bila
mengampuninya maka ia diampuni. Karena masuk dalam firman Allah Azza wa Jalla:

‫ك بِ ِه َويَ ْغفِ ُر َما ُدونَ ٰ َذلِكَ لِ َم ْن يَ َشا ُء ۚ َو َم ْن يُ ْش ِر ْك بِاهَّلل ِ فَقَ ِد ا ْفتَ َر ٰى إِ ْث ًما َع ِظي ًما‬
َ ‫إِ َّن هَّللا َ اَل يَ ْغفِ ُر أَ ْن يُ ْش َر‬

SesungguhnyaAllah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [an-Nisâ`/4:48]

Ini bila ia tidak bertaubat sebelum meninggal dunia. Apabila ia telah bertaubat, maka
taubatnya diterima dengan dasar firman Allah Azza wa Jalla:

ِ ‫وب َج ِميعًا ۚ إِنَّهُ ه َُو ْال َغفُو ُر الر‬


‫َّحي ُم‬ َ ُ‫ي الَّ ِذينَ أَ ْس َرفُوا َعلَ ٰى أَ ْنفُ ِس ِه ْم اَل تَ ْقنَطُوا ِم ْن َرحْ َم ِة هَّللا ِ ۚ إِ َّن هَّللا َ يَ ْغفِ ُر ال ُّذن‬
َ ‫قُلْ يَا ِعبَا ِد‬

Katakanlah:”Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,


janganlah kamu terputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-
dosa semuanya.Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [az-
Zumar/39:53]

Namun tidak gugur darinya hak korban yang terbunuh (al-Maqtul) di akhirat dengan
sekedar taubat. Tapi korban tersebut akan mengambil kebaikan dan pahala pembunuh
tersebut sesuai dengan ukuran kezhalimannya atau Allah Azza wa Jalla yang memberikannya

50
dari sisinya. Juga tidak gugur hak korban dengan di qishash, karena qishâsh adalah hak
keluarga dan kerabat korban (Auliya` al-maqtûl).

a. Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah menyatakan: Pembunuhan dengan sengaja


berhubungan dengan tiga hak:
Hak Allah Azza wa Jalla dan ini akan terhapus dengan taubat.
b. Hak auliyâ` al-Maqtûl dan ini gugur dengan menyerahkan diri kepada mereka.
c. Hak al-maqtûl (korban). Ini tidak gugur, karena korban telah mati dan hilang. Namun
apakah akan diambil dari kebaikan pembunuh (di akherat) atau Allah Azza wa
Jalladengan keutamaan dan kemurahannya menanggungnya? Yang benar Allah Azza
wa Jalla dengan keutamaannya yang bertanggung jawab apabila jelas kebenaran dan
kejujuran taubatnya.

Pendapat inipun dikuatkan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam penjelasan beliau: “Yang
benar bahwa pembunuhan berhubungan dengan tiga hak:hal Allah, hak korban (al-Maqtûl)
dan hak keluarga dan kerabat korban (auliya al-Maqtul). Apabila pembunuh telah
menyerahkan diri dengan suka rela dengan menyesalinya dan takut kepada Allah serta
bertaubat dengan taubat nashuha, maka gugurlah hak Allah Azza wa Jalla dengan taubat dan
hak auliya al-Maqtûl dengan ditunaikan secara sempurna qishâsh atau perdamaian atau
dimaafkan. Namun masih tersisa hak korban, maka Allah Azza wa Jalla yang akan
menggantinya dihari kiamat dari hamba-Nya yang bertaubat dan memperbaiki hubungan
keduanya.”

Jinayat (tindak pidana) terhadap badan terbagi dalam dua jenis:

1. Jinayat terhadap jiwa (Jinâyat an-Nafsi) adalah jinâyat yang mengakibatkan hilangnya
nyawa (pembunuhan). Pembunuhan jenis ini terbagi tiga:

a. Pembunuhan dengan sengaja (al-‘Amd), Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja


ialah seorang mukalaf secara sengaja (dan terencana) membunuh orang yang terlindungi
darahnya dengan cara dan alat yang biasanya dapat membunuh.

b. Pembunuhan yang mirip dengan sengaja (syibhul-’Amdi). Ini tidak termasuk sengaja dan
tidak juga karena keliru (al-Khatha’) tapi tengah-tengah di antara keduanya. Seandainya kita
lihat kepada niat kesengajaan untuk membunuhnya maka ia masuk dalam pembunuhan

51
dengan sengaja. Namun bila kita lihat jenis perbuatannya tersebut tidak membunuh maka
dimasukkan ke dalam pembunuhan karena keliru (al-Khatha’). Oleh karena itu para Ulama
memasukkannya ke dalam satu tingkatan di antara keduanya dan menamakannya
Syibhul-‘Amdi.Adapun yang dimaksud syibhul-’Amdi (pembunuhan yang mirip dengan
sengaja) ialah seorang mukallaf bermaksud membunuh orang yang terlindungi darahnya
dengan cara dan alat yang biasanya tidak membunuh.

c. Pembunuhan karena keliru (al-Khatha’). Sedangkan yang dimaksud pembunuh karena


keliru ialah seorang mukallaf melakukan perbuatan yang mubah baginya, seperti memanah
binatang buruan atau semisalnya, ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang hingga
meninggal dunia.

Ketiga jenis ini didasarkan kepada penjelasan al-Qur`ân dan Sunnah. Dalam al-Qur`ân
dijelaskan dua jenis pembunuhan yaitu sengaja dan tidak sengaja (keliru), seperti dalam
firman Allah Azza wa Jalla:

َّ َ‫َو َما َكانَ لِ ُم ْؤ ِم ٍن أَ ْن يَ ْقتُ َل ُم ْؤ ِمنًا إِاَّل خَ طَأ ً ۚ َو َم ْن قَتَ َل ُم ْؤ ِمنًا خَ طَأ ً فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة َو ِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ إِلَ ٰى أَ ْهلِ ِه إِاَّل أَ ْن ي‬
‫ص َّدقُوا ۚ فَإ ِ ْن‬
‫ق فَ ِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ إِلَ ٰى أَ ْهلِ ِه َوتَحْ ِري ُر‬ ٌ ‫َكانَ ِم ْن قَوْ ٍم َعد ٍُّو لَ ُك ْم َوهُ َو ُم ْؤ ِم ٌن فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة ۖ َوإِ ْن َكانَ ِم ْن قَوْ ٍم بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَهُ ْم ِميثَا‬
‫ فَ َج َزا ُؤهُ َجهَنَّ ُم‬l‫صيَا ُم َشه َْر ْي ِن ُمتَتَابِ َع ْي ِن تَوْ بَةً ِمنَ هَّللا ِ ۗ َو َكانَ هَّللا ُ َعلِي ًما َح ِكي ًما َو َم ْن يَ ْقتُلْ ُم ْؤ ِمنًا ُمتَ َع ِّم ًدا‬
ِ َ‫َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة ۖ فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬
‫ب هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َولَ َعنَهُ َوأَ َع َّد لَهُ َع َذابًا َع ِظي ًما‬
َ ‫ض‬ِ ‫خَ الِدًا فِيهَا َو َغ‬

Dan tidaklah layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja) dan barangsiapa membunuh seorang mumin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar dia
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia
Mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang Mukmin. Jika
ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu,
maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang Mukmin. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut
sebagai cara taubat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah

52
jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta
menyediakan azab yang besar baginya. [an-Nisâ’/4:92-93]

Sedangkan satunya lagi yaitu pembunuhan yang mirip dengan sengaja


(syibhul-’Amdi), diambil dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .di antaranya adalah
hadits Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫صا ِمائَةٌ ِمنَ ا ِإلبِ ِل ِم ْنهَا أَرْ بَعُوْ نَ فِ ْي بُطُوْ نِهَا أَوْ الَ ُدهَا‬
َ ‫أَالَ إِ َّن ِديّةَ ْال َخطَأ ِ ِش ْب ِه ْال َع ْم ِد َما َكانَ بِالسَّوْ ِط َو ْال َع‬

“Ketahuilah bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan
dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor onta. Di antaranya empat puluh ekor yang
sedang hamil”.

2. Jinâyat kepada badan selain jiwa (Jinâyat dûnan-Nafsi/al-Athraf) adalah penganiayaan


yang tidak sampai menghilangkan nyawa.

Jinâyât seperti ini terbagi juga menjadi tiga:


a.Luka-luka (‫ َجاج َُو ْال َج َرا ُح‬lllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllll‫)ال ُش‬
b.Lenyapnya kegunaan anggota tubuh (‫)إِ ْتالَفل َمنَافِ ِع‬
َ ‫)إِ ْتالَفُ األَ ْع‬
c. Hilangnya anggota tubuh (‫ضا ِء‬

Demikianlah Fikih jinayat mencakup kedua jenis jinâyât ini, sehingga nampak jelas
perhatian Islam terhadap keselamatan jiwa dan anggota tubuh seorang Muslim.Dengan dasar
ini jelaslah kesalahan orang yang mudah menumpahkan darah kaum Muslimin.

6. Hukum Dalam Hudud dan Qishash

Ada banyak makna kata qishash (‫ )قصاص‬secara bahasa. Diantara maknanya adalah


mengikuti jejak (‫ع األثر‬ll‫)تتب‬. Dikatakan tatabba'tu al-atsara (‫)تتبعت األثر‬, artinya aku
mengikuti jejak.

Kemudian Al-Fayumi mengatakan bahwa kata qishash lebih sering digunakan dengan makna:

ْ َ‫ارح َوق‬
‫ط ِع ْالقَا ِط ِع‬ ِ ِ ‫ح ْال َج‬
ِ ْ‫قَ ْتل ْالقَاتِل َوجُر‬
membunuh orang yang membunuh, melukai orang yang melukai dan memotong (bagian
tubuh) orang yang memotong

53
Secara istilah, qishash didefinisikan sebagai :

‫أَ ْن يُ ْف َعل بِ ْالفَا ِعل ْال َجانِي ِم ْثل َما فَ َعل‬

Diperlakukannya pelaku kejahatan sebagaimana dia memperlakukan hal itu kepada


korbannya.

Jadi qishash itu kurang lebih bermakna hukuman bagi pelaku kejahatan yang prinsip
dasar ditegakkannya berdasarkan kesetaraan bentuk kejahatannya. Prinsipnya membunuh
dibunuh, melukai dilukai, merusak dirusak dan memotong dipotong.

Orang yang melakukan pembunuhan nyawa orang lain, maka hukumannya secara
qishash dibunuh juga. Orang yang melukai orang lain, maka hukumannya secara qishash
dilukai juga. Tentu saja kedudukan, kadar, nilai dan tingkat lukanya disamakan dengan apa
yang telah dilakukannya.

Dengan bahasa lain, kita bisa mengatakan bahwa hukum qishash itu adalah hukum
berdasarkan kesetaraan dan kesamaan. Dan di dalam qishash itulah keadilan menampakkan
wujudnya yang asli.

a. Antara Qishash, Jinayat dan Hudud

Antara qishash dengan jinayat dan hudud ada hubungan yang erat, sehingga
seringkali disamakan penyebutannya dalam banyak kesempatan. Namun
sesungguhnya ketiga istilah itu tetap punya perbedaan yang mendalam.

1. Kaitan Antara Qishash dan Jinayat

Secara istilah, jinayah didefinisikan oleh Al-Jurjani sebagai :

‫س أَوْ َغي ِْرهَا‬


ِ ‫ض َررًا َعلَى النَّ ْف‬
َ ُ‫ض َّمن‬ ٍ ُ‫ُكل فِ ْع ٍل َمحْ ظ‬
َ َ‫ور يَت‬

Semua perbuatan yang terlarang dan terkait dengan dharar (sesuatu yang membahayakan)
baik kepada diri sendiri atau orng lain.

Hubungan antara qishash dengan jinayat adalah hubungan sebab akibat. Perbuatan
jinayat (kejahatan) yang dilakukan oleh seseorang akan mengakibatkan dijatuhkanya hukum
qishash.

Contoh yang sederhana adalah orang yang membunuh dan menghilangkan nyawa
orang lain dengan sengaja, maka dia telah melakukan tindakan jinayah. Oleh karena itu
sebagai hukuman, dia bisa dijatuhi hukuman qishash yaitu dibunuh hingga mati.

54
Namun apabila pihak keluarga korban memberi maaf kepadanya, hukum qishash bisa
saja ditinggalkan, sehingga pelaku tidak perlu dibunuh, cukup membayar diyat saja. Bahkan
kalau keluarga korban ikhlas sepenuhnya, pelaku dibebaskan sama sekali di ancaman hukum
qishash dan diyat juga.

b. Kaitan Antara Qishash dan Hudud

Hudud didefinisikan oleh banyak ulama sebagai :

‫ت َحقًّا هَّلِل ِ تَ َعالَى‬


ْ َ‫ُعقُوبَةٌ ُمقَ َّد َرةٌ َو َجب‬

Hukuman yang ditetapkan Allah dan diwajibkan untuk memenuhi hak Allah.

Hubungan antara qishash dan hudud adalah bahwa keduanya sama-sama merupakan
bentuk hukuman atas perbuatan jinayah. Namun perbedaan antara keduanya jelas, yaitu
bahwa qishash merupakan hukuman atas dilanggarnya hak manusia atau hak orang lain,
sedangkan hudud secara umum adalah hukuman atas dilanggarnya hak Allah SWT.

Contoh qishash adalah dipotongnya tangan pelaku kejahatan akibat dia telah
memotong tangan orang lain, sedangkan contoh hudud adalah dipotongnya tangan seorang
pencuri yang memenuhi syarat pencurian.

Apakah Hukum Qishash Manusiawi ?

Memang sekilas kalau kita menyaksikan bagaimana si pembunuh harus meregang ajal
karena dihukum secara qishash, mungkin kita akan kasihan. Apalagi kalau ceritanya
dipotong-potong, tentu pandangan kita menjadi tidak objektif lagi.Cerita pembunuhannya
harus ditampilkan secara utuh tanpa diedit dan dipotong-potong. Dan bayangkan kalau
korban pembunuhannya adalah anak kita sendiri. Anak yang sudah kita asuh sejak kecil
selama puluhan tahun, ternyata setelah besar dan dewasa, tiba-tiba nyawanya dicabut begitu
saja, dibunuh begitu saja oleh pembunuhnya secara kejam dan tidak adil.

Tentu pembunuhnya harus bertanggung-jawab sepenuhnya. Dan untuk itu nyawa


memang harus dibalas dengan nyawa. Dan itu manusiawi serta masuk akal. Memang dengan
menghukum mati pembunuhnya, nyawa anak kita tidak bisa dikembalikan lagi. Namun
tujuan hukum qishash memang bukan untuk mengembalikan nyawa, sebab mengembalikan
nyawa itu memang mustahil.

Tujuan hukum qishash ini justru untuk mencegah agar orang lain biar tidak ringan
tangan main cabut nyawa manusia seenaknya. Maka Allah SWT sebagai Tuhan Sang Maha

55
Pencipta langsung turun tangan dan menetapkan hudud-Nya, bahwa siapa yang membunuh
nyawa manusia, maka dia wajib dibunuh juga.

Jadi hukum qishash ini bukan balas dendam, bukan karena alasan sakit hati, juga
bukan urusan nyawa dibayar nyawa. Namun hukum qishash ini ternyata sudah menjadi
domain Allah SWT langsung. Dia adalah Tuhan yang kita sembah, dan Dia telah menetapkan
berlakunya hukum qishash. Dia adalah Pencipta manusia, maka hanya Dia-lah satu-satu yang
berhak memberi sifat manusiawi atau tidak manusiawi. Dan Dia telah menetapkan bahwa
hukum qishash itu manusiawi.

Tetapi, jika Islam hadir secara nyata di tengah-tengah percaturan dunia, maka tidak
akan terjadi pembunuhan manusia tanpa haq. Padahal hak hidup adalah hak suci manusia,
kecuali dalam beberapa keadaan tertentu. Sehubungan dengan ini Allah berfirman:

‫اس َج ِميعًا َو َم ْن أَحْ يَاهَا‬


َ َّ‫ض فَ َكأَنَّ َما قَتَ َل الن‬
ِ ْ‫س أَوْ فَ َسا ٍد فِي األَر‬
ٍ ‫ك َكتَ ْبنَا َعلَى بَنِي إِ ْس َرائِي َل أَنَّهُ َم ْن قَتَ َل نَ ْفسًا بِ َغي ِْر نَ ْف‬
َ ِ‫ِم ْن أَجْ ِل َذل‬
َ َّ‫فَ َكأَنَّ َما أَحْ يَا الن‬
‫اس َج ِميعًا‬

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagj Bani Israil bahwa: Barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya". (QS. Al-Maidah: 32)

Tidak mudah membunuh manusia yang dimuliakan Allah ini. Dan Allah berfrman:

ٍ ِ‫ت َوفَض َّْلنَاهُ ْم َعلَى َكث‬


ِ ‫ير ِم َّم ْن خَ لَ ْقنَا تَ ْف‬
‫ضيالً َولَقَ ْد‬ ِ ‫ك َّر ْمنَا بَنِي آ َد َم َو َح َم ْلنَاهُ ْم فِي ْالبَ ِّر َو ْالبَحْ ِر َو َر َز ْقنَاهُ ْم ِمنَ الطَّيِّبَا‬

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan bani Adam". (QS. Al-Isra: 70)

Dunia sekarang, yang dinilai sebagai dunia peradaban, telah menyaksikan kekejian-kekejian
yang seratus persen biadab. 

7. Hukum-hukum Diyat

Diyat menurut bahasa berarti denda, tebusan atau ganti rugi. Sedangkan diyat
menurut istilah syara’ diyat adalah pemberian sejumlah barang atau uang kepada
keluarga korban untuk menghilangkan dendam, meringankan beban korban dan
keluarganya sebagai ganti hukum qishosh yang telah dimaafkan oleh keluarga korban.
Diyat disyariatkan dalam pembunuhan dan penganiayaan. Dalil Tentang Diyat.

56
Hukuman diyat disyari’atkan dalam syariat Islam berdasarkan dalil dari al-Qur‘an,
Sunnah dan ijma’.

Di antara dalil dari al-Qur‘ân adalah firman Allah Swt : ‫فَ َم ْن ُعفِ َي لَهُ ِم ْن أَ ِخي ِه َش ْي ٌء‬
َ ِ‫يف ِم ْن َربِّ ُك ْم َو َرحْ َمةٌ ۗ فَ َم ِن ا ْعتَد َٰى بَ ْع َد ٰ َذل‬
‫ك فَلَهُ َع َذابٌ أَلِي ٌم‬ َ ِ‫ُوف َوأَدَا ٌء إِلَ ْي ِه بِإِحْ َسا ٍن ۗ ٰ َذل‬
ٌ ِ‫ك ت َْخف‬ ِ ‫ع بِ ْال َم ْعر‬
ٌ ‫فَاتِّبَا‬

“Maka barangsiapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya,


hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang
diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik
pula.” (QS. Al-Baqarah :178)

Ini berlaku untuk pembunuhan disengaja Juga firman Allah Swt : ‫َو َما َكانَ لِ ُم ْؤ ِم ٍن‬
َ‫ص َّدقُوا ۚ فَإ ِ ْن َكان‬ َّ َ‫أَ ْن يَ ْقتُ َل ُم ْؤ ِمنًا إِاَّل خَ طَأ ً ۚ َو َم ْن قَت ََل ُم ْؤ ِمنًا َخطَأ ً فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة َو ِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ إِلَ ٰى أَ ْهلِ ِه إِاَّل أَ ْن ي‬
‫ق فَ ِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ إِلَ ٰى أَ ْهلِ ِه‬
ٌ ‫ِم ْن قَوْ ٍم َع ُد ٍّو لَ ُك ْم َوهُ َو ُم ْؤ ِم ٌن فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة ۖ َوإِ ْن َكانَ ِم ْن قَوْ ٍم بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَهُ ْم ِميثَا‬
‫ْن تَوْ بَةً ِمنَ هَّللا ِ ۗ َو َكانَ هَّللا ُ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬lِ ‫صيَا ُم َش ْه َر ْي ِن ُمتَتَابِ َعي‬
ِ َ‫َوتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة ۖ فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬

“Dan tidak pantas bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin yang
lain, kecuali karena tersalah tidak sengaja. Dan barangsiapa membunuh seorang
Mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum
(kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si
pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-
turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa‘:92)

Hal ini berhubungan dengan pembunuhan tidak disengaja dan mirip sengaja.
Sedangkan dari Sunnah di antaranya adalah sabda Rasulullah Saw : “Barangsiapa
yang keluarganya terbunuh maka ia bisa memilih dua pilihan, bisa memilih diyat dan
bisa juga memilih pelakunya dibunuh (qishash)”. (HR. al-Jama’ah). Sebab-sebab
Diyat. 1. Pembunuhan yang disengaja yang dimaafkan oleh wali/ahli waris terbunuh.
2. Pembunuhan seperti sengaja (qatlu syibil amdi). 3. Pembunuhan tersalah (qatlu
khatha’). 4. Qishash sulit dilaksanakan. Macam- macam Diyat. Diyat Mughallazhah
(Benda Berat) Denda dengan cara membayar 100 ekor unta, terdiri 30 ekor hiqqah
(unta betina usia 3 - 4 tahun), 30 ekor jadzah (unta betina usia 4 – 5 tahun ) dan 40

57
ekor khilfah (unta betina bunting). Diyat Mughalladzah ini diwajaibkan kepada: a)
Pembunuhan sengaja tapi dimaafkan oleh korban keluarga. Pembayaran diyat ini
sebagai ganti qishash dan pembayaranya secara tunai. b) Pembunuhan seperti sengaja,
tetapi pembayaranya boleh diangsur selama tiga tahun. c) Pembunuhan ditanah haram
pada bulan-bulan haram atau pembunuhan terhadap muhrim. Diyat Mukhofafah
(Diyat Ringan). Denda yang sifatnya ringan, yaitu membayar denda yang berupa 100
ekor unta terdiri 20 ekor hiqqah, 20 ekor jadz’ah, 20 ekor binta labun (unta betina usia
lebih dari 2 tahun), ibnu labun (unta jantan usia lebih dari 2 tahun ) dan 20 ekor binta
mukhad (unta betina usia 2 tahun). Diyat mukhafafah diwajibkan atas pembunuhan
tersalah dibayar oleh keluarga pembunuh dan diangsur 3 tahun tiap tahun
sepertiganya. Diyat mukhafafah diwajibkan kepada: a) Pemnunuhan tersalah (qatlu
khatha’) b) Pembunuhan selain ditanah haram ( Makkah ) bukan bulan haram 9
Muharam, Dzulhijah dan rajab) dan bukan muhrim. c) Orang yang sengaja
memotong/ membuat cacat/ melukai anggota badan orang lain tetapi dimaafkan oleh
keluarga korban. Diyat Anggota Badan (selain pembunuhan). Pemotongan,
menghilangkan fungsi, membuat cacat atau melukai anggota badan dikenakan diyat
sebagai berikut : a. Diyat 100 ekor unta yaitu bagi anggota badan yang berpasangan.
b. Diyat 50 ekor unta yaitu bagi anggota badan yang berpasangan jika salah satunya
terpotong. c. Diyat 33 ekor unta yaitu bagi luka kepala sampai otak,luka badan sampai
perut. d. Diyat 15 ekor unta,jika melukai kulit diatas tulang. e. Diyat 10 ekor unta, jika
melukai sampai jari tangan atau jari kaki sampai putus. f. Diyat 5 ekor unta,jika
meruntuhkan satu gigi. Baca Juga : Pengertian Kaffarat, Macam-macam Kaffarar
Serta Hikmah Kaffarat Hikmah Diyat. Pembayaran diyat bagi pembunuh kepada
keluarga korban, disamping untuk menghilangkan rasa dendam juga mengandung
hikmah sebagai berikut :

a. Sifat pemaaf  kepada orang lain karena sesuatu hal sudah terjadi

b. Manusia dapat berhati-hati dalam bertindak bahkan takut melakukan kejahatan


karena sayang harta, bisa habis bahkan melarat karena untuk membayar diyat

c. Menjunjung tinggi terhadap perlindungan jiwa dan raga.

8. Hukum-hukum Ta’zir

Dapat dijelaskan bahwa dijelaskan ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman
atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’, dikalangan para

58
fuqoha jarimah yang hukumannya belum di tetapkan oleh syara’ disebut dengan
jarimah ta’zir. Dapat dipahami juga bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-
perbuatan maksiat yang tidak di kenakan hukuman had dan tidak pula kifarat.

 Jadi,hukuman ta’zir tidak mempunyai batas-batas hukuman tertentu, karena


syara’ hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, mulai dari yang seringan-ringannya
sampai yang seberat-beratnya. Dengan kata lain, hakim yang berhak menetukan
macam tindak pidana beserta hukumannya, karena hukumannya belum di tentukan
oleh syara’.

Jenis-jenis hukum ta’zir ini adalah sebagai berikut :

1.Hukumann Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan

a. Hukuman mati

Dalam makalah-makalh sebelumnya telah dijelaskan bahwa hukuman mati


ditetapkan sebagai hukuman qishash utnuk pembunuhan sengaja dan sebagai
hukuman had untuk jarimah hirabah, zina muhson, riddah, dan jarimah
pemberontakan. Untuk jarimah ta’zir, hukuman mati ini di terapkan oleh para fuqoha
secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapakan
hukuman mati sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan
hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya
pencurian yang berulang-ulang dan menghina nabi beberapa kali yang dilakukan oleh
kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk islam.

b. Hukuman jilid (Dera)


Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang pertengahan
(sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalau kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh imam Ibn Taimiyah, dengan alas an karena sebaik-baiknya perkara
adlah pertengahan.
Apabila orang yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang
menghalanginya sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi, apabila orang
terhukum itu seorang perempuan maka bajunya tidak boleh dibuka, karena jika
demikian akan ternukalah auratnya.

2. Hukuman yang Berkaitan dengan Kemerdekaan

59
a. Hukuman penjara

Maksud hukuman penjara disini bukanlah menahan pelaku di tempat yang


sempit, melainkan menahan sseorang yang mencegahnya agar ia tidak melakukan
perbuatan hukum, baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau masjid, maupun
ditempat lainnya. Penahan itulah yang dilakukan pada masa nabi dan Abu bakar.
Artinya, pada masa Nabi dan Abu bakar tidak ada tempat yang khusus disediakan
untuk menahan seseorang pelaku.

b.Hukuman pengasingan
Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan  untuk pelaku
tindak pidana hirabah (perampokan) berdasarkan Qs. Al- Maidah ayat 33 :

‫إنما جزاء الذين يحاربون هللا ورسوله ويسعون في األرض فسادا أن يقتلوا أو يصلبوا أو تقطع أيديهم‬

‫وأرجلهم من خالف أو ينفوا من األرض ذلك لهم خزي في الدنيا ولهم في اآلخرة عذاب عظيم‬

Yang artinya :

“sesungguhnya  pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah danRasulnya dan


membuat kerusakan di mka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau di potong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya) (QS. Al-Maidah:33).

3. Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan Harta

a.Status hukumannya

Para ulama berpendapat tentang dibolehkannya hukuman ta’zir dengan cara


mengambil harta. Pendapat ini di bolehkan apabila dipandang membawa maslahat.
Pengambilan harta ini bukan semata untuk diri hakim atau untuk kas umum (Negara),
melainkan hanya menahannya untuk sementara waktu. Adapun apabila pelaku tidak
bias di harapkan untuk bertobat maka hakim dapat men-tasarufkan harya tersebut
untuk kepentingan yang mengandung maslahat.

Hukuman-Hukuman Ta’zir yang Lain

Selain hukuman-hukuman yang telah di sebutukan di atas, terdapat hukuman ta’zir yang lain
hukuman tersebut adalah  sebagai berikut:

60
1. Peringatan keras

2. Dihadirkan di hadapan sidang

3. Di beri nasehat

4.Celaan

5. Pengucilan

6. Pemecatan

7. Pengumuman kesalahan secara terbuka

4. Pengecualian/orang yang tidak dapat di hukum ta’zir

Pengecualian dalam tanggung jawab hukuman, Ali bin Abi thalib berkata kepada
Umar bin Khattab : “apakah engkau tahu bahwa tidaklah di catat perbuatan baik atau buruk,
dan tidak pula dituntut tanggung jawab atas apa yang dilakukan, karena hal berikut:

1.Orang yang gila sampai dia sadar

2. Anak-anak sampai dia mencapai usia dewasa/baligh

3.Orang yang tidur sampai dia bangun”. (Riwayat Imam bukhari.)

Berdasarkan riwayat diatas, kita dapat mengetahui tanggung jawab hukum


atau tidak pidana dalam syariat.Tanggung jawab atau tindak pidana yang dilakukan
dibenarkan kepada pelaku kejahatan itu sendiri. Ayah, Ibu, saudara atau kerabatnya
yang laintak dapat mengambil alih/menjalankan hukuman karena kejahatan yang
dilakukan sebagaimana yang telah terjadi pada masa jahiliyah, sebelum islam. Al-
Qur’anul karim menjelaskan bahwa tak seorangpun yang akan memikul beban orang
lain.

Adapun dalil dalil pelaksanaan ta’zir sebagai berikut :


1. Firman Allah Q.S. An-Nisa’ : 34.

َ‫ضا ِج ِع َواضْ ِربُوه َُّن فَإ ِ ْن أَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغوا َعلَ ْي ِه َّن َسبِياًل إِ َّن هَّللا َ َكان‬
َ ‫َوالاَّل تِي تَخَافُونَ نُ ُشو َزه َُّن فَ ِعظُوه َُّن َوا ْه ُجرُوه َُّن فِي ْال َم‬
‫َعلِيًّا َكبِيرًا‬

61
Artinya : Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.( Q.S. An-Nisa’ : 34)

Zakariya Anshary menyebut Q.S. An-Nisa’ : 34 di atas sebagai dalil ta’zir sebelum terjadi
ijmak.3

2. Qiyas.

Perintah kepada suami melakukan ta’zir atas isterinya apabila melakukan nusyuz pada
ayat di atas adalah karena suami ada hak wilayat atas isterinya. Dengan demikian, pemerintah
(imam) terhadap rakyatnya juga sama halnya dengan posisi suami terhadap isterinya.
3. Ijmak Ulama,

Sebagaimana telah disebut oleh Zakariya Anshary dalam Kitab Fathul Wahab 4, Ibnu
Munzir mengatakan : “Ijmak ulama bahwa seseorang laki-laki apabila berkata kepada lainnya
: “Hai Yahudi atau Hai Nasrany”, atasnya ta’zir dan tidak ada hudud”.Pada halaman
berikutnya beliau berkata :“Ijmak ulama bahwa bagi imam berhak menta’zir pada sebagian
perkara”.
4. Hadits Nabi SAW
‫من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف اإليمان‬
Artinya : Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah merobahnya dengan
kekuasaannya, jika tidak mampu, hendaklah merobahnya dengan lisan dan jika tidak mampu
juga, hendaklah merobahnya dengan hati. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.
(H.R. Muslim)

3. MAWARIS
A. Pendahuluan
Lafaz Al-mawaris merupakan amak dari lafal mirats maksudnya adalah harta
peninggalan yang ditinggalkan oleh (si mati) dan diwarisi oleh yang lainnya (ahli
waris).
Menurut Muhammad al-syarbiny Faraidh adalah ilmu fiqh yangberkaitan
dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat

62
menyelesaikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang
wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik hak waris (ahli waris). Sedangkan
menurut Hasbi Ash-Shiddieqy Faraid adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa
yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkanya, kadar yang
diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya.
Dari definisi-definisi diatas dapat dipahami bahwa faraid atau fiqh mawaris
adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal memindahkan harta peninggalan dari
seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta
yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan
tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian
harta peninggalan itu.
1. Kedudukan dalam mawaris
Hukum waris Islam sebagai bagian dari syari’at islam dan lebih khusus
lagi sebagai bagian dari aspek muamalah sub hukum perdata, tidak dipisahkan
dengan aspek-aspek lain dari ajaran Islam.Hukum waris mendapatkan
kedudukan yang sangat penting dalam agama Islam. Alqur’an mengatur
hukum waris secara  jelas dan terperinci. Hal ini dapat dimengerti karena
setiap orang pasti akan berhubungan dengan warisan, dan kalau tidak
diberikan ketentuan yang pasti akan menimbulkan sengketa di antara para Ahli
Waris. Setiap terjadi peristiwa kematian seseorang, segera timbul pertanyaan
tentang bagaimana harta peninggalannya harus diperlakukan, kepada siapa
saja harta tersebut dibagikan, serta bagaimana cara pembagiannya.Pertanyaan-
pertanyaan  inilah yang nantinya akan dibicarakan dalam materi hukum waris
Islam.
Bagi umat Islam mengamalkan waris berdasarkan hukum waris Islam
bersifat wajib ‘ain dan mempelajarinya merupakan kewajiban kolektif (fardlu
kifayah).Kewajiban itu dapat dilihat dari beberapa ayat Alqur’an dan Hadist
Nabi berikut ini:
1. QS. Ali Imran: 185
‫ار َوأُ ْد ِخ َل ْال َجنَّةَ فَقَ ْد فَازَ ۗ َو َما‬ ُ
ِ َّ‫ت ۗ َوإِنَّ َما تُ َوفَّوْ نَ أجُو َر ُك ْم يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة ۖ فَ َم ْن ُزحْ ِز َح ع َِن الن‬
ِ ْ‫س َذائِقَةُ ْال َمو‬ ٍ ‫ُكلُّ نَ ْف‬
ِ ‫ع ْال ُغر‬
‫ُور‬ ُ ‫ْال َحيَاةُ ال ُّد ْنيَا إِاَّل َمتَا‬

Artinya” Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada
hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari

63
neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung.
kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
2. Dari Abu Harairah, bahwa Nabi saw bersabda: “Pelajarilah faraidl dan
ajarkanlah kepada orang banyak; karena faraidl adalah separoh ilmu dan mudah
dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari
umatKu.”(HR.. Ibnu Majah & Ad-Daruquthni).
3. Dari Ibnu Mas’ud, dia berkata: Telah bersabda Rasul Allah saw: “Pelajarilah
Alqur’an dan ajarkanlah kepada orang banyak, pelajari pula faraidl dan
ajarkanlah kepada orang banyak. Karena aku adalah manusia yang pada suatu
ketika mati dan ilmupun akan hilang. Hampir-hampir dua orang bersengketa
dalam pembagian warisan dan masalahnya tidak menemukan seseorang yang
memberitahu bagaimana penyelesaiannya.”(HR. Ahmad bin Hambal).
4.  Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwa Rasulullah bersabda:”Ilmu itu ada tiga
macam, dan selain dari yang tiga itu adalah tambahan: ayat yang jelas, sunnah
yang datang dari Nabi dan faridlah yang adil.”(HR.. Abu Dawud dan Ibnu
Majah).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas, maka para ulama bersepakat
bahwa faraidl  dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu yang berdiri sendiri yang
disebut dengan Ilmu Faraidl, yaitu ilmu tentang pembagian harta warisan.
Kata Faraidl adalah bentuk jamak dari Faridlah, faridlah diambil dari
kata Fardl yang artinya takdir (ketentuan). Sementara itu, Fardl dalam istilah
syara’ adalah bagian tertentu dari harta warisan  bagi Ahli Waris.
Di Indonesia, sejak berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada tanggal 20 Maret
2006, ada beberapa perubahan tentang:
Perluasan kewenangan Pengadilan Agama sebagai berikut.
a. Pasal 49
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:perkawinan, waris,  wasiat,  hibah, wakaf, zakat,  infaq,
shadaqah, ekonomi syari’ah.
b. Dalam Pasal 49 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 kewenangan  di bidang
kewarisan diatur tentang: penentuan siapa-siapa yang menjadi Ahli Waris,

64
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing Ahli
Waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
c. Dalam penjelasan Pasal 49 huruf b UU Nomor 3 Tahun 2006 kewenangan di
bidang kewarisan ditambah meliputi: penetapan permohonan seseorang tentang
penentuan Ahli Waris dan bagiannya. Dalam Pasal 107 ayat (2) UU Nomor 7
Tahun 1989 permohonan ini tidak dikualifikasikan sebagai perkara
permohonan.
Perubahan yang cukup signifikan sebagai berikut.
a. Subyek hukum diperluas menjadi tidak hanya orang Islam dalam pengertian
teologis, akan tetapi termasuk juga orang atau badan hukum yang
menundukkan diri secara sukarela kepada hukum Islam.
b. Apabila terjadi sengketa hak milik diantara subyek hukum yang beragama
Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama
dengan perkara pokok (Pasal 50 ayat (2)).
c. Pilihan hukum untuk perkara kewarisan dihilangkan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa kedudukan hukum
waris Islam di Indonesia sudah merupakan hukum positif dan oleh karena itu
perkara kewarisan bagi orang Islam mutlak menjadi kewenangan Peradilan Agama.

2. Hak-hak yang Berhubungan dengan Harta Peninggalan


Sebelum para Ahli Waris membagi warisan, terlebih dahulu harus
diperhatikan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan si Pewaris.
Perlu diketahui bahwa hak-hak Pewaris tersebut pada hakekatnya merupakan
kewajiban para Ahli Waris terhadap Pewaris seperti yang ditentukan dalam
Pasal 175 KHI. Hak-hak tersebut secara tertib adalah sebagai berikut.
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan
termasuk kewajiban Pewaris maupun menagih hutang.
c. Menyelesaikan wasiat Pewaris.
d. Membagi harta warisan diantara Ahli Waris yang berhak.
e. Tanggung jawab Ahli Waris terhadap hutang atau kewajiban Pewaris
hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.
3. Rukun Mewaris
a. Pewaris

65
Menurut Pasal 171 butir b KHI, Pewaris adalah orang yang
pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan
putusan Pengadilan, beragama Islam, meninggalkan Ahli Waris dan
harta peninggalan.
Dengan demikian, pada prinsipnya Pewaris adalah orang yang
telah meninggal dunia yang hartanya diwarisi oleh Ahli Warisnya.
Istilah Pewaris dalam kepustakaan sering disebut sebagai Mewarrits.
b. Ahli Waris
Menurut Pasal 171 butir c KHI, Ahli Waris adalah orang yang
pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah/nasab atau
hubungan perkawinan dengan Pewaris, beragama Islam dan tidak
berhalangan karena hukum untuk menjadi Ahli Waris.
Redaksi Pasal tersebut apabila diperhatikan secara seksama
terkesan seolah-olah orang yang pada saat meninggal tersebut, ia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
Pewaris. Padahal yang dimaksud tentu tidak demikian. Oleh karena itu
redaksi pada Pasal tersebut perlu direvisi, misalnya: Ahli Waris adalah
orang yang masih hidup atau dinyatakan hidup yang mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan Pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi Ahli
Waris.
Pada prinsipnya, Ahli Waris adalah orang yang mendapatkan
warisan dari Pewaris, baik karena hubungan nasab maupun karena
hubungan perkawinan, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi Ahli Waris.

c. Warisan
KHI membedakan pengertian antara harta peninggalan dengan
harta warisan. Menurut Pasal 171 butir d KHI, Harta Peninggalan
adalah harta yang ditinggalkan oleh Pewaris baik yang berupa harta
benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Adapun Harta
Warisan menurut Pasal 171 butir e KHI adalah harta bawaan ditambah
bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan Pewaris

66
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Pemahaman yang muncul dalam Pasal tersebut, terkesan bahwa
Pewaris itu hanya terjadi bagi mereka yang telah terikat dengan
perkawinan (pasangan suami isteri), yang kemudian salah satunya
meninggal dunia. Juga ungkapan “Harta Bawaan dan Harta
Bersama”, berkaitan erat dengan pengaturan harta benda dalam
perkawinan apabila perkawinan putus, yaitu ketentuan Pasal 35, 36 dan
37 UU Nomor 1 tahun 1974 dan Pasal 85-97 KHI Buku I.
Oleh karena itu, pada prinsipnya Harta Peninggalan adalah
harta yang ditinggalkan oleh Pewaris, baik yang berupa harta benda
yang menjadi miliknya ataupun hak-haknya. Sedangkan Harta Warisan
adalah harta peninggalan setelah digunakan untuk keperluan Pewaris
selama sakit sampai meninggalnya, biaya penguburan jenazah (tajhiz),
pembayaran hutang, penyelesaian wasiat, dan pemberian untuk
kerabat.
4. Sebab-sebab Mewaris
a. Karena Hubungan Nasab
Hubungan Nasab maksudnya adalah hubungan kekerabatan
atau hubungan famili, yang akan menimbulkan hak mewaris jika salah
satu meninggal dunia. Misalnya antara anak dengan orangtuanya.
Apabila orangtua meninggal dunia, maka anak mewarisi harta warisan
dari orangtuanya, demikian pula sebaliknya.
b. Karena Hubungan Perkawinan
Perkawinan yang sah menimbulkan hubungan kewarisan. Jika
seorang suami meninggal dunia, maka isteri adalah sebagai Ahli Waris
dari suaminya. Demikian juga sebaliknya, jika isteri meninggal dunia,
maka suami menjadi Ahli Waris dari isterinya.
c. Karena Agama
Hubungan mewaris karena agama ini yang dimaksud adalah
apabila seorang Pewaris sama sekali tidak meninggalkan Ahli Waris, 
baik karena hubungan nasab maupun hubungan perkawinan. Adapun
yang mengelola harta warisan tersebut adalah baitul mal untuk
mewujudkan tujuan pengembangan agama Islam.

67
Dasar Hukum Mawaris

1. QS. An Nisa’ ayat 1


ۚ ‫ا ًء‬l‫يرًا َونِ َس‬lِ‫ ااًل َكث‬l‫ا ِر َج‬l‫ث ِم ْنهُ َم‬ َّ َ‫ا َوب‬lَ‫ا َزوْ َجه‬lَ‫ق ِم ْنه‬ َ َ‫س َوا ِح َد ٍة َو َخل‬ ٍ ‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي َخلَقَ ُك ْم ِم ْن نَ ْف‬
‫َواتَّقُوا هَّللا َ الَّ ِذي تَ َسا َءلُونَ بِ ِه َواأْل َرْ َحا َم ۚ إِ َّن هَّللا َ َكانَ َعلَ ْي ُك ْم َرقِيبًا‬

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah


menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.

2. QS. Al Anfal ayat 75


‫ب‬
ِ ‫ْض فِي ِكتَا‬ َ ِ‫َاجرُوا َو َجاهَدُوا َم َع ُك ْم فَأُو ٰلَئ‬
ُ ‫ك ِم ْن ُك ْم ۚ َوأُولُو اأْل َرْ َح ِام بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم أَوْ لَ ٰى بِبَع‬ َ ‫َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا ِم ْن بَ ْع ُد َوه‬
‫هَّللا ِ ۗ إِ َّن هَّللا َ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬
Artinya: Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta
berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga).
orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

3. QS. An Nisa’ ayat 8


‫وْ اًل َم ْعرُوفًا‬lllَ‫وا لَهُ ْم ق‬lllُ‫هُ َوقُول‬lll‫ارْ ُزقُوهُ ْم ِم ْن‬lllَ‫ا ِكينُ ف‬lll‫ا َم ٰى َو ْال َم َس‬lllَ‫رْ بَ ٰى َو ْاليَت‬lllُ‫و ْالق‬lllُ‫ َمةَ أُول‬lll‫ َر ْالقِ ْس‬lll‫ض‬
َ ‫َوإِ َذا َح‬
Artinya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan
orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah
kepada mereka Perkataan yang baik.

4. QS. An Nisa’ ayat 10


‫إِ َّن الَّ ِذينَ يَأْ ُكلُونَ أَ ْم َوا َل ْاليَتَا َم ٰى ظُ ْل ًما إِنَّ َما يَأْ ُكلُونَ فِي بُطُونِ ِه ْم نَارًا ۖ َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِعيرًا‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

68
5. QS. An Nisa’ ayat 11
ْ ‫ق ْاثنَتَ ْي ِن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما تَ َركَ ۖ َوإِ ْن َكان‬
‫َت‬ َ ْ‫ظ اأْل ُ ْنثَيَ ْي ِن ۚ فَإ ِ ْن ُك َّن نِ َسا ًء فَو‬
ِّ ‫صي ُك ُم هَّللا ُ فِي أَوْ اَل ِد ُك ْم ۖ لِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َح‬ ِ ‫يُو‬
ُ‫ك إِ ْن َكانَ لَهُ َولَ ٌد ۚ فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَه‬َ ‫اح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َر‬ ِ ‫َوا ِح َدةً فَلَهَا النِّصْ فُ ۚ وَأِل َبَ َو ْي ِه لِ ُكلِّ َو‬
‫صي بِهَا أَوْ َدي ٍْن ۗ آبَا ُؤ ُك ْم َوأَ ْبنَا ُؤ ُك ْم اَل‬ ِ ‫ث ۚ فَإ ِ ْن َكانَ لَهُ إِ ْخ َوةٌ فَأِل ُ ِّم ِه ال ُّس ُدسُ ۚ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ‫صيَّ ٍة يُو‬ ُ ُ‫أَبَ َواهُ فَأِل ُ ِّم ِه الثُّل‬
َ ‫تَ ْدرُونَ أَيُّهُ ْم أَ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۚ فَ ِري‬
‫ضةً ِمنَ هَّللا ِ ۗ إِ َّن هَّللا َ َكانَ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua
Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.

6. QS. An Nisa’ ayat 12


ِ ‫ك أَ ْز َوا ُج ُك ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَه َُّن َولَ ٌد ۚ فَإ ِ ْن َكانَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ْكنَ ۚ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
‫صيَّ ٍة‬ َ ‫َولَ ُك ْم نِصْ فُ َما تَ َر‬
ُّ ‫صينَ بِهَا أَوْ َد ْي ٍن ۚ َولَه َُّن الرُّ بُ ُع ِم َّما ت ََر ْكتُ ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَ ٌد ۚ فَإ ِ ْن َكانَ لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَه َُّن‬
‫الث ُمنُ ِم َّما ت ََر ْكتُ ْم ۚ ِم ْن‬ ِ ‫يُو‬
ٌ ‫ث كَاَل لَةً أَ ِو ا ْم َرأَةٌ َولَهُ أَ ٌخ أَوْ أُ ْخ‬
‫ت فَلِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َما‬ ُ ‫صيَّ ٍة تُوصُونَ بِهَا أَوْ َد ْي ٍن ۗ َوإِ ْن َكانَ َر ُج ٌل يُو َر‬ ِ ‫بَ ْع ِد َو‬
ۚ ٍّ‫ضار‬ َ ‫ُوص ٰى بِهَا أَوْ َد ْي ٍن َغي َْر ُم‬َ ‫صيَّ ٍة ي‬ ِ ‫د َو‬lِ ‫ث ۚ ِم ْن بَ ْع‬ َ ِ‫ال ُّس ُدسُ ۚ فَإ ِ ْن َكانُوا أَ ْكثَ َر ِم ْن ٰ َذل‬
ِ ُ‫ك فَهُ ْم ُش َر َكا ُء فِي الثُّل‬
‫صيَّةً ِمنَ هَّللا ِ ۗ َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َحلِي ٌم‬
ِ ‫َو‬
Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka
Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah

69
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-
benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

5. Penghalang Mewaris
Adanya sebab-sebab mewaris, rukun kewarisan dan syarat kewarisan sudah
terpenuhi, belum cukup menjadi alasan adanya hak waris bagi setiap Ahli Waris,
kecuali apabila tidak terdapat penghalang warisan. Dalam hukum kewarisan Islam
di Indonesia ada dua penghalang warisan, yaitu:
a. Pembunuhan
Para ulama (kecuali kaum Khawarij) bersepakat bahwa suatu
pembunuhan yang dilakukan oleh Ahli Waris terhadap Pewaris, pada
prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi Pewaris yang
dibunuhnya. Ketentuan ini berdasarkan Hadist Nabi yang mengajarkan
bahwa: “Barangsiapa membunuh seorang korban, maka ia tidak
dapat mewarisinya, walaupun si korban tidak mempunyai Ahli Waris
selain dirinya, dan walaupun korban itu bapaknya maupun anaknya.
Maka bagi pembunuh tidak berhak mewarisinya.”(HR. Ahmad)
b. Berbeda Agama
Berbeda agama berarti agama Pewaris berbeda dengan agama
Ahli Waris. Misalnya, Pewaris beragama Islam sedangkan Ahli
Warisnya beragama non muslim (selain Islam). Demikian pula
sebaliknya. Hal ini didasarkan pada Hadist Nabi, “Orang Islam tidak
dapat mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak dapat
mewarisi harta orang Islam.”(HR. Bukhari Muslim).
Apabila antara Pewaris dengan Ahli Waris berbeda agama, apabila salah
satunya menghendaki agar diantara mereka ikut menikmati harta peninggalan,

70
maka bisa dilakukan dengan jalan wasiat atau wasiat wajibah, yang bagiannya
tidak melebihi 1/3 bagian harta peninggalan yang siap dibagikan kepada para
Ahli Waris yang lain (Lihat Pts PA No.377/Pdt.G/1993/PA Jkt, 4 Nopember
1993; Pts No. 1/Pdt.G/1994/PTA Jkt, 25 Oktober 1994; Pts No.
368K/G/1995/MA, 16 Juli 1998).

6. Ashabul Furudh
Yaitu ahli waris yang nilai haknya telah ditetapkan secara langsung dan
mendapatkan harta warisan terlebih dahulu, sebelum para asabah.
Jumlah bagian yang telah ditetapkan Al-Qura’an ada enam macam yakni:
1. ½, para ahli warisnya adalah 5 orang yakni:
a. Anak perempuan, apabila hanya seorang diri, jika yang meninggal tidak
meninggalkan anak laki-laki.
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal
itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
b. Seorang cucu perempuan dari laki-laki, jika yang meninggal tidak
meninggalkan anak atau cucu laki-laki.
c. Seorang saudara perempuan sekandung apabila seorang diri.
d. Seorang saudara perempuan, jika hanya seorang diri.
e. Suami, jika tidak ada anak atau cucu
2. ¼, para ahli warisnya ada 2 orang, yakni:

71
a. Suami, jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki
b. Istri, jika yang meninggal tidak meninggalkan anak dan cucu
3. 1/8, para ahli warisnya ada 1 orang yakni:
a. Istri, apabila ada anak atau cucu
4. 1/3, para ahli warisnya ada 2 yakni:
a. Ibu, jika yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-
laki atau dua orang saudara
b. Dua orang atau lebih saudara se ibu bagi yang meninggal baik laki-laki
maupun perempuan
5. 2/3, para ahli warisnya ada 4 yakni:
a. Dua orang anak perempuan atau lebih, jika mereka tidak mempunyai saudara
laki-laki
b. Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika mereka tidak ada
anak perempuan atau saudara laki-laki
c. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, jika yang meninggal
tidak meninggalkan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki
atau saudara laki-laki mereka
d. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada yang tersebut
nomor 1, 2, 3 atau saudara laki-laki mereka
6. 1/6, para ahli warisnya ada 7 yakni:
a. Ayah, jika yang meninggal ada anak atau cucu
b. Ibu, jika yang meninggal, meninggalkan anak, cucu, atau saudara laki-laki
atau perempuan lebih dari seorang
c. Kakek, jika yang meninggal meninggalkan anak, cucu, dan tidak
meninggalkan bapak
d. Nenek, jika yang meninggal tidak ada ibu
e. Cucu perempuan dari anak laki-laki jika bersama-sama seorang anak
perempuan
f. Saudara perempuan seayah atau lebih bila ia bersama-sama saudara
perempuan sekandung
g. Saudara seibu baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal tidak
meninggalkan anak, bapak, atau datuk.

7. Asabah

72
1. Pengertian asabah
Kerabat seseorang dari pihak bapak, atau juga dapat diartikan sebagai orang
yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal.
2. Dalil hak waris para ashabah
a. Q.S An-Nisaa’ ayat 11
b. Q.S An-Nisaa’ ayat 176
‫ا‬llَ‫ك ۚ َوه َُو يَ ِرثُه‬ َ ‫ت فَلَهَا نِصْ فُ َما ت ََر‬ ٌ ‫ْس لَهُ َولَ ٌد َولَهُ أُ ْخ‬
َ ‫ك لَي‬ َ َ‫ك قُ ِل هَّللا ُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ْالكَاَل لَ ِة ۚ إِ ِن ا ْم ُر ٌؤ هَل‬
َ َ‫يَ ْستَ ْفتُون‬
‫ ُل‬l‫ َّذ َك ِر ِم ْث‬l‫ا ًء فَلِل‬l‫ ااًل َونِ َس‬l‫ َوةً ِر َج‬l‫انُوا إِ ْخ‬ll‫ك ۚ َوإِ ْن َك‬ َ ‫إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهَا َولَ ٌد ۚ فَإ ِ ْن َكانَتَا ْاثنَتَي ِْن فَلَهُ َما الثُّلُثَا ِن ِم َّما تَ َر‬
ِ َ‫ن ۗ يُبَيِّنُ هَّللا ُ لَ ُك ْم أَ ْن ت‬lِ ‫ ظِّ اأْل ُ ْنثَيَ ْي‬llllllllllllllllll‫َح‬
‫ ْي ٍء َعلِي ٌم‬llllllllllllllllll‫لِّ َش‬llllllllllllllllll‫لُّوا ۗ َوهَّللا ُ بِ ُك‬llllllllllllllllll‫ض‬
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
3. Macam-macam asabah
A. Asabah Binafsih
Yaitu ahli waris yang menerima sisa harta warisan dengan sendirinya, tanpa
disebabkan orang lain. Yang termasuk dalam kategori ini yakni:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki
3) Ayah
4) Kakek
5) Saudara kandung laki-laki
6) Saudara seayah laki-laki
7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
9) Paman sekandung

73
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki dari paman sekandnung
12) Anak laki-laki dari paman seayah
13) Laki-laki yang memerdekakan budak
B. Ashabah blighair
Yaitu anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan seayah,
yang menjadi asabah jika bersama saudara laki-laki mereka masing-masing.
Beberapa perempuan yang menjadi ashabah dengan sebab orang lain:
1) Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi
ashabah
2) Cucu laki-laki dan anak laki-laki, juga menarik saudaranya yang
perempuan menjadi ashabah
3) Saudara laki-laki sekandung, juga dapat menarik saudaranya yang
perempuan menjadi ashabah
4) Saudara laki-laki sebapak, juga dapat menarik saudaranya yang
perempuan menjadi ashabah
C. Ashabah ma’algha’ir
Yaitu ahli waris perempuan yang menjadi ashabah dengan adanya ahli
waris perempuan lain, yakni:
1) Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah bersama dengan anak
perempuan (seorang atau lebih) atau cucu perempuan dari anak laki-laki
2) Saudara perempuan seayah menjadi ashabah jika bersama anak
perempuan atau cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki
8. Hijab (penghalang)
1. Pengertian ijab (penghalang)
Hijab adalah terhalangnya atau terdindingnya atau tertutupnya seorang
Ahli Waris karena adanya Ahli Waris yang lain. Hijab dibagi menjadi dua
macam, yaitu:
a. Hijab Hirman adalah terhijabnya Ahli Waris dalam memperoleh seluruh
bagian warisan akibat adanya Ahli Waris lain. Menurut Faturrahman, hijab
hirman ada dua kelompok, yaitu:
1) Ahli Waris yang tidak dapat terhijab hirman sama sekali, yaitu: anak
laki-laki, anak perempuan, ayah, ibu, suami dan isteri.

74
2) Ahli Waris yang dalam satu keadaan tertentu dapat menjadi Ahli Waris
tetapi dalam keadaan lain dapat terhijab hirman, yaitu kelompok Ahli
Waris Dzawil Furudl selain kelompok. menurut Amir Syarifuddin, yaitu:
a) Cucu (laki-laki/perempuan) tertutup oleh anak.
b) Kakek tertutup oleh ayah.
c) Nenek tertutup oleh ibu.
d) Saudara kandung tertutup oleh anak atau cucu laki-laki atau ayah.
e) Saudara seayah tertutup oleh saudara kandung, anak perempuan, cucu
perempuan, anak dari cucu laki-laki dan ayah.
f) audara seibu tertutup oleh anak, cucu, ayah dan kakek.
Adapun Ahli Waris yang tidak tertutup oleh saudara kandung atau saudara
seayah adalah:
a) Anak saudara kandung tertutup oleh saudara laki-laki seayah, dan tertutup
oleh orang yang menutup saudara seayah.
b) Anak saudara seayah tertutup oleh anak saudara sekandung dan oleh orang
yang menutup anak saudara kandung.
c) Paman kandung tertutup oleh anak saudara seayah dan oleh orang yang
menutupnya.
d) Paman seayah tertutup oleh paman kandung dan orang yang menutupnya.
e) Anak paman kandung tertutup oleh paman seayah dan yang menutupnya.
f)  Anak paman seayah tertutup oleh anak paman kandung dan yang
menutupnya.
b. Hijab Nuqshan 
adalah hijab sebagian yaitu berkurangnya bagian yang semestinya
diperoleh oleh Ahli Waris karena adanya Ahli Waris yang lain. Dengan
demikian Ahli Waris ini masih memperoleh bagian, tetapi jumlah
bagiannya berkurang dari jumlah bagian semula. Ahli Waris tersebut
adalah:
1) Suami, dari ½ menjadi ¼, karena ada anak.
2) Isteri, dari ¼ menjadi 1/8, karena ada anak.
3)  Ibu, dari 1/3 menjadi 1/6, karena ada anak Pewaris.
4) Cucu perempuan dari anak laki-laki, dari ½ menjadi 1/6 sebagai
pelengkap 2/3 karena ada anak kandung Pewaris.

75
5) Saudara perempuan seayah, dari ½ menjadi 1/6 sebagai penyempurnaan
2/3 karena ada saudara kandung.

76

Anda mungkin juga menyukai