Oleh :
1
BAB I
pembahasan
1. PENGERTIAN FIQH
Kata “fiqh”, secara etimologis berarti “paham yang mendalam”. Bila “paham” dapat
digunakan untuk halhal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu
lahir kepada ilmu batin. Karena itulah at-Tirmidzi menyebutkan, “fiqh tentang sesuatu,” berarti
mengetahui batinnya sampai kepada kedalamnya. Kata "faqaha" atau yang berakar kepada kata itu
dalam Al-Qur'an disebut dalam 20 ayat: 19 di antaranya berarti bentuk tertentu dari kedalaman
paham dan kedalaman ilmu yang menyebabkan dapat diambil manfaat darinya. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa "fiqhu" atau paham tidak sama dengan " ilmu" walaupun wazan
(timbangan) lafaznya sama. Meskipun belum menjadi ilmu, paham adalah pikiran yang baik dari
segi kesiapannya menangkap apa yang ditu1ntut. Ilmu bukanlah dalam bentuk zhanni seperti
paham atau fiqh yang merupakan ilmu tentang hukum yang zhanni dalam dirinya.
1 Secara definitif, fiqh berarti "Ilmu tentang hukum-hukum syar'i yang bersitat amaliah
yang digali dan ditemukan dan dalil-dalil yang tafsili" Dalam definisi ini, figh dibaratkan dengan
ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqh itu tidak sama dengar. ilmu seperti
disebutkan di atas, fiqh itu bersifat zhanni. Fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid
dengan zhan-nya, sedangkan ilmu tidak bersifat zhanni seperti fiqh. Namun karena zhan dalam
fiqh in kuat, maka ia mendekati kepada ilmu; karenanya dalam definisi ini ilmu digunakan juga
untuk fiqh.
2 Adapun Hakikat fiqh adalah:
a. fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah;
b. yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu'iyah;
c. pengetahuan tentang hukum Allah itu didasarkan kepada da-lil tafsili;
d. figh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau faqih
2. PENGERTIAN MUNAKAHAT
Nikah dalam kamus lisanul`arab berakar kata nakaha-yankihu-nikaahan,diartikan sama
dengan tazawwuj.akad nikah dinamakan “an-nikah”Secara istilah adalah suatu akad yang
menghalalkan bagi setiap orang untuk melakukan kesenangan kepada pasangannya. Dalam bahasa
Indonesia, perkawinan berasal dari kata "kawin" yang menurut bahasa artinya membentuk
keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.Perkawinan disebut
2
juga "pernikahan", berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling
memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).
B. DASAR HUKUM FIQH MUNAKAHAT
Sedangkan kata zawaja berikut tashrifnya terdapat di delapan pulu satu tempat dalam
empat puluh satu surat Seperti dalam firman Allah ta`la berfirman dalam surat An-nisa ayat 3:
ك َأ ْدنَى َأاَّل تَعُولُوا
َ ِت َأ ْي َمانُ ُك ْم َذل
ْ اح َدةً َأوْ َما َملَ َك
ِ ث َو ُربَا َع فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تَ ْع ِدلُوا فَ َو
َ اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء َم ْثنَى َوثُاَل
َ َفَا ْن ِكحُوا َما ط
nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu
khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan
yang kamu miliki
C. HUKUM NIKAH
Dalam ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa menikah itu telah di syariatkan oleh allah
swt ,akan tetapi ibnu rusyd menjelaskan :Bahwa segolongan fuqaha', yakni jumhur (mayoritas
ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnah. Golongan Zhahiyah berpendapat bahwa
nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhkhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk
sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Demikian
itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya. Perbedaan pendapat
ini kata Ibnu Rusyd disebabkan adanya penafsiran apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan
Hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ini, harus diartikan wajib, sunnat ataukah mungkin
mubah? Ayat tersebut adalah:
Artinya: maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga atau empat...
Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan,
hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara' yang lima, adakalanya wajib, haram makruh,
sunnat (mandub) dan adakalanya mubah.
1. Wajib pada kondisi seseorang yang mampu biaya wajib nikah, yakni biaya nafkah dan
mahar dan adanya percaya diri bahwa ia mampu menegakkan keadilan dalam
pergaulan dengan istri yakni pergaulan dengan baik. Demikian juga, ia yakin bahwa
jika tidak menikah pasti akan terjadi perbuatan zina, sedangkan puasa yang dianjurkan
Nabi tidak akan mampu menghindarkan dari perbuatan tersebut. Nabi bersabda:
يا معشر الشباب من استطاع الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له
وجاء
Wahai para pemuda barangsiapa di antara kalian ada kemampuan biaya nikah, maka
nikahlah. Barangsiapa yang tidak mampu hendaknya berpuasalah, sesungguhnya ia
sebagai perisai baginya. Pada saat seperti di atas, seseorang dihukumi fardu untuk
menikah, berdosa meninggalkannya dan maksiat serta melanggar keharaman
Meninggalkan zina adalah fardu dan caranya yaitu menikah-dengan tidak mengurangi
hak seseorang maka ia menjadi wajib. Menurut kaidah ulama ushul: "Sesuatu yang
3
tidak mencapai fardu kecuali dengan mengerjakannya, maka ia hukumnya fardu juga".
Fardu wajib dikerjakan dan haram ditinggalkan
2. Sunnah Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan
perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka
hukum mela kukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnat.10 Alasan
menetapkan hukum sunnat itu ialah dari anjuran Al-Qur'an seperti tersebut dalam surat
an-Nûr ayat 32 dan Hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah
bin Mas'ud yang dikemukakan dalam menerangkan sikap agama Islam terhadap
perkawinan. Baik ayat Al-Qur'an maupun As-Sunnah tersebut berbentuk perintah,
tetapi berdasarkan qorinah-qorinah yang ada, perintah Nabi tidak memfaedahkan
hukum wajib, tetapi hukum sunnat saja
3. Haram Hukum nikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan nafkah
nikah dan yakin akan terjadi penganiayaan jika menikah. Keharaman nikah ini karena
nikah dijadikan alat mencapai yang haram secara pasti; Sesuatu yang menyampaikan
kepada yang haram secara pasti, maka ia haram juga.
4. Makruh Makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran. Seseorang mempunyai
kemampuan harta biaya nikah dan tidak di khawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi
dikhawatirkan terjadi penganiayaan istri yang tidak sampai ke tingkat yakin.
5. Mubah Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila
tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga
tidak akan menerlantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya di dasarkan untuk
memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan
membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara
pendorong dan penghambatnya untuk kawin itu sama, sehingga menimbulkan
keraguan orang yang akan melakukan kawin, seperti mempunyai keinginan tetapi
belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi
belum mempunyai kemauan yang kuat.
BAB II
PEMBAHASAN
MAHRAM
PENGERTIAN MAHRAM
Mahram (huruf mim dan ra’ dibaca fathah) adalah orang yang diharamkan untuk
Dinikahi Mahram dan muhrim, adalah dua istilah yang sering terbalik-balik dalam percakapan
masyarakat. Terutama mereka yang kurang perhatian dengan bahasa Arab. Padahal dua kata
ini artinya jauh berbeda. Memang teks arabnya sama, tapi harakatnya Beda Sedangkan
4
Muhrim (huruf mim dibaca dhammah dan ra’ dibaca kasrah) adalah kata subjek (pelaku) dari
"ihram" yaitu orang yang telah mengenakan pakaian ihram untuk haji atau umrah.
Mahram adalah orang yang diharamkan untuk dinikahi baik karena nasab (keturunan)
atau persusuan
Dan secara garis besar yakni larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita
menurut syara.
ٰ ُ ت َعلَ ْي ُك ْم اُ َّم ٰهتُ ُك ْم َوبَ ٰنتُ ُك ْم َواَخَ ٰوتُ ُك ْم َو َع ٰ ّمتُ ُك ْم َو ٰخ ٰلتُ ُك ْم َوبَ ٰن
َض ْعنَ ُك ْم َواَخَ ٰوتُ ُك ْم ِّمن َ ْت َواُ َّم ٰهتُ ُك ُم الّتِ ْٓي اَر ِ ت ااْل ُ ْخ ُ خ َوبَ ٰن ِ َ ت ااْل ْ حُ ِّر َم
ٰ ٰ
ۖ َاح َعلَ ْي ُك ْمَ ت نِ َس ۤا ِٕى ُك ْم َو َربَ ۤا ِٕىبُ ُك ُم الّتِ ْي فِ ْي ُحجُوْ ِر ُك ْم ِّم ْن نِّ َس ۤا ِٕى ُك ُم الّتِ ْي َد َخ ْلتُ ْم بِ ِه ۖ َّن فَا ِ ْن لَّ ْم تَ ُكوْ نُوْ ا َد َخ ْلتُ ْم بِ ِه َّن فَاَل جُ ن ُ َّضا َع ِة َواُ َّم ٰهَ الر
هّٰللا
َو َحاَل ۤ ِٕى ُل اَ ْبن َۤا ِٕى ُك ُم الَّ ِذ ْينَ ِم ْن اَصْ اَل بِ ُك ۙ ْم َواَ ْن تَجْ َمعُوْ ا بَ ْينَ ااْل ُ ْختَي ِْن اِاَّل َما قَ ْد َسلَفَ ۗ اِ َّن َ َكانَ َغفُوْ رًا َّر ِح ْي ًما
Artinya: diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan;saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;ibu-ibu
isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
HADIST
Juga terdapat dalam hadist dari beberapa riwayat yang menjelaskan tentang wanita-wanita
yang haram dinikahi, diantaranya yaitu:
ح ّدثنا عبد هللا بن يوسف اخبرنا مالك عن ابى الزناد عن االعرجن ابى هريرة رضي هللا عنه اليجمع بين المرءة و ع ّمتها وال بين
المرءة وخالتها
Artinya: ‘Abdullah ibn Yusuf menyampaikan kepada kami, Malik mengabarkan pada
kami, dari Abi al-Zinad, dari al-A’raj, dari Abi Hurairah ra: bahwasanya Rasulullah
saw berkata: Janganlah kamu mengumpulkan(dalam pernikahan) perempuan dengan
bibinya (dari pihak ayah) dan perempuan dengan bibinya (dari pihak ibu).
5
A. Wanita yg masih bersuami (selama sisuami belum menceraikan nya)
B. Wanita dalam iddah (iddah cerai maupun iddah karena cerai mati)
C. Wanita murtad (boleh di nikahi jika sudah masuk islam dengan syahadat)
D. Wanita non muslim
E. Wanita mahrom (baik mahram muabbad maupun mahrom ghairu muabbad)
F. Wanita yang jadi istri kelima ( karna islam membatasi poligami hanya 4 istri dengan syarat
tertentu, kecuali suami menceraikan salah satu dari 4 istri tersebut )
Artinya:
dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.
G. Wanita yang sudah di talak tiga (kecuali wanita si suami tersebut menikah lagi dengan pria
lain, kemudian bercerai)
H. Wanita yang sedang ihram (Kecuali jika ihram nya sudah selesai)
I. Wanita yang melakukan sumpah li’an
BAB III
PEMBAHASAN
KHITBAH
6
PENGERTIAN KHITBAH
Kata khitbah ( ) خطبةsecara bahasa berasal dari kata khatbaha ( ) خطب
sebagaimana dijelaskan dalam kamus lisanul arab. Lafaz ini memiliki makna permintaan
kepada seseorang wanita untuk menikahinya
7
Dijelaskan dalam kamus lisanul arab.
Lafaz ini memiliki makna permintaan kepada seseorang wanita untuk menikahinya.
Khithbah juga diartikan meminang atau melamar seseorang wanita untuk dinikahi.
Maka khitbah merupakan perjanjian antara pihak laki laki dan pihak wanita yang akan
melaksanakan pernikahan, orang yang mengkhitbah disebut dengan makhthubah.
Khitbah tidak termasuk rukun atau syarat sah melakukan pernikahan, tetapi menjadi
salah satu proses menjelang terjadi nya pernikahan. Apabila hendak melamar seorang
wanita, sebaiknya melamar kepada walinya tidak langsung kepada yang bersangkutan.
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Yang diriwayatkan dari Urwah :
Tidak ditemukan riwayat tentang perkataan khusus yang diucapkan ketika melamar.
Maka lamaran bisa menggunakan lafazh apapun yang memiliki makna sebagai
permohonan untuk menikahi seorang wanita. kenyataan yang terjadi adalah pihak laki laki
melamar wanita, tetapi tidak dilarang apabila pihak wanita yang melamar laki-laki yang
diinginkannya. Hal ini bisa ditemukan pada riwayat bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:
Artinya : telah datang seorang wanita kepada Rasulullah SAW, wanita tersebut
meminta Rasulullah SAW. Untuk menikahinya, sehingga rasulullah saw, berdiri
disamping wanita lama sekali, ketika itu salah satu dari sahabat melihat dan beranggapan
bahwa beliau tidak berniat untuk menikahinya, maka sahabat tersebut berkata: “Nikahkan
saya ya Rasulullah jika kamu tidak ada berniat untuk menikahinya”, Rasulullah saw,
berkata: apakah kamu punya sesuatu? Dia berkata tidak! dan Rasulullah saw, berkata lagi
8
“Buatlah cincin walaupun dari besi”, kemudian sahabat tersebut mencari nya tidak
mendapatkannya,
kemudian beliau bersabda: “Apakah kamu hafal beberapa surat ini dan ini, maka beliau
bersabda:
“Saya nikahkan kamu dengannya dengan apa yang kamu hafal dari Alquran.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Hadits diatas menjelaskan bahwa diperbolehkan bagi wanita untuk meminta kepada
seorang lelaki sholeh yang bertaqwa dan berpegang teguh terhadap agama untuk
meminangnya. Khitbah yang dilakukan oleh pihak laki-laki atau wanita belum bersifat
pasti. Pihak yang dilamar diberikan kesempatan berpikir untuk menetapkan diterima atau
ditolaknya lamaran. kesempatan ini menjadi hak mutlak bagi pihak yang dilamar. Dan
pihak pelamar tidak dibenarkan untuk memaksa.
Islam tak hanya mengatur soal pernikahan saja, tapi juga tentang khitbah. Di dalam
AlQuran, Allah SWT berfirman: “Tidak ada dosa bagi siapapun yang meminang
perempuan- perempuan itu dengan cara bersembunyi atau hanya dengan sebuah keinginan
di dalam hati untuk mengawini mereka dalam hatimu.
Allah memahami bahwa kamu akan menyebutkan nama mereka, oleh karena itu
janganlah kamu menyebutkan janji kawin dengan para perempuan secara rahasia, kecuali
hanya sekadar mengucapkan (kepada mereka) sebuah perkataan yang makruf. Dan jangan
juga kamu bertetap hati atau berazam untuk berakad nikah, sebelum perempuan tersebut
habis masa iddahnya. Dan ketahuilah bahwa Allah SWT mengetahui semua yang ada didalam
hatimu, maka takutlah kepada-Nya dan perlu kamu ketahui bahwa Allah SWT Maha Pengampun
dan Maha Penyantun. (QS Al-Baqarah: 235).
طبَ ِة النِّ َس ۤا ِء اَوْ اَ ْكنَ ْنتُ ْم فِ ْٓي اَ ْنفُ ِس ُك ْم ۗ َعلِ َم هّٰللا ُ اَنَّ ُك ْم َست َْذ ُكرُوْ نَه َُّن َو ٰل ِك ْن اَّل تُ َوا ِع ُدوْ ه َُّن ِس ًّرا آِاَّل اَ ْن
ْ َاح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما َعرَّضْ تُ ْم بِ ٖه ِم ْن ِخ
َ َواَل جُ ن
تَقُوْ لُوْ ا قَوْ اًل م ْعرُوْ فًا ەۗ واَل تَعْزموْ ا ُع ْق َدةَ النِّ َكاح ح ٰتّى ي ْبلُ َغ ْالك ٰتبُ اَجلَهٗ ۗوا ْعلَم ْٓوا اَ َّن هّٰللا ي ْعلَم ما ف ٓي اَ ْنفُس ُكم فَاحْ َذرُوْ ه ۚوا ْعلَم ْٓوا اَ َّن هّٰللا
َ ُ َ ُ ْ ِ ْ ِ َ ُ َ َ ُ َ َ ِ َ َ ِ ُِ َ َّ
ࣖ َغفوْ ٌر َحلِ ْي ٌم ُ
Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau
9
kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji
kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka)
perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun. (Q.S. Al Baqarah: 235)
Di dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Nabi Muhammad SAW melarang
seseorang untuk membeli barang yang sedang dibeli atau ditawar oleh saudaranya, dan
Rasulullah juga melarang seseorang meminang seorang perempuan yang sudah dipinang
hingga orang yang meminangnya meninggalkan perempuan tersebut atau mengizinkannya
HUKUM KHITBAH
10
Jika meminang salah seorang di antara kamu terhadap seorang wanita maka
jika mampu melihat apa yang menarik untuk dinikahi, kerjakanlah. Jabir berkata:
"Kemudian aku meminang seorang wanita yang semula tersembunyi sehingga aku
melihat apa yang menarik bagiku untuk menikahinya, kemudian aku menikahinya."
(HR. Abu Dawud
BAB IV
PEMBAHASAN
KAFA’AH
Pengertian Kafa’ah
11
Menurut bahasa, kafaah ( )الكف´´اءةatau kufu', artinya setaraf, seimbang atau
keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding. al-Kafaah adalah persamaan dan
serupa.' Adapun secara istilah, pengertian kafaah, yaitu keseimbangan dan keserasian
antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan per kawinan,' atau, laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan.
Jika kita melihat pada Al-Quran dan As-Sunnah ditinjau dari segi insaniyah,
manusia itu sama seperti tersebut dalam Al-Hujurat ayat 13 :
ٰۗ يٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك ٍر َّواُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم ُشعُوْ بًا َّوقَبَ ۤا ِٕى َل لِتَ َعا َرفُوْ ا ۚ ِا َّن اَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هّٰللا ِ اَ ْت ٰقى ُك ْم
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Dalam pada itu juga adanya sabda Nabi SAW yang berbunyi:
Manusia itu sama seperti gigi sisir yang satu, tidak ada kelebihan bagi orang Arab
atas orang Ajam (bukan Arab), kecuali dengan takwa.
12
Dalam menentukan kufu ini, yang menjadi pedoman adalah pada waktu
dilakukanya akad nikah. Demikian juga ketika akad nikah keduanya kufu dan
dikemudian hari antara keduanya tidak kufi mungkin karena adanya perubahan pada
keduanya, semisal yang awalnya kaya kemudian jatuh miskin atau tadinya mempunyai
pekerjaan yang terhormat kemudian hilang maka dalam hal ini pernikahan tidak boleh
dibatalkan, kecuali perubahan ke-kufian itu dalam hal agama.
Kafaah yang menjadi perbincangan hampir di semua kitab fiqh sama sekali tidak
disinggung oleh UU Perkawinan dan disinggung sekilas dalam KHI, yaitu pada Pasal 61
dalam membicarakan pencegahan perkawinan, dan yang diakui sebagai kriteria kafa’ah
itu adalah apa yang telah menjadi kesepakatan ulama, yaitu kualitas ke-beragamaan.
Pasal 61
Tidak se-kufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah per kawinan, kecuali
tidak se-kufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.
BAB V
PEMBAHASAN
CALON LAKI –LAKI DAN PEREMPUAN
A. Pengertian calon pengantin laki-laki dan perempuan
Calon pengantin adalah pasangan yang akan melangsungkan pernikahan. Calon
pengantin dapat dikatakan sebagai pasangan yang belum mempunyai ikatan, baik secara
hukum Agama ataupun Negara dan pasangan tersebut berproses menuju pernikahan serta
proses memenuhi persyaratan dalam melengkapi datadata yang diperlukan untuk
pernikahan. Calon Pengantin terdiri dari dua kata yaitu calon dan pengantin, yang
memiliki arti sebagai berikut, “Calon adalah orang yang akan menjadi pengantin”.
Sedangkan “Pengantin adalah orang yang sedang melangsungkan pernikahannya”. Jadi
calon pengantin adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan yang ingin atau
berkehendak untuk melaksanakan pernikahan.
B. Dasar hukum memilih calon pengantin
13
Dalam hal ini sesuai dengan firman allah dalam surat An-Nuur ayat 32:
صلِ ِح ْينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َواِ َم ۤا ِٕى ُك ۗ ْم اِ ْن يَّ ُكوْ نُوْ ا فُقَ َر ۤا َء يُ ْغنِ ِه ُم هّٰللا ُ ِم ْن فَضْ لِ ٖ ۗه َوهّٰللا ُ َوا ِس ٌع َعلِ ْي ٌم
ّ ٰ َواَ ْن ِكحُوا ااْل َيَامٰ ى ِم ْن ُك ْم َوال
Artinya :” Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan
juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lakilaki dan
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan
karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”(An-nuur ayat
32)
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad tentang larangan membujang terlalu lama
dan menikahi wanita seperti yang dikatakan Rasulullah sebagai berikut :
Artinya : Rasulullah SAW menyuruh kami menikah dan sangat melarang dari
membujang, dan beliau bersabda ‘Nikahilah perempuan yang subur yang penuh kasih
saying, karena aku sesungguhnya bangga disebabkan jumlah kalian yang banyak
terhadap ummat-ummat yang lain di hari kiamat kelak’.
14
Istri ibarat tempat tinggal dan kebun bagi suami. Ia adalah teman
mengarungi kehidupan, ratu rumah tangga, ibu dari anak-anak, pelabuhan hati,
dan tempat yang akan memberikan kesenangan dan keselamatan.
Beberapa keistimewaan yang sudah sepatutnya ada di dalam diri
perempuan yang dalapt dijadikan pertimbangan bagi laki-laki dalam memilih istri
antara lain :
a. Ia berasal dari lingkungan (keluarga) yang baik, memiliki emosi yang
stabil, tidak temperamental, setra tidak berperilaku aneh sehingga ia layak untuk
menjalankan perannya dalam mengasihi anaknya dan memenuhi hak suaminya.
b. Subur secara reproduksi (tidak mandul) Salah satu tujuan utama adalah
memperbaiki keturunan. Oleh karena itu dianjurkan bagi suami untuk mencari
istri yang dapat melahirkan (subur).
Suatu ketika ada seseorang laki-laki melamar perempuan mandul. Ia pun
berkata kepada Rasulullah SAW, “Aku telah melamar seseorang perempuan yang
cantik dan terhormat, tapi ia mandul.” Maka Rasulullah SAW melarangnya untuk
melanjutkan lamaran tersebut. Artinya : Nikahilah perempuan yang lemah lembut
dzn subur karena pada hari kiamat kelak aku akan membanggakan kepada para
nabi atas banyaknya jumlah kalian. (H.R Abu Dawud).
c. Cantik Salah satu fitrah manusia adalah mencintai keindahan atau
kecantikan. Bagi mereka kecantikan dapat menghadirkan kebahagiaan dan
ketenangan.
d. Perawan Laki-laki yang hendak menikah sebaiknya memilih istri yang
masih perawan karena ia cenderung masih polos dan belum pernah menjalin
hubungan dengan laki-laki lain, sehingga ikatan pernikahan menjadi kuat dan
cinta yang ia berikan kepada suaminya lebih tulus.
e. Usia yang tidak terpaut jauh Satu hal yang harus diperhatikan laki-laki
terhadap calon istrinya adalah kedekatan dalam hal umur, kedudukan social,
jenjang keilmuan, dan ekonomi. Kedekatan dalam beberapa hal itu dapat
membantu kelanggengan rumah tangga.
D. Syarat-syarat memilih calon pengantin laki-laki dan perempuan
merurut UUP Menurut Undang-undang Perkawinan pasal 7 ayat (1) tahun 1974
menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai
umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas
tahun).
15
BAB VI
PEMBAHASAN
WALI NIKAH
Pengertian Perwalian
Secara bahasa kata wali berasal dari bahasa Arab, waly atau perwalian ()الوالية, bentuk
muannatsnya al-waliyyah dan pluralnya al-auliya’ ()األولي´´اء, mempunyai arti teman karib,
mencintai, sekutu, yang menolong, pengasuh atau orang yang menguruskan perkara seseorang.
Kata ‘wali’ disebut dalam al-Qur’an sebanyak 44 kali dan kata auliya’ disebut sebanyak 22 kali.
Pengertian perwalian lainnya antaranya, ( الوالية في اللغة تأ تي بمع´ني المحب´´ة والنص´رةperwalian dalam
bahasa berarti cinta dan pertolongan).
definisinya berbeda-beda sesuai konteks kata yang digunakan. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia ‘wali’ berarti orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus
anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa. Adapun dalam terminology fuqaha, wali
adalah otoritas seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan secara lansung tanpa harus
terlebih dahulu mendapat perizinan orang lain. Pengertian yang lain, perwalian secara syara’
bermakna pelaksanaan perkataan pada orang lain dan pengawasan atas urusannya.
Perwalian dalam arti umum, yaitu “segala sesuatu yang berhubungan dengan wali”. Dan wali
mempunyai banyak arti, antara lain:
1. Orang yang menurut hukum (agama,adat) diserahi mengurusi kewajiban anak yatim serta
hartanya, sebelum anak itu dewasa.
2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah, (yaitu melakukan janji nikah
dengan pengantin laki-laki)
16
6. Yang menjadi dasar hukum yang berhubungan dengan masalah wali nikah
adalah :
7. 1. Al- Qur’an surat (24) an-Nur : ayat 32
8. صلِ ِح ْينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َواِ َم ۤا ِٕى ُك ۗ ْم ِا ْن يَّ ُكوْ نُوْ ا فُقَ َر ۤا َء يُ ْغنِ ِه ُم هّٰللا ُ ِم ْن فَضْ لِ ٖ ۗه َوهّٰللا ُ َوا ِس ٌع َعلِيْم
ّ ٰ َواَ ْن ِكحُوا ااْل َيَامٰ ى ِم ْن ُك ْم َوال
Artinya : dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sehayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan karunia-Nya, dan Allah maha luas pemberiannya lagi maha mengetahui.
Sedangkan pernikahan seorang wanita kafir dzimmy (yang ada dalam perlindungan hukum
Islam), maka tidak disyariatkan adanya wali yang muslim.
BAB VII
PEMBAHASAN
SAKSI NIKAH
17
A. PENGERTIAN SAKSI
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, saksi adalah orang yg melihat atau
mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Dalam peraturan perundangan yaitu pada
KUHAP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara
tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengertahuannya itu”.
Dalam rujuk dan cerai, al-Qur’an menjelaskan:
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik
atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah niscaya Dia
akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. At-Thalaq:2)
Dalam ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan kehadiran saksi pada peristiwa rujuk yakni
ketika hampir habisnya masa iddah talaq raj’i dan pihak suami ingin kembali kepada
istrinya atau melepaskannya, artinya memutuskan pernikahan tersebut dengan cara
membiarkan masa tenggang itu berlalu atau habis.
Para pelacur adalah wanita-wanita yang menikahkan dirinya tanpa keterangan. (HR. At-
Tirmidzi)
Mereka para fuqahat mengatakan bahwa nikah berkaitan pada hak orang lain selain dua
orang yang melaksanakan akad, yaitu anak. Oleh karena itu, persaksian dipersyaratkan
agar bapaknya tidak menigingkarinya kemudian menelantarkan keturunannya.
18
a) Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh
jumhur ulama. Bagi ulama Hanafiyah saksi itu boleh terdiri dari satu orang laki-laki dan
dua orang perempuan (Ibnu al- Humam; 250), sedangkan bagi ulama Zhahiriyah boleh
saksi itu terdiri dari empat orang perempuan. (465)
d) Kedua saksi itu adalah laki-laki. Sebagaimana disebutkan dalam syarat ulama
Hanafiyah membolehkan saksi perempuan asalkan di antaranya ada saksi laki-laki;
sedangkan ulama Zhahiriyah membolehkan semuanya perempuan dengan pertimbangan
dua orang perempuan sama kedudukannya dengan seorang laki-laki (Ibnu al- Humam,
199, Ibnu Hazmin, 465)
e) Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak
selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah. Ulama Hanafiyah tidak
mensyaratkan adil pada saksi perkawinan. (Ibnu al-Humam:197)
19
Sebagian ulama (Asy-Syafi'i dan Ahmad) berpendapat bahwa akadnya. tidak
berlaku, karena perkawinan orang Islam tidak dapat menerima kesaksian orang yang
tidak beragama Islam Sebagian lainnya (seperti Imam Abu Hanifah) memperbolehkan
kesaksian orang-orang ahli Kitab bila perkawinan itu dilakukan oleh laki-laki muslim
dengan perempuan Kitabiyah. Kami condong kepada pendapat kedua berdasarkan hadis
Rasulullah s.a.w.:
Pasal 24
BAB VII
PEMBAHASAN
Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian
wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan
rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Mahar hanya diberikan oleh calon
20
suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat
dengannya. Kewajiban mahar dibebankan suami, bukan istri karena ia lebih kuat dan lebih
banyak usahanya dari pada istri.
Syarat-syarat mahar Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harta/ bendanya berharga
2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat
3. Barangnya bukan barang ghasab
4. Bukan barang yang tidak jelas keadaanya
DASAR HUKUM
a. Al-Qur‟an surah An-Nisa ayat 4:
2. َي ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوْ هُ هَنِ ۤ ْيـًٔا َّم ِر ۤ ْيـًٔا َ َو ٰاتُوا النِّ َس ۤا َء
ْ صد ُٰقتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۗ فَاِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن ش
Artinya: “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh
kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan
senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”
MACAM-MACAM MAHAR
Ulama fiqh sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar
mitsil (sepadan). a. Musamma Yaitu mahar yang sudah disebut atau dijadikan kadar dan
besarnya ketika akad nikah. Atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
Ulama fiqh sepakat dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara panuh
apabila:
3. Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri,
dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti istrinya mahrom sendiri, atau
dikira perawan dikira janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi kalo dicerai sebelum
bercampur hanya wajib dibayar setengahnya.
Mahar mitsil (sepadan) Yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum
ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah
diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status
sosial, kecantikan dan sebagainya. Mahar mitsil terjadi dalam keadaan tersebut:
21
1. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah,
kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur
2. Jika mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan
ternyata nikahnya tidak sah Apabila salah seorang suami atau istri meninggal dunia
sebagaimana telah disepakati para ulama jika telah terjadi khlawat, suami wajib membayar
mahar. Namun apabila suami telah meninggal sedangkan mahar belum terbayarkan, maka
pembayarannya diambilkan dari harta peninggalannya dan dibayarkan oleh ahli warisnya.
Pasal 35
1. Suami yang talak istrinya qoblaal-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah
ditentukan akad nikah
2. Apabila suami meninggal dunia qoblaal-dukhul, seluruh mahar yang ditetapkan menjadi
hak penuh istrinya.
BAB IX
PEMBAHASAN
AKAD NIKAH
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan
perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan
qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya:
22
“saya kawinkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an”.
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya: “saya terima mengawini anak
bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al Qur’an”.
Dalam pernikahan, ridanya laki-laki dan perempuan serta persetujuan antara keduanya
meupakan hal yang pokok untuk mengikat hidup berkeluarga. Perasaan rida dan setuju bersifat
kejiwaan yang tidak dapat dilihat dengan jelas. Karena itu, harus ada perlambang yang tegas
untuk menunjukan kemauan mengadakat ikatan bersuami istri.
Adapun dalil Al-Qur’an mengenai aqad nikah ialah: Al-Qur’an surat an-Nisa’ [4]: ayat 21
ْ َْض َّوا
خَذنَ ِم ْن ُك ْم ِّم ْيثَاقًا َغلِ ْيظًا ٍ ض ُك ْم اِلى بَع ٰ َو َك ْيفَ تَْأ ُخ ُذوْ نَهٗ َوقَ ْد اَ ْف
ٰ ُ ضى بَ ْع
َ ْك اَ ْد ٰنٓى اَ ْن تَقَ َّر اَ ْعيُنُه َُّن َواَل يَحْ زَ َّن َويَر
َض ْين َ ۗ ك َم ْن تَ َش ۤا ۗ ُء َو َم ِن ا ْبتَ َغيْتَ ِم َّم ْن َع َز ْلتَ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي
َ ِك ٰذل ْٓ تُرْ ِج ْي َم ْن تَ َش ۤا ُء ِم ْنه َُّن َوتُْٔـ ِو
َ ي اِلَ ْي
بِ َمٓا ٰاتَ ْيتَه َُّن ُكلُّه ۗ َُّن َوهّٰللا ُ يَ ْعلَ ُم َما فِ ْي قُلُوْ بِ ُك ْم َۗو َكانَ هّٰللا ُ َعلِ ْي ًما َحلِ ْي ًما
Artinya: “Engkau (Nabi Muhammad) boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang engkau
kehendaki di antara mereka (para istrimu) dan (boleh pula) menggauli siapa (di antara mereka)
yang engkau kehendaki. Siapa yang engkau ingini untuk menggaulinya kembali dari istri-istrimu
yang telah engkau sisihkan, tidak ada dosa bagimu. Itu adalah lebih dekat untuk menyenangkan
hati mereka. Mereka tidak merasa sedih dan mereka semua rela dengan apa yang telah engkau
berikan kepada mereka. Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun.
23
Shighat aqad nikah Shighat akad hendaknya terlepas dari catatan atau syarat, sehingga
menimbulkan pengaruh seketika. Shighat akad tidak boleh bergantung pada urusan yang akan
datang atau disadarkan pad waktu yang akan datang. Berbeda dengan akad yang bergantung pada
sesuatu yang telah tercapai wujudnya pada saat akad berlangsung sekaligus, akadnya tidak batal.
Misalnya, perkataan seorang laki-laki kepada seorang wanita: “aku nikahkan engkau jika ayahku
datang di majelis”
. perkataan seorang laki-laki kepada seorang wanita: “Aku nikahkan engkau besok atau
setelah satu bulan” misalnya. Wanita itu menjawab: “aku terima”; akad ini tidak sah dikarenakan
pernikahan dengan shighat ini tidak dimaksudkan menghasilkan akad seketika. Tetapi
dimaksudkan mulai hari esok atau setelah lewat satu bulan Akad
Pasal 27
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak
berselang waktu.
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali
nikah dapat mewakili kepada orang tua
BAB X
24
PEMBAHASAN
Walimah adalah istilah yang terdapat dalam literatur Arab yang secara arti kata berarti
jamuan yang khusus untuk perkawinan dan tidak digunakan untuk perhelatan di luar perkawinan.
Berdasarkan pendapat ahli bahasa di atas untuk selain kesempatan perkawinan tidak digunakan
kata walimah meskipun juga menghidangkan makanan, untuk acara jamuan makan untuk
khitanan disebut العذرة: sedangkan untuk jamuan waktu kelahiran anak disebut الخرسة: untuk
jamuan kembalinya orang yang hilang disebut النقيعة, kata العقيقةdigunakan untuk sembelihan
bagi anak yang telah lahir. ( Ibnu Qudamah: 275)
Dalam definisi yang terkenal di kalangan Ulama walimah al-ursy diartikan dengan
perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas telah terlaksananya akad perkawinan
dengan mengidangkan makanan.
Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam bersabda kepada Abdurrahman bin Auf,
"Adakanlah walimah meski hanya dengan menyembelih seekor kambing. " (Muttafaqun Alaih).
Dari Anas bin Malik, ia berkata, "Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menyelenggarakan
walimah atas seorang pun dari isterinya sebagaimana beliau menyelenggarakan walimah atas diri
Zainab, beliau menyelenggarakan walimah dengan menyembelih seekor kambing." (HR.
Khamsah kecuali Nasa'i),Dari Shafiyah binti Syaibah, ia bercerita, "Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam menyelenggarakan walimah terhadap sebagian isterinya dengan dua mud gandum." (HR
Bukhari).
2. Hukum Melaksanakannya
Hukum walimah itu menurut paham jumhur ulama adalah sunnah. Hal ini dipahami dari
sabda Nabi yang berasal dari Anas ibn Malik menurut penukilan yang Illuttafaq 'alaih:
Sesungguhnya Nabi SAW.melihat ke muka Abdul Rahman bin 'Auf yang masih ada bekas
kuning. Berkata Nabi: "Ada apa ini?"Abdul rahman berkata: "saya baru mengawini seorang
perempuan dengan maharnya lima dirham". Nabi bersabda: "Semoga Allah memberkatimu.
Adakanlah perhelatan, walaupun hanya dengan memotong seekor kambing”.
Perintah Nabi untuk mengadakan walimah dalam hadis ini tidak mengandung arti wajib,
tetapi hanya sunnah menurut jumhur ulama karena yang demikian hanya merupakan tradisi yang
hidup melanjutkan teradisi yang berlaku di kalangan Arab sebelum Islam datang.
25
Hukum walimah
Dalam sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Adakanlah walimah meski hanya
dengan seekor kambing, " terdapat dalil yang menunjukkan keharusan mengadakan walimah.
Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh Zhahiriyah. Ada yang menyebutkan bahwa hal
itu merupakan ketetapan Imam Syafi'i dalam kitab al-Umm. Dan sanad hadits tersebut la ba'sa
bihi, dan itu menunjukkan keharusan diadakannya walimah dalam arti wajib. Barangsiapa yang
diundang menghadirinya lalu ia tidak menghadirinya, berarti ia telah berbuat maksiat. "Dan yang
dimaksud dengan hak tersebut secara zhahiriyah berarti kewajiban.
Adapun hikmah dari disuruhnya mengadakan walimah ini adalah dalam rangka
mengumumkan kepada khalayak bahwa akad nikah sudah terjadi sehingga semua pihak
mengetahuinya dan tidak ada tuduhan di kemudian hari. Ulama Malikiyah dalam tujuan untuk
memberi tahukan terjadinya perkawinan itu lebih mengutamakan walimah dari menghadirkan
dua orang saksi dalam akad perkawinan.Tentang hukum menghadiri walimah itu bila ia
diundang pada dasarnya adalah wajib.. Kewajiban mengunjungi walimah itu berdasarkan kepada
suruhan khusus Nabi untuk memenuhi undangan walimah sesuai sabdanya yang bersumber dari
Ibnu Umar dalam hadis muttafaq 'alaih:
Nabi Muhammad Saw bersabda: "Bila salah seorang di antaramu diundang menghacliri
walinzah al- 'ursy,hendaklah mendatanginya.
Untuk menghadiri walimah biasanya berlaku untuk satu kali Namun bila yang punya
hajat mengadakan walimah untuk beberapa hari dan seseorang diundang untuk setiap kalinya,
mana yang mesti dihadiri, menjadi pembicaraan di kalangan ulama.
Jumhur ularna termasuk Imam Ahmad berpendapat bahwa yang wajib dihadiri adalah
walimah hari yang pertama, hari yang kedua hukumnya sunnah sedangkan hari selanjutnya tidak
lagi sunnah hukumnya, Mereka mendasarkan pendapatnya kepada hadis Nabi yang diriwayatkan
Abu Daud dan Ibnu Majah yang bunyinya:
26
walimah hari pertama merupakan hak, hari kedua adalah makruf sedangkan hari ketiga
adalah riya dan pamer.
a) Dalam walimah dihidangkan makanan dan minuman yang diyakininya tidak halal.
b) Yang diundang hanya orang-orang kaya dan tidak mengundang orang miskin.
c) Dalam walimah itu ada orang-orang yang tidak berkenan dengan kehadirannya.
Waktu Walimah
Dalam kitab Fathul Baari disebutkan, para ulama salaf berbeda pendapat mengenai waktu
walimah, apakah diadakan pada saat diselenggarakannya akad nikah atau setelahnya. Berkenaan
dengan hal tersebut terdapat beberapa pendapat. Imam Nawawi menyebutkan,” Mereka berbeda
pendapat, sehingga al-Qadhi Iyadh menceritakan bahwa yang paling benar menurut pendapat
madzhab Maliki adalah disunnahkan diadakan walimah setelah pertemuannya pengantin laki dan
perempuan di rumah. Sedangkan sekelompok ulama dari mereka bemendapat bahwa
disunnahkan pada saat akad nikah. Sedangkan Ibnu Jundab berpendapat, disunnahkan pada saat
akad dan setelah dukhul (bercampur). Dan yang dinukil dari praktik Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam adalah setelah dukhul.
Dałam sebuah hadits terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seekor kambing iłu batasan
minimum untuk suatu walimah. khususnya bagi orang yang berkemampuan untuk iłu.
Seandainya tidak ada ketetapan yang berlaku dari Rasulullah. Al-Qadhi lyadh mengemukakan,
dan para ułama sepakat bahwa tidak ada batasan maksimum maupun minimum untuk acara
walimah, meski hanya diadakan dengan yang paling sederhana sekalipun, maka yang demikian
iłu dibolehkan. Yang disunnahkan bahwa acara iłu diadakan sesuai dengan keadaan suami.
27
Hukum Menghadiri Walimah
Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah
bersabda,
'Jika salah seorang di antara kalian diundang menghadiri walimah, maka hendaklah ia
menghadirinya, ” (Muttafaqun Alaihi).
'Jika aku diundang untuk makan kulit kering, niscaya aku akan menghadirinya dan jika
dihadiahkan kepadaku kulit kering, pasti aku pun akan menerimanya. " (HR. Bukhari).
28