Anda di halaman 1dari 9

A.

PENGERTIAN PERNIKAHAN
Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang mehalalkan pergaulan dan membatasi
hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.
Allah SWT. Berfirman dalam surat An-nisa ayat 3 :
‫َأاَّل ُتْقِس ُطوا ِفي اْلَيَتاَم ٰى َفاْنِكُحوا َم ا َطاَب َلُك ْم ِم َن الِّنَس اِء َم ْثَنٰى َو ُثاَل َث‬ ‫َو ِإْن ِخ ْفُتْم‬
‫َفِإْن ِخ ْفُتْم َأاَّل َتْع ِد ُلوا َفَو اِح َد ًة َأْو َم ا َم َلَك ْت َأْيَم اُنُك ْم ۚ َٰذ ِلَك َأْدَنٰى َأاَّل َتُعوُلوا‬ ۖ ‫َو ُر َباَع‬

Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bila mana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian, jika kamu takut tidaka akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An-Nisa : 3)

Kata “Nikah” berasal dari bahasa Arab ‫ نكاح‬yang merupakan masdar atau asal dari
kerja ‫نكح‬. Sinonimnya ‫ تزوج‬kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dengan
perkawinan. Kata “nikah” telah dibakukan menjadi bahasa Indonesia. Oleh karena itu,
secara sosial, kata pernikahan dipergunakan dalam berbagai upacara perkawinan.
Disamping itu, kata “pernikahan” tampak lebih etis dan agamis dibandingkan dengan kata
“perkawinan”. Kata “perkawinan” lebih cocok untuk makhluk selain manusia.

Dalam kitab-kitab fiqh, pembahasan pernikahan dimasukkan dalam suatu bab yang
disebut dengan munakahat , yaitu suatu bagian dari filmu fiqh yang khusus membahas
perkawinan untuk membedakan dari bab-bab lain dengan masalah yang berbeda. Kata
“munakahat” mengandung interaksi dua pelaku atau lebih, sebab perkawinan memang
tidak pernah terjadi dengan pelaku tunggal, selamanya melibatkan pasangan, dua jenis
pelaku yang berlain kelamin.1

Menurut bahasa, kata “nikah” berarti adh-dhammu wattadaakhul (berpindah dan


memasukkan). Dalam kitab lain, kata nikah diartikan dengan menurut kebiasaan Arab,
pergesekan rumput pohon seperti bambu akibat tiupan angin diistilahkan dengan
tanakahatil asyjar (rumput pohon itu sedang kawin), karena tiupan angin itu menyebabkan
terjadinya pergesekan dan masuknya rumpun yang satu ke ruang yang lain.

Menurut istilah ilmu fiqh, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung
kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafazh “nikah” atau “tazwij” .

1
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
Nikah atau jima’, sesuai dengan makna linguistiknya, berasal dari kata “al-wath” ,
yaitu bersetubuh atau bersenggama. Nikah adalah akad yang mengandung pembolehan
untuk berhubungan seks dan lafazh “an-nikah” atau “at-tazwij” artinya bersetubuh, dengan
pengertian menikahi perempuan makna hakikatnya menggauli istri dan kata “munakahat”
diartikan saling menggauli.
Nikah juga adalah asas hidup yang paling utama dalam pergaulan atau embrio
(artinya : yang berumur sekitar 7 minggu, atau ke-9 dari kehamilan) bangunan masyarakat
yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk
mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai
satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dan kaum lain, dan perkenalan itu
akan menjadi jalan interelasi antara satu kaum dengan yang lain.
Pada hakikatnya, akad nikah adalah pertalian yang teguh dan kuat dalam hidup dan
kehidupan manusia, bukan saja antara suami-istri dan keturunannya, melainkan antara dua
keluarga. Baik nya pergaulan anttara istri dan suaminya, kasih-mengasihi, akan berpindah
kepada semua keluarga kedua belah pihak, sehingga mereka menjadi integral dalam segala
urusan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan.
Selain itu, dengan pernikahan, seseorang akan terpelihara dari godaan hawa
nafsunya.
Sabda Rasulullah SAW.:

‫ َيا َم ْعَش َر‬: ‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى الَّلهم َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫َع ْن َع ْبدُ ِهَّللا بن مسعود قال‬
‫الَّش َباِب َمِن اْسَتَطاَع اْلَباَء َة َفْلَيَتَز َّو ْج َفِإَّنُه َأَغ ُّض ِلْلَبَص ِر َو َأْح َص ُن ِلْلَفْر ِج َو َم ْن َلْم‬
‫َيْسَتِط ْع َفَع َلْيِه ِبالَّص ْو ِم َفِإَّنُه َلُه ِوَج اٌء‬

Artinya:
“Hai pemuda-pemuda, barang siapa di antara kamu yang mampu serta berkeinginan
hendak menikah, hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat
merundukkan pandangan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan
memeliharanya dari godaan syahwat. Lalu, barang siapa yang tidak mampu menikah,
hendaklah dia puasa, karena dengan puasa, hawa nafsunya terhadap perempuan akan
berkurang.” (Muttafaq ‘alaih)
Abdurrahman Al-jaziri mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian suci
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.
Definisi itu memperjelas pengertian bahwa perkawinan adalah perjanjian. Sebagai
perjanjian, ia mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara dua pihak yang saling
berjanji, berdasarkan prinsip suka sama suka. Jadi ia jauh sekali dari segala yang diartikan
sebagai paksaan. Oleh karena itu, baik pihak laki-laki maupun pihak wanita yang mau
mengikat janji dalam perkawinan mempunyai kebebasan penuh untuk menyatakan, apakah
mereka bersedia atau tidak untuk melakukan pernikahan.2
2
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-fiqh ‘ala Madzahib Al-‘Arba’ah (Mesir: Dar Al-Fikr)
Perjanjian itu dinyatakan dalam bentuk ijab dan kabul yang harus diucapkan dalam
satu majelis, baik langsung oleh mereka yang bersangkutan, yakni calon suami dan calon
istri, jika kedua-duanya sepenuhnya berhak atas dirinya menurut hukum atau oleh mereka
yang dikuasakan untuk itu. Kalau tidak demikian, misalnya dalam keadaan tidak warasatau
masih berada di bawah umur, untuk mereka dapat bertindak wali-wali mereka yang sah.
Substansi yang terkandung dalam syariat perkawinan adalah menaati perintah Allah
sunnah Rasul-nya, Yaitu menciptakan suatu kehidupan rumah tangga yang mendatangkan
kemaslahatan, baik bagi pelaku perkawinan itu sendiri, anak turunan, kerabat maupun
masyarakat. Oleh karena itu, perkawinan tidak hanya bersifat kebutuhan internal yang
bersangkutan, tetapi mempunyai kaitan eksternal yang melibatkan banyak pihak.
Dan pengertian nikah seperti yang dipahami dari kebanyakan pendapat fuqaha
adalah ikatan yang bertujuan menghalalkan pergaulan bebas dan menghalalkan hubungan
kelamin antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang sebelumnya tidak halal.
Demikianlah, yang dipahami kebanyakan orang. Dalam pandangan Islam bukan halalnya
hubungan kelain itu saja yang menjadi tujuan tertinggi, tetapi bertujuan untuk
mendapatkan keturunan yang sah dalam rangkaian melanjutkan generasi di samping supaya
suami-istri dapat membina kehidupan yang tenteram lahir dan batin atas dasar saling
mencintai dan mengasihi dalam suatu rumah tangga yang sakinah (bahagia).
Pengertian perkawinan terdiri atas beberapa definisi, yaitu sebagai berikut:
1) Ulama Hanafiyah mendefinisikan pernikahan atau perkawinan sebagai suatu
akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya, seorang laki-
laki dpaat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk
mendapatkan kesenangan dan kepuasan,
2) Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad dengan
menggunakan lafadz “nikah” atau “zauj”, yang menyimpan arti memiliki. Artinya
dengan pernikahan, seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan
dari pasangannya,
3) Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad yang
mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan
adanya harga,
4) Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad dengan
menggunakan lafadz “nikah” atau ”tazwij” untuk mendapatkan kepuasan, artinya
seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan
sebaliknya. Dalam pengertian diatas terdapat kata-kata milik yang mengandung
pengertian hak untuk memiliki melalui akad nikah. Oleh karena itu, suami-istri
dapat saling mengambil manfaat untuk mencapai kehidupan dalam rumah
tangganya yang bertujuan membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah
di dunia maupun di akhirat.3

3
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat Jilid I dan II, (Bandung: Pustaka setia)
B. HUKUM NIKAH

Berdasarkan perintah nikah dari beberapa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, para
ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum nikah. Menurut Jumhur Ulama, nikah
itu sunnah dan bisa juga menjadi wajib atau haram. Perkawinan termasuk dalam bidang
muamalat, sedang kaidah dasar muamalat adalah ibahah (boleh).
Oleh karena itu, asal hukum melakukan perkawinan dilihat dari segi kategori kaidah hukum
Islam adalah ibahah (boleh),
Sunnah (kalau dipandang dari pertumbuhan jasmani, keinginan berumah tangga, kesiapan
mental, kesiapan membiayai kehidupan berumah tangga telah benar-benar ada),
Wajib (kalau seseorang telah cukup matang untuk berumah tangga, baik dilihat dari segi
pertumbuhan jasmani dan rohani, maupun kesiapan mental, kemampuan membiayai
kehidupan rumah tangga dan supaya tidak terjerumus dalam lubang perzinahan),
Makruh (kalau dilakukan oleh seseorang yang belum siap jasmani, rohani, maupun masalah
biaya menafkahi),
Haram (kalau melanggar larangan-larangan atau tidak mampu menghidupi keluarganya).

C. PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB

Lima hukum yang ada dalam syari’at berlaku dalam pernikahan, yaitu wajib, haram,
makruh, sunnah, dan mubah. Adapun penjelasan tentang kondisi atau konteks yang
diwajibkan bagi seseorang untuk melakukan pernikahan dan seterusnya, dijelaskan dalam
pandangan empat madzhab:
1. Madzhab Maliki
Madzhab Maliki mengatakan bahwa nikah wajib dilakukan oleh orang yang memiliki
hasrat untuk menikah dan mengkhawatirkan dirinya berbuat zina jika tidak menikah,
sementara dia tidak mampu membeli budak wanita yang mencukupinya hingga tidak
menikahi wanita mereka. Maka dalam kondisi ini dia wajib menikah meskipun dia saat itu
tidak memiliki penghasilan untuk mencukupi kebutuhannya dengan cara yang halal.
Ketentuan wajib menikah menurut madzhab maliki ada tiga syarat:
Pertama, dia mengkhawatirkan dirinya berbuat zina.
Kedua, tidak mampu berpuasa untuk menahan dirinya dari zina atau dia mampu
berpuasa namun puasanya tidak cukup membuatnya menahan diri.
Ketiga, tidak mendapatkan budak wanita untuk memenuhi hasratnya.
Hukum nikah menjadi sunnah apabila seseorang tidak memiliki hasrat untuk menikah
namun dia berharap untuk mendapat keturunan, dengan syarat dia mampu memenuhi
kewajiban-kewajiban berupa nafkah yang halal dan kemampuan berhubungan seksual. Jika
tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban ini, maka hukum nikah baginya menjadi
haram.
Hukum nikah menjadi makruh jika pernikahan menyebabkan pihak laki-laki tidak dapat
melakukan amal-amal kebaikan yang dianjurkan.
2. Madzhab Hanafi
Menurut madzhab hanafi nikah hukumnya fardu (dalam hal ini dibedakan antara fardu
dan wajib) dengan empat syarat.
Pertama, dia meyakini akan terjerumus dalam perizinan apabila tidak menikah. Adapun
jika hanya sekedar khawatir terhadap, perzinaan, maka tidak cukup untuk memfardhukan
sebagaimana yang dijelaskan kemudian.
Kedua, dia tidak mampu berpuasa selagi upaya untuk menjaga diri dari dapat
keterjerumusan dalam perzinaan. Jika dia mampu berpuasa hingga dapat menghindarkan
dirinya dari perzinaan, maka dia dapat memilih antara puasa dan menikah, dan dia tidak
dikenai ketentuan fardhu nikah khusus.
Ketiga, dia tidak mampu mendapatkan budak wanita untuk memenuhi kebutuhan
biologisnya, maka dia boleh menentukan dari kedua syarat diatas.
Keempat, dia mampu memberikan nafkah dari pekerjaan yang halal bukan dari
pekerjaan yang haram.
Jika dia tidak mampu memenuhi kewajiban ini, maka dia tidak dikenai fardhu menikah.

‫َو ْلَيْسَتْع ِفِف ٱَّلِذ يَن اَل َيِج ُد وَن ِنَك اًحا َح َّتٰى ُيْغ ِنَيُهُم ٱُهَّلل ِم ن َفْض ِلِهۦ‬
“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian
(dirinya), sampai Allah memberi kemampuan mereka dengan karunianya.”(AN-Nuur:33).

Menurut madzhab hanafi nikah menjadi wajib dan sunnah muakkad dalam dua
kondisi, kondisi yang sangat berhasrat untuk menikah yang dikhawatirkan akan terjerumus
dalam perzinaan jika tidak menikah, dan kondisi yang stabil.
Jika tidak memenuhi satu syarat saja maka hukum pernikahannya bukan sunnah
muakkad dan bukan pula wajib. Namun dia berpahala jika pernikahannya diniatkan untuk
mencegah dirinya dan diri istrinya dari perbuatan yang dilarang. Jika tidak diniatkan ini,
maka dia tidak mendapatkan pahala karena tidak ada pahala kecuali disertai niat.
3. Madzhab Syafi’i
Menurut madzhab syafi’I pada dasarnya hukum nikah adalah mubah. Dengan demikian
seseorang boleh menikah dengan maksud hubungan suami istri dan bersenang-senang.
Namun jika menikah untuk menjaga kehormatan atau untuk mendapatkan anak, maka
hukum nikah baginya adalah sunnah. Hukum nikah menjadi wajib apabila dapat dipastikan
untuk menghindari perbuatan yang dilarang.
Hukum nikah menjadi makruh apabila seseorang khawatir tidak dapat memenuhi
hak-hak suami-istri.

Dan hukum nikah menjadi makruh apabila seorang lelaki yang tidak memiliki
keinginan untuk menikah tidak pula memiliki kemampuan untuk membayar mahar serta
nafkah.
Jika seseorang bukan ahli ibadah maka yang lebih utama baginya adalah menikah
untuk menjaga diri agar syahwatnya tidak mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang
dilarang pada suatu waktu. Adapun jika dia memiliki keinginan untuk menikah dan mampu
memenuhi kebutuhannya, akad sunnah baginya untuk menikah.
4. Madzhab Hambali
Menurut madzhab hambali, hukum nikah menjadi fardhu bagi orang yang
menghawatirkan dirinya terjerumus dalam perbuatan zina bila tidak menikah meskipun
dugaan, baik itu laki-laki maupun perempuan. Begitu dia mampu menikah untuk menjaga
diri dari perbuatan yang dilarang, maka dia harus menikah dan berusaha untuk
mendapatkan penghasilan yang halal seraya memohon kepada Allah SWT. Maka Allah pun
akan memberikan pertolongan kepadanya.
Nikah haram dilakukan di negeri kaum kafir yang memerangi umat islam kecuali dalam
kondisi darurat. Jika statusnya sebagai tawanan maka tidak diperbolehkan menikah dalam
kondisi apapun.
Nikah sunnah hukumnya bagi orang yang memiliki keinginan menikah dan tidak
menghawatirkan dirinya terjerumus dalam perbuatan zina baik itu laki-laki maupun
perempuan. Maka dalam kondisi ini nikah menjadi lebih utama dari ibadah-ibadah sunnah
lainnya. Karena pernikahan dalam kondisi ini dapat memperbanyak jumlah umat islam atau
mendapatkan keturunan dan menjadi pribada-pribadi yang membangun masyarakat.
Nikah menjadi mubah hukumnya bagi orang yang tidak memiliki keinginan untuk
menikah, seperti orang yang sudah lanjut usia. Dengan syarat tidak menimbulkan dampak
buruk pada istri atau merusak akhlaknya.

Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka haram baginya menikah lantaran halangan-
halangan tersebut.4

Ada pula hukum pernikahan menurut Ibnu Rusyd


1. Sekelompok ulama yaitu jumhur berpendapat bahwa nikah itu sunnah.
4
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-fiqh ‘ala Madzahib Al-‘Arba’ah (Mesir: Dar Al-Fikr)
2. Ahli Zhahir berpendapat bahwa nikah itu wajib.
3. Para ulama Mutaakhirin dari madzhab maliki berpendapat bahwa nikah itu untuk
sebagian orang hukumnya wajib, untuk sebagian lagi sunnah, dan sebagian lain
mubah. Hal itu berdasarkan kekhawatiran terhadap perbuatan zina atas dirinya. 5

D. HIKMAH PERNIKAHAN

Menurut Ali Ahmad Al-Jurjuni hikmah-hikmah pernikhaan itu banyak antara lain:
1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu banyak, maka
proses memakmurkan bumi berjalan mudah, karena suatu keadaan yang harus
dikerjakan bersama-sama akan sulit jika dilakukan secara individu.
Dengan demikian keturunan dan jumlahnya harus terus dilestarikan sampai benar-
benar makmur.
2. Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika keadaan rumah tangganya
teratur kehidupunnya tidak akan tenang kecuali dengan adanya ketertiban rumah
tangga. Ketertiban tersebut tidak mungkin terwujud kecuali harus ada perempuan
yang mengatur rumah tangga itu. Dengan alas an itulah maka nikah disyariatkan,
sehingga keadaan kaum laki-laki menjadi tenteram dan dunia semakin makmur.
3. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia
masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan.
Dalam kaitan ini Rasulullah SAW bersabda:

‫ليتخذ احدكم قلبا شاكرا ولسانا ذاكرا وزوجة مؤمنة صالحة تعنيه على‬
‫اخرته‬
”Hendaklah diantara kamu sekalian menjadi hati yang bersyukur, lidah yang selalu
mengingat Allah, dan istri mu’minah sholihah yang akan menyelamatkannya di
akhirat.”

Selain hikmah-hikmah diatas, Sayyid Sabiq menyebutkan pula hikmah-hikmah yang


lain, sebagai berikut:
a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya
menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya,
maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan, kacau dan menerobos jalan
yang jahat. Nikah merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai
untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan nikah, badan jadi segar,
jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram perasaan tenang

5
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
menikmati barang yang halal. Keadaan seperti inilah yang disyaratkan oleh firman
Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21:

‫َو ِم ْن آَياِتِه َأْن َخ َلَق َلُك ْم ِم ْن َأْنُفِس ُك ْم َأْز َو اًجا ِلَتْس ُكُنوا ِإَلْيَها َو َج َعَل َبْيَنُك ْم َم َو َّد ًة‬
‫ َو َر ْح َم ًة ِإَّن ِفي َذ ِلَك آلَياٍت ِلَقْو ٍم َيَتَفَّك ُروَن‬.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah, Dian menciptakan untukmu istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan
dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang . Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Dari Abi Hurairah, Nabi Saw bersabda:

‫ِإَّن اْلَم ْر َأَة ُتْقِبُل ِفى ُصوَر ِة َشْيَطاٍن َو ُتْد ِبُر ِفى ُصوَر ِة َشْيَطاٍن َفِإَذ ا َأْبَص َر َأَح ُد ُك ُم اْمَر َأًة‬

‫َفْلَيْأِت َأْهَلُه َفِإَّن َذ ِلَك َيُر ُّد َم ا ِفى َنْفِس ِه‬

“Sesungguhnya perempuan itu menghadap dengan rupa syaitan dan membelakangi


dengan rupa syaitan pula. Jika seseorang diantara kamu tertarik kepada seseorang
permpuan, hendaklah ia datangi istrinya agar nafsunya dapat tersalurkan” (H.R.Muslim,Abu
Dawud dan Tirmidzi).

b. Kawin merupakan jalan terbaik unuk menciptakan anak-anak menjadi mulia,


memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab
yang oleh islam sangat diperhatikan. Dan didalam penjelasan yang lalu telah
dikemukakan sabda Nabi SAW tentang hal ini yang artinya sebagai berikut:

“Kawinlah dengan perempuan yang penuh kasih sayang (pecinta) lagi bisa
banyak anak, agar aku nanti dapat membanggakan jumlahmu yang banyak di
hadapan para nabi pada Hari Kiamat.”

c. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup
dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan
sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan
seseorang.
d. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan
sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan
seseorang. Ia akan cekatan bekerja karena dorongan tanggung jawab dan memikul
kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat
memperbesar jumlah kekayaan.
e. Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga,
sedangkan yang lain bekerja diluar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab
antara suami-istri dalam menangani tugas-tugasnya.
f. Dengan pernikahan, diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan,
memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan
kemasyarakatan yang oleh islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena
masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi akan terbentuk
masyarakat yang kuat dan bahagia.6

Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan berpengaruh baik bagi
pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh umat manusia.
1. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan
memuaskan naluri seks dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata
terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tentang menikmati barang yang
berharga.
2. Nikah merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia, serta memelihara nasib
yang oleh islam sangat diperhatikan sekali.
3. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup
dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan ramah, cinta, dan sayang yang
merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.7

6
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh munakahat (Jakarta: Kencana,2006), hal.65
7
Tihami,Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2009), hal.19

Anda mungkin juga menyukai