Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkawinan yang dalam istilah agama disebut Nikah ialah melakukan suatu
akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu
hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (mawaddah wa
rahmah) dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah SWT.1
Perkawinan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan
peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dalam pernikahan. Allah tidak
menjadikan manusia seperti makhluk-makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti
nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara bebas atau tidak ada aturan.
Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, Allah memberikan
tuntutan yang sesuai dengan martabat manusia.
Bentuk perkawinan ini memberi jalan yang aman pada naluri seksual untuk
memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri agar ia tidak laksana rumput
yang dapat di makan oleh binatang ternak manapun dengan seenaknya.2

1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,


(Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1989), 9.

2 Slamet Dam Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia,


1999), 298.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Dasar Hukum Nikah.

Pengertian perkawinan ada beberapa pendapat yang satu dan lainnya berbeda.
Tetapi perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan
yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lain.
Menurut ulama Syafiiyah adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikah
atau zawj yang menyimpan arti wati (hubungan intim). Artinya dengan pernikahan
seseorang dapat memiliki atau dapat kesenangan dari pasangannya.3
Suatu akad tidak sah tanpa menggunakan lafal-lafal yang khusus seperti akan
kithabah, akad salam, akad nikah. Nikah secara hakiki adalah bermakna akad dan secara
majas bermakna watun.4
Sedangkan arti nikah menurut istilah adalah melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikat diri antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk
menghalalkan suatu hubungan kelamin antara keduanya sebagai dasar suka rela atau
keridhaan hidup keluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara
yang diridhai Allah SWT.

Seperti yang telah dijelaskan oleh Zayn Al-din al-Malibari, mengenai pengertian
nikah menurut istilah adalah:


Artinya :
Menurut syara nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan berhubungan intim
dengan lafad nikah atau tazwij.5

3 Ibid., 10.

4 Nawawi, Nibayah Al Zayn, 298.

5 Zayn Al-din, Fathul Muin, 298.

2
Pengertian nikah itu ada tiga, yang pertama adalah secara bahasa nikah adalah
hubungan intim dan mengumpuli, seperti dikatakan pohon itu menikah apabila saling
membuahi dan kumpul antara yang satu dengan yang lain, dan juga bisa disebut secara
majaz nikah adalah akad karena dengan adanya akad inilah kita dapat menggaulinya.
Menurut Abu Hanifah adalah Wati akad bukan Watun (hubungan intim). Kedua, secara
hakiki nikah adalah akad dan secara majaz nikah adalah Watun (hubungan intim)
sebalinya pengertian secara bahasa, dan banyak dalil yang menunjukkan bahwa nikah
tersebut adalah akad seperti yang dijelaskan dalam alQuran dan Hadist, antara lain
adalah firman Allah. Pendapat ini adalah pendapat yang paling diterima atau unggul
menurut golongan Syafiyah dan Imam Malikiyah. Ketiga, pengertian nikah adalah
antara keduanya yakni antara akad dan Wati karena terkadang nikah itu diartikan akad
dan terkadang diartikan watun (hubungan
intim).6

Sedangkan menurut para ulama fiqh menyebutkan akad yang mereka kemukakan
adalah:


Artinya :
Akad adalah sesuatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua macam
kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan kemudian karenanya timbul
ketentuan/kepastian dua sisinya.

Dalam setiap perikatan akan timbul hak-hak dan kewajiban pada dua sisi.
Maksudnya, apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu
ketentuan dan disayaratkan dengan kata-kata, atau sesuatu yang bisa dipahami demikian,
maka dengan itu terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan.7
Dari pengertian di atas walaupun ada perbedaan pendapat tentang pengertian
perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur yang

6 Abd. Rahman, Fiqh Ala Mazahib Al Arbaah, Juz IV, 7.

7 Achmad Kuzairi, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,


1995), 1-2.

3
merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu, bahwa nikah itu merupakan suatu
perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Perjanjian di sini
bukan sembarang perjanjian seperti perjanjian jual-beli atau sewa-menyewa, tetapi
perjanjian dalam nikah adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menghalalkan hubungan antara
keduanya dan juga mewujudkan kebahagiaan dan ketentraman serta memiliki rasa kasih
sayang, sesuai dengan sistem yang telah ditentukan oleh syariat Islam.
Perkawinan adalah suatu perjanjian perikatan antara orang laki-laki dan orang
perempuan, dalam hal ini perkawinan merupakan perjanjian yang sakral untuk
membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, bahkan dalam pandangan masyarakat
perkawinan itu bertujuan membangun, membina dan memelihara hubungan kekerabatan
yang rukun dan damai, seperti yang telah diisyaratkan dalam Alquran surat al-Rum ayat
21.



Artinya :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istriistri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.

Perkawinan bagi manusia bukan sekedar persetubuhan antara jenis kelamin yang
berbeda, sebagai makhluk yang disempurnakan Allah, maka perkawinan mempunyai
tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Dengan demikian agama Islam memandang bahwa, perkawinan merupakan basis
yang baik dilakukan bagi masyarakat karena perkawinan merupakan ikatan lahir batin
yang sah menurut ajaran Islam, dan merupakan perjanjian yang mana hukum adat juga
berperan serta dalam penyelesaian masalah-masalah perkawinan seperti halnnya
pernikahan dini atas latar belakang yang tidak lazim menurut hukum adat hingga hal ini

4
adat menjadikan hukum untuk mengawinkan secara mendesak oleh aparat desa, yang itu
mengacu kepada kesepakatan masyarakat yang tidak lepas dari unsur agama Islam.8

Hukum perkawinan itu asalnya mubah (boleh), dalam artian tidak diwajibkan
tetapi juga tidak dilarang. Adapun dasarnya firman Allah dalam Alquran surat an-Nur
ayat 32





Artinya :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan karunia-Nya dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Dengan berdasarkan pada perubahan illatnya atau keadaan masing-masing orang


yang hendak melakukan perkawinan, maka perkawinan hukumnya dapat menjadi
sunnah, wajib, makruh, dan haram.9
Perkawinan hukumnya menjadi sunnah apabila seseorang dilihat dari segi
jasmaninya sudah memungkinkan untuk kawin dan dari segi materi telah mempunyai
sekedar biaya hidup, maka bagi orang demikian itu sunnah baginya untuk kawin.
Sedangkan ulama Syafiyah menganggap bahwa niat itu sunnah bagi orang yang
melakukannya dengan niat untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan melanjutkan
keturunan.10

Perkawinan hukumnya menjadi wajib apabila seseorang dilihat dari segi biaya
hidup sudah mencukupi dan dari segi jasmaninya sudah mendesak untuk kawin,
sehingga kalau tidak kawin dia akan terjerumus melakukan penyelewengan, maka bagi
orang yang demikian itu wajiblah baginya untuk kawin.

8 Imam Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, (Yogyakarta : Liberty,


1991), 1-2.

9 Ibid., 20.

10 Hamdani, Risalah Al Munakahah, (Jakarta : Citra Karsa Mandiri 1995), 24-25.

5
Perkawinan hukumnya menjadi makruh apabila seseorang yang dipandang dari
segi jasmaninya sudah wajar untuk kawin, tetapi belum sangat mendesak sedang biaya
untuk kawin belum ada, sehingga kalau kawin hanya akan menyengsarakan hidup isteri
dan anak-anaknya, maka bagi orang yang demikian itu makruh baginya untuk kawin.
Perkawinan hukumnya menjadi haram apabila seseorang itu menyadari bahwa
dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan kewajiban
batin seperti mencampuri isteri. Sebaliknya bagi perempuan bila ia sadar dirinya tidak
mampu memenuhi hak-hak suami, atau ada hal-hal yang menyebabkan dia tidak bisa
melayani kebutuhan batinnya, karena sakit jiwa atau kusta atau penyakit lain pada
kemaluannya, maka ia tidak boleh mendustainya, tetapi wajiblah ia menerangkan
semuanya itu kepada laki-lakinya. Ibaratnya seperti seorang pedagang yang wajib
menerangkan keadaan barang-barangnya bilamana ada aibnya.11
Bila terjadi salah satu pasangan mengetahui aib pada lawannya, maka ia berhak
untuk membatalkan. Jika yang aib perempuan, maka suaminya boleh membatalkan dan
dapat mengambil kembali mahar yang telah diberikan.12
Dalam perkawinan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Hal itu adalah
syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Adapun syarat dan rukun merupakan perbuatan
hukum yang sangat dominan menyangkut sah atau tidaknya perbuatan tertentu dari segi
hukum. Kedua kata tersebut mengandung yang sama dalam hal bahwa keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan.13 Diantaranya adalah persetujuan para pihak.
Menurut hukum Islam akad (perjanjian) yang didasarkan pada kesukarelaan kedua belah
pihak calon suami isteri. Karena pihak wanita tidak langsung melaksanakan hak ijab
(penawaran tanggung jawab), disyaratkan izin atau meminta persetujuan sebelum
perkawinan dilangsungkan, adanya syarat ini berarti bahwa tidak boleh ada pihak ketiga
(yang melaksanakan ijab) memaksa kemauannya tanpa persetujuan yang punya diri
(calon wanita pengantin bersangkutan). Di masa lampau banyak gadis yang merana
kawin paksa dibawah umur.

11 Ibid., 21.

12 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : PT Al Maarif, Juz VI, 2000), 24.

13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqih


Munakahat dan Undangundang Perkawinan, (Jakarta : Prenada Media, 2006), 59.

6
B. Rukun Nikah

1. WALI

Wali ialah ayah dari mempelai wanita. Wali bagi calon mempelai wanita ini
terbagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali abad (jauh). Karena perkawinan
itu tidak sah tanpa ada izin dari walinya.

Menurut Imam Nawawi seperti yang telah dinukil oleh imam Mawardi apabila
seorang wanita tersebut tidak mempunyai wali dan orang yang dapat menjadi hakim
maka ada tiga cara:

1. Dia tetap tidak dapat menikahkan dirinya tanpa adanya wali.

2. Ia boleh menikahkan dirinya sendiri karena darurat.

3. Dia menyuruh kepada seorang untuk menjadi wali bagi dirinya, dan diceritakan dari
Imam Asyayis bagi mereka yang tidak ada wali baginya harus mengangkat seorang wali
(hakim) yang ahli dan mujtahid.

Berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu `Alaihi Wasallam:

Artinya : Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal
batal.. batal. (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)

2. SAKSI

Adanya dua orang saksi yang adil, golongan syafii mengatakan apabila
perkawinan disaksikan oleh dua orang yang belum diketahui adil tidaknya, maka hukum
tetap sah.

Menurut juhur ulama perkawinan yang tidak dihadiri oleh para saksi yang
menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain,

7
perkawinannya tetap tidak sah. Karena saksi merupakana syarat sahnya pernikahan,
bahwa Imam Syafii menyatakan bahwa saksi dalam akad nikah itu termasuk rukun.

Jika para saksi tersebut hadir dan dipesan oleh pihak yang mengadakan akad
nikah agar merahasiakan dan memberitahukan kepada orang lain, maka perkawinannya
tetap sah.

Karena dalam kesaksian ini sangat banyak kegunaannya, apabila di kemudian


hari ada persengketaan antara suami isteri maka saksi ini bisa dimintai keterangan atau
penjelasannya.

Rasulullah sallallahu `Alaihi Wasallam bersabda:

Artinya : Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.(HR Al-Baihaqi
dan Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata : Hadist di
kuatkandengan hadits-hadits lain.)

3. AKAD NIKAH

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.

Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan
dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: Saya
nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus
Shalihin.

Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: Saya
terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus
Shalihin.

Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:

1. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.

2. Adanya Ijab Qabul.

3. Adanya Mahar.

8
4. Adanya Wali.

5. Adanya Saksi-saksi.

Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri
haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Kedua belah pihak sudah tamyiz.


2. Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak boleh
diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang
menghalangi peristiwa ijab qobul.

Di dalam ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh masing-
masing pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul
dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata kasar. Dan
menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan
Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.

Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim.
Ucapan ketika akad nikah seperti: Mempelai lelaki : Nikahkanlah aku dengan putrimu
yang bernama Fulaanah. Wali wanita : Aku nikahkan kamu dengan putriku yang
bernama Fulaanah. Mempelai lelaki : Aku terima nikah putrimu.

4. MAHAR (MAS KAWIN)


Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang
wanita.Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang
dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Kita bebas
menentukan bentuk dan jumlah mahar yang kita inginkan karena tidak ada batasan mahar
dalam syariat Islam,tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan dengan
kemampuan pihak calon suami. Namun Islam menganjurkan agar meringankan mahar.
Rasulullah saw. bersabda: Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah
(ringan).(H.R. Al-Hakim: 2692)

C. Khitbah ( peminangan )

Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita,
hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.

9
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih
dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya
meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
bersabda:

Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya
hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan
pinangannya). (HR. Al-Bukhari no. 5144)

Yang perlu diperhatikan oleh wali

Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau
ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan
perkara berikut ini:

1. Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang
demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia
menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama
dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan
orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi
fitnah di bumi dan kerusakan yang besar. (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-
Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

2. Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh


memaksanya. Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia
malu.

D. Hukum Menikah

Adapun hukum menikah, dalam pernikahan berlaku hukum taklifi yang lima yaitu :

10
1. Wajib bagi orang yang sudah mampu nikah,sedangkan nafsunya telah mendesak
untuk melakukan persetubuhan yang dikhawatirkan akan terjerumus dalam
praktek perzinahan.

2. Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan batin
kepada calon istrinya,sedangkan nafsunya belum mendesak.

3. Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan
untuk nikah,tetapi ia masih dapat menahan diri dari berbuat haram.

4. Makruh bagi orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu member belanja
calon istrinya.

5. Mubah bagi orang tidak terdesak oleh alas an-alasan yang mewajibkan segera
nikah atau karena alas an-alasan yang mengharamkan untuk nikah.

E. Syarat Sah Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila


syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka sah perkawinan tersebut dan dalam perkawinan ini
akan menimbulkan kewajiban dan hak bagi suami isteri. Dan mereka akan dapat meraih
kehidupan dengan bahagia dalam jalinan kehidupan rumah tangga. 14Perkawinan dalam
ajaran Islam ada aturan yang perlu dipatuhi oleh calon mempelai serta keluarganya agar
perkawinan yang dilakukan sah secara agama sehinga
mendapatkan rida dari Allah SWT.

1. Syarat calon suami15

a) Islam

b) Lelaki yang tertentu

c) Bukan lelaki mahram dengan calon isteri

14 Ibid., 59.

15 http://inasukarno.blogspot.com/p/rukun-syarat-sah-nikah.html (21 Oktober


2013) 27 Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemah, (Jakarta: PT. Bumi Restu,
1977), 120.

11
Artinya kedua calon pengantin adalah orang yang bukan haram dinikahi, baik
karena haram untuk sementara maupun untuk selama-lamanya.
Seperti yang telah dijelaskan dalam Alquran surat an-Nisa 23

Artinya :
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara saudara ibumu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang
menyusui kamu, saudara-saudara sesusuan, ibu-ibu isterimu (mertua) ank-anak
isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu, dari isteri yang telah kamu campuri,
tetapi bila kamu belum menyampuri isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka
tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawina) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.27
Dari ayat tersebut kita dapat memilih bahwa pada ayat tersebut terbagi menjadi
tiga hal:
1) Karena ada hubungan nasab (larangan ini untuk selama-lamanya)

2) Larangan perkawinan karena ada hubungan musaharah (perkawinan)

3) Larangan perkawinan karena susuan

d) Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dikawini adalah sah dijadikan

isteri

12
2. Syarat Calon Isteri

a) Islam

b) Perempuan tertentu

c) Baligh

d) Bukan perempuan mahram dengan calon suami

e) Bukan seorang khunsa

f) Bukan dalam ihram haji atau umrah

g) Tidak dalam iddah

h) Bukan isteri orang

3. Syarat Wali

a) Islam, bukan kafir dan murtad

b) Lelaki

c) Baligh

d) Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan

e) Bukan dal ihram haji atau unrah

f) Tidak fasik

g) Tidak cacat akal pikiran

h) Merdeka

13
4. Syarat Saksi

a) Sekurang-kurangnya dua orang

b) Islam

c) Berakal baligh

d) Laki-laki

e) Memehami kandungan lafal ijab dan qabul

f) Dapat melihat, mendengar dan bercakap

g) Adil

h) Merdeka

Jika yang menjadi saksi itu anak-anak atau orang gila atau orang bisu, atau yang
sedang mabuk, maka perkawinan tidak sah, sebab mereka dipandang seperti tidak
ada.16

Bagi orang yang buta, tuli atau bisu bisa menjadi saksi asalkan mereka
benarbenar mampu mengenali dan membedakan suara-suara pelaku-pelaku akad,
secara yakin dan pasti. 29

5. Syarat Ijab

a) Pernikahan ini hendaklah tepat

b) Tidak boleh menggunakan sindiran

c) Diucapkan wali atau wakilnya

d) Tidak dikatakan dengan tempo waktu seperti mutah

e) Tidak dikatakan taklit (tiada sebutan prasyaratsewaktu ijab dilafadzkan)

16 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz VI, (Bandung : PT. Al Maarif, 2000), 90.

14
6. Syarat Kabul

a) Ucapan mestilah seperti ucapan ijab

b) Tidak berkata sindiran

c) Dilafalkan oleh calon suaminya

d) Tidak dikatakan dengan tempo waktu seperti mutah

e) Tidak dikatakan taklit (tiada sebutan prasyaratsewaktu ijab dilafadzkan)

f) Menyebut nama calon isteri

g) Tidak di selangi oleh perkataan lain

F. Tujuan dan Hikmah Perkawinan

1.Tujuan perkawinan

Islam menganjurkan kawin karena mempunyai tujuan yang besar bagi pelakunya.

a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang kuat dan keras yang
selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bila mana jalan keluar tidak dapat
memuaskan, maka banyak manusia yang mengalami goncangan dan kacau
serta menerobos jalan yang jahat. Dan kawin merupakan jalan alami dan
biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan
naluri seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata
terpelihara dari melihat yang haram.

b. Kawin jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak


keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh
Islam sangat diperhatikan.

c. Selanjutnya naluri kebapakan dan keibuan akan muncul saling melengkapi


dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan ramah,
cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik manusia.

15
d. Menyadari tanggung jawabnya sebagai isteri dan suami akan menimbulkan
sikap yang sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat. Ia akan cekatan
bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan memikul tanggung jawabnya.

e. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga
sedangkan yang lainnya bekerja mencari nafkah.

f. Dengan perkawinan diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan,


memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat tali
kemasyarakatan.

2. Hikmah Perkawinan

Menikahakan meningkatkan hasrat dan martabat manusia. Sebagaimana


kehidupan manusia yang secara bebas mengumbar nafsu biologisnya tampa melalui
bingkai halal sebuah pernikahan, maka martabat dan harga diri mereka sama liarnya
dengan nafsu yang tidak bisa mereka jinakkan. Menikah menjadikan harkat dan
martabat manusia yang menjalaninya menjadi lebih mulia dan terhormat. Manusia
secara jelas akan berbeda dengan binatang apabila ia mampu menjaga hawa nafsu
melalui pernikahan

Menikah memulyakan kaum wanita. Banyak wanita yang akhirnya


terjerumus pada kehidupan hitam hanya karena diawali oleh kegagalan menikah
dengan orang-orang yang menyakiti kehidupan mereka. Menikah dapat memulyakan
kaum wanita. Mereka akan di tempatkan sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarga

Menikah adalah cara untuk melanjutkan keturunan. Pasangan yang shaleh


diharapkan mampu melanjutkan keturunan yang shaleh pula. Dari anak-anak yng
shaleh ini akan tercipta sebuah keluarga shaleh, selanjutnya menjadi awal bagi
terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang shaleh sebagai cikal bakal
kebangkitan Islam di masa mendatang

Selanjutnya menikah akan mewujudkan kecintaan kepada Allah SWT. Inilah


bukti kecintaan Allah SWT terhadap makhlukNya. Dia memberikan cara kepada
makhlukNya untuk dapat memenuhi kebutuhan manusiawi seorang makhluk. Di
dalam wujud kecintaan itu dilimpahkan banyak keberkahan dan kebahagiaan hidup
yang dirasakan melalui adanya tali pernikahan. Allah menjadikan makhlukNya

16
berpasang-pasangan dan ditumbuhkan padanya satu sama lain rasa cinta dan kasih
sayang.

G. TATA CARA PERNIKAHAN DALAM AGAMA YANG BERADA DI INDONESIA

Salah satu hal penting yang harus dipersiapkan oleh calon pengantin adalah
dokumen pernikahan. Idealnya 3-4 bulan sebelum hari-H calon pengantin sudah harus
mengurus surat administratif pernikahan. Sebagian calon pengantin mengurus sendiri,
namun ada pula yang meminta tolong pihak lain untuk mengurus, biasanya diserahkan
kepada wedding planner atau organizer. Bahkan ada pula pengantin yang meminta tolong
pihak lain untuk mengurus dengan alasan khawatir ribet. Bagaimana dengan Anda?
Lebih senang mengurus sendiri atau meminta bantuan orang lain? Apapun pilihan Anda,
tak ada salahnya mempelajari langkah-langkah pengurusan dokumen ini. Ternyata tak
sesulit yang dibayangkan kok. Berikut tahapan pengurusan dokumen pernikahan
berdasarkan beberapa agama.

1. Islam

Setelah menentukan kapan dan dimana akan menikah, baru Anda dapat mulai
mengurus dokumen. Lokasi dimana akad nikah akan berlangsung penting diketahui,
karena berkaitan dengan surat nikah dan KUA. Apabila lokasi akad nikah berbeda dengan
domisili calon pengantin, prosedur pengurusan yang ditempuh pun akan sedikit berbeda.
Misalnya, calon pengantin wanita yang berdomisili di Kelapa Gading akan
melangsungkan akad nikah di kediaman calon pengantin pria di Kebayoran Baru. Maka,
calon pengantin wanita harus mengurus dokumen tambahan yang disebut surat numpang
nikah. Begitu pula dengan calon pengantin pria yang akan menikah di luar domisilinya.
Selain itu, dokumen yang harus dipersiapkan adalah; Kartu Tanda Penduduk (KTP), pas
foto 3x4 (4 lembar), surat pengantar RT/RW, fotokopi Kartu Keluarga, surat keterangan
dari kelurahan setempat yang menyatakan belum menikah.

2. Kristen/Katolik

Meskipun ada tata cara pengurusan yang berbeda antara Kristen Protestan dan Katolik
dalam surat perizinan dari gereja. Dimana pemeluk agama Katolik wajib melampirkan
surat baptis, sementara Protestan tidak, namun dalam mengurus dokumen pada Catatan

17
Sipil tidak jauh berbeda. Pasangan yang akan menikah wajib membawa dokumen-
dokumen berikut sebelum mendaftar di Catatan Sipil; KTP, pas foto 4x6 (5 lembar), surat
baptis (Katolik), fotokopi Kartu Keluarga, surat keterangan dari kelurahan setempat yang
menyatakan belum pernah menikah.

3. Budha

Dalam kepengurusan surat menikah, pasangan penganut agama Budha wajib


mendaftarkan diri ke Vihara dan menemui petugas yang disebut Pandita Loka Palasraya.
Setelah mengurus keperluan surat di Vihara, kedua calon pengantin juga perlu
mempersiapkan dokumen-dokumen berikut untuk memperoleh surat resmi dari pihak
Departemen Agama. KTP, pas foto 4x6 (5 lembar), Akte Kelahiran, surat ganti nama (bila
nama yang tercantum di akta lahir tidak sama dengan SBKRI/surat lainnya), fotokopi
Kartu Keluarga, surat kewarganegaraan, surat keterangan dari kelurahan setempat yang
menyatakan belum pernah menikah.

4. Hindu

Tidak berbeda jauh dengan tata cara kepengurusan surat keagamaan lainnya, pemeluk
agama Hindu pun wajib daftar diri di Pura dengan menemui pengurus atau yang disebut
Kelian Adat. Untuk mendapat pengakuan resmi di mata hukum dan agama calon pengantin
wajib pula melampirkan surat-surat berikut ini; KTP, pas foto 3x4 (4 lembar), Akte
Kelahiran, surat pengantar RT/RW, fotokopi Kartu Keluarga, surat keterangan dari
kelurahan setempat yang menyatakan belum pernah menikah.

18
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna
ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan,
tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam
Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.

Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam


surat Ar-Rum ayat 21 Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah).
Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang
yang berfikir. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia,
ketika manusia melakukan pernikahan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Aw, Suhendra . MAKALAH PERNIKAHAN DALAM ISLAM. 13 Maret 2017.

http://suhendraaw.blogspot.co.id/2015/05/makalah-pernikahan-dalam-islam.html.

Haji Sulaiman Rasjid. 1954. Fiqih Islami. Yogyakarta: CV. Sinar Baru.

Idris Ahmad. 1994. Fiqh Syafii. Jawa Barat: Multazam.

H.A. Fuad Said. 1990. Konsultasi Agama Islam. Jakarta: CV Haji Masagung.

Prof. Dr. M. Mutawalli Asy Syarawi. 1993. ANDA bertanya ISLAM menjawab. Jakarta: Gema Insani
Press.

Muhammad Jawad Mughniyah. 2006. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.

20

Anda mungkin juga menyukai