Anda di halaman 1dari 8

B.

Perkawinan dalam Hukum Islam

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan menurut bahasa: al-jam‟u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna
nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah serta dapat pula
diartikan (wath‟u al-zaujah) yang bermakna menyetubuhi istri. Pernikahan atau perkawinan
secara menurut Imam Syafi‟i adalah akad yang denganya menjadikan halal termology
antara pria dan dengan wanita pria dan dengan wanita yaitu akad yang menjadikan halal
hubungan seksual sebagi suami antara seorang pria dengan wanita. 1

Imam Malik mengartikan pernikahan sebagai akad yang yang mengandung ketentuan
hukum semata-mata untuk membolehkan wathi‟ (bersetubuh), bersenang-senang, dan menikmati
apa yang ada dalam diri wanita. Menurut Imam Hanafi nikah adalah akad dengan menggunkan
lafaz nikah atau tazwij untuk membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Fiqih Al-Islam Wa Adilatuhu, nikah adalah sebuah akad
yang telah ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki
untuk bersenang- senang dengan perempuan, dan dengan menghalalkan seorang perempuan
bersenang-senang dengan laki-laki.2
Di dalam syara, perkawinan didefinisikan sebagai akad serah terima antara laki-laki dan
perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk
sebuah bahtera rumah tangga yang sakina serta masyarakat yang sejahtera.3 Para ahli fiqih
berkata, zawwaj atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata;
inkah atau tazwij akad. Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan
aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial yang
sakral yang menjadikan halal hubungan seksual antara seorang pria dan seorang wanita.4
Adapun dasar hukum perkawinan menurut hukum Islam, adalah sebagai berikut:

‫ات لَِق ْوٍم‬


ٍ ‫ك آلي‬ِ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ِ ‫وِمن آياتِِه َأ ْن خلَق لَ ُكم ِمن َأْن ُف ِس ُكم َأزو‬
َ َ ‫اجا لتَ ْس ُكنُوا لَْي َها َو َج َع َل َبْينَ ُك ْم َم َو َّد ًة َو َرمْح َةً َّن يِف َذل‬
ً َْ ْ ْ ْ َ َ َ ْ َ
‫َيَت َف َّك ُرو َن‬

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu


isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Q.S. Ar-Ruum [30]:
21)

ِ ِ ِ ِ ْ َ‫الصاحِلِني ِمن ِعب ِاد ُكم وِإماِئ ُكم ِإ ْن ي ُكونُوا ُف َقراء ي ْغنِ ِهم اللَّه ِمن ف‬ ِ ِ
ٌ ‫ضله َواللَّهُ َواس ٌع َعل‬
‫يم‬ ْ ُ ُ َُ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َّ ‫َوَأنْك ُحوا األيَ َامى مْن ُك ْم َو‬

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang- orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian- Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nur
[24]: 32.

Dari dua pengertian diatas dapat di tarik kesimpulan, yaitu kebolehan hukum dalam

1
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana , 2016), 94.
2
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani dkk, Jilid
IX, Gema Insani, Jakarta, 2011, 39.
3
Tihami & Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 9.
4
Ghazali Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2009), 9.
hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi
halal. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk suatu keluarga bahagia dan kekal.5 Perkawinan dianggap
sebagai sesuatu yang sakral, agung, dan monumental bagi setiap pasangan hidup.6 bahagia
dan kekal.7 Perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang sakral, agung, dan monumental
bagi setiap pasangan hidup.8

Di dalam peruundang-undangan Indonesia, istilah pernikahan tidak digunakan,


kata yang digunakan untuk menjelaskan sebuah ikatan resmi antara pria dan wanita
adalah perkawinan. Meskipun begitu, penjelasan dari dua istilah tersebut memiliki
kesamaan. Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut
bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin
atau bersetubuh. Oleh sebab itu, perkawinan dapat pula disebut dengan
pernikahan, karena keduanya memiliki arti yang serupa yakni, saling mengumpulkan,
saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi) serta juga untuk
arti akad. Perkawinan sedikitnya memiliki lima tujuan, yakni:

a. Untuk memperoleh keturunan yang sah.


b. Untuk memenuhi tuntutan naluriah/hajat kemanusiaan (menschelijke natuur).
c. Menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan.
d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang merupakan basis pertama dari
masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.
e. Menumbuhkan aktifitas dalam berusaha mencari rezeki yang halal dan
memperbesar rasa tanggungjawab.9

Allah telah menjadikan pernikahan “jenis manusia” sebagai jaminan atas


kelestarian populasi manusia di muka bumi. Allah merealisasikan hal itu dengan
menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Allah juga menjadikan
pernikahan sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia serta untuk menjaga
kekekalan keturunan mereka. Kalau bukan karena adanya dorongan syahwat seksual
yang terpendam dalam diri setiap laki-laki dan perempuan, pasti tidak ada seorangpun
manusia yang berfikir tentang pernikahan. Hidup berjodoh-jodoh adalah naluri segala
makhluk Allah, termasuk manusia. Sebagaimana firman-Nya Q.S Az-Zariyat ayat:

‫َوِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َخلَ ْقنَا َز ْو َجنْي ِ لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُرو َن‬

Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu


mengingat akan kebesaran Allah SWT.” (Q.S. Az-Zariyat [51]: 49)

Dari makhluk yang berpasangan-pasangan inilah Allah SWT menciptakan


manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi
berikutnya. Allah Swt adalah Dzat Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Mengetahui. Allah
telah mengikat antara laki-laki dan wanita dengan sebuah ikatan cinta dan kasih sayang.
Dengan demikian, daur kehidupan akan terus berlangsung dengan makmur dari generasi ke
generasi. Mereka akan memakmurkan dunia ini dengan keluarga dan anak cucu yang
5
Koningsmann Josef, Pedoman Hukum Perkawinan, (Flores: Nusa Indah, 1987), 18.
6
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenamedia Grup, 2003), 7.
7
Koningsmann Josef, Pedoman Hukum Perkawinan, (Flores: Nusa Indah, 1987), 18.
8
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenamedia Grup, 2003), 7.
9
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinanan, (Yogyakarta :
Liberty, 2007), 13-17.
shalih dan shalihah.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pernikahan didefinisikan sebagai yaitu


akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.10 Ungkapan “akad yang sangat kuat
atau miitsaqon gholiidhon” merupakan penjelasan dari Ungkapan “ikatan lahir batin” yang
terdapat dalam rumusan UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang mengandung
arti bahwa akad perkawinan bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan.
Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah
untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan dengan laki-laki dan
perempuan, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan
Rasul-Nya.11 Dalam pandangan Islam, perkawinan di samping sebagai perbuatan ibadah,
ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sebagai sunnah Allah, perkawinan
merupakan qudrat dan irodat Allah dalam penciptaan alam semesta.
Berdasarkan Al-Quran dan Hadist golongan jumhur ulama (mayoritsa ulama)
berpendapat bahwa kawin itu hukumnya sunnat. Para ulama Malikiyah Muta‟akhirin
berpendapat bahwa kawin itu wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian
lainnya dan mubah untuk segolongan yang lainnya.12 Hal ini ditinjau dari kesanggupan
diri seseorang baik secara materi, fisik, dan mental. Sedangkan ulama Syafi‟iyah
mengatakan bahwa hukum asal melakukan perkawinan adalah mubah, disamping ada
yang sunnat, wajib, haram dan makruh.13 Beberapa hukum pernikahan dilihat dari aspek
kesanggupan diri baik secara materi, fisik dan mental, yaitu:

a. Wajib

Perkawinan berhukum wajib bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina
seandainya tidak kawin. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap
muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang.

b. Sunnah

Perkawinan itu hukumnya sunnah menurut pendapat jumhur ulama‟, yaitu bagi
orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan
perkawinan tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina.14

c. Haram

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta
tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban- kewajiban dalam rumah tangga,
sehingga apabila dalam melangsungkan perkawinan akan terlantarlah diri dan istrinya.
Termasuk juga jika seseorang kawin dengan maksud untuk menelantarkan orang
lain, masalah wanita yang dikawini tidak di urus hanya agar wanita tersebut
10
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), 7.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UI Pres, 2000), 86.
Abd. Rahman Ghozaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta; Prenada Media, 2003), 16.
Al-Mawardi, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Yogyakarta: BPFE, 1998), 1.

11

12

13

14
tidak dapat kawin dengan orang lain.

d. Makruh

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup
mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya
tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai
keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban sebagai suami istri yang baik.
e. Mubah

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila


tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga
tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk
memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan
membina keluarga yang
sejahtera.15

Jadi perkawinan pada hakikatnya merupakan salah satu sunatullah yang


berlaku pada semua makhluk Allah, baik pada manusia, hewan dan tumbuhan.
Perkawinana adalah cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk
beranak pinak, berkemabng biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing
pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.
Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas
mengikuti nalurinya dan berhubungan tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan
martabat kemulian manusia, Allah mengadakan hukum sesuai meratabatnya, sehingga
hubungan antara pria dan wanita diatur secara
terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhoi, dengan upacara ijab kabul

2. Dasar Hukum perkawinan

Sumber hukum yang mengatur perkawinan dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Al-
Hadis.:

a. Al-Qur’an telah menggambarkan sifat yang luhur bagi sebuah ikatan yang dijalin oleh
dua orang insan yang berbeda jenis kelamin dalam ikatan perkawinan, dengan
gambaran yang dikemukakan melalui beberapa ayat, antara lain dalam QS. An-Nisa’
ayat 21:

‫ات لَِق ْوٍم َيَت َف َّكُرو َن‬


ٍ ‫ك آلي‬ِ ِ ‫وِمن آياتِِه َأ ْن خلَق لَ ُكم ِمن َأْن ُف ِس ُكم َْأزو‬
َ َ ‫اجا لتَ ْس ُكنُوا ِإلَْي َها َو َج َع َل َبْينَ ُك ْم َم َو َّد ًة َو َرمْح َةً ِإ َّن يِف َذل‬
ً َ ْ ْ ْ َ َ َ ْ َ

Perkawinan merupakan suatu hal yang diperintahkan dan dianjurkan oleh


syara’, sebagaimana firman Allah SWT QS. Ar-Ruum Ayat 21:

b. Hadis

Hadis menjadi salah satu sumber hukum Islam setelah Al- Qur’an, dimana jika

15
Ibid, 16-21.
terjadi suatu perkara yang belum jelas di dalam Al-Qur’an maka hadis bisa menjadi
sandaran berikutnya setelah Al- Quran. Berikut beberapa hadis yang
menerangkan tentang perkawinan adalah sebagai berikut.

َ‫اويَة‬ ِ ‫ي َج ِمي ًعا[ ع َْن َأبِي ُم َع‬ [ُّ ِ‫َح َّدثَنَا[ يَحْ يَى بْنُ يَحْ يَى التَّ ِمي ِم ُّي َوَأبُو بَ ْك ِر بْنُ َأبِي َش ْيبَةَ َو ُم َح َّم ُ[د بْنُ ْال َعاَل ِء ْالهَ ْمدَان‬
ُ‫ت َأ ْم ِشي َم َع َع ْب ِد هَّللا ِ بِ ِمنًى فَلَقِيَه‬ ُ ‫ش ع َْن ِإ ْب َرا ِهي َ[م ع َْن ع َْلقَ َمةَ قَا َل ُك ْن‬ ِ ‫اويَةَ[ ع َْن اَأْل ْع َم‬ ِ ‫َواللَّ ْفظُ لِيَحْ يَى َأ ْخبَ َرنَا َأبُو ُم َع‬
‫ض َما‬ َ ‫ك بَ ْع‬ َّ
[َ ‫اريَةً[ شَابَّةً[ لَ َعلهَا[ تُ َذ ِّك ُر‬ِ ‫ك َج‬ ‫َأ‬
َ ‫ان يَا بَا[ َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن اَل نُ َز ِّو ُج‬ ‫َأ‬ [ُ ‫ع ُْث َمانُ فَقَا َ[م َم َعهُ[ يُ َح ِّدثُهُ[ فَقَا َ[ل لَهُ عُث َم‬
ْ
[‫ب‬
ِ ‫شبَا‬ َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَا َم ْع َش َ[ر ال‬ َ ِ ‫ك لَقَ ْد قَا َل لَنَا َرسُو ُل هَّللا‬ َ ‫ت َذا‬ [َ ‫ك قَا َ[ل فَقَا َل َع ْب ُد هَّللا ِ لَِئ ْن قُ ْل‬ [َ ِ‫ضى ِم ْن َز َمان‬ َ ‫َم‬
ُ‫ج َو َم ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَ َعلَ ْي ِه بِالصَّوْ ِم فَِإنَّهُ[ لَه‬ ْ‫ر‬ َ ‫ف‬ ْ
‫ل‬ ِ ‫ل‬ ُ‫ن‬ ‫ص‬
َ ْ‫ح‬‫َأ‬ ‫و‬
َ ِ ‫ر‬ ‫ص‬
َ َ ‫ب‬ ْ
‫ل‬ ِ ‫ل‬ ُّ‫َض‬ ‫غ‬ ‫َأ‬ [
ُ ‫ه‬َّ ‫ن‬‫ِإ‬ َ ‫ف‬ ْ‫ج‬ ‫و‬
َّ َ
‫ز‬ َ ‫ت‬ َ ‫ي‬ ْ
‫ل‬ َ ‫ف‬ َ
[ ‫ة‬ ‫ء‬
َ ‫ا‬َ ‫ب‬ ْ
‫ال‬ ‫م‬ ْ ُ
‫ك‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫ع‬
َ ‫ا‬ َ ‫ط‬ َ ‫ت‬ ْ
‫س‬ ‫ا‬ ‫ن‬ْ ‫م‬
َ
ِ
‫ش[ ع َْن ِإ ْب َرا ِهي َم ع َْن ع َْلقَ َمةَ[ قَا َ[ل ِإنِّي َأَل ْم ِشي َم َع َع ْب ِد‬ ِ ‫ان بْنُ َأبِي َش ْيبَةَ َح َّدثَنَا َج ِري ٌر ع َْن اَأْل ْع َم‬ [ُ ‫ِو َجا ٌ[ء َح َّدثَنَا ع ُْث َم‬
‫ان بْنُ َعفَّانَ فَقَا َل هَلُ َّم يَا[ َأبَا َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن قَا َل فَا ْست َْخاَل هُ[ فَلَ َّما[ َرَأى َع ْب ُد هَّللا ِ َأ ْن‬ [ُ ‫هَّللا ِ ْب ِن َم ْسعُو ٍد بِ ِمنًى ِإ ْذ لَقِيَهُ ع ُْث َم‬
ً‫اريَة‬ ِ ‫ك يَا بَا َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن َج‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
َ ‫ان اَل نُ َز ِّو ُج‬ ْ
[ُ ‫ت فَقَا َل لَهُ عُث َم‬ ْ
[ُ ‫ت لَهُ َحا َجةٌ[ قَا َل قَا َل لِي تَ َعا َ[ل يَا عَلقَ َمةُ[ قَا َ[ل فَ ِجْئ‬ [ْ ‫لَ ْي َس‬
َ[‫اويَة‬ ِ ‫ث[ بِي ُم َع‬ ‫َأ‬ ْ
ِ ‫ك فذ َك َر بِ ِمث ِل َح ِدي‬ َ َ َ ‫ت ذا‬َ ْ ُ َ ‫هَّللا‬
[َ ‫ت تَ ْعهَ ُ[د فقا َل َع ْب ُد ِ لِئ ْن قل‬ َ َ ْ ُ
[َ ‫ك َما[ كن‬ ْ
[َ ‫ك ِم ْن نَف ِس‬ َ َّ
َ ‫بِك ًرا ل َعلهُ[ يَرْ ِج ُع ِإل ْي‬َ ْ

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi dan Abu Bakr
bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Al Ala` Al Hamdani semuanya dari Abu
Mu'wiyah -lafazh dari Yahya - telah mengabarkan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Al
A'masy dari Ibrahim dari 'Alqamah ia berkata: Aku pernah berjalan bersama Abdullah
di Mina, lalu ia dijumpai oleh Utsman. Maka ia pun berdiri bersamanya dan
menceritakan hadits padanya. Utsman berkata: "Wahai Abu Abdurrahman, maukah
Anda kami nikahkan dengan seorang budak wanita yang masih gadis, sehingga ia
dapat mengingatkan masa lalumu." Abdullah berkata: Jika Anda berkata seperti itu,
maka sungguh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda kepada kami:
"Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang telah memperoleh kemampuan
(menghidupi rumah tangga), kawinlah. Karena sesungguhnya, perhikahan itu lebih
mampu menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan, barangsiapa belum
mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu akan meredakan
gejolak hasrat seksual. (Shahih Muslim 2485)"

Islam melarang perbuatan perbuatan keji dan mengerjakan dosa-dosa besar,


diantaranya larangan zina dengan segala sebab yang membawa kepada perzinaan, langsung
maupun tidak langsung, misalnya tentang melihat perempuan, pergaulan bebas, terbukanya
aurat, menampakkan kecantikan, masuk rumah tanpa izin dan apa saja yang membawa kepada
kerusakan, demoralisasi, dan kehancuran. Islam menganjurkan perkawinan karena itu adalah
jalan yang paling efektif untuk menjaga kehormatan diri, menjauhkan seorang mukmi dari
perbuatan zina dan dosa lainya.16

Berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis tersebut di atas, maka dasar hukum
perkawinan pada awalnya adalah sunnah yaitu lebih baik menikah agar terpelihara dari
maksiat. Namun, hukum perkawinan dapat berubah menyesuaikan keadaan. Hukum
awalnya sunnah bisa berubah menjadi mubah bila belum sanggup memikul beban keluarga,
wajib bagi yang mampu menafkahi keluarga dan keinginan, makruh jika belum mampu
menafkahi rumah tangga, dan haram bagi yang menikah dengan niat buruk seperti ingin
menghabiskan harta calon yang akan dinikahinya dan diceraikan jika maksudnya tercapai.

3. Rukun dan syarat perkawinan

16
Ibnu Hajar Al Asqolani. Fathul Bari Syarhu Shohihil Bukhari (Beirut:DarulMa’rifah.t.th). 5063.
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-
Nya, baik pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ia adalah salah satu cara yang
dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluknya untuk berkembang biak dan
melestarikan hidupnya. Selain itu, perkawinan adalah perbuatan hukum, maka ia mesti
memenuhi syarat dan rukun agar sah menurut syara. Rukun adalah unsur pokok (tiang)
dalam setiap perbuatan hukum. Sedangkan syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap
perbuatan hukum. Jika kedua unsur ini tidak terpenuhi maka perbuatan itu dianggap
tidak sah menurut hukum.17

Rukun juga bisa diartikan dengan sesuatu yang mesti ada sebagai penentu sah
dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan
tersebut. Seperti membasuh muka untuk wudlu‟ dan takbirotul ihrom untuk sholat, atau
adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan dalam perkawinan. Syarat adalah sesuatu
yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi
sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut.18

Imam Madzhab berbeda pendapat dalam menentukanya rukun nikah. Imam Malik
mengatakan rukun nikah itu ada lima macam, yaitu : wali dari pihak perempuan, mahar
(mas kawin), calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, dan sighat akad
nikah. Imam Syafi‟i juga menyebutkan lima, yaitu calon pengantin laki-laki, calon
pengantin perempuan, wali, dua orang saksi dan sighat akad nikah, akan tetapi jumhur
ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri dari calon mempelai, wali dari pihak
calon pengantin wanita, adanya dua orang saksi, dan sighat akad nikah.19

Para ulama madhzab Hanafiyah menyebutkan rukun nikah itu hanya ada satu
yaitu ijab dan qobul (akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon
pengantin laki-laki). Sedang menurut segolongan ulama yang lain menyebutkan rukun nikah
ada empat, yaitu : sighat (ijab dan qobul), calon pengantin perempuan, calon pengantin laki-
laki, dan wali dari pihak calon pengantin perempuan.20 Dalam KHI, tentang rukun nikah ini
disebutkan dalam Pasal 14 yaitu ”untuk melaksanakan perkawinan harus terdapat: calon
suami, calon stri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab serta qabul. Mengenai rukun
perkawinan jumhur ulama sepakat bahwa terdiri dari:

a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan


b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
c. Adanya dua orang saksi
d. Adanya sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya
dari pihak perempuan dan dijawab oleh calon pengantin laki- laki

Syarat perkawinan merupakan dasar sah tidaknya suatu perkawinan. Apabila


syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak
dan kewajiban sebagai suami istri. Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi dari
perkawinan antara lain yaitu: 21

a. Calon suami dengan syarat-syarat, beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya,


dapat memebrikan persetujuan, tidak terdapat halangan perkawinan

17
Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Bimas Islam)
18
Al Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Cet. 2, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002),

19
Abd. Rahman Ghozaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta; Prenada Media, 2003), 45-46.
20
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 9.
21
Nasiri,Praktik Pronstitusi Gigolo Ala Yusuf Al-Qardawi (Surabaya : Khalista, 2010), 16.
b. Calon istri dengan syarat-syarat, beragama (meskipun yahudi atau kristen),
perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuan, tidak terdapat halangan
melakuan perkawinan
c. Wali nikah dengan syarat-syarat, laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwalian
d. Saksi nikah dengan syarat, dua orang laki-laki, hadir saat ijab kabul, dapat mengerti
maksud akad, dan beragama Islam.
e. Ijab kabul dengan syarat, dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti
kedua belah pihak (pelaku akad dan penerima akad serta saksi), singkat.
f. Mahar, yakni pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita,
baik dalam bentuk barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam.22
Di dalam KHI Pasal 30 dijelaskan dengan tegas bahwa calon mempelai
pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan
jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.23 Mengenai syarat-syarat melakukan
perkawinan dijelaskan dalam pasal 15 sampai dengan pasal 38.24 Berkaitan dengan
kedua calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan disyaratkan juga
ketentuan-ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 1/1974 tentang
Perkawinan Pasal sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan

Pasal 6 dan Pasal 7. Sedangkan tentang mahar (mas kawin) sebagai salah satu bagian
dari rukun nikah disebutkan dalam pembahasan tersendiri. Hal ini dikarenakan mahar
merupakan salah satu syarat rukun yang sangat penting.
Substansi yang terkandung dalam syari‟at perkawinan adalah menaati perintah
Allah serta Sunnah Rasul-Nya, yaitu menciptakan suatu kehidupan rumah tangga yang
mendatangkan kemaslahatan, baik bagi pelaku perkawinan itu sendiri, anak
turunan, kerabat maupun masyarakat. Oleh karena itu, perkawinan tidak hanya bersifat
kebutuhan internal yang bersangkutan, tetapi mempunyai kaitan ekternal yang melibatkan
banyak pihak.
Syarat pernikahan saling bertalian dengan rukun-rukun pernikahan, yaitu syarat-
syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul. Syarat- syarat pernikahan
merupakan dasar bagi sahnya pernikahan dalam Islam. Apabila syarat-syaratnya itu
terpenuhi, maka pernikahan itu sah dan menimbulkan hak dan kewajiban suami isteri.25
Uraian rukun dan syarat-syarat nikah di atas merupakan hal yang mesti
dipenuhi dari bagian rukun nikah yaitu, calon kedua mempelai yaitu suami isteri, wali,
saksi dan shighat ijab qabul. Oleh karena itu jika ada salah satu syarat yang tidak dipenuhi,
maka pernikahannya bisa dikategorikan batal atau tidak sah.26 mesti dipenuhi dari bagian
rukun nikah yaitu, calon kedua mempelai yaitu suami isteri, wali, saksi dan shighat ijab
qabul. Oleh karena itu jika ada salah satu syarat yang tidak dipenuhi, maka pernikahannya
bisa dikategorikan batal atau tidak sah.27

22
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Edisi I, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), 113.
23
Ibid, 120.
24
Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Bimas Islam,2003), 18-24.
25
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
26
Tihami & Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 12.
27
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006), Cet. ke-

Anda mungkin juga menyukai