Anda di halaman 1dari 7

RESUME PAI BAB 10

PERNIKAHAN DALAM ISLAM


Pengertian Pernikahan
Pernikahan adalah terjemahan dari kata nakaha dan zawaja. Secara etimologi, nikah berasal
dari akar kata bahasa Arab: nakaha – yankihu – nikahan bisa diartikan ”wathi” atau ”jima’ yang
berarti ”mengumpulkan”, atau berkumpul atau persetubuhan (Taqiyuddin, 1997: 337). Sedangkan
kata zawaja secara istilah berarti pasangan. Pemaknaan ini memberikan kesan bahwa antara suami
isteri saling melengkapi, saling memberi dan saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-
masing. Dengan demikian, secara terminologi perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang
semula terpisah dan berdiri sendiri, menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra (Nasution, 2002: 4).

Sedangkan definisi Perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdaasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 2 ”Perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalidlon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah”. Sedang yang
dimaksud ”akad” di sini adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya dan disaksikan oleh dua orang saksi. (KHI, 1991: Pasal 1).

Tujuan

Tujuan pernikahan antara lain :

1. a. Pemenuhan kebutuhan biologis. Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:

◌َ
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka
atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”
(Q.S. Al-Maarij, 70: 29-30).

b. Memperoleh keturunan yang sah. Masyarakat diharapkan dapat melestarikan


kehidupan umat manusia sesuai ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syariah.
Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu
dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik.
Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”
(Q.S.AnNahl,16: 72).

c. Menjalin rasa cinta dan kasih sayang antara suami dan isteri.
UU No. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal (UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 1). Dalam
Kompilasi Hukum Islam, tujuan perkawinan tidak menggunakan kata ”bahagia”
melainkan ”sakinah, mawaddah, dan rahmah”. ”Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah” (KHI, 1991: Pasal 3).

d. Menjaga Kehormatan.
Kehormatan yang dimaksud disini adalah kehormatan diri sendiri, anak dan
kehormatan keluarga. Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. AnNisa,
4: 24).

e. Beribadah kepada Allah Swt.


Fungsi pernikahan sebagai ibadah kepada Allah Swt., sebagaimana sabda Nabi
Muhammad saw.:

◌َ
Artinya: “Dari Anas RA, bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda, “Barang siapa yang Allah
telah memberi rizqi kepadanya berupa istri yang shalihah, berarti Allah telah menolongnya pada
separo agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah untuk separo sisanya”

Fungsi Pernikahan

Fungsi pernikahan menurut Al-qur’an dan hadis

a. Mendapatkan ketenangan hidup (mawaddah wa rahmah ).


Ketenangan hidup dapat diperoleh melalui pernikahan sebagaimana telah dijelaskan
pada Q.S. Ar-Rum, 30: 21:

Artinya: “Supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikannya di
antaramu rasa kasih dan saying” (Q.S. Ar-Ruum, 30: 21).
Islam menyebut perkumpulan yang penuh cinta, kasih dan sayang tersebut
dengan ungkapan bahasa mawaddah wa rahmah. Dengan nikah, baik laki-laki maupun
perempuan, bisa melaksanakan hal-hal yang sebelumnya dilarang oleh Islam, terutama
hubungan seksual (Hasyim, 2001: 148-149).
b. Menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan.
Pernikahan akan berfungsi bagi para suami/Istri menjaga pandangan mata dan
kehormatan, Nabi Muhammad saw. menegaskan dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari,
”Wahai pemuda, barang siapa di antara kamu yang sudah mampu, maka menikahlah, karena
dengan menikah maka akan menundukkan pandangan mata dan menjaga kehormatan, serta bagi
yang tidak mampu dianjurkan untuk berpuasa karena dengan puasa dapat mengendalikan diri.”
(H.R. al-Bukhari).
c. Untuk mendapatkan keturunan.
Mempunyai keturunan merupakan naluri setiap manusia yang melakukan pernikahan,
dan Nabi saw. melalui sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menganjurkan
memilih pasangan yang subur yang akan memberikan banyak keturunan. Dalam hadis
diberitakan,
“...bahwasanya Rasullah menyuruh kita untuk menikah dan melarang kita hidup membujang.
Beliau bersabda: ”... Nikahilah wanita yang bibitnya subur sehingga dapat memberikan banyak
keturunan, lagi penyayang karena aku bangga di hadapan para nabi dengan banyaknya kamu di
hari kiamat..” (H.R. Imam Ahmad).

DASAR HUKUM PERNIKAHAN

Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang
terinstitusi dalam satu lembaga yang kokoh, dan diakui baik secara agama maupun secara
hukum. Alquran menganjurkan manusia untuk hidup berpasang-pasangan yang bertujuan
untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan tentram (Q.S. Ar-Rum, 30: 21):
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kamu pasanganpasangan
dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antara kamu (dan pasanganmu) rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Q.S. Ar-Rum, 30: 21).
Dalam Q.S. An-Nisa, 4: 3 Allah berfirman :“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
(Q.S. An-Nisa, 4: 3).
Allah Swt. juga berfirman: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hambamu yang laki-laki dan hamba-hambamu yang
perempuan” (Q.S. AnNuur, 24: 32).
Sesuai dengan Hadis Rasulullah saw. riwayat Ibnu Majah: ”Nikah adalah sunnahku,
barangsiapa tidak menjalankan sunnahku, dia bukan umatku”. Memahami hadis tersebut, bisa
diambil pemaknaan bahwa nikah adalah anjuran (bukan kewajiban) yang bisa dikategorikan
sebagai sunah yang mendekati wajib, atau sunah muakkad. Meskipun demikian, anjuran untuk
menikah ini bobotnya bisa berubah-ubah menjadi wajib, makruh, mubah atau kembali ke
hukum asalnya yaitu sunah, sesuai dengan kondisi dan situasi yang melingkupinya.
Berkaitan dengan status perkawinan, Alquran juga menyebut dalam Surat An-Nisa, 4:
21 : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat” (Q.S. al-Nisa’, 4: 21).
Prinsip-prinsip Pernikahan

1. Prinsip Kebebasan Memilih

2. Prinsip Musyawarah dan Demokrasi

3. Prinsip Menghindari Kekerasan.

4. Prinsip Hubungan yang Sejajar

5. Prinsip Keadilan

6. Prinsip Mawaddah

7. Prinsip Rahmah

8. Prinsip amanah/ tanggung jawab.

9. Prinsip mu’asyarah bil ma’ruf.

Syarat dan Rukun Pernikahan


Berdasarkan Alquran dan hadis, para ulama menyimpulkan bahwa hal-hal yang
termasuk rukun pernikahan adalah a) calon suami, b) calon isteri, c) wali nikah, d) dua orang
saksi, dan e) ijab dan qabul. Kewajiban akan adanya saksi ini adalah pendapat Syafi’i, Hanafi
dan Hanbali (Yunus, 1996: 18). Adapun syarat-sahnya nikah, menurut Wahbah Zuhaili adalah :
a) antara suami isteri tidak ada hubungan nasab, b) sighat ijab qabul tidak dibatasi waktu, c)
adanya persaksian, d) tidak ada paksaan, e) ada kejelasan calon suami isteri, f) tidak sedang
ihram, g) ada mahar, h) tidak ada kesepakatan untuk menyembunyikan akad nikah salah satu
calon mempelai, i) tidak sedang menderita penyakit kronis, dan j) adanya wali (Az-Zuhaili,
1989: 62).

Faktor Penghalang Terjadinya Perkawinan


Faktor penghalang terjadinya perkawinan ada dua macam, yang pertama adalah
penghalang selama-lamanya, yang kedua adalah penghalang sementara. Penghalang
selama-lamanya adalah:
1. Antara suami isteri masih memiliki hubungan nasab.
2. Antara suami isteri mempunyai hubungan sepersusuan.
3. Antara suami isteri mempunyai hubungan semenda/perkawinan.

Adapun larangan perkawinan yang bersifat sementara adalah sebagai berikut.


1. Calon isteri masih menjalani ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki.
”Seorang perempuan yang mempunyai ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki, tidak bisa
melakukan perkawinan dengan laki-laki lain” (KHI Pasal 40).
2. Memadukan dua orang perempuan yang sedarah, dalam hal seorang suami mempunyai
isteri lebih dari satu (KHI, Pasal 41).
3. Isteri orang lain atau bekas isteri orang lain yang sedang menjalani masa iddah. Wanita
yang mengalami masa iddah, atau masa tunggu setelah terputusnya hubungan
perkawinan, tidak diperbolehkan menikah lagi dengan laki-laki lain sampai habis masa
tunggunya. Tujuan iddah adalah untuk membersihkan rahim perempuan dan
memastikan bahwa tidak ada benih yang tertanam dari suami sebelumnya.
4. Perempuan yang ditalak tiga kali, atau dicerai secara li’an. Bagi suami yang mentalak tiga
kali isterinya, atau bersumpah di depan hakim bahwa isterinya menyeleweng dan
kemudian menceraikannya (li’an), tidak boleh menikahinya kembali sebelum perempuan
tersebut dinikahi oleh laki-laki lain dalam perkawinan yang sah (Ash-Shabuni, 1985: 122;
KHI Pasal 43).
5. Kedua calon mempelai tidak sedang dalam keadaan ihram (haji atau umruh). Jumhur
ulama berpendapat bahwa seorang yang sedang ihram diharamkan melakukan
perkawinan baik secara sendiri maupun diwakilkan (Sabiq, 1996: 125; KHI Pasal 5 ).
6. Khusus untuk calon mempelai laki-laki, tidak beristerikan lebih dari empat orang. (KHI,
Pasal 55).

Konsep Wali dan Mahar Sebelum dan Sesudah Islam


Konsep perwalian merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah
pernikahan. Keberadaan wali merupakan salah satu dari persyaratan legal pernikahan Islam
yang harus dipenuhi. Jumhur ulama menyepakati bahwa pernikahan dipandang tidak sah
bila tidak disertai oleh seorang wali (Hasyim, 2001: 154). Ketentuan ini merujuk kepada hadis
Nabi saw. yang diriwayatkan oleh al-Daruquthni: ”Tidak dipandang sah pernikahan tanpa wali
dan dua orang saksi”.
Dalam istilah fikih, wali berarti orang yang memiliki kuasa untuk melakukan tasharruf
tanpa tergantung izin dari orang lain. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga mempunyai
hak utama dalam pengambilan keputusan wilayah keluarga (perwalian). Pada masa pra
Islam, wali berhak menentukan jodoh untuk anaknya. Di samping sebagai bentuk kuasa lakilaki atas
perempuan, konsep wali di kalangan Arab pra Islam lebih terkesan sebagai
peniadaan kebebasan dan hak bagi perempuan (Umar, 2001: 140). Demikian juga dengan
praktik pemberian mahar (mas kawin) bagi pengantin perempuan. Pada masa ini mahar
diartikan sebagai harga seorang perempuan yang dibeli dari walinya. Adalah wajar bila
kemudian suami mempunyai wewenang penuh terhadap isterinya untuk memperlakukan
apa saja, menjadikan apa saja, termasuk kemungkinan menikahkannya dengan pria lain
(Nafis, 1994: 64 ).

Praktek Perkawinan Sebelum Datangnya Islam

1. Pernikahan dengan ibu tirinya. ( Q.S. An-Nisa,4 : 22-24 )

2. Pernikahan saling bertukar isteri

3. Suami mengijinkan isteri bersetubuh dengan pria lain untuk mendapatkan keturunan yang
baik.

4. Pernikahan dengan tawanan perempuan tanpa mahar.

5. Poligami tanpa batas

6. Pernikahan muth’ah

Kontroversi dalam Praktek Pernikahan

1. Poligami

a) Dasar Hukum, Q.S. An-Nisa,4 : 3 dan 129.

b) Latar belakang turunnya ayat :

a. Pasca perang Uhud, banyak janda dan anak yatim yang harta bendanya tidak terurus.

b. Penekanan pada konsep keadilan, bukan pada bilangan isteri.


c. Pembatasan jumlah isteri, dari yang tanpa batas, menjadi maksimal empat dengan
tetap mengedepankan asas monogami.

d. Praktek poligami Rasulullah  pendekatan sosial dan pendekatan dakwah, bukan


pendekatan seksual. Selama 28 tahun Rasulullah menerapkan monogami hanya
dengan Siti Khadijah.

e. Praktek poligami saat ini  lebih banyak madlarat daripada maslahahnya.

f. Surat An-Nisa’,4 : 3  bukan merupakan anjuran untuk berpoligami apalagi


disunahkan. Tetapi merupakan respon atas kondisi dan situasi yang terjadi pada
waktu itu.

g. Dampak negatif : kecemburuan, persaingan tidak sehat, saling iri, anak-anak


terlantar, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain.

2. Pernikahan Siri

Pengertian : Pernikahan yang meskipun telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan sesuai
ketentuan syar’i, namun tidak dicatatkan di KUA/ Pegawai Pencatat Nikah.

Perbedaan :

Nikah Resmi  mempunyai akta nikah, sah secara agama dan secara hukum

Nikah Siri  Tidak ada akta nikah, sah secara agama, tidak sah secara hukum.

Faktor Penyebab dilangsungkannya :

 Menghindari zina

 Belum ada kesiapan moril dan materiil

 Menghindari prosedur yang berbelit

 Tidak ada biaya untuk administrasi pernikahan

 Alasan untuk bisa berpoligami

 Dan lain-lain.

3. Pernikahan Mut’ah

Pengertian :

Pernikahan yang didasarkan pada jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua
belah pihak.

Hukumnya:

Pernikahan tersebut pernah terjadi pada masa Rasulullah, namun kemudian Rasul
melarangnya :

“ Saya pernah membolehkanmu melakukan nikah mut’ah, namun Allah telah melarangmu
sampai hari akhir Pengadilan”.
• Kalangan Syiah Isna Asyariyah sepakat bahwa nikah mut,ah diperbolehkan atas dasar Q.S.
An-Nisa’,4 : 24.

• Jumhur ulama melarang praktek nikah tersebut, karena hanya didasarkan pada kesenangan
semata dan dalam jangka waktu tertentu.

• Hal tersebut menyalahi tujuan, fungsi dan prinsip-prinsip pernikahan dalam Islam, yaitu
mewujudkan konsep keluarga sakinah yang dilandaskan pada rasa kasih sayang yang harus
dibina dan dipupuk secara berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai