Anda di halaman 1dari 8

PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM

❑ Pengertiaan perkawinan dalam hukum islam. Perkawinan adalah merupkan sunnatullah, yang sudah
menjadi hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan dan bahkan oleh tumbuh
tunbuhan.Sebagaimana firmn Allah dalam surat Yasin ayat 36, bahwa : “Maha suci Tuhan yang telah
menciptakan pasangan pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan
disebut juga “pernikahan” ,berasal dari kata nikah ) ( ‫ نكاح‬yang menurut bahasa artinya mengumpulkan,
saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).Kata “nikah”sendiri sering
dipergunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah. Sedangkan menurut syara‟ nikah
adalah: ( ‫ ) د ْ ق َ َض ع ي َ ت ن َّ م َ ة َ اح َ ء ِاب ْ ط ِظ ال??و ْ ف َ ل ِ ب اح َ ك ْ ن ْ ِلْ ا ْ و َ ا التَ ِ و ْ ز ج ْ ي‬Artinya: “Akad
atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan
lafaz na-ka-ha atau za-waja.”
Menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 2 menjelaskan bahwa : Perkawinan menurut hukum
Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat miitsaqan ghaliizhan untuk menaati perintah
Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Istilah perkawinan adalah merupakan istilah yang umum,
yang digunakan untuk semua makhluk ciptaan Allah dimuka bumi, sedangkan pernikahan hanyalah
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 57 diperuntukkan bagi manusia. Seperti kata nikah berasal dari
bahasa Arab yaitu “nikaahun” yang merupakan masdar atau asal dari kata kerja nakaha, yang sinonim
dengan tazawwaja. Jadi kata nikah berarti “adh-dhammu wattadaakhul” artinya bertindih dan
memasukkan, (Rahmat Hakim, 2000 : 11) sedangkan dalam kitab lain dikatakan bahwa nikah adalah
“adh-dhmmuwal-jam’u” artinya bertindih dan berkumpul.
SYARAT PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM.
 Syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya Suatu pekerjaan
(ibadah):
 1) Calon suam
Seorang calon suami yang akan menikah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
 a) Bukan mahram dari calon istri
 b) Tidak terpaksa (atas kemauan sendiri)
 c) Jelas orangnya (bukan banci)
 d) Tidak sedang ihram haji.
2) Calon istri
Bagi calon istri yang akan menikah juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Tidak bersuami
b) Bukan mahram
c) Tidak dalam masa iddah
d) Merdeka (atas kemauan sendiri)
e) Jelas orangnya(bukan lesbi)
f) Tidak sedang ihram haji
3) Wali
Untuk menjadi seorang wali dalam sebuah pernikahan, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Laki-laki
b) Dewasa
c) Waras akalnya
d) Tidak dipaksa
e) Adil
f) Tidak sedang ihram haji
4) Ijab kabul
Ijab adalah sesuatu yang diucapkan oleh wali, sedangkan kabul ialah sesuatu yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
agar akad ijab kabul itu bisa menjadi sah, yaitu:
a) Akad dimulai dengan ijab dan dilanjutkandengan kabul. Ijab berarti penyerahan dari pihak
pertama, sedangkanKabul adalah penerimaandari pihak kedua. Contoh penyebutan ijab “ saya
nikahkananak saya yang bernama Khotibah dengan mahar uang satu juta rupiah dibayartunai”.
Lalu kabulnya “ saya terima menikahi anak bapak yang bernama Khotibah dengan mahar uang
sebesar satu juta rupiah. Materi dari ijab dan Kabul tidak boleh berbeda, seperti nama si
perempuandan bentuk mahar yang sudahditentukan.
5) Mahar
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik dalam bentuk
barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surat
An-Nisa‟ ayat 4: ِ َ ‫ِس واالن ت َ ا َ و ً ً ْ ِي ن َ َ ُ ْ و ل ك‬ َ ‫ي ءم َ ش ْ ن َ ع ْ م ك َ ل َ ْ ْ ْ ِطبْ ْ ِان َ ف ً ة َ ل ْ ِ ْْ ِن َّ ِ ن ه ِ ت َ ق د‬
َ ‫ص َ اء‬
‫ ) ً اف ْ ْ َ نَ و ْ ْن ً ً ْ ي ِ ر َّ م‬Artinya: : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati,maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagaimakanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An Nisa‟: 4.
5) Mahar Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik
dalam bentuk barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sebagaimana firman
Allah dalam surat An-Nisa‟ ayat 4: ِ َ ‫ِس واالن ت‬ َ ‫ي ءم َ ش ْ ن َ ع ْ م ك َ ل َ ْ ْ ْ ِطبْ ْ ِان َ ف ً ة َ ل ْ ِ ْْ ِن َّ ِ ن ه ِ ت َ ق د‬
َ ‫ص َ اء‬
‫ ) ا َ و ً ً ْ ِي ن َ َ ُ ْ و ل ك َ ً اف ْ ْ َ نَ و ْ ْن ً ً ْ ي ِ ر َّ م‬Artinya: : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagaimakanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An Nisa‟: 4.

PENCEGAHAN/PEMBATALAN PERKAWINAN
Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan perkawinan setelah
sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan
harus selalu memperhatikan ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah
maka pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan. Dalam pasal 22 UU perkawinan disebutkan
bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Namun bila rukunnya yang tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak sah.
Perkawinan dapat dibatalkan berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 pasal 22, 24, 26 dan 27 serta
berdasarkan KHI pasal 70 dan 71.
Dalam hukum islam suatu pernikahan dianggap sah jika dalam suatu akad nikah tersebut sudah
terpenuhi syarat serta rukunnya. Jika suatu perkawinan kurang salah satu syarat maupun rukunnya
maka akad nikah tersebut dianggap tidak sah. Jika yang tidak terpenuhi hanya salah satu rukunnya,
akad tersebut adalah batal. Adapun jika yang tidak terpenuhi adalah salah satu dri syaratnya maka akad
nikah tersebut dianggap fasid. Hal-hal yang menyebabkan pembatalan perkawinan diantaranya:
1.Masih adanya ikatan perkawinan dengan seseorang (pasal 24)
2.Perkawinan yang dilangsungkan dimukja pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali
nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi, namun hal ini gugur
apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri yang dapat memperlihatkan akta perkawinan
yang dibuat pegawai pencatat yang tidak berwenang dan perkawinan itu harus diperbarui agar sah.
(pasal 26)
3.Belum mencapai usia untuk kawin Tiadanya kecakapan untuk memberikan kesepakatan
5.Keluarga sedarah atau semenda
6.Perkawinan antara mereka yang melakukan overspel perkawinan ketiga kalinya antara orang yang
sama.
7.Perkawinan yang dilakukanmeskipun ada pencegahan.
PENCATATAN PERKAWINAN
Dalam perspektif hukum Islam, pencatatan perkawinan adalah hal penting pada peristiwa perkawinan,
pencatatan akad nikah hukumnya wajib, sebagaimana juga diwajibkan dalam akad mu‟amalah. Alat
bukti tertulis dapat dipergunakan untuk hal-hal yang berkenaan dengan kelanjutan akad pernikahan.
Dengan adanya alat bukti ini, pasangan pengantin dapat terhindar dari mudharat dikemudian hari
karena alat bukti ini dapat memproses secara hokum berbagai persoalan rumah tangga, terutama
sebagai alat bukti paling sah dalam pengadilan agama.
Pencatatan pernikahan adalah suatu yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap peristiwa
pernikahan. Dalam hal ini pegawai pencatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan
melangsung suatu akad pernikahan antara calon suami dan calon istri.Pencatatan adalah suatu
administrasi Negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan warga Negaranya.
Mencatat artinya memasukan pernikahan itu dalam buku akta nikah kepada masing-masing suami istri.
Kutipan akta nikah itu sebagai otentik yang dilakukan oleh pegawai pencatat nikah, talak, rujuk. Juga
oleh pegawai pernikah kantor catatan sipil sebagaimana di maksud dalam berbagai perundang-
undangan yang berlaku mengenai pencatatan pernikahan.Maka pencatatan pernikahan itu didasari
pengkaji hukum islam memiliki kedudukan yang sangat penting terlebeh lagi untuk menjamin

ketertiban dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pencatatan pernikahan sangatlah penting dicatat agar
supaya terlindungan hak-hak yang akan ditimbulkan akibat adanya suatu pernikahan, terutama hak istri
dan anak-anak.
Tujuan Pencatatan Pernikahan Pada dasarnya sama dengan fungsi pencatatan pernikahan pada
lembaga pencatatan sipil, yaitu agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan
bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab,
salah bukti yang dianggap sah sebagai bukti syar‟i (bayyinah syar‟iyyah)adalah dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya
seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di
hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan,maupun sengketa
yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian,dan nafkah.
LARANGAN PERKAWINAN
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah. Perkawinan
batal apabila perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semeda dan
sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UU Perkawinan.
Masih soal larangan perkawinan sedarah menurut hukum Islam, Al Quran Surat An Nisa ayat
23 dengan tegas menyatakan larangan perkawinan sedarah, yang artinya:
Larangan perkawinan juga terdapat dalam Pasal 39 butir (1) huruf a KHI, yang menyatakan
bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
1. Karena pertalian nasab:
a. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
b. dengan seorang wanita saudara yang melahirkan
2.    Karena pertalian kerabat semenda:
a. dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla ad dukhul
3.    Karena pertalian sesusuan:
a. dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah
PROSEDUR ALASAN POLIGAMI
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU
Perkawinan”) didefinisikan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, hukum perkawinan Indonesia berasaskan
monogami.Selanjutnya asas itu ditegaskan kembali dalam Pasal 3 ayat (1) dan penjelasannya
UU Perkawinan yang berbunyi pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (asas
monogami).
Poligami dalam UU PerkawinanKendati demikian, UU Perkawinan memberikan
pengecualian, yang mana Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seorang (poligami), dengan ketentuan:
a. Suami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, dengan
syarat:
Ada persetujuan dari istri/istri-istri, dengan catatan persetujuan ini tidak diperlukan jika:
1.istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian;
2.tidak ada kabar dari istri selama minimal 2 tahun; atau3.sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari hakim pengadilan.2.Adanya kepastian suami mampu menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak;
3.Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak.
b. Pengadilan hanya memberikan izin poligami jika:
1.istri tidak dapat menjalankan kewajibannya;
2.istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3.istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Adapun izin tersebut diberikan pengadilan jika berpendapat adanya cukup alasan bagi
pemohon (suami) untuk beristri lebih dari seorang.Poligami dalam Hukum IslamLebih lanjut,
aturan poligami merujuk pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Secara garis besar, memang tidak jauh berbeda dengan UU
Perkawinan. Namun, dalam KHI terdapat pengaturan lain seperti:
1.Suami hanya boleh beristri terbatas sampai 4 istri pada waktu bersamaan.
2.Syarat utama agar bisa beristri lebih dari satu yakni harus mampu berlaku adil terhadap istri-
istrinya dan anak-anaknya. Jika tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari
seorang.
3.Harus memperoleh persetujuan istri dan adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak. Persetujuan ini dapat diberikan secara tertulis atau lisan, dan
kemudian dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
4.Harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Jika nekat dilakukan tanpa izin dari Pengadilan
Agama, perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum.
5.Jika istri tidak mau memberikan persetujuan, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian
izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan
Agama. Atas penetapan ini, istri/suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
 kewajiban suami
1.memberi mahar dan nafkah
2.menggauli istri secara baik
3.menjaga istri
4.membimbing istri
5.memberi rasa cinta dan kasih sayang
 Hak suami
1.istri menjadi diri sendiri dan menjaga harta suami
2.menaati dalam hal maksiat
3. Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami
4.tidak bermuka masam dihadapan suami.
 Kewajiban istri
1.menaati suami
2.menjaga rumah dan kehormatan suami
3.mencari kerelaan suami dan menghindari murkanya
4.memahami urusan bercinta
5.menunjukan wajah yang manis dan menyenangkanSuami.
 *Hak istri
1.diperlakukan baik
2.dimaafkan kekhilafan dan kesalahannya
3.dijaga oleh suami
4.rahasia tidak disebarkan
5.diajak bermusyawarah dalam berbagai hal.

Anda mungkin juga menyukai