Anda di halaman 1dari 20

BAB III

PENCATATAN PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata,

yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an

dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga

berarti akad

Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling

utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna1. Pernikahan itu

bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi

juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian

perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa2.

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu

pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah

Allah dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah3.

1
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, ( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010), h 374
2
Mohd. Idris Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), h. 43
3
Ibid, Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996),
h. 4
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum

perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh

lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

2. Hukum Perkawinan

Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang

sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang

bermacam - macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima

macam.

a. Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai

biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan -

keperluan lain yang mesti dipenuhi

b. Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau

tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan.

c. Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan

karena tidak mampu memberikan belanja kepada istrinya atau

kemungkinan lain lemah syahwat.

d. Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti

istrinya atau menyia - nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi

orang yang tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang

nafsunya tidak mendesak.

e. Mubah, bagi orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang

mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.


3. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun perkawinan adalah sebagai berikut :

a. Calon suami

b. Calon istri

Syarat – syarat calon mempelai :

1) Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang

lainnya, baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal

lain yang berkenaan dengan dirinya.

2) Keduanya sama-sama beragama islam.

3) Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.

4) Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula pihak

yang akan mengawininya.

UU Perkawinan mengatur persyaratan persetujuan kedua

mempelai ini dalam Pasal 6 dengan rumusan yang sama dengan fiqh.

Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. KHI

mengatur persetujuan kedua mempelai itu dalam Pasal 16.

5) Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan

perkawinan.

Batas usia dewasa untuk calon mempelai diatur dalam UU

Perkawinan pada Pasal 7 dan KHI mempertegas persyaratan tersebut.

c. Wali nikah dari mempelai perempuan

Syarat – syarat wali :

1) Telah dewasa dan berakal sehat


2) Laki – laki. Tidak boleh perempuan.

3) Muslim

4) Orang merdeka

5) Tidak berada dalam pengampuan

6) Berpikiran baik

7) Adil

8) Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.

UU Perkawinan sama sekali tidak menyebutkan adanya wali,

yang disebutkan hanyalah orang tua, itupun kedudukannya sebagai orang

yang harus dimintai izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan. Hal

itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5), dan (6). KHI berkenaan

dengan wali menjelaskan secara lengkap mengikuti fiqh dalam Pasal 19,

20, 21, 22, dan 23.

d. Dua orang saksi

Syarat – syarat saksi :

1) Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang.

2) Kedua saksi itu adalah bergama islam.

3) Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka.

4) Kedua saksi itu adalah laki – laki.

5) Kedua saksi itu bersifat adil.

6) Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.

UU Perkawinan tidak menghadirkan saksi dalam syarat-syarat

perkawinan, namun menghadirkan saksi dalam Pembatalan Perkawinan


yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1). KHI mengatur saksi dalam

perkawinan mengikuti fiqh yang terdapat dalam Pasal 24, 25, dan 26.

e. Ijab dan Qabul

Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul

adalah penerimaan dari pihak kedua.

Syarat – syarat akad nikah :

1) Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.

2) Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda.

3) Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus

walaupun sesaat.

4) Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.

UU Perkawinan tidak mengatur tentang akad pernikahan, namun

KHI secara jelas mengatur dalam Pasal 27, 28, dan 29.

4. Dasar Hukum Perkawinan

1. Menurut Fiqh Munakahat

a. Dalil Al-Qur’an

Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :4

Dٰ َFHۡ Iَ ‫ٓ ِء‬MNَ ‫ﱢ‬FP‫َ ٱ‬RI‫ ﱢ‬SUُ َP ‫ب‬M َ ‫ط‬ َ MIَ ‫ا‬Zُْ [Uِ \‫ ^َﭑ‬Dٰ _َ َ`ٰ َaP‫ ۡٱ‬bِ^ ‫ا‬Z ْ ُcNِ dۡ ُe g‫ۡ أَ ﱠ‬Sُ`iۡ jِ ‫َوإِ ۡن‬
َ ِP‫ۡۚ ٰ َذ‬SUُ ُF_َ ٰ {ۡ َ‫ ۡ| أ‬Uَ َuIَ MIَ ‫ َ•ةً أَ ۡو‬€ِ Zَ ٰ َ^ ‫ا‬Z
Dٓ ٰ \َ ‫ أَ ۡد‬x ْ ُP•ِ nۡ eَ g‫ۡ أَ ﱠ‬Sُ`iۡ jِ ‫ ِ ۡن‬oَ^ qَ ۖ َrٰ ‫ َو ُر‬tَ َuٰ ُv‫َو‬
٣ ‫ا‬Z ْ ُPZُneَ g‫أَ ﱠ‬
” Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak
yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu
senangi, dua, tiga atau empat dan jika kamu takut tidak akan berlaku
adil, cukup satu orang.” (An - Nisa : 3).

4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan
Undang – Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 35
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah

mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil

dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa

pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini

juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan

syarat - syarat tertentu.

Menurut Al-Qur’an, Surat Al A’raaf ayat 189 berbunyi :

Rَ Uُ Nۡ َaِP Mَ‰Šَ ‫ َز ۡو‬Mَ‰Fۡ Iِ Œَ nَ Šَ ‫ َ• ٖة َو‬€ِ ‫„ ٰ َو‬ ۡ


ٖ i‫ \ﱠ‬RI‫ ﱢ‬SUُ َdَujَ ‫ﱠ ِ†ي‬P‫ ٱ‬Zَ ُ‫۞ھ‬
Mۖ َ‰aۡ َPِ‫إ‬
“Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan daripadanya Dia
menciptakan istrinya agar Dia merasa senang.” (Al A’raaf : 189).

Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga

anatar suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu

kehidupan yang aman dan tenteram (Sakinah), pergaulan yang saling

mencintai (Mawaddah) dan saling menyantuni (Rohmah)5.

b. Dalil As-Sunnah

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah

yang bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa dioantara kalian

memiliki kemampuan, maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik

menahan pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak

memiiki kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa

itu merupakan kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim)6.

5
Ibid, Moh. Idris ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, h. 3-4
6
Syekh Muhammad Sholeh Al-Utsaiin, Syekh Abdul Aziz Ibn Muhammad Dawud,
Pernikahan Islami : Dasar Hidup Beruah Tangga, (Surabaya : Risalah Gusti 1991), h. 29
2. Menurut Undang – Undang Perkawinan tahun 1974

Landasan hukum terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat

(2) UU Perkawinan yang rumusannya :7

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap – tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan – peraturan, pereundang –

undangan yang berlaku.

3. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3

disebutkan bahwa :

Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah, dan rahmah.8

B. Hikmah Perkawinan

1. Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan

maksiat.

2. Perkawinan untuk melanjutkan keturunan

3. Bisa saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak.

7
Ibid, Moh. Idris ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, h. 50
8
Dikuti dari http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf diakses tanggal 10 mei 2017
4. Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh –

sungguh dalam mencukupi keluarga.

5. Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang lain

bekerja diluar

6. Menumbuhkan tali kekeluargaan dan mempererat hubungan.9

C. Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Islam

Pada mulanya syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an atau al-sunnah tidak

mengatur secara kongkrit tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda

dengan ayat muamalaht (mudayanah) yang dalam situasi tertentu yang

diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntutan perkembangan, dengan berbagai

pertimbangan kemaslahatan, hukum islam di Indonesia mengaturnya.

Bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini

merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangn untuk

melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khususnya lagi

perempuan dalam kehidupan rumah tangga10.

Pencatatn perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban

perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui

perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (misaq al-

galidz) perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah

tangga. Melalui pencatatn perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah,

yang masing-masing suami istiri mendapat salinannya, apabila terjadi

9
Aminudin : Fiqh Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), h. 35.
10
Daniels, Lev, Pengadilan Agama Islam Di Indonesia. (Jakarta : PT. Inddonesia, 1986),
Cet. I.. h. 99.
perselisihan atau percekcokan diantara mereka, atau salah satu tidak

bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna

mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan

akta tersebut, suami istiri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang

telah mereka lakukan11.

Dasar hukum pencatatan pernikahan Pencatatan perkawinan sangatlah

urgent. Selain demi terjaminnya ketertiban akta nikah bisa digunakan untuk

mendapatkan hak-hak, dan terlepas dari perasangka, keragu-raguan, kelalaian

serta saksi –saksi yang cacat secara hukum. Kendatipun pencatatan perkawinan

hanya bersifat administratif tetap harus dianggap penting karena melalui

pencatatan perkawinan tersebut akan diterbitkan buku kutipan akta nikah yang

akan menjadi bukti otentik tentang dilangsungkannya sebuah perkawinan yang

sah.

Manhaj yang digunakan dalam pengambilan hukum pencatatan nikah

ini adalah qiyas. Qiyas menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan

sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”.

Menurut istilah Ushul fiqh qiyas adalah:

‘u’ b^ M_‰“‫ص “_— –•`”ا‬Z™šI ”I›r bnœP‫_‘ ا‬U€ Du’ ‫ص‬Z™FI ”a• ”I‫ ا‬ž[P‫ا‬
SU€
Artinya: Menghubungkan (menyamakan hokum) sesuatu yang tidak ada
ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya
karena ada persamaan illat antara keduanya12

11
Ahmad Rofiq, M.A. Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada,
1995). h. 107.
12
Satria effendi , 2005, ushul fiqh.( Jakarta : kencana, 2008). h. 130
D. Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1

Tahun 1974

Dalam bagian pencatatan perkawinan yang ditentukan dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 2 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan merumuskan

bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.”13

Dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan

diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. Sesuai dengan

Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan

yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaan itu sepanjang tidak

bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang.14

Aturan penjelasan pencatatan perkawinan dalam UU No. 1Tahun 1974

Tentang Perkawinan lebih banyak di atur dalam PP No.9 Tahun 1975 Tentang

Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur tentang tata

cara dan tata laksana melaksanakan perkawinan dan pencatatan

perkawinan.Secara rinci telah di jelaskan dalam bab peraturan pemerintah

13
Perundang-Undangan yang di maksud adalah UU No. 32 Tahun 1954 Tentang
Pemberlakuan UU No 22 Tahun1946.
14
Penjelasan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam buku. Muhammad
Amin Suma,Himpunan Undang-Undang & Peraturan Pelaksanaan Lainnya Di Negara Hukum
Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo PersadaCet. 1), h.356.
Repoblik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang penjelasan UU No. 1 Tahun

1974 pada Bab II Pencatatan Perkawinan.15

Pasal 2 ayat 1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang

melangsungkan prkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai

pencatat sebagaimana undang-undang nomor 32 tahun 1954 tentanng

pencatatan nikah, talak dan rujuk.

Pasal 3 ayat 1) setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan

memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat

perkawinan akan dilangsungkan.

Ayat 2) pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-

kurangnya (10) sepuluh hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Ayat 3)

pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu

alasan yang penting, diberikan oleh camat atau nama bupati kepala

daerah.Pasal 4 pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh

mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya. Pasal 5 pemberitahuan memuat

nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman, disebutkan juga

nama suami atau istri terdahlu. Pasal 6 ayat 1) pegawai pencatat yang

menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti

apakah syrat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat

halangan perkawinan menurut undang-undang. Ayat 2) selain penelitian

terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) pegawai pencatat meneliti pula

15
Muhammad Amin Suma,Himpunan Undang-Undang & Peraturan Pelaksanaan
Lainnya Di Negara Hukum Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada), Cet. 1. h. 356.
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal

tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat

keterangan yang menyatakan umur dan asal usul calon mempelai yang

diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu;

b. Keterangan mengenai nama, agama/ kepercayaan, pekerjaan dan tempat

tinggal orang tua calon mempelai;

c. Izin tertulis/ izin pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4)

dan (5) undang-undang, apabila salah seorang mempelai atau keduanya

belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;

d. Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 undang-undang dalam hal calon

mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri;

e. Dispensasi pengadilan/pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2) undang-

undang;

f. Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian

surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau

lebih;

g. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh mentri HANKAM/PANGAB,

apabila salah seorang mempelai atau keduanya anggota angkatan bersenjata;

h. Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai

pencatat, apabila salah seorang calon atau keduanya tidak dapat hadir

sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada

orang lain.
Pada Kompilasi Hukum Islam Pencatatan perkawinan diatur dalam

Pasal 5 KHI, bahwa :

1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap

perkawinanharus dicatat.

2. Pencatatan perkawinan sebagaimana tersebutpada ayat (1) dilakukanoleh

Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undangNo.22

Tahun1946jo.Undang-UndangNo.32 Tahun1954.16

Istilah “harus dicatat” dalam Pasal 5 ayat (1) KHI juga hanya

bertujuanuntuk menjamin ketertiban perkawinanbagi masyarakat Islam

semata.Pasal 6 KHI merumuskan bahwa :

1. Untuk memenuhi ketentuan Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan

di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah

tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

menentukanbahwa pencatatan perkawinan bagi orang Islam dilakukan oleh

PegawaiPencatat Nikah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang

No. 22Tahun 1946 jo.Undang-Undang No. 32 Tahun 1954. Pasal 5 KHI

memuatketentuan yang sama.Berdasarkan rangkaian ketentuan pencatatan

perkawinan dalam peraturanperundang-undangan tersebut, tampak bahwa jiwa

yang terkandung dalamPasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,

16
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: CV Nuansa Aulia,
2009), h. 2.
terwujud kembali dalamPeraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 2 ayat (1)

dan KHI Pasal 5.17

E. Urgensi Pencatatan Perkawinan

Dalam hal pencatatan perkawinan Hukum islam tidak mengatur secara

jelas apakah perkawinan itu harus di catat atau tidak. Dengan melihat tujuan

dari pencatatn perkawinan seperti yang telah dijelaskan, maka sesungguhnya

pencatatan perkawinan itu banyak kegunaannya bagi kedua belah pihak yang

akan melakukan perkawinan itu baik didalam kehidupan pribadi maupun dalam

hidup masyarakat. Misalnya dengan memiliki akta perkawinan sebagai bukti

tertulis yang otentik, seorang suami tidak mungkin mengingkari istirinya

demikian juga sebaliknya seorang istiri tidak mungkin mengingkari suaminya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka berdasarkan pertimbangan

masalah-masalah dalam hukum islam, pencatatan perkawinan adalah

merupakan suatu perbuatan yang harus dilaksanakan.

Said Agil Husein Al-Munawar dalam buku yang berjudul

Peroblematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer yaitu peraturan tambahan

yang bermaksud agar pernikahan dikalangan umat islam tidak liar, tetapi

tercatat dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh

pihak yang berwenang. Secara administrative, ada peraturan yang

mengharuskan agar suatu perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-

Undangan yang berlaku. Kegunaan agar sebuah lembaga perkawinan yang

17
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
Tentang perkawinan
mempunyai tempat yang sangat penting dan strategi dalam masyarakat islam,

bisa dilindungi dari upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak

bertanggung jawab. Misalnya sebagai antisipasi adanya pengingkaran adanya

akad nikah oleh seorang suami di belakang hari, yang meskipun pada dasarnya

dapat di lindungi dengan adanya para saksi tetapi sudah tentu lebih dapat di

lindungi lagi dengan adanya pencatatan resmi di lembaga yang berwenang

untuk itu. Menurut Undang-Undang perkawinan Republik Arab Mesir No 78

Tahun 1931 tidak akan di dengar suatu pengaduan tentang perkawinan atau

tentang hal-hal yang di dasarkan atas perkawinan, kecuali berdasarkn adanya

pencatatan akad nikah atau adanya dokumen resmi pernikahan18.

Oleh karena dalam kenyataan pencatatan perkawinan lebih banyak

mendatangkan kebaikan daripada kerusakan dalam hidup bermasyarakat, maka

melaksanakan pencatatan perkawinan adalah merupakan sesuatu yang wajib

bagi yang beragama islam19.

Sehubungan dengan itu maka keharusan mencatat perkawinan menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti yang dirumuskan dalam

pasal 2 undang-undang perkawinan yang berbunyi :

1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaanya itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang

berlaku20.

18
Agil Husein Al-Munawar Problematika hukum keluaga islam kontemporer analisis
yurisprudensi dengan pendekatan usuliyah, (Jakarta : kencana 2010). Cet. 3. h. 33
19
Ibid
20
Ibid
Dari penjelasan pasal 2 diatas adalah sejalan tidak bertentangan dengan

ketentuan dalam hukum islam.

Akan halnya tentang pencatatan perkawinan, kompilasi menjelaskan

dalam pasal 5 dijelaskan bahwa :

1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, setiap

perkawinan harus di catat.

2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai

pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 195421.

Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur

tentang pncatatan perkawinan, dapat dipahami bahwa pencatatan tersebut

adalah syarat administratif. Artinya tetap sah, karena standar sahnya dan

tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak

yang melangsungkan perkawinan, suatu perkawinna tidak mempunyai

ketentuan hukum. Akibatnya yang timbul adalah apabila salah satu pihak

melalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya

hukum, karena tidak memilki bukti-bukti yang sah dan otentik dari perkawinan

yang di langsungkannya. Tentu saja, keadaan demikian keterangan dengan misi

dan tujuan perkawinan itu sendiri22.

21
Budi Durachman, Undang-Undang Perkawinan, (Bandung : Focus Media, 2005), Cet.
1. h. 1.
22
Idid. h. 13.
F. Tata Cara Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan

Bahwa kelancaran pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang perkawinan (lembaran Negara Tahun 1974 Nomor, tambahan

lemabaran Negara Nomor 3019), dipandang perlu untuk mengeluarkan

peraturan pemerintah yang mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari

Undang-Undang tersebut.

Peraturan pemerintah Nomor Tahun 1975 mememuat ketentuan-

ketentuan tentang masalah-masalah tersebut, yang diharapkan akan dapat

memperlancar dan mengamankan pelaksaan dari Undang-Undang tersebut.

Dengan keluarnya peraturan-pemerintah ini maka telah pastilah saat mulainya

pelaksaan secara efektif dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut,

pada tanggal 1 oktober 1975.

Karena melaksanakna peraturan pemerintah ini diperlukan langka-

langkah persiapan dan serangkai petunjuk-petunjuk pelaksanaan dari berbagai

Depertemen/Intansi yang bersangkutan, khusunya dari Depertemen Agama,

Depertemen Kehakiman dan Depertemen dalam Negeri. Sehingga segala

sesuatu dapat berjalan dengan tertib dan lancar, maka perlu di terapkan jangka

waktu 6 (enam) bulan sejak diundangkannya peraturan pemerintah ini untuk

mengadaka langkah-langkah persiapan tersebut23.

Yang di maksud dengan tata cara perkawinan ialah pelaksanaan

perkawinan itu sendiri. Sebagai diketahui pelaksanaan perkawinan itu

didahului oleh kegiatan-kegiatan, baik yang di lakukan oleh calon mempelai

23
Arjuna. Bahan Penyuluhan Hukum Depertemen Agama R. I. Tahun 2003, h. 141.
maupun pegawai pencatat perkawinan. Calon mempelai atau orang tuanyaatau

wakilnya memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan kepada

pegawai pencatat perkawinan (paal 3 dan 4 PP). tatacara pemberitahuan

rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon

mempelai atau oleh orangtua atau wakilnya (pasal4). Adapun hal-hal yang

diberitahukan meliputi : nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat

kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah

kawin, disebutkan juga nama istiri atau suami terdahulu (pasal 5). Dengan

adanya pemberitahuan ini, kemungkinan terjadinya penyimpangan atau

pemalsuan identitas dapat dihindari.

Tindakan yang harus diambil oleh pegawai pencatat setelah menerima

pemberitahuan, di atur dalam pasal 6 sebagai berikut:

(1)Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan

perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah telah dipenuhi

dan apakah tidak terdapat halangan menurut undang-undang.

(2)Selain penelitian terdapat hal sebagai dimaksud dalam ayat

(1) Pegawai pencatat yang meneliti pula:

a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal

tidak akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat

keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang

diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.


b) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat

tinggal orang tua calon mempelai24.

selanjutnya pegawai tersebut meneliti apakah syarat-syarat perkawinan

telah dipenuhi, dan apakah terdapat halangan menurut Undang-Undang.

Demikian pula meneliti surat-surat yang diperlukan (pasal 5 dan 6 PP) apabila

ternyata dari hasil penelitian itu terdapat halangan perkawinan atau belum

dipenuhi syarat-syarat yang di perlukan, maka keadaan itu segera diberitahukan

kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya (pasal 7

ayat (2) PP). bila pemberitahuan itu telah dipandang cukup dan memenuhi

syarat-syarat yang diperlukan serta tidak terdapat halangan untuk kawin, maka

pegawai pencatatat membuat pengumuman tentang pemberitahuan kehendak

melangsungkan perkawinan, menurut formulir yang telah ditetapkan, dan

menempelkannya di kantor pencatatatan yang mudah dibaca oleh umum.

Pengumuman serupa itu juga dilakukan di kantor pencatatan yang daerah

hukumnya meliputi tempat kediaman masing-masing calon mempelai (pasal 8

dan penjelasan pasal 9 PP).

Adapun pelaksanaan perkawinannya baru dapat dilangsungkan setelah

hari kesepuluh sejak pengumuman tersebut (Pasal 20 PP). ketentuan ini

dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pihak ketiga guna

mengajukan keberatan dan memohon pencegahan perkawinan itu apabila ia

berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkann karena

terdapatnya halangan atau bahwa salah satu pihak tidak memenuhi syarat-

24
Ibid. h. 112.
syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 13, 14, 15 dan UU). Dan

pencegahan itu sendiri harus diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum

di mana perkawinan itu akan dilangsungkan dengan memberitahukan hal itu

kepada pegawai pencatat yang pada gilirannya memberitahukan hal itu kepada

para calon mempelai (Pasal 17 UU)25.

25
Amir Syaripuddin Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana 2011). h.
29.

Anda mungkin juga menyukai