RUKUN MENIKAH
1. MEMPELAI LAKI-LAKI
Syarat sah menikah adalah ada mempelai laki-laki. Pernikahan dimulai pada saat akad
nikah.
2. MEMPELAI PEREMPUAN
Sahnya menikah kedua yakni ada mempelai perempuan yang halal untuk dinikahi.
Dilarang untuk memperistri perempuan yang haram untuk dinikahi seperti pertalian
darah, hubungan persusuan, atau hubungan kemertuaan.
3. WALI NIKAH PEREMPUAN
Syarat sah menikah berikutnya adanya wali nikah. Wali merupakan orangtua mempelai
perempuan yakni ayah, kakek, saudara laki-laki kandung (kakak atau adik), saudara laki-
laki seayah, saudara kandung ayah (pakde atau om), anak laki-laki dari saudara kandung
ayah.
4. SAKSI NIKAH
Menikah sah bila ada saksi nikah. Tidak sah menikah seseorang bila tidak ada saksi.
Syarat menjadi saksi nikah yakni Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil. Dua
orang saksi ini diwakilkan oleh pihak keluarga, tetangga, ataupun orang yang dapat
dipercaya untuk menjadi seorang saksi.
5. IJAB DAN QABUL
Terakhir, syarat sah nikah yakni ijab dan qabul. Ijab dan qabul adalah janji suci kepada
Allah SWT di hadapan penghulu, wali, dan saksi. Saat kalimat “Saya terima nikahnya”,
maka dalam waktu bersamaan dua mempelai laki-laki dan perempuan sah untuk menjadi
sepasang suami istri.
SYARAT SAH NIKAH
Selain rukun, dalam Islam ada syarat sah nikah yang wajib dipenuhi:
1. BERAGAMA ISLAM
Pengantin pria dan wanita harus beragama Islam. Tidak sah jika seorang muslim
menikahi non muslim dengan menggunakan tata cara ijab dan qabul Islam.
2. BUKAN LAKI-LAKI MAHROM BAGI CALON ISTRI
Pernikahan diharamkan jika mempelai perempuan merupakan mahrom mempelai laki-
laki dari pihak ayah. Periksa terlebih dulu riwayat keluargasebelum dilakukan pernikahan.
3. WALI AKAD NIKAH
Wali akad nikah mempelai perempuan yakni ayah. Namun jika ayah dari mempelai
perempuan sudah meninggal bisa diwakilkan oleh kakeknya. Pada syariat Islam, terdapat
wali hakim yang bisa menjadi wali dalam sebuah pernikahan. Meski demikian,
penggunaan wali hakim ini juga nggak sembarangan.
4. TIDAK SEDANG MELAKSANAKAN HAJI
Syarat sah menikah berikutnya yakni tidak sedang berhaji. Seperti dalam hadits Riwayat
Muslim:
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan
tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
5. BUKAN PAKSAAN
Syarat sah menikah terakhir yakni menikah bukan karena paksaan. Pernikahan karena
keikhlasan dan pilihan kedua mempelai untuk hidup bersama.
3. TUJUAN NIKAH
Islam sangat menganjurkan bagi mereka yang telah mampu untuk menikah, karena
nikah merupakan fitrah kemanusiaan serta naluri kemanusiaan. Jika naluri tersebut
tidak tidak dipenuhi melalui jalan yang benar yaitu melalui pernikahan atau
perkawinan, maka bisa menjerumuskan seseorang ke jalan syaitan yaitu mereka dapat
berbuat hal-hal yang diharaman Allah seperti berzina, kumpul kebo, dan lain
sebagainya.(Baca : Hukum Pernikahan)
Dalam sebuah hadist shahih yang telah diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim,
Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud, dan Baihaqi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda yang artinya:
“Wahai para pemuda ! Barang siapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah,
maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih
membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”
Dari hadist di atas bisa disimpulkan bahwa pernikahan merupakan hal yang
disyariatkan dalam islam, dimana dengan menikah akan dapat menghindarkan
seseorang dari perbuatan keji dan kotor yang dapat menurunkan atau merendahkan
martabatnya. Ini berarti bahwa pernikahan merupakan benteng yang kokoh bagi
martabat seseorang(Baca : Indahnya Menikah Tanpa Pacaran)
Syarat Pernikahan Dalam Islam adalah suatu jalan untuk membentuk sebuah keluarga
yang merupakan cara paling efektif dalam upaya mencegah kerusakan pribadi para
pemuda dan pemudi, serta menghindari kekacauan dalam masyarakat.
Tujuan suci dari suatu pernikahan adalah agar syariat islam dalam kehidupan rumah
tangga selalu ditegakkan oleh pasangan suami istri. Untuk itu, sangatlah penting bagi
kita untuk memilih calon yang tepat sebelum menikah, agar nantinya bisa
terbina Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah.
Islam juga membenarkan tentang adanya thalaq (perceraian) apabila suami dan istri
tidak lagi bisa menegakkan syariat-syariat islam dalam rumah tangganya. Namun,
islam juga membenarkan adanya rujuk (kembali menikah) apabila keduanya sanggup
untuk kembali melaksanakan syariat-syariat islam dalam rumah tangganya.
Rumah tangga merupakan salah satu wadah untuk beribadah serta beramal sholeh
disamping kegiatan ibadah dan amal sholeh lainnya, dimana menurut konsep ajaran
islam, hidup adalah untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah semata.
Dalam Q.S. An-Nahl ayat 72, Allah telah berfirman yang artinya:
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki
dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari
nikmat Allah?”
Dari penjabaran Ayat di atas dapat disimpulkan bahwa menurut ajaran islam tujuan
dilaksanakannya suatu pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan yang sholeh
dan sholehah agar nantinya dapat terbentuk generasi yang berkualitas. Agar syariat
islam dapat ditegakkan dalam suatu rumah tangga, maka diperlukan pasangan-
pasangan yang ideal.
Talaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma'ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah Swt., maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum hukum Allah Swt, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah Swt. mereka itulah orang-orang yang dzalim" (QS.
al-Baqarah/2:229).
1. Mahar
Menurut Mutafa Diibul Bigha, Mahar adalah harta benda yang harus diberikan oleh
seorang laki-laki (calon suami) kepada perempuan (calon isteri) karena pernikahan.[6]
Pemberian mahar kepada calon istri merupakan ketentuan Allah SWT. bagi calon suami
sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4 yang berbunyi:
َ ءgَ ٰاتُوا النِّ َسآ َو
ْ ش ع َْن فَاِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم-ًؕصد ُٰقتِ ِه َّن نِحْ لَة
َّم ِر ْٓیــٴًـا هَنِ ْٓیــٴًـا َُی ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوْ ه
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa kata ًؕةg َ النِحْ لmenurut lbnu ‘Abbas artinya
mahar/maskawin. Menurut ‘A’isyah, ًؕالنِحْ لَة adalah sebuah keharusan. Sedangkan menurut
Ibnu Zaid ًؕ النِحْ لَةdalam perkataan orang Arab, artinya sebuah kewajiban. Maksudnya,
seorang laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan dengan sesuatu yang wajib
diberikan kepadanya, yakni mahar yang telah ditentukan dan disebutkan jumlahnya, dan
pada saat penyerahan mahar harus pula disertai dengan kerelaan hati sang calon suami.[7]
Senada dengan tafsir ath Thabari juga menjelaskan bahwa Perintah memberikan mahar
(dalam surat An-Nisa ayat 4) merupakan perintah Allah SWT. yang ditujukan langsung
kepada para suami dengan jumlah mahar yang telah ditentukan untuk diberikan kepada
isteri.[8]
Praktik pemberian mahar tidak semua dibayarkan tunai ketika akad nikah dilangsungkan,
ada juga sebagian suami yang menunda pembayaran mahar istrinya ataupun
membayarnya dengan sistem cicil, dan ini dibolehkan dalam Islam dengan syarat adanya
kesepakatan dari kedua belah pihak, hal ini selaras dengan hadits Nabi saw. yang
berbunyi, “sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. al-
Hakim : 2692, beliau mengatakan “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari
Muslim.”)[9]
Nafkah berasal dari bahasa arab (an-nafaqah) yang artinya pengeluaran. Yakni
Pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau
dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.[10]
Fuqaha telah sependapat bahwa nafkah terhadap istri itu wajib atas suami yang merdeka
dan berada di tempat. Mengenai suami yang bepergian jauh, maka jumhur fuqaha tetap
mewajibkan suami atas nafkah untuk istrinya, sedangkan Imam Abu Hanifah tidak
mewajibkan kecuali dengan putusan penguasa.[11] Tentang kewajiban nafkah ini telah
dijelaskan Allah SWT. dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 233.
َوتُه َُّنgggهٗ ِر ْزقُه َُّن َو ِك ْسgggَوْ ِد لgggُ َو َعلَى ْال َموْ ل-َؕا َعةgggَّض
َ ا ِملَی ِْن لِ َم ْن اَ َرا َد اَ ْن ُّیتِ َّم الرgggَ وْ لَ ْی ِن كggg ْعنَ اَوْ اَل َده َُّن َحgggض ٰ َِو ْال َوال
ُ دggg
ِ ْت یُر
اَّل ْ
تكل نفسٌ اِ ُو ْس َعهَا-ؕف َ ُف َّ َ ُ اَل ِ ْبِال َم ْعرُوْ
Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya.”
Maksud dari kata ٗ ْال َموْ لُوْ ِد لَهpada ayat di atas adalah ayah kandung si anak. Artinya, ayah si
anak diwajibkan memberi nafkah dan pakaian untuk ibu dari anaknya dengan cara yang
ma’ruf. Yang dimaksud dengan ف ِ ْ بِ ْال َم ْعرُوadalah menurut kebiasaan yang telah berlaku di
masyarakat tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu di bawah kepatutan, dan disesuaikan
juga dengan kemampuan finansial ayahnya.[12]
Adapun menyediakan tempat tinggal yang layak adalah juga kewajiban seorang suami
terhadap istrinya sebagaimana Firman Allah SWT berikut:
ُ …اَ ْس ِكنُوْ ه َُّن ِم ْن َحی
ْث َس َك ْنتُ ْم ِّم ْن وُّ جْ ِد ُك ْم
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal
menurut kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).
Menggauli istri dengan baik dan adil merupakan salah satu kewajiban suami terhadap
istrinya. Sebagaimana Firman Allah dalam Alquran surat an-Nisa ayat 19 yang berbunyi:
ةgٍ gاح َشِ َوْ ه َُّن اِاَّل ۤ اَ ْن یَّاْتِ ْینَ بِفggا ٰاتَ ْیتُ ُمgۤ gْض َم ُ لَ ُك ْم اَ ْن ت َِرثُوا النِّ َسآ َء كَرْ هًاؕ َواَل تَع ُّٰۤیاَیُّهَا الَّ ِذ ْینَ ٰا َمنُوْ ا اَل یَ ِحل
ِ ذ ۤهَبُوْ ا بِبَعgْ gَ لِت لُوْ ه َُّنgْض
هّٰللا
َر ْهتُ ُموْ ه َُّن فَ َع ٰسى اَ ْن تَ ْك َرهُوْ ا َشیْــٴًـا َّویَجْ َع َل ُ فِ ْی ِه َخ ْیرًا َكثِ ْیرًا ِ فَاِ ْن ك-ف ِ ُّمبَیِّنَ ۚ ٍة َوع
ِ ۚ َْاشرُوْ ه َُّن بِ ْال َم ْعرُو
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Maksud dari kata فِ َْاشرُوْ ه َُّن بِ ْال َم ْعرُو
ِ َوعadalah ditujukan kepada suami-suami agar berbicara
dengan baik terhadap para istri dan bersikap dengan baik dalam perbuatan dan
penampilan. Sebagaimana suami juga menyukai hal tersebut dari istrinya, maka
hendaklah suami melakukan hal yang sama. Sebagaimana hadist dari riwayat ‘A’isyah
ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku”. Dan
di antara akhlak Rasulullah saw. adalah memperlakukan keluarganya dengan baik, selalu
bergembira bermain dengan keluarga, bermuka manis, bersikap lemah lembut, memberi
kelapangan dalam hal nafkah, dan bersenda gurau bersama istri-istrinya.[13]
Adapun Imam Asy-Sya’rawi Rahimahullah mengatakan, ف ِ ْ َوعَا ِشرُوْ ه َُّن بِ ْال َم ْعرُو, Kata ْال َم ْعرُوْ ف
memiliki pengertian yang lebih tinggi tingkatannya dari kata al–mawaddah. Karena
makna kata al-mawaddah berarti perbuatan baik kita kepada orang lain hanya didasarkan
karena rasa cinta (al-hubb) atau karena kita merasa senang dan bahagia dengan
keberadaan orang itu. Adapun kata ْال َم ْعرُوْ فmaknanya kita berbuat baik kepada seseorang
yang belum tentu kita sukai atau kita senangi.[14] Artinya jika suatu saat istri kita sudah
tidak lagi menarik secara fisik atau keberadaannya sudah tidak menyenangkan lagi
bahkan membangkitkan kebencian dihati, maka tetaplah berlaku makruf terhadapnya dan
bergaul dengannya dengan sebaik-baiknya perlakuan sebagaimana perintah ayat tersebut,
karena bisa jadi satu sisi dia buruk namun pada sisi lainnya banyak kebaikan-kebaikannya
yang bisa menutupi keburukannya tersebut.
Sudah menjadi kewajiban seorang kepala rumah tangga untuk memberikan pendidikan
agama kepada istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah dan RasulNya. Dengan ilmu
agama seseorang mampu membedakan baik dan buruknya prilaku dan dapat menjaga diri
dari berbuat dosa. Selain ilmu agama, seorang suami juga wajib memberikan nasehat atau
teguran ketika istrinya khilaf atau lupa atau meninggalkan kewajiban dengan kata-kata
bijak yang tidak melukai hati sang istri, sebagaimana Firman Allah SWT. surah At-
Tahrim ayat 6 berikut :
هّٰللا ٓ ۤ
َ gا اَ َمgۤ gٰیاَیُّهَا الَّ ِذ ْینَ ٰا َمنُوْ ا قُ ۤوْ ا اَ ْنفُ َس ُك ْم َو اَ ْهلِ ْی ُك ْم نَارًا َّو قُوْ ُدهَا النَّاسُ َو ْال ِح َجا َرةُ َعلَ ْیهَا َم ٰل ٕى َكةٌ ِغاَل ظٌ ِشدَا ٌد اَّل َی ْعصُوْ نَ َ َم
رهُ ْمg
ََو یَ ْف َعلُوْ نَ َما یُْؤ َمرُوْ ن
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat Ar Rum ayat 21 di atas pada kalimat َو َج َع َل
ًؕ بَ ْینَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمةdapat juga dimaknai bahwa seorang suami wajib memberikan cinta dan
kasih sayang kepada istrinya yang terwujud dalam perlakuan dan perkataan yang mampu
membuat rasa tenang dan nyaman bagi istri dalam menjalankan fungsinya sebagai istri
sekaligus ibu rumah tangga. Adapun bentuk perlakuan tersebut bisa berupa perhatian,
ketulusan, keromantisan, kemesraan, rayuan, senda gurau, dan seterusnya.
Dalam memberikan cinta dan kasih sayang bukanlah atas dasar besar kecilnya rasa cinta
kita kepada istri, akan tetapi hal tersebut merupakan perintah Allah SWT. agar suami istri
saling mencinta dan berkasih sayang sebagai wujud kepatuhan kepada Allah SWT. Jika
memberikan cinta dan kasih sayang antara suami istri sudah disandarkan pada perintah
Allah SWT. maka as-sakiinah (ketentraman) dalam rumah tangga akan mudah kita raih.
5. HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI KEPADA SUAMI (QS.ANNISA 34)
1. Taat kepada suami
Mentaati suami merupakan perintah Allah SWT. sebagaimana yang tersirat dalam Al-
Qur’an Surah An-Nisa ayat 34 sebagai berikut:
اَلرِّجا ُل قَ ٰ ّوموْ نَ َعلَى النِّسآء بما فَ َّ هّٰللا
ٌ ت ٰحفِ ٰظ
ت ٌ ت ٰقنِ ٰت ّ ٰ َف-ؕوالِ ِه ْمg
ُ لِ ٰحgالص َ gوْ ا ِم ْن اَ ْمggُا اَ ْنفَقgۤ gْض َّو بِ َم ٰ
ٍ هُ ْم عَلى بَعgْض َ َل ُ بَعgض َِ ِ َ ُ َ
ۚ
اِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَلgَف- ِربُوْ ه َُّنgاض
ْ اج ِع َو g ض م ْ
ال ی ف َّ
ُن ه ُْو ر gجُ ْ
ه ا و َّ
ُن ه ْوُ ظ ع َ ف َّ
ُن ه َ
ز ْو ُ
ش ُ ن َن ْوُ فَخَا ت ی تّ ٰ و-ُؕ لِّ ْل َغ ْیب بما حفظَ هّٰللا
ال
ِ َ َ ِ َ ِ ْ ِ َ ِ َ َِ ِ
اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِیًّا َكبِ ْیرًا-ؕ تَ ْب ُغوْ ا َعلَ ْی ِه َّن َسبِ ْیاًل
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab
itu maka wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Menurut Ibnu Abbas dalam tafsir Ibnu Katsir, yang dimaksud dari لرِّجا ُل قَ ٰ ّو ُموْ نَ َعلَى
َ َا
النِّ َسآ ِءadalah kaum laki-laki merupakan pemimpin bagi kaum wanita. Artinya dalam
rumah tangga seorang suami adalah kepala rumah tangga yang harus didengar dan
ditaati perintahnya, oleh karenaa itu sudah seharusnya seorang Istri mentaati
suaminya jika memerintahkannya dalam kebaikan. Menurut Ibnu Abbas maksud kata
ت ٌ ٰقنِ ٰتadalah para istri yang taat kepada suami.[15] Artinya wanita sholeh itu salah satu
tandanya adalah taat kepada suami selama perintahnya tidak menyelisihi Allah dan
Rasulnya.
2. Mengikuti tempat tinggal suami
Setelah menikah biasanya yang jadi permasalahan suami istri adalah tempat tinggal,
karena kebiasaan orang Indonesia pada masa-masa awal menikah suami istri masih
ikut di rumah orang tua salah satu pasangan lalu kemudian mencari tempat tinggal
sendiri. Dalam hal ini seorang istri harus mengikuti dimana suami bertempat tinggal,
entah itu di rumah orang tuanya atau di tempat kerjanya. Karena hal tersebut
merupakan kewajiban seorang istri untuk mengikuti dimana suami bertempat tinggal,
sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut:
ُ …اَ ْس ِكنُوْ ه َُّن ِم ْن َحی
ْث َس َك ْنتُ ْم ِّم ْن وُّ جْ ِد ُك ْم
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal
menurut kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).
3. Menjaga diri saat suami tak ada
Seorang wanita yang sudah menikah dan memulai rumah tangga maka harus
membatasi tamu-tamu yang datang ke rumah. Ketika ada tamu lawan jenis maka yang
harus dilakukan adalah tidak menerimanya masuk ke dalam rumah kecuali jika ada
suami yang menemani dan seizin suami. Karena perkara yang dapat berpotensi
mendatangkan fitnah haruslah dihindari. Allah SWT berfirman, “Wanita shalihah
adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada oleh
karena Allah telah memelihara mereka.” (QS. Annisa:34).
6. MASA IDDAH, THALAK ROJ'I, THALAK BA'IN, KHULU', FASAKH, ILA, LI'AN (QS.
AL BAQOROH 226, 228, 229,230, QS. AN NUR 6)
Talak berasal dari kata ithlaq yang menurut bahasa berarti melepaskan atau meninggalkan.
Lalu menurut istilah syara’ talak yaitu: