Anda di halaman 1dari 15

Nama / Kelas : Amanda Putri Yuliana / XII Mipa 7

Tanggal : 5 November 2021

1. DALIL NIKAH AR RUM : 21

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-


pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

2. RUKUN DAN SYARAT NIKAH

 RUKUN MENIKAH
1. MEMPELAI LAKI-LAKI
Syarat sah menikah adalah ada mempelai laki-laki. Pernikahan dimulai pada saat akad
nikah.
2. MEMPELAI PEREMPUAN
Sahnya menikah kedua yakni ada mempelai perempuan yang halal untuk dinikahi.
Dilarang untuk memperistri perempuan yang haram untuk dinikahi seperti pertalian
darah, hubungan persusuan, atau hubungan kemertuaan.
3. WALI NIKAH PEREMPUAN
Syarat sah menikah berikutnya adanya wali nikah. Wali merupakan orangtua mempelai
perempuan yakni ayah, kakek, saudara laki-laki kandung (kakak atau adik), saudara laki-
laki seayah, saudara kandung ayah (pakde atau om), anak laki-laki dari saudara kandung
ayah.
4. SAKSI NIKAH
Menikah sah bila ada saksi nikah. Tidak sah menikah seseorang bila tidak ada saksi.
Syarat menjadi saksi nikah yakni Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil. Dua
orang saksi ini diwakilkan oleh pihak keluarga, tetangga, ataupun orang yang dapat
dipercaya untuk menjadi seorang saksi.
5. IJAB DAN QABUL
Terakhir, syarat sah nikah yakni ijab dan qabul. Ijab dan qabul adalah janji suci kepada
Allah SWT di hadapan penghulu, wali, dan saksi. Saat kalimat “Saya terima nikahnya”,
maka dalam waktu bersamaan dua mempelai laki-laki dan perempuan sah untuk menjadi
sepasang suami istri.
 SYARAT SAH NIKAH
Selain rukun, dalam Islam ada syarat sah nikah yang wajib dipenuhi:
1. BERAGAMA ISLAM
Pengantin pria dan wanita harus beragama Islam. Tidak sah jika seorang muslim
menikahi non muslim dengan menggunakan tata cara ijab dan qabul Islam.
2. BUKAN LAKI-LAKI MAHROM BAGI CALON ISTRI
Pernikahan diharamkan jika mempelai perempuan merupakan mahrom mempelai laki-
laki dari pihak ayah. Periksa terlebih dulu riwayat keluargasebelum dilakukan pernikahan.
3. WALI AKAD NIKAH
Wali akad nikah mempelai perempuan yakni ayah. Namun jika ayah dari mempelai
perempuan sudah meninggal bisa diwakilkan oleh kakeknya. Pada syariat Islam, terdapat
wali hakim yang bisa menjadi wali dalam sebuah pernikahan. Meski demikian,
penggunaan wali hakim ini juga nggak sembarangan.
4. TIDAK SEDANG MELAKSANAKAN HAJI
Syarat sah menikah berikutnya yakni tidak sedang berhaji. Seperti dalam hadits Riwayat
Muslim:
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan
tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
5. BUKAN PAKSAAN
Syarat sah menikah terakhir yakni menikah bukan karena paksaan. Pernikahan karena
keikhlasan dan pilihan kedua mempelai untuk hidup bersama.

3. TUJUAN NIKAH

1. Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi

Islam sangat menganjurkan bagi mereka yang telah mampu untuk menikah, karena
nikah merupakan fitrah kemanusiaan serta naluri kemanusiaan. Jika naluri tersebut
tidak tidak dipenuhi melalui jalan yang benar yaitu melalui pernikahan atau
perkawinan, maka bisa menjerumuskan seseorang ke jalan syaitan yaitu mereka dapat
berbuat hal-hal yang diharaman Allah seperti berzina, kumpul kebo, dan lain
sebagainya.(Baca : Hukum Pernikahan)

2. Sebagai Benteng yang Kokoh bagi Akhlaq Manusia

Dalam sebuah hadist shahih yang telah diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim,
Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud, dan Baihaqi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda yang artinya:

“Wahai para pemuda ! Barang siapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah,
maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih
membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”
Dari hadist di atas bisa disimpulkan bahwa pernikahan merupakan hal yang
disyariatkan dalam islam, dimana dengan menikah akan dapat menghindarkan
seseorang dari perbuatan keji dan kotor yang dapat menurunkan atau merendahkan
martabatnya. Ini berarti bahwa pernikahan merupakan benteng yang kokoh bagi
martabat seseorang(Baca : Indahnya Menikah Tanpa Pacaran)

Syarat Pernikahan Dalam Islam adalah suatu jalan untuk membentuk sebuah keluarga
yang merupakan cara paling efektif dalam upaya mencegah kerusakan pribadi para
pemuda dan pemudi, serta menghindari kekacauan dalam masyarakat.

3. Menegakkan Rumah Tangga Islami

Tujuan suci dari suatu pernikahan adalah agar syariat islam dalam kehidupan rumah
tangga selalu ditegakkan oleh pasangan suami istri. Untuk itu, sangatlah penting bagi
kita untuk memilih calon yang tepat sebelum menikah, agar nantinya bisa
terbina Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah.

Islam juga membenarkan tentang adanya thalaq (perceraian) apabila suami dan istri
tidak lagi bisa menegakkan syariat-syariat islam dalam rumah tangganya. Namun,
islam juga membenarkan adanya rujuk (kembali menikah) apabila keduanya sanggup
untuk kembali melaksanakan syariat-syariat islam dalam rumah tangganya.

4. Meningkatkan Ibadah kepada Allah

Rumah tangga merupakan salah satu wadah untuk beribadah serta beramal sholeh
disamping kegiatan ibadah dan amal sholeh lainnya, dimana menurut konsep ajaran
islam, hidup adalah untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah semata.

5. Memperoleh Keturunan yang Shaleh

Dalam Q.S. An-Nahl ayat 72, Allah telah berfirman yang artinya:

“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki
dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari
nikmat Allah?”
Dari penjabaran Ayat di atas dapat disimpulkan bahwa menurut ajaran islam tujuan
dilaksanakannya suatu pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan yang sholeh
dan sholehah agar nantinya dapat terbentuk generasi yang berkualitas. Agar syariat
islam dapat ditegakkan dalam suatu rumah tangga, maka diperlukan pasangan-
pasangan yang ideal.

6. Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami

Dalam al-Quran disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya talaq (perceraian),


jika suami istri sudah tidak sanggup lagi mempertahankan keutuhan rumah tangga.
Firman Allah Swt.:

Talaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma'ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah Swt., maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum hukum Allah Swt, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah Swt. mereka itulah orang-orang yang dzalim" (QS.
al-Baqarah/2:229).

4. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI KE ISTRI (QS.ALBAQOROH 233, AN NISA : 4)


Kewajiban Suami terhadap Isteri Menurut Al-Qur’an
Akad pernikahan dalam syariat Islam tidak sama dengan akad kepemilikan. akad pernikahan
diikat dengan memperhatikan adanya kewajiban-kewajiban di antara keduanya. Dalam hal ini
suami mempunyai kewajiban yang lebih berat dibandingkan istrinya berdasarkan firman-Nya
“akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya”. Kata satu
tingkatan kelebihan dapat ditafsirkan dengan firmannya : “Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita…” (QS. An-Nisa ayat 34).[3]
Pada dasarnya kewajiban suami juga merupakan hak isteri, sehingga jika berbicara tentang
kewajiban suami terhadap isteri, maka bisa juga berarti hak isteri atas suami.
Kewajiban adalah segala hal yang harus dilakukan oleh setiap individu, sementara hak adalah
segala sesuatu yang harus diterima oleh setiap individu.[4]
Dari definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa kewajiban adalah segala perbuatan yang
harus dilaksanakan oleh individu atau kelompok sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.
Menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa hak terdiri dari dua macam yaitu hak Allah dan hak
Adam.[5] Dan hak isteri atas suami tentunya merupakan dimensi horizontal yang menyangkut
hubungan dengan sesama manusia sehingga dapat dimasukkan dalam kategori hak Adam.
Adapun yang menjadi hak istri atau bisa juga dikatakan kewajiban suami terhadap isteri
adalah sebagai berikut:

1. Mahar

Menurut Mutafa Diibul Bigha, Mahar adalah harta benda yang harus diberikan oleh
seorang laki-laki (calon suami) kepada perempuan (calon isteri) karena pernikahan.[6]
Pemberian mahar kepada calon istri merupakan ketentuan Allah SWT. bagi calon suami
sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4 yang berbunyi:
َ ‫ء‬gَ ‫ ٰاتُوا النِّ َسآ‬ ‫َو‬
ْ ‫ش‬ ‫ع َْن‬ ‫فَاِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم‬-ًؕ‫صد ُٰقتِ ِه َّن نِحْ لَة‬
‫ َّم ِر ْٓیــٴًـا‬ ‫هَنِ ْٓیــٴًـا‬ ُ‫َی ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوْ ه‬
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa kata ًؕ‫ة‬g َ‫ النِحْ ل‬menurut lbnu ‘Abbas artinya
mahar/maskawin. Menurut ‘A’isyah, ًؕ‫النِحْ لَة‬  adalah sebuah keharusan. Sedangkan menurut
Ibnu Zaid  ًؕ‫ النِحْ لَة‬dalam perkataan orang Arab, artinya sebuah kewajiban. Maksudnya,
seorang laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan dengan sesuatu yang wajib
diberikan kepadanya, yakni mahar yang telah ditentukan dan disebutkan jumlahnya, dan
pada saat penyerahan mahar harus pula disertai dengan kerelaan hati sang calon suami.[7]
Senada dengan tafsir ath Thabari juga menjelaskan bahwa Perintah memberikan mahar
(dalam surat An-Nisa ayat 4) merupakan perintah Allah SWT. yang ditujukan langsung
kepada para suami dengan jumlah mahar yang telah ditentukan untuk diberikan kepada
isteri.[8]
Praktik pemberian mahar tidak semua dibayarkan tunai ketika akad nikah dilangsungkan,
ada juga sebagian suami yang menunda pembayaran mahar istrinya ataupun
membayarnya dengan sistem cicil, dan ini dibolehkan dalam Islam dengan syarat adanya
kesepakatan dari kedua belah pihak, hal ini selaras dengan hadits Nabi saw. yang
berbunyi, “sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. al-
Hakim : 2692, beliau mengatakan “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari
Muslim.”)[9]

2. Nafkah, Pakain dan Tempat Tinggal.

Nafkah berasal dari bahasa arab (an-nafaqah) yang artinya pengeluaran. Yakni
Pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau
dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.[10]
Fuqaha telah sependapat bahwa nafkah terhadap istri itu wajib atas suami yang merdeka
dan berada di tempat. Mengenai suami yang bepergian jauh, maka jumhur fuqaha tetap
mewajibkan suami atas nafkah untuk istrinya, sedangkan Imam Abu Hanifah tidak
mewajibkan kecuali dengan putusan penguasa.[11] Tentang kewajiban nafkah ini telah
dijelaskan Allah SWT. dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 233.
‫ َوتُه َُّن‬ggg‫هٗ ِر ْزقُه َُّن َو ِك ْس‬gggَ‫وْ ِد ل‬gggُ‫ َو َعلَى ْال َموْ ل‬-َؕ‫ا َعة‬ggg‫َّض‬
َ ‫ا ِملَی ِْن لِ َم ْن اَ َرا َد اَ ْن ُّیتِ َّم الر‬gggَ‫ وْ لَ ْی ِن ك‬ggg‫ ْعنَ اَوْ اَل َده َُّن َح‬ggg‫ض‬ ٰ ِ‫َو ْال َوال‬
ُ ‫د‬ggg
ِ ْ‫ت یُر‬
‫اَّل‬ ْ
‫ تكل نفسٌ اِ ُو ْس َعهَا‬-ؕ‫ف‬ َ ُ‫ف‬ َّ َ ُ ‫اَل‬ ِ ْ‫بِال َم ْعرُو‬ْ

Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya.”
Maksud dari kata  ٗ‫ ْال َموْ لُوْ ِد لَه‬pada ayat di atas adalah ayah kandung si anak. Artinya, ayah si
anak diwajibkan  memberi nafkah dan pakaian untuk ibu dari anaknya dengan cara yang
ma’ruf. Yang dimaksud dengan  ‫ف‬ ِ ْ‫ بِ ْال َم ْعرُو‬adalah menurut kebiasaan yang telah berlaku di
masyarakat tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu di bawah kepatutan, dan disesuaikan
juga dengan kemampuan finansial ayahnya.[12]
Adapun menyediakan tempat tinggal yang layak adalah juga kewajiban seorang suami
terhadap istrinya sebagaimana Firman Allah SWT berikut:
ُ ‫…اَ ْس ِكنُوْ ه َُّن ِم ْن َحی‬
‫ْث َس َك ْنتُ ْم ِّم ْن وُّ جْ ِد ُك ْم‬
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal
menurut kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).

3. Menggauli istri secara baik.

 Menggauli istri dengan baik dan adil merupakan salah satu kewajiban suami terhadap
istrinya. Sebagaimana Firman Allah dalam Alquran surat an-Nisa ayat 19 yang berbunyi:
‫ة‬gٍ g‫اح َش‬ِ َ‫وْ ه َُّن اِاَّل ۤ اَ ْن یَّاْتِ ْینَ بِف‬gg‫ا ٰاتَ ْیتُ ُم‬gۤ g‫ْض َم‬ ُ ‫ لَ ُك ْم اَ ْن ت َِرثُوا النِّ َسآ َء كَرْ هًاؕ َواَل تَع‬  ُّ‫ٰۤیاَیُّهَا الَّ ِذ ْینَ ٰا َمنُوْ ا اَل یَ ِحل‬
ِ ‫ذ ۤهَبُوْ ا بِبَع‬gْ gَ‫ لِت‬ ‫لُوْ ه َُّن‬g‫ْض‬
‫هّٰللا‬
‫َر ْهتُ ُموْ ه َُّن فَ َع ٰسى اَ ْن تَ ْك َرهُوْ ا َشیْــٴًـا َّویَجْ َع َل ُ فِ ْی ِه َخ ْیرًا َكثِ ْیرًا‬ ِ ‫فَاِ ْن ك‬-‫ف‬ ِ ‫ُّمبَیِّنَ ۚ ٍة َوع‬
ِ ۚ ْ‫َاشرُوْ ه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Maksud dari kata ‫ف‬ِ ْ‫َاشرُوْ ه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬
ِ ‫ َوع‬adalah ditujukan kepada suami-suami agar berbicara
dengan baik terhadap para istri dan bersikap dengan baik dalam perbuatan dan
penampilan. Sebagaimana suami juga menyukai hal tersebut dari istrinya, maka
hendaklah suami melakukan hal yang sama. Sebagaimana hadist dari riwayat ‘A’isyah
ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku”. Dan
di antara akhlak Rasulullah saw. adalah memperlakukan keluarganya dengan baik, selalu
bergembira bermain dengan keluarga, bermuka manis, bersikap lemah lembut, memberi
kelapangan dalam hal nafkah, dan bersenda gurau bersama istri-istrinya.[13]
Adapun Imam Asy-Sya’rawi Rahimahullah mengatakan, ‫ف‬ ِ ْ‫ َوعَا ِشرُوْ ه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬, Kata ‫ْال َم ْعرُوْ ف‬
memiliki pengertian yang lebih tinggi tingkatannya dari kata al–mawaddah. Karena
makna kata al-mawaddah berarti perbuatan baik kita kepada orang lain hanya didasarkan
karena rasa cinta (al-hubb) atau karena kita merasa senang dan bahagia dengan
keberadaan orang itu. Adapun kata ‫ ْال َم ْعرُوْ ف‬maknanya kita berbuat baik kepada seseorang
yang belum tentu kita sukai atau kita senangi.[14] Artinya jika suatu saat istri kita sudah
tidak lagi menarik secara fisik atau keberadaannya sudah tidak menyenangkan lagi
bahkan membangkitkan kebencian dihati, maka tetaplah berlaku makruf terhadapnya dan
bergaul dengannya dengan sebaik-baiknya perlakuan sebagaimana perintah ayat tersebut,
karena bisa jadi satu sisi dia buruk namun pada sisi lainnya banyak kebaikan-kebaikannya
yang bisa menutupi keburukannya tersebut.

4. Menjaga istri dari dosa.

Sudah menjadi kewajiban seorang kepala rumah tangga untuk memberikan pendidikan
agama kepada istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah dan RasulNya. Dengan ilmu
agama seseorang mampu membedakan baik dan buruknya prilaku dan dapat menjaga diri
dari berbuat dosa. Selain ilmu agama, seorang suami juga wajib memberikan nasehat atau
teguran ketika istrinya khilaf atau lupa atau meninggalkan kewajiban dengan kata-kata
bijak yang tidak melukai hati sang istri, sebagaimana Firman Allah SWT. surah At-
Tahrim ayat 6 berikut :
‫هّٰللا‬ ٓ ۤ
َ g‫ا اَ َم‬gۤ g‫ٰیاَیُّهَا الَّ ِذ ْینَ ٰا َمنُوْ ا قُ ۤوْ ا اَ ْنفُ َس ُك ْم َو اَ ْهلِ ْی ُك ْم نَارًا َّو قُوْ ُدهَا النَّاسُ َو ْال ِح َجا َرةُ َعلَ ْیهَا َم ٰل ٕى َكةٌ ِغاَل ظٌ ِشدَا ٌد اَّل َی ْعصُوْ نَ َ َم‬
 ‫رهُ ْم‬g
َ‫َو یَ ْف َعلُوْ نَ َما یُْؤ َمرُوْ ن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

5. Memberikan cinta dan kasih sayang kepada istri.

Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat Ar Rum ayat 21 di atas pada kalimat ‫َو َج َع َل‬
ًؕ‫ بَ ْینَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمة‬dapat juga dimaknai bahwa seorang suami wajib memberikan cinta dan
kasih sayang kepada istrinya yang terwujud dalam perlakuan dan perkataan yang mampu
membuat rasa tenang dan nyaman bagi istri dalam menjalankan fungsinya sebagai istri
sekaligus ibu rumah tangga. Adapun bentuk perlakuan tersebut bisa berupa perhatian,
ketulusan, keromantisan, kemesraan, rayuan, senda gurau, dan seterusnya.
Dalam memberikan cinta dan kasih sayang bukanlah atas dasar besar kecilnya rasa cinta
kita kepada istri, akan tetapi hal tersebut merupakan perintah Allah SWT. agar suami istri
saling mencinta dan berkasih sayang sebagai wujud kepatuhan kepada Allah SWT. Jika
memberikan cinta dan kasih sayang antara suami istri sudah disandarkan pada perintah
Allah SWT. maka as-sakiinah (ketentraman) dalam rumah tangga akan mudah kita raih.
5. HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI KEPADA SUAMI (QS.ANNISA 34)
1.      Taat kepada suami
Mentaati suami merupakan perintah Allah SWT. sebagaimana yang tersirat dalam Al-
Qur’an Surah An-Nisa ayat 34 sebagai berikut:
‫اَلرِّجا ُل قَ ٰ ّوموْ نَ َعلَى النِّسآء بما فَ َّ هّٰللا‬
ٌ ‫ت ٰحفِ ٰظ‬
‫ت‬ ٌ ‫ت ٰقنِ ٰت‬ ّ ٰ َ‫ف‬-ؕ‫والِ ِه ْم‬g
ُ ‫لِ ٰح‬g‫الص‬ َ g‫وْ ا ِم ْن اَ ْم‬ggُ‫ا اَ ْنفَق‬gۤ g‫ْض َّو بِ َم‬ ٰ
ٍ ‫هُ ْم عَلى بَع‬g‫ْض‬ َ ‫ َل ُ بَع‬g‫ض‬ َِ ِ َ ُ َ
ۚ
‫اِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل‬gَ‫ف‬-‫ ِربُوْ ه َُّن‬g‫اض‬
ْ ‫اج ِع َو‬ g ‫ض‬ ‫م‬ ْ
‫ال‬ ‫ی‬ ‫ف‬ َّ
‫ُن‬ ‫ه‬ ْ‫ُو‬ ‫ر‬ g‫ج‬ُ ْ
‫ه‬ ‫ا‬ ‫و‬ َّ
‫ُن‬ ‫ه‬ ْ‫و‬ُ ‫ظ‬ ‫ع‬ َ ‫ف‬ َّ
‫ُن‬ ‫ه‬ َ
‫ز‬ ْ‫و‬ ُ
‫ش‬ ُ ‫ن‬ َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ ‫ف‬‫َخَا‬ ‫ت‬ ‫ی‬ ‫ت‬ّ ٰ ‫و‬-ُؕ ‫لِّ ْل َغ ْیب بما حفظَ هّٰللا‬
‫ال‬
ِ َ َ ِ َ ِ ْ ِ َ ِ َ َِ ِ
‫اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِیًّا َكبِ ْیرًا‬-ؕ ‫تَ ْب ُغوْ ا َعلَ ْی ِه َّن َسبِ ْیاًل‬
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab
itu maka wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Menurut Ibnu Abbas dalam tafsir Ibnu Katsir, yang dimaksud dari ‫لرِّجا ُل قَ ٰ ّو ُموْ نَ َعلَى‬
َ َ‫ا‬
‫ النِّ َسآ ِء‬adalah kaum laki-laki merupakan pemimpin bagi kaum wanita. Artinya dalam
rumah tangga seorang suami adalah kepala rumah tangga yang harus didengar dan
ditaati perintahnya, oleh karenaa itu sudah seharusnya seorang Istri mentaati
suaminya jika memerintahkannya dalam kebaikan. Menurut Ibnu Abbas maksud kata
‫ت‬ ٌ ‫ ٰقنِ ٰت‬adalah para istri yang taat kepada suami.[15] Artinya wanita sholeh itu salah satu
tandanya adalah taat kepada suami selama perintahnya tidak menyelisihi Allah dan
Rasulnya.
2.      Mengikuti tempat tinggal suami
Setelah menikah biasanya yang jadi permasalahan suami istri adalah tempat tinggal,
karena kebiasaan orang Indonesia pada masa-masa awal menikah suami istri masih
ikut di rumah orang tua salah satu pasangan lalu kemudian mencari tempat tinggal
sendiri. Dalam hal ini seorang istri harus mengikuti dimana suami bertempat tinggal,
entah itu di rumah orang tuanya atau di tempat kerjanya. Karena hal tersebut
merupakan kewajiban seorang istri untuk mengikuti dimana suami bertempat tinggal,
sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut:
ُ ‫…اَ ْس ِكنُوْ ه َُّن ِم ْن َحی‬
‫ْث َس َك ْنتُ ْم ِّم ْن وُّ جْ ِد ُك ْم‬
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal
menurut kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).
3.      Menjaga diri saat suami tak ada
Seorang wanita yang sudah menikah dan memulai rumah tangga maka harus
membatasi tamu-tamu yang datang ke rumah. Ketika ada tamu lawan jenis maka yang
harus dilakukan adalah tidak menerimanya masuk ke dalam rumah kecuali jika ada
suami yang menemani dan seizin suami. Karena perkara yang dapat berpotensi
mendatangkan fitnah haruslah dihindari. Allah SWT berfirman, “Wanita shalihah
adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada oleh
karena Allah telah memelihara mereka.” (QS. Annisa:34).
 
6. MASA IDDAH, THALAK ROJ'I, THALAK BA'IN, KHULU', FASAKH, ILA, LI'AN (QS.
AL BAQOROH 226, 228, 229,230, QS. AN NUR 6)
Talak berasal dari kata ithlaq yang menurut bahasa berarti melepaskan atau meninggalkan.
Lalu menurut istilah syara’ talak yaitu:

ِ ‫َح ُّل َربِطَ ِة ال َّز َو‬


‫اج َواِ ْن َها ُء ا ْلعاَل قَ ِة ال َّز ْو ِجيَّ ِة‬
“Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”
al-Jaziry mendefinisikan
‫ص‬ ُ ‫صانَ َحلَّ ِه بِلَ ْف ٍظ َم ْخ‬
ٍ ‫ص ْو‬ ِ ‫ق اِزَ الَةُ النَّك‬
َ ‫َح اَ ْو نُ ْق‬ ُ ‫اَلطَّاَل‬
“Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya
dengan menggunakan kata-kata tertentu”.
Menurut Abu Zakaria al-Anshori

ِ ‫َاح بِلَ ْف ِظ الطَّلاَل‬


‫ق َونَ ْح ِوه‬ ِ ‫َح ُّل َع ْق ِد النَّك‬
“Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacam-nya”.
Jadi talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan
perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya dan ini terjadi dalam hal talak
ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya
hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak
suami dari tiga menjadi dua dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu,
yaitu terja-di dalam talak raj’i.
- Macam-Macam Talak
- Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi menjadi tiga macam:
a. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah. Dikatakan talak
sunni jika memenuhi empat syarat:
i. Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah
digauli tidak termasuk talak sunni.
2. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditala, yaitu dalam keadaan
suci dari haid. Menurut Ulama Sya-fi’iyah perhitungan iddah bagi wanita
berhaid ialah tiga kali suci , bukan tiga kali haid. Talak terhadap istri yang
telah lepas haid (menopause) atau belum pernah haid, atau sedang hamil,
atau talak karena suami meminta tebusan (khulu’) atau ketika istri dalam haid
semuanya tidak termasuk talak sunni.
3. Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik di permulaan, di
pertengahan maupun di akhir suci. kendati beberapa saat lalu datang haid.
4. iv.Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu
dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam keadaan suci
dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.
a. Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan
tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni, termasuk talak bid’I ialah:
1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid (menstruasi) baik di
permulaan haid maupun di pertengahannya.
2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli
oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud.
a. Talak la sunni wala bid’I yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan talak bid’I,
yaitu:
1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli
2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau istri yang
telah lepas haid
3. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
- Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai
ucapan talak maka talak dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Talak Sharih, yatu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas, dapat
dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan.
Imam Syafi’I mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk talak sharih ada tiga,
yaitu talak (cerai), firaq (pisah), dan sarah (lepas), ketiga ayat itu disebut dalam al-Qur’an
dan al-Hadits.
Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan talak sharih maka menjadi
jatuhlah talak itu dengan sendirinya, sepanjang ucapannya itu dinyatakan dalam keadaan
sadar dan atas kemauannya sendiri.
a. Talak Kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata sindiran atau samar-samar,
seperti suami berkata engkau sekarang telah jauh dari diriku, selesaikan sendiri segala
urusanmu, janganlah engkau mendekati aku lagi, keluarlah engkau dari rumah ini sekarang
juga, susullah keluargamu sekarang juga.
Tentang kedudukan talak dengan kata-kata kinayah atau sindiran ini sebagaimana
dikemukakan oleh Taqiyuddin al-Husaini, bergantung kepada niat suami. Artinya jika suami
dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak, maka menjadi jatuhlah talak itu, dan
jika suami dengan kata-kata tersebut tidak bermksud menjatuhkan talak maka talak tidak
jatuh.
- Ditinjau dari segi ada atau tidaknya kemungkinan mantan suami merujuk kembali mantan
istri. Maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Talak Raj’I, yaitu talak yag dijatuhkan suami terhadap istrinya yang telah pernah digauli,
bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang
kedua kalinya.
Setelah terjadi talak raj’I maka istri wajib beriddah hanya bila kemudian suami hendak
kembali kepada bekas istri sebelum berakhir masa iddah, maka hal itu dapat dilakukan
dengan menyatakan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut bekas suami tidak
menyatakan rujuk terhadap mantan istrinya, maka dengan berakhirnya masa iddah tersebut
kedudukan talak menjadi talak ba’in kemudian jika sesudah berakhirnya masa iddah itu
suami ingin kembali kepada bekas istrinya maka wajib dilakukan dengan akad nikah baru dan
dengan mahar yang baru pula.
a. Talak Ba’in, yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas
istrinya. Untuk mengembalikan bekas istri ke dalam ikatan perkawinan dengan bekas suami
harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.
Talak Ba’in dibagi menjadi dua:
i. Talak Ba’in Shugro ialah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap
istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas
istri, artinya bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri, baik dalam
masa iddahnya maupun sesudah berakhir iddahnya. Termasuk talak ba’in Shugro ialah:
-          Talak sebelum berkumpul
-          Talak dengan penggantian harta atau yang disebut Khulu’
-          Talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, talak karena
penganiayaan atau yang semacam.
i. Talak Ba’in Kubro, ialah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap
bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas
istrinya, kecuali setelah bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain dan telah berkumpul
dengan suami kedua itu serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan masa
iddahnya. Talak ba’in kubro terjadi pada talak yang ketiga
- Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya, talak ada beberapa
macam:
a. Talak dengan ucapan
2. Talak dengan tulisan
3. Talak dengan isyarat
4. Talak dengan utusan
- Ditinjau dari segi masa iddah, ada:
a. Iddahnya haid atau suci
2. Iddahnya karena hamil
3. Iddahnya dengan bulan
- Ditinjau dari segi keadaan suami, ada:
a. Talak mati
2. Talak hidup
- Ditinjau dari segi proses atau prosedur terjadinya, ada :
a. Tidak langsung oleh suami
2. Talak tidak langsung lewat qadhi (pengadilan agama)
3. Talak lewat Hakamain[2]
Talak yang Menjadi Penghalang untuk Mendapatkan Warisan
Salah satu syarat seseorang mendapatkan warisan adalah adanya hubungan pernikahan
(sababiyah)[3]. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 12:
۞ ْ‫ٓا اَو‬ggَ‫ ْينَ بِه‬g ‫ص‬ ِ ‫َولَ ُك ْم نِصْ فُ َما تَرَكَ اَ ْز َوا ُج ُك ْم اِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّه َُّن َولَ ٌد ۚ فَاِ ْن َكانَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم الرُّ بُ ُع ِم َّما َت َر ْكنَ ِم ۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ْ‫صيَّ ٍة يُّو‬
ۗ ‫ٓا اَوْ َد ْي ٍن‬gَ‫وْ نَ بِه‬g‫ص‬ ِ ‫ ِد َو‬gْ‫ َر ْكتُ ْم ِّم ۢ ْن بَع‬gَ‫َدي ٍْن ۗ َولَه َُّن الرُّ بُ ُع ِم َّما ت ََر ْكتُ ْم اِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّ ُك ْم َولَ ٌد ۚ فَاِ ْن َكانَ لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَه َُّن الثُّ ُمنُ ِم َّما ت‬
ُ ْ‫يَّ ٍة تُو‬g‫ص‬
ُ ُّ ۤ
ِ ‫ َركَا ُء فِى الثل‬g ‫ك فَهُ ْم ُش‬
‫ث‬ َ gِ‫ر ِم ْن ٰذل‬g ۚ ‫ت فَلِ ُكلِّ َوا ِح ٍد ِّم ْنهُما ال ُّسد‬
َ gَ‫انُ ْٓوا اَ ْكث‬gg‫ُسُ فَاِ ْن َك‬ ٌ ‫ث ك َٰللَةً اَ ِو ا ْم َراَةٌ َّولَ ٗ ٓه اَ ٌخ اَوْ اُ ْخ‬ ُ ‫َواِ ْن َكانَ َر ُج ٌل يُّوْ َر‬
َ
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫صيَّةً ِّمنَ ِ ۗ َو ُ َعلِ ْي ٌم َحلِ ْي ۗ ٌم‬ ۤ ۢ
ِ ‫ضا ٍّر ۚ َو‬ َ ‫صى ِبهَٓا اَوْ َدي ۙ ٍْن َغ ْي َر ُم‬ ٰ ْ‫صيَّ ٍة يُّو‬
ِ ‫ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
Artinya: “dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka
Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang
demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Penyantun.”
Suami istri tersebut dapat saling mewarisi, apabila hubungan perkawinan mereka memenuhi
dua syarat[4]:
i. Perkawinan mereka sah menurut syariat Islam, yakni dengan akad yang memenuhi syarat-
syarat dan rukun-rukunnya.
2. Masih berlangsung hubungan perkawinan, yakni hubungan perkawinan mereka masih
berlangsung sampai saat kematian salah satu pihak suami atau istri, tidak dalam
keadaan bercerai.
Termasuk dalam pengertian masih berlangsung perkawinan, yaitu istri yang masih
menjalani talak raj’i karena selama istri masih dalam keadaan talaq raj’i, suami dapat
kembali rujuk kepada istrinya.
Oleh karena itu, apabila salah seorang suami atau istri dalam masa iddah talaq
raj’i meninggal dunia, maka suami atau istri yang masih hidup berhak mendapatkan warisan.
Akan tetapi, jika salah seorang di antara mereka meninggal dunia setelah masa iddah talaq
raj’i berakhir, maka masing-masing tidak lagi saling mewarisi.
Berbeda halnya dengan suami istri yang masih dalam masa iddah talaq bain, maka antara
suami dan istri tersebut tidak saling mewarisi sejak dijatuhkannya talaq bain tersebut.
Pembagian Waris Terhadap Istri yang Ditalak
- Istri yang dicerai dengan talak raj’i
Apabila cerainya adalah talak raj’i: maka ia masih sebagai istri secara hukum syar’i. karena
masa iddah itu masih merupakan tanggungan suaminya, apabila perceraian dilakukan atas
inisiatif suaminya (bukan karena li’an atau khuluk) tanggungan suami itu berupa nafkah
lahiriyah papan, sandang dan pangan. Selama masa iddah, wanita tersebut tidak boleh
dipinang, apalagi dinikahi orang lain. [5] Apabila suaminya meninggal dunia maka
sesungguhnya ia berhak atas warisan dari mantan suaminya berdasarkan firman
Allah Shubhanahu wa ta’alla:
َ gَ‫ا َخل‬gg‫ لُّ لَه َُّن َأن يَ ۡكتُمۡ نَ َم‬g‫َّصنَ بَِأنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلَثَةَ قُر ُٓو ٖۚء َواَل يَ ِح‬
ِ ‫ؤ ِم َّن بِٱهَّلل‬gۡ gُ‫ا ِم ِه َّن ِإن ُك َّن ي‬gg‫ق ٱهَّلل ُ فِ ٓي َأ ۡر َح‬ ۡ ‫ت يَت ََرب‬ُ َ‫﴿و ۡٱل ُمطَلَّ ٰق‬َ :‫قال هللا تعالى‬
‫هَّلل‬ ‫ٱ‬‫و‬ ۗ
‫ة‬ ٞ ‫ج‬‫ر‬ ‫د‬ ‫ن‬ َّ ‫ه‬‫ي‬ۡ َ ‫ل‬‫ع‬ ‫ال‬ ‫ج‬ ‫ر‬ ‫ل‬ ‫ل‬‫و‬ ۚ
‫ُوف‬ ‫ر‬ ‫ع‬ ۡ ‫م‬ ۡ
‫ٱل‬ ‫ب‬ َّ
‫ن‬ ‫ه‬‫ي‬ۡ َ ‫ل‬‫ع‬ ‫ي‬ ‫ذ‬َّ ‫ٱل‬ ‫ل‬ ۡ
‫ث‬ ‫م‬ ‫ُن‬ َّ ‫ه‬َ ‫ل‬‫و‬ ۚ
‫ا‬ ٗ
‫ح‬ َ ٰ
‫ل‬ ۡ
‫ص‬ ْ
‫ا‬ ‫ُو‬
‫د‬ ‫ا‬ ‫ر‬‫َأ‬ ‫ن‬ ۡ ‫ل‬ َ
‫ذ‬ ٰ ‫ي‬ ‫ف‬ َّ
‫ن‬ ‫ه‬‫د‬ ِّ ‫ر‬ ‫ب‬ ُّ
‫ق‬ ‫ح‬ ‫َأ‬ ‫ُن‬َّ ‫ه‬ُ ‫ت‬َ ‫ل‬‫ُو‬
‫ع‬ ُ‫َو ۡٱليَ ۡو ِم ٱأۡل ٓ ِخ ۚ ِر َوب‬
ُ َ َ َ َ ِ َ ِ َ ِّ ِ َ ِ َ ِ ِ َ ِ ُ ِ َ ‫َ ِ َ ِ ِ ِكَ ِإ َ ٓ ِإ‬
]228 :‫﴾ [سورة البقرة‬٢٢٨ ‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ِ ‫ع‬
Artinya :Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya
dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi
para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah:228)
Dan firman –Nya:
ْ ُ‫ َّد ۖةَ َوٱتَّق‬g‫وا ۡٱل ِع‬
‫وتِ ِه َّن َواَل‬gُ‫وه َُّن ِم ۢن بُي‬gُ‫وا ٱهَّلل َ َربَّ ُكمۡۖ اَل تُ ۡخ ِرج‬g ْ g‫ص‬ ُ ‫ َّدتِ ِه َّن َوَأ ۡح‬g‫ ﴿ ٰيََٓأ ُّيهَا ٱلنَّبِ ُّي ِإ َذا طَلَّ ۡقتُ ُم ٱلنِّ َسٓا َء فَطَلِّقُوه َُّن لِ ِع‬:‫قال هللا تعالى‬
﴾١ ‫ ٗرا‬ggۡ‫ك م‬ ‫َأ‬ ٰ ۡ
ُ ‫ك ُحدُو ُد ٱهَّلل ۚ ِ َو َمن يَتَ َع َّد ُحدُو َد ٱهَّلل ِ فَقَ ۡد ظَلَ َم نَف َس ۚۥهُ اَل ت َۡد ِري لَ َع َّل ٱ َ ي ُۡح ِد‬
َ ِ‫ث بَ ۡع َد َذل‬ ‫هَّلل‬ َ ‫يَ ۡخر ُۡجنَ ِإٓاَّل َأن يَ ۡأتِينَ بِ ٰفَ ِحش َٖة ُّمبَيِّن ٖ َۚة َوتِ ۡل‬
]1 : ‫[سورة الطالق‬
Artinya : “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertaqwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali
kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan
barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan
sesudah itu sesuatu hal yang baru”. (QS. Ath-Thalaq:1).
- Istri yang dicerai dengan talak ba’in, yang dijatuhkan ketika suami dalam keadaan sehat.
Wanita atau istri yang dicerai atau di talak oleh suaminya yang meninggal dunia secara
mendadak, sedang ia dicerai ba’in: seperti dicerai talak tiga atau ia (istri) memberikan
pengganti kepada suaminya agar menceraikannya (khulu’), atau ia di masa ‘iddah
fasakh (pembatalan perkawinan) bukan ‘iddah talak, maka ia tidak berhak mendapat warisan
dari mantan suaminya.
Akan tetapi ada satu kondisi di mana istri yang dicerai secara ba’in mendapat warisan dari
mantan suaminya, seperti: apabila suaminya mencerai di saat sakit yang membawa
kematiannya yang bertujuan untuk menghalanginya mendapatkan warisan. Maka dalam
kondisi ini, ia (istri) mendapat warisan darinya sekalipun sudah habis masa ‘iddah selama ia
belum menikah, maka jika ia sudah menikah maka ia tidak berhak mendapat warisan.
- Istri yang dicerai dengan talak ba’in, yang dijatuhkan ketika suami dalam keadaan sakit.
Tentang talak waktu sakit keras tak ada hukumnya dalam al-Qur'an maupun sunnah yang sah.
Kecuali dari sahabat ada diceritakan tentang keputusan Utsman bin Affan terhadap
Abdurrahman bin 'Auf dan isteri-isteri Ibnu Mikmal. sebagai berikut:
i. Dari Rabi'ah bin Abi Abdir-Rahman, ia berkata: Seorang isteri Abdurrahman bin 'Auf
minta thalaq . Maka ia berkata: Kalau engkau sudah bersuci (dari haidh) kabarkanlah
kepadaku,. Setelah itu isterinya kabarkan kepadanya hal sudah bersihnya, lalu ia thalaq putus
atau ia berikan thalaq yang ketinggalan, padahal ia dalam sakit di waktu itu. Maka Utsman
jadikan perempuan itu mendapat warisan (padahal) sudah habis masa iddahnya. (H.R.Malik).
2. Dari 'Abdurrahman bin Hurmuz Al-A'raj, bahwasanya Utsman bin'Affan memberi
warisan kepada isteri-isteri Ibnu Mikmal, padahal ia telah ceraikan mereka dalam
masa iddahnya.
3. Seorang pernah thalaq isteri-isterinya, dan hartanya ia bagikan diantara anak-
anaknya. Tatkala sampai kabar kepada Umar, ia berkata: hendaklah engkau tarik
kembali isteri-isterimu dan hartamu, atau aku jadikan mereka ahli warismu.
Bahwa perempuan yang dicerai oleh suaminya di dalam sakit atau hampir mati itu oleh Umar
dan Utsman diberi pusaka. Alasan dari sisi agama pembagian ini belum jelas, tetapi kedua
khalifah bisa jadi mempunyai salah satu pertimbangan berikut:
i. Merasa tidak patut seorang perempuan yang telah jadi isteri seseorang, lantas dicerai, dan
tidak berapa lama sesudah itu ditinggal mati, sedang ia tidak dapat pusaka apa-apa, sebab
tidak sedikit pada adatnya, ada usaha atau rembukan si mati buat mendapatkan harta itu, atau
sebagian daripadanya.
2. Memandang bahwa si suami ceraikan isteri-isterinya itu karena  sengaja tidak hendak
memberi pusaka yang isteri-isteri itu berhak mendapatkannya kalau mereka belum
cerai.
Juga terjadi ketika Utsman bin 'Affan menjatuhkan talak kepada isterinya bernama Ummul-
Banin, puteri 'Uyainah binti Hashn Al-Fazaari, dimana ia turut terkepung di rumahnya.
Tatkala Utsman terbunuh, Ummul-Banin itu datang kepada Ali memberitahukan kejadian
tersebut. Maka Ali menetapkan untuk bagian pusaka harta Utsaman. Dan Ali berkata:
"(Utsman) telah meninggalkannya (Ummul-Banin) tetapi tatkala maut menjelang, bahkan ia
mentalaknya." Dengan alasan ini lalu para ahli fiqih berselisih pendapat tentang talak yang
dijatuhkan pada waktu sakit keras menjelang maut.
Pendapat Ulama dan  Imam Madzhab
- Golongan Hanafi:
"Jika suami sedang sakit lalu mentalak ba'in isteri, kemudian tak lama sesudah itu ia mati
karena sakitnya tadi, maka bekas isterinya mendapatkan hak warisnya." Tetapi kalau ia mati
sesudah habisnya iddah, maka bekas isteri tidak mendapatkan bagian warisan. (Ini disebut
talak pelarian (talaqul faar). (Talak bentuk I)
Jika pada saat itu suami menyuruh atau berkata kepada isterinya: "Sekarang pilihlah!
Bersuamikan aku atau cerai, lalu isterinya minta cerai (Khulu') kepadanya. Kemudian setelah
itu suaminya mati dalam masa iddah, maka bekas isterinya tidak dapat mewaris hartanya.
(tidak mengandung unsur pelarian), karena isterinyalah yang meminta atau memilih diberikan
talak, dan masalah ini hukumnya sama dengan orang yang menjatuhkan talak ba'in kepada
isterinya, sedangkan ia dalam pengepungan musuh atau dalam barisan peperangan. (Talak
bentuk II)
- Maliki
"Bekas isteri seperti ini tetap mendapat warisan bekas suaminya, baik dalam masa iddah
maupun tidak. baik sudah kawin lagi dengan orang lain ataupun belum."
- Syafi'i :
"Tidak berhak mewarisi lagi”. [6]
- Umar dan 'Aisyah:
"Bekas isteri tetap mendapat pusaka selama dalam iddah, karena iddah itu termasuk dalam
hukum perkawinan dan karena diqiyaskan (analogi) dengan talak raj'i."
- Ibnu Hazm :
"Talak orang sakit sama hukumnya dengan talak orang sehat. Tidak ada perbedaan apakah
mati karena sakitnya itu atau tidak, jika yang sakit jatuhkan talak tiga kali atau ketiga kalinya
atau sebelum bersetubuh lalu ia mati atau bekas isterinya mati sebelum iddah habis atau
sesudah habis iddah, atau dalam talak raj'i sedang bekas suami tidak merujuknya  sampai ia
mati atau bekas isterinya mati sesudah iddahnya habis, maka bekas isteri sama sekali tidak
mendapat hak waris. Begitu pula bekas suaminya."
- Imam Ahmad bin Hambal :
“istri yang telah dicerai tetap mendapat waris dari suaminya yang dalam keadaan sakit yang
menyebabkan wafatnya meskipun sebelum itu ia tidak digauli (disetubuhi) atau suami istri itu
tidak pernah berduaan lagi, asalkan istri tidak kawin lagi dengan laki-laki lain.” [7]
Dalam Bidayatul Mujtahid dikatakan bahwa perbedaan pendapat di atas adalah karena adanya
perbedaan tentang wajib-tidaknya menggunakan saddud-dzaraa'i.
Ini karena talak yang dijatuhkan orang yang sedang sakit diprasangkai untuk menghalangi
bagian pusaka yang seharusnya didapat oleh isteri kalau akad perkawinannya masih utuh.
Bagi yang berpendapat bahwa saddud-dzaraa'i dapat dipakai ia mengharuskan pemberian
pusaka kepada bekas isterinya.
Dan bagi yang tidak menggunakan saddud-dzaraa'i, tetapi melihat adanya talak, ia tidak
memberikan pusaka kepada bekas isterinya itu. Karena itu lalu golongan ini berpendapat: "
Jika talak telah sah, segala akibatnya berlaku seluruhnya." Bekas suami juga tidak mewarisi
pusaka, jika yang mati itu bekas isterinya. Tetapi jika talaknya tidak sah, maka isteri tetap
mendapatkan bagiannya yang ditetapkan oleh agama. (Wallahu a’lam bis Shawab)
KESIMPULAN
Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan
perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya dan ini terjadi dalam hal talak ba’in,
sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi
suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga
menjadi dua dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi
dalam talak raj’i.
Lebih spesifiknya lagi, macam-macam talak dapat diklasifikasikan berdasarkan segi waktu
dijatuhkannya talak (Talak Sunni, Talak Bid’I, dan Talak La sunni wala bid’I), segi tegas dan
tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak (Talak Sharih, Talak Kinayah,
Talak Raj’I, dan Talak Ba’in), segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya (Talak
dengan ucapan, Talak dengan tulisan, Talak dengan isyarat, dan Talak dengan utusan), segi
masa iddah (Iddahnya haid atau suci, Iddahnya karena hamil, dan Iddahnya dengan bulan),
segi keadaan suami (Talak mati dan Talak hidup), segi proses atau prosedur terjadinya (Tidak
langsung oleh suami, Talak tidak langsung lewat qadhi, dan Talak lewat Hakamain).
Apabila salah seorang suami atau istri dalam masa iddah talaq raj’i meninggal dunia, maka
suami atau istri yang masih hidup berhak mendapatkan warisan. Akan tetapi, jika salah
seorang di antara mereka meninggal dunia setelah masa iddah talaq raj’i berakhir, maka
masing-masing tidak lagi saling mewarisi. Berbeda halnya dengan suami istri yang masih
dalam masa iddah talaq bain, maka antara suami dan istri tersebut tidak saling mewarisi sejak
dijatuhkannya talaq bain tersebut.
Bahwa perempuan yang dicerai oleh suaminya di dalam sakit atau hampir mati itu oleh Umar
dan Utsman diberi pusaka. Alasan dari sisi agama pembagian ini belum jelas, tetapi kedua
khalifah bisa jadi mempunyai salah satu pertimbangan berikut:
1. Merasa tidak patut seorang perempuan yang telah jadi isteri seseorang, lantas dicerai,
dan tidak berapa lama sesudah itu ditinggal mati, sedang ia tidak dapat pusaka apa-
apa, sebab tidak sedikit pada adatnya, ada usaha atau rembukan si mati buat
mendapatkan harta itu, atau sebagian daripadanya.
2. Memandang bahwa si suami ceraikan isteri-isterinya itu karena  sengaja tidak hendak
memberi pusaka yang isteri-isteri itu berhak mendapatkannya kalau mereka belum
cerai.

Anda mungkin juga menyukai