Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MAKALAH

“PERNIKAHAN DALAM ISLAM”

DISUSUN OLEH :
1. ASTI LIANUR
2. AIRIN
3. MULYA MUKTIA
4. RATI
5. SISILIA MELIANG RISTY
6. SITI NOOR HAJRAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI


KELAS XII MIPA 2
SMAN 8 KENDARI
2023
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pernikahan adalah suatu hal yang membahagiakan. Karena dua insan yang Saling
mencintai dapat berdampingan untuk membangun keluarga yang Sakinah, Melalui Mawaddah
dan Warahmah. Bahkan tidak sedikit yang berjuang keras agar Bisa menikah dengan orang yang
dicintainya. Selain itu, pernikahan juga dapat Menyambung tali silaturrahim antara kedua
pasangan tersebut.Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan tujuan untuk mewujudkan
Keluarga yang bahagia, kekal, dan harmonis. Sebagaimana yang tercantum dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 3 yang berebunyi bahwa “tujuan perkawinan adalah Mewujudkan keluarga
yang sakinah, mawaddah, dan warahmah”.
Tujuan menurut hukum adat berbeda dengan menurut perundangan. Tujuan Perkawinan
bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk Mempertahankan dan
meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan Atau keibu-bapakan, untuk
kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk Memperoleh nilai-nilai adat budaya dan
kedamaian, dan untuk mempertahankan Kewarisan.
Berbeda lagi tujuan menurut agama. Tujuan perkawinan adalah untuk Menegakkan
agama Allah SWT, dalam arti mentaati perintah dan larangan Allah.3Hal ini sesuai dengan Firman
Allah SWT yang terkandung dalam QS Ar-Rum Ayat 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-
Nya ialah dia menciptakan untukmu Isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram Kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi Kaum yang
berfikir.”
Pernikahan pada masa kini sepertinya tidak lagi menjadi suatu hal yang sakral. Tujuan
pernikahan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan Warahmah seakan-akan
menjadi hal yang langka. Banyak terjadi perceraian dengan Berbagai alasan, bahkan itu dianggap
wajar.Perceraian atau putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan Dengan
surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik berupa putusan perceraian, Ikrar talak,
khuluk atau putusan taklik talak, apabila bukti tidak dapat ditemukan karena hilang dan
sebagainya maka dapat dimintakan salinannya ke Pengadilan Agama.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian nikah?


2. Bagaimana hukum nikah?
3. Apa saja syarat dan rukun nikah?
4. Bagaimana tata cara pernikahan dalam hukum negara Indonesia?

1.3 Tujuan penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian nikah.
2. Untuk mengetahui hukum nikah.
3. Untuk mengetahui syarat dan rukun nikah.
4. Untuk mengetahui tata cara pernikahan dalam hukum negara Indonesia.

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pernikahan

Menurut bahasa, nikah bermakna al-jam’u yang artinya menggabung, mencampur,


menghimpun, atau mengumpulkan. Sedangkan menurut istilah syariat, nikah berarti akad
yang menghalalkan pergaulan dan hubungan lebih intim antara pasangan suami istri atas
dasar agama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah diartikan sebagai perjanjian
antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) atau pernikahan.
Adapun pengertian nikah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, disebutkan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan sama artinya dengan perkawinan. Allah SWT. Berfirman: “Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga,
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S an-Nisa/4:3).

2.2 Tujuan Pernikahan

Seseorang yang akan menikah harus memiliki tujuan positif dan mulia untuk
membina keluarga sakinah dalam rumah tangga, Di antaranya sebagai berikut.
a. Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi
Rasulullah bersabda:
“Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad Saw., beliau bersabda: “wanita dinikahi
karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena
agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya, kalau tidak kamu akan celaka” (HR. Al-
Bukhari dan Muslim).
b. Untuk mendapatkan ketenangan hidup
Allah SWT. Berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan
untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah SWT.) bagi kaum yang berpikir”.
(Q.S ar-Rum/30:21)
c. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.
Rasulullah Saw. Bersabda:
“Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!”. Mendengar sabda
Rasulullah Saw. Para sahabat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah Saw., seorang
suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?”
Nabi Muhammad Saw. Menjawab, “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami)
bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa?” Jawab para sahabat,
“Ya, benar”. Beliau bersabda lagi, “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya
(ditempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!”. (HR. Muslim).
d. Untuk membentengi akhlak
Rasulullah Saw. Bersabda:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka
nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji
(kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum),
karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
e. Untuk mendapatkan keturunan yang saleh
Allah SWT. Berfirman:
“Allah Swt. Telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan
bagimu dari istri-istrimy itu anak-anak dan cucu-cucu, memberimu rezeki yang baik-baik.
Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah
SWT.?”. (Q.S. an-Nahl/16:72).
f. Untuk menegakkan rumah tangga yang islami
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya talaq (perceraian), jika
suami istri sudah tidak sanggup lagi mempertahankan keutuhan rumah tangga. Firman
Allah SWT.:
“Talaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara Ma’aruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir
tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah SWT., maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah SWT., maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah Swt. Mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Q.S. Al-
Baqarah/2:229).

2.3. Hukum Nikah

Pada dasarnya hukum pernikahan adalah sunah menurut pandangan jumhur ulama
atau kebanyakan ulama. Dasar hukum yang menganjurkan kita untuk melakukan pernikahan,
banyak terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadis. Akan tetapi, sebagaimana yang disampaikan
Prof. Amir Syarifuddin, apabila didasarkan pada kondisi dan niat seseorang dalam
melaksanakan pernikahan maka hukum pernikahan dan perkawinan dapat diperinci sebagai
berikut.
a. Sunah (dianjurkan), bagi orang yang sudah berkehendak untuk menikah dan
sudah mampu untuk memberi nafkah baik sandang, pangan, papan, maupun
lainnya.
b. Wajib (diharuskan), bagi orang yang telah mampu memberi nafkah (sandang,
pangan, dan lain-lain) dan ia khawatir jika segera menikah akan terjerumus ke
lembah perzinaan.
c. Makruh (dibenci), bagi orang yang tidak bisa memberi nafkah dan belum
dorongan untuk menikah.
d. Haram (dilarang), bagi orang yang punya maksud tidak baik dan menyimpang
dari tujuan pernikahan yang suci dan mulia.
e. Mubah (dibolehkan), bagi orang yang pada dasarnya belum memiliki dorongan
untuk menikah dan tidak ada kekhawatiran jika tidak segera menikah akan
terjerumus ke lembah perzinaan atau mendatangkan kemudharatan bagi siapa
pun.

2.4. Syarat dan Rukun Nikah

Rukun nikah itu ada lima yaitu sebagai berikut:


1. Calon Suami, dengan syarat:
a. Beragama islam
b. Bukan muhrimnya wanita, baik muhrim nasab, rodlo’, mushoharoh
c. Muhrim nasabah ialah orang yang tidak boleh dinikahi karena
keturunan.
d. Tidak dipaksa atau terpaksa
e. Tidak punya istri yang haram dimadu dengan bakal istrinya
f. Tidak sedang ihram haji/umrah
2. Calon Istri, dengan syarat:
a. Beragama islam
b. Tidak bersuami atau tidak dalam masa iddah
c. Bukan muhrimnya calon suami
d. Jelas orangnya
e. Bukan dalam keadaan berihram haji/umrah
f. Bukan wanita musyrik.
3. Wali
Wali adalah orang yang bertanggung jawab menikahkan pengantin
perempuan, baik wali nasab maupun wali hakim berhak
menikahkan ,dengan syarat:
a. Beragam islam
b. Lelaki dan bukannya perempuan
c. Baligh
d. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
e. Bukan dalam ihram haji atau umrah
f. Tidak fasiq
g. Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan sebagainya
h. Merdeka
4. Dua Orang Saksi
Syarat untuk menjadi saksi yaitu sebagai berikut:
a. Minimal dua orang saksi
b. Islam
c. Baligh
d. Berakal
e. Merdeka
f. Laki-laki
g. Adil
5. Ijab & Qabul
Ijab ialah ucapan wali yang berisi pernyataan menikahkan anaknya atau yang
menjadi anak karena pertalian darah. Misalnya, saya nikahkan engkau
dengan anak saya bernama zahra binti Abdul Razaq dengan maskawin
sebuah kitab suci Alqur’an dan seperangkat alat salat tunai.
Kabul ialah ucapan salon suami yang berisi penerimaan nikah dirinya dengan
calon istrinya. Misalnya, saya terima nikahnya Zahra binti Abdul Razaq
dengan maskawin satu buah kitab suci Alqur’an dan seperangkat alat salat
dibayar tunai.
Mahar atau maskawin yaitu suatu pemberian oleh calon suami kepada calon
istri yang diserahkan pada saat akad nikah berlangsung. Mahar bisa berupa
benda apa saja, sepanjang benda itu memiliki manfaat bagi penerimanya.
Misalnya uang, emas, berlian, pakaian, kitab suci Alqur’an, atau mungkin
melaksanakan ibadah haji bersama. Memberikan mahar hukumnya wajib,
namun harus disesuaikan dengan kemampuan calon suami dan kesukaan
calon istri. Perhatikan firman Allah Swt berikut!
“ Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
maka terimalah (dan nikmatilah) pemberian itu dengan senang hati” (Q.S.
An-Nisa, 4:4)

2.5. Tata Cara Pernikahan Dalam Hukum Negara Indonesia

Tata cara melangsungkan perkawinan berbeda antara agama yang satu dengan
agama yang lain. Namun secara garis besar tata cara melangsungkan perkawinan diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975). Tata cara melangsungkan
perkawinan terbagi menjadi empat tahap. Yaitu:
1. Laporan
2. Pengumuman
3. Pencegahan
4. Pelangsungan
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan terlebih dahulu
memberitahukan kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan
paling lambat 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut
dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya.
Pemberitahuan tersebut memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
disebutkan nama istri atau suami terdahulu.
Pegawai pencatat akan melakukan penelitian terhadap pemberitahuan tersebut.
Apabila tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan telah dipenuhi dan tidak terdapat
halangan perkawinan, maka dilakukan pengumuman. Pengumuman ditempelkan di
tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Tujuan dari adanya
pemberitahuan dan pengumuman adalah:
1. Memberikan kesempatam kepada pihak yang mengetahui adanya halangan
perkawinan untuk mencegahnya.
2. Menjamin agar penjabat tidak begitu saja dengan mudahnya melangsungkan
perkawinan,
3. Memberikan perlindungan kepada calon suami istri dari perbuatan yang tergesa-
gesa.
4. Mencegah perkawinan klandistin.
5. Memberikan kepastian tentang adanya perkawinan.
Perkawinan dilangsungkan paling tidak 10 hari setelah dilakukannya
pengumuman perkawinan. Apabila tidak ada pihak yang melakukan pencegahan
perkawinan, maka perkawinan dilakukan sesuai hukum agama dan kepercayaan masing-
masing dihadapan pegawai pencatat serta dihadiri oleh dua orang saksi. Setelah
perkawinan dilangsungkan, kedua mempelai, para saksi dan pegawai pencatat
memberikan tanda tangannya pada akta perkawinan. Khusus untuk perkawinan yang
dilangsungkan menurut agama islam, akta perkawinan juga ditandatangani oleh wali
nikah atau yang mewakilinya. Penandatanganan akta telah tercatat secara resmi. Akta
perkawinan dibuat dalam dua rangkap, yang pertama disimpan oleh pegawai pencatat,
sedangkan yang lainnya disimpan di panitera pengadilan dal wilayah kantor pencatatan
perkawinan itu berada. Sedangkan kepada suami dan istri masing-masing diberikan
kutipan dari akta perkawinan.
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pernikahan merupakan suatu akad untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki


dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diridhoi
oleh Allah SWT. Menurut sebagian besar ulama hukum nikah pada dasarnya adalah mubah,
artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Kemudian hukumnya bergantung pada
kondisi atau keadaan orang yang bersangkutan, hukum pernikahan terbagi ke dalam lima
kategori hukum yaitu mubah, sunnah, wajib, makruh dan haram.
Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan
seperti nikah syighar, nikah tahlil, nikah mut’ah, nikah dalam masa ‘iddah, nikah dengan
wanita kafir selain yahudi dan nasrani, nikah dengan wanita-wanita yang diharamkan karena
senasib atau hubungan kekeluargaan karena pernikahan, nikah dengan wanita yang haram
dinikahi disebabkan sepersusuan, nikah yang menghimpun wanita dengan bibinya, baik dari
pihak ayahnya maupun dari pihak ibunya, nikah dengan isteri yang telah ditalak tiga, nikah
dengan wanita yang masih bersuami, nikah dengan wanita pezina/pelacur dan lain-lain.
Rukun nikah itu ada lima yaitu sebagai berikut: calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi,
ijab dan qabul.
Tata cara melangsungkan perkawinan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan (PP 9/1975). Tata cara melangsungkan perkawinan terbagi menjadi empat tahap.
Yaitu: laporan, pengumuman, pencegahan dan pelangsungan.

3.2. Saran

Sebagai seorang muslim sebaiknya melakukan jalan nikah untuk menghindari dan
menjauhkan perbuatan kearah perzinahan. Dengan pernikahan dapat menghalalkan
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
berkeluarga yang diridhoi oleh Allah SWT. Membuat kedua mempelai menjadi tentram dan
damai.
DAFTAR PUSTAKA

Suryana Toto, Alba Cecep, dan Syamsudin. 1996. Pendidikan Agama Islam. Bandung: Tiga Mutiara.

Saminu. 2013. Pendidikan Agama Islam SMA/MA dan SMK/MAK Kelas XII. Semarang: Viva Pakarindo.

Supriadi. 2015. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: CV. Maulana Media
Grafika.

http://almanhaj.or.id/content/3233/slash/0/pernikahan-yang-dilarang-dalam-syariat-islam/

www.jurnalhukum.com/tata-cara-melangsungkan-perkawinan/

Anda mungkin juga menyukai