DISUSUN OLEH :
1. ASTI LIANUR
2. AIRIN
3. MULYA MUKTIA
4. RATI
5. SISILIA MELIANG RISTY
6. SITI NOOR HAJRAH
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah suatu hal yang membahagiakan. Karena dua insan yang Saling
mencintai dapat berdampingan untuk membangun keluarga yang Sakinah, Melalui Mawaddah
dan Warahmah. Bahkan tidak sedikit yang berjuang keras agar Bisa menikah dengan orang yang
dicintainya. Selain itu, pernikahan juga dapat Menyambung tali silaturrahim antara kedua
pasangan tersebut.Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan tujuan untuk mewujudkan
Keluarga yang bahagia, kekal, dan harmonis. Sebagaimana yang tercantum dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 3 yang berebunyi bahwa “tujuan perkawinan adalah Mewujudkan keluarga
yang sakinah, mawaddah, dan warahmah”.
Tujuan menurut hukum adat berbeda dengan menurut perundangan. Tujuan Perkawinan
bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk Mempertahankan dan
meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan Atau keibu-bapakan, untuk
kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk Memperoleh nilai-nilai adat budaya dan
kedamaian, dan untuk mempertahankan Kewarisan.
Berbeda lagi tujuan menurut agama. Tujuan perkawinan adalah untuk Menegakkan
agama Allah SWT, dalam arti mentaati perintah dan larangan Allah.3Hal ini sesuai dengan Firman
Allah SWT yang terkandung dalam QS Ar-Rum Ayat 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-
Nya ialah dia menciptakan untukmu Isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram Kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi Kaum yang
berfikir.”
Pernikahan pada masa kini sepertinya tidak lagi menjadi suatu hal yang sakral. Tujuan
pernikahan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan Warahmah seakan-akan
menjadi hal yang langka. Banyak terjadi perceraian dengan Berbagai alasan, bahkan itu dianggap
wajar.Perceraian atau putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan Dengan
surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik berupa putusan perceraian, Ikrar talak,
khuluk atau putusan taklik talak, apabila bukti tidak dapat ditemukan karena hilang dan
sebagainya maka dapat dimintakan salinannya ke Pengadilan Agama.
BAB 2
PEMBAHASAN
Seseorang yang akan menikah harus memiliki tujuan positif dan mulia untuk
membina keluarga sakinah dalam rumah tangga, Di antaranya sebagai berikut.
a. Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi
Rasulullah bersabda:
“Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad Saw., beliau bersabda: “wanita dinikahi
karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena
agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya, kalau tidak kamu akan celaka” (HR. Al-
Bukhari dan Muslim).
b. Untuk mendapatkan ketenangan hidup
Allah SWT. Berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan
untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah SWT.) bagi kaum yang berpikir”.
(Q.S ar-Rum/30:21)
c. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.
Rasulullah Saw. Bersabda:
“Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!”. Mendengar sabda
Rasulullah Saw. Para sahabat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah Saw., seorang
suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?”
Nabi Muhammad Saw. Menjawab, “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami)
bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa?” Jawab para sahabat,
“Ya, benar”. Beliau bersabda lagi, “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya
(ditempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!”. (HR. Muslim).
d. Untuk membentengi akhlak
Rasulullah Saw. Bersabda:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka
nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji
(kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum),
karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
e. Untuk mendapatkan keturunan yang saleh
Allah SWT. Berfirman:
“Allah Swt. Telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan
bagimu dari istri-istrimy itu anak-anak dan cucu-cucu, memberimu rezeki yang baik-baik.
Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah
SWT.?”. (Q.S. an-Nahl/16:72).
f. Untuk menegakkan rumah tangga yang islami
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya talaq (perceraian), jika
suami istri sudah tidak sanggup lagi mempertahankan keutuhan rumah tangga. Firman
Allah SWT.:
“Talaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara Ma’aruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir
tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah SWT., maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah SWT., maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah Swt. Mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Q.S. Al-
Baqarah/2:229).
Pada dasarnya hukum pernikahan adalah sunah menurut pandangan jumhur ulama
atau kebanyakan ulama. Dasar hukum yang menganjurkan kita untuk melakukan pernikahan,
banyak terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadis. Akan tetapi, sebagaimana yang disampaikan
Prof. Amir Syarifuddin, apabila didasarkan pada kondisi dan niat seseorang dalam
melaksanakan pernikahan maka hukum pernikahan dan perkawinan dapat diperinci sebagai
berikut.
a. Sunah (dianjurkan), bagi orang yang sudah berkehendak untuk menikah dan
sudah mampu untuk memberi nafkah baik sandang, pangan, papan, maupun
lainnya.
b. Wajib (diharuskan), bagi orang yang telah mampu memberi nafkah (sandang,
pangan, dan lain-lain) dan ia khawatir jika segera menikah akan terjerumus ke
lembah perzinaan.
c. Makruh (dibenci), bagi orang yang tidak bisa memberi nafkah dan belum
dorongan untuk menikah.
d. Haram (dilarang), bagi orang yang punya maksud tidak baik dan menyimpang
dari tujuan pernikahan yang suci dan mulia.
e. Mubah (dibolehkan), bagi orang yang pada dasarnya belum memiliki dorongan
untuk menikah dan tidak ada kekhawatiran jika tidak segera menikah akan
terjerumus ke lembah perzinaan atau mendatangkan kemudharatan bagi siapa
pun.
Tata cara melangsungkan perkawinan berbeda antara agama yang satu dengan
agama yang lain. Namun secara garis besar tata cara melangsungkan perkawinan diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975). Tata cara melangsungkan
perkawinan terbagi menjadi empat tahap. Yaitu:
1. Laporan
2. Pengumuman
3. Pencegahan
4. Pelangsungan
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan terlebih dahulu
memberitahukan kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan
paling lambat 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut
dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya.
Pemberitahuan tersebut memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
disebutkan nama istri atau suami terdahulu.
Pegawai pencatat akan melakukan penelitian terhadap pemberitahuan tersebut.
Apabila tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan telah dipenuhi dan tidak terdapat
halangan perkawinan, maka dilakukan pengumuman. Pengumuman ditempelkan di
tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Tujuan dari adanya
pemberitahuan dan pengumuman adalah:
1. Memberikan kesempatam kepada pihak yang mengetahui adanya halangan
perkawinan untuk mencegahnya.
2. Menjamin agar penjabat tidak begitu saja dengan mudahnya melangsungkan
perkawinan,
3. Memberikan perlindungan kepada calon suami istri dari perbuatan yang tergesa-
gesa.
4. Mencegah perkawinan klandistin.
5. Memberikan kepastian tentang adanya perkawinan.
Perkawinan dilangsungkan paling tidak 10 hari setelah dilakukannya
pengumuman perkawinan. Apabila tidak ada pihak yang melakukan pencegahan
perkawinan, maka perkawinan dilakukan sesuai hukum agama dan kepercayaan masing-
masing dihadapan pegawai pencatat serta dihadiri oleh dua orang saksi. Setelah
perkawinan dilangsungkan, kedua mempelai, para saksi dan pegawai pencatat
memberikan tanda tangannya pada akta perkawinan. Khusus untuk perkawinan yang
dilangsungkan menurut agama islam, akta perkawinan juga ditandatangani oleh wali
nikah atau yang mewakilinya. Penandatanganan akta telah tercatat secara resmi. Akta
perkawinan dibuat dalam dua rangkap, yang pertama disimpan oleh pegawai pencatat,
sedangkan yang lainnya disimpan di panitera pengadilan dal wilayah kantor pencatatan
perkawinan itu berada. Sedangkan kepada suami dan istri masing-masing diberikan
kutipan dari akta perkawinan.
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Sebagai seorang muslim sebaiknya melakukan jalan nikah untuk menghindari dan
menjauhkan perbuatan kearah perzinahan. Dengan pernikahan dapat menghalalkan
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
berkeluarga yang diridhoi oleh Allah SWT. Membuat kedua mempelai menjadi tentram dan
damai.
DAFTAR PUSTAKA
Suryana Toto, Alba Cecep, dan Syamsudin. 1996. Pendidikan Agama Islam. Bandung: Tiga Mutiara.
Saminu. 2013. Pendidikan Agama Islam SMA/MA dan SMK/MAK Kelas XII. Semarang: Viva Pakarindo.
Supriadi. 2015. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: CV. Maulana Media
Grafika.
http://almanhaj.or.id/content/3233/slash/0/pernikahan-yang-dilarang-dalam-syariat-islam/
www.jurnalhukum.com/tata-cara-melangsungkan-perkawinan/