Anda di halaman 1dari 26

1

Pendidikan Agama Islam Kelas XII

Munakahat ialah bagian dari hukum Islam yang berhubungan dengan masalah perkawinan. Seperti: Nikah, Thalaq,
Ruju’ tata cara dan persyaratan dan sebagainya. Islam sangat menganjurkan pernikahan, karena dengan pernikahan
manusia akan berkembang, sehingga kehidupan umat manusia dapat dilestarikan.
A. Pernikahan Dalam Islam
Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat
berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang
diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesusai peraturan yang
diwajibkan oleh Islam. Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam
penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allah s.w.t. menjadikan manusia itu saling
berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “nikah” diartikan sebagai “perjanjian antara laki-laki
dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) atau “pernikahan”. Sedangkan menurut syariah,
“nikah” berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahramnya yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,


Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Mahaesa.

B. Hukum Pernikahan
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan
boleh ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan
pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi wajib, sunat, makruh dan haram. Adapun penjelasannya
adalah sebagi berikut :
1. Jaiz, artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah
2. Wajib, yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah sedangkan bila tidak menikah
khawatir akan terjerumus ke dalam perzinaan.
3. Sunat, yaitu orang yang sudah mampu menikah namun masih sanggup mengendalikan
dirinya dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
2

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


4. Makruh, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan
atau hasrat tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungan-
nya.
5. Haram, yaitu orang yang akan melakukan perkawinan tetapi ia mempunyai niat yang
buruk, seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.

C. Tujuan Pernikahan
Seseorang yang akan menikah harus memiliki tujuan positif dan mulia untuk membina keluarga
sakinah dalam rumah tangga. Secara umum, tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi
hajat manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang
bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Apabila tujuan pernikahan yang bersifat umum
itu diuraikan secara terperinci tujuan pernikahan yang islami dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih sayang. Allah SWT berfirman: ”Dan jadikan-Nya di antara
kamu rasa kasih dan sayang…” (Q.S. Ar-Rum, 30: 21)
2. Untuk memperoleh ketenangan hidup (sakinah). Allah SWT berfirman: “Dan di antara tanda-tanda
kebiasaan-Nya ialah Dia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya…” (Q.S. Ar-Rum, 30:21)
3. Untuk mewujudkan keluarga bahagia didunia dan diakhirat.
4. Untuk mememnuhi tuntutan naluri manusia yang asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah
dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan
menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur,
berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
5. Untuk membentengi akhlak yang luhur dan menundukkan pandangan
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak
martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai
sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat
dari kekacauan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara
kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan
pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”
3

Pendidikan Agama Islam Kelas XII

6. Untuk meningkatkan rumah tangga yang islami


Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami
isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa
Jalla dalam ayat berikut:

“Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau
melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-
hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah : 229]

Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa Jalla. Dan
dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah ‘Azza
wa Jalla. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah, lanjutan ayat di atas:

“Kemudian jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-
ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah :
230]

Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri melaksanakan syari’at Islam
dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah
wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami,
4

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu harus
kafa-ah dan shalihah.

D. Hikmah Pernikahan
 Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain lewat perzinahan,
pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat merugikan.
 Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
 Memelihara kesucian diri
 Melaksanakan tuntutan syariat
 Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
 Sebagai media pendidikan Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang sehat untuk
membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orang tua akan memudahkan untuk
membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi
kekeluargaan yang direkomendasikan Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai
petunjuk dan pedoman pada anak-anak
 Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
 Dapat mengeratkan silaturahim

E. Pemilihan Calon
Islam mensyaratkan beberapa ciri bagi calon suami dan calon istri yang dituntut dalam Islam.
Namun, ini hanyalah panduan dan tidak ada paksaan untuk mengikuti panduan-panduan ini. Ciri-Ciri
Calon suami
 Beriman & bertaqwa kepada Allah s.w.t
 Bertanggungjawab terhadap semua benda
 Memiliki akhlak-akhlak yang terpuji
 Berilmu agama agar dapat membimbing calon isteri dan anak-anak ke jalan yang benar
 Tidak berpenyakit yang berat seperti gila, AIDS dan sebagainya
 Rajin bekerja untuk kebaikan rumah tangga seperti mencari rezeki yang halal untuk kebahagiaan
keluarga

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
‫أل َ ْر َبع ْال َم ْرأَة ُ ت ُ ْن َك ُح‬: ‫سبِ َها ِل َمـا ِل َها‬
َ ‫و ِل ِد ْينِ َها َو ِل َج َما ِل َها َو ِل َح‬، ْ َ‫ت ف‬
َ ‫اظف َْر‬ ِ ‫الدي ِْن بِذَا‬
ِ ‫ت‬ ْ َ‫ َيدَاكَ ت َِرب‬.
“Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan
agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.”

F. Penyebab haramnya sebuah pernikahan


Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan karena keturunannya (haram
selamanya) serta dijelaskan dalam surah an-Nisa: Ayat 23 yang berbunyi, “Diharamkan kepada kamu
menikahi ibumu, anakmu, saudaramu, anak saudara perempuan bagi saudara laki-laki, dan anak saudara
perempuan bagi saudara perempuan.”:
5

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


 Ibu
 Nenek dari ibu maupun bapak
 Anak perempuan & keturunannya
 Saudara perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu
 Anak perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, uaitu semua anak saudara
perempuan

Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh susuan ialah:
o Ibu susuan
o Nenek dari saudara ibu susuan
o Saudara perempuan susuan
o Anak perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan
o Sepupu dari ibu susuan atau bapak susuan

Perempuan muhrim bagi laki-laki karena persemendaan ialah:


o Ibu mertua
o Ibu tiri
o Nenek tiri
o Menantu perempuan
o Anak tiri perempuan dan keturunannya
o Adik ipar perempuan dan keturunannya
o Sepupu dari saudara istri
o Anak saudara perempuan dari istri dan keturunannya

G. Peminangan
Pertunangan atau bertunang merupakan suatu ikatan janji pihak laki-laki dan perempuan untuk
melangsungkan pernikahan mengikuti hari yang dipersetujui oleh kedua pihak. Meminang merupakan
adat kebiasaan masyarakat Melayu yang telah dihalalkan oleh Islam. Peminangan juga merupakan awal
proses pernikahan. Hukum peminangan adalah harus dan hendaknya bukan dari istri orang, bukan
saudara sendiri, tidak dalam iddah, dan bukan tunangan orang. Pemberian seperti cincin kepada
wanita semasa peminangan merupakan tanda ikatan pertunangan. Apabila terjadi ingkar janji yang
disebabkan oleh sang laki-laki, pemberian tidak perlu dikembalikan dan jika disebabkan oleh wanita,
maka hendaknya dikembalikan, namun persetujuan hendaknya dibuat semasa peminangan dilakukan.
Melihat calon suami dan calon istri adalah sunat, karena tidak mau penyesalan terjadi setelah
berumahtangga. Anggota yang diperbolehkan untuk dilihat untuk seorang wanita ialah wajah dan
kedua tangannya saja.

Hadist Rasullullah mengenai kebenaran untuk melihat tunangan dan meminang: "Abu
Hurairah RA berkata,sabda Rasullullah SAW kepada seorang laki-laki yang hendak menikah dengan
seorang perempuan: "Apakah kamu telah melihatnya?jawabnya tidak(kata lelaki itu kepada
6

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


Rasullullah).Pergilah untuk melihatnya supaya pernikahan kamu terjamin kekekalan." (Hadis Riwayat
Tarmizi dan Nasai)

Hadis Rasullullah mengenai larangan meminang wanita yang telah bertunangan:


"Daripada Ibnu Umar RA bahawa Rasullullah SAW telah bersabda: "Kamu tidak boleh meminang
tunangan saudara kamu sehingga pada akhirnya dia membuat ketetapan untuk memutuskannya". (Hadis
Riwayat Bukhari dan Muslim (Asy-Syaikhan))

Abdullah Ibnu Mas'ud Radhiallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga
hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa
belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." Istilah tunangan tidak dikenal
dalam istilah syariah. Tapi kalau mau dicarikan bentuk yang paling mendekatinya, barangkali yang paling
mendekati adalah “khitbah”, yang artinya meminang/melamar. Menurut istilah, makna khitbah atau
lamaran adalah sebuah permintaan atau pernyataan dari laki-laki kepada pihak perempuan untuk
mengawininya, baik dilakukan oleh laki-laki secara langsung maupun dengan perantara pihak lain yang
dipercayai sesuai dengan ketentuan agama. Intinya mengajak untuk berumah tangga. Khitbah itu sendiri
masih harus dijawab “ya” atau “tidak”. Bila telah dijawab “ya”, maka jadilah wanita tersebut
sebagai 'makhthubah', atau wanita yang telah resmi dilamar.

Secara hukum dia tidak diperkenankan untuk menerima lamaran dari orang lain. Namun
hubungan kedua calon itu sendiri tetap sebagai orang asing yang diharamkan berduaan, berkhalwat atau
hal-hal yang sejenisnya. Dalam Islam tidak dikenal istilah setengah halal lantaran sudah dikhitbah. Dan
amat besar kesalahan kita ketika menyaksikan pemandangan pasangan yang sudah bertunangan atau
sudah berkhitbah, lalu beranggapan bahwa mereka sudah halal melakukan hal-hal layaknya suami istri di
depan mata, lantas diam dan membiarkan saja. Apalagi sampai mengatakan, "Ah biar saja, toh mereka
sudah bertunangan, kalo terjadi apa-apa, sudah jelas siapa yang harus bertanggung-jawab." Padahal dalam
kaca mata syariah, semua itu tetap terlarang untuk dilakukan, bahkan meski sudah bertunangan atau sudah
melamar, hingga sampai selesainya akad nikah. Dan hanya masyarakat yang sakit saja yang tega bersikap
permisif seperti itu. Padahal apapun yang dilakukan oleh sepasang tunangan, bila tanpa ada ditemani oleh
mahram, maka hal itu tidak lain adalah kemungkaran yang nyata. Haram hukumnya hanya mendiamkan
saja, apalagi malah memberi semangat kepada keduanya untuk melakukan hal-hal yang telah diharamkan
Allah

Orang melamar atau menghkhitbah hendaknya merahasiakan pelamarannya atau tidak


mengumumkan ke orang banyak. Dari Ummu Salamah ra berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda, ”Kumandangkanlah pernikahan dan rahasiakanlah peminangan”. Secara syar’i tidak masalah
jika wanita melamar laki-laki. ”Dari Tsabit, ia berkata, ”Kami duduk bersama dengan Anas bin Malik
yang disebelahnya ada seorang anak perempuannya. Lalu Anas berkata, ”datanglah seorang perempuan
kepada Nabi SAW, lalu ia menawarkan dirinya kepada beliau, kemudian perempuan itu berkata, ”Wahai
Rasulullah maukah tuan mengambil diriku? Kemudian anak perempuan Anas menyeletuk, ”Betapa tidak
malunya perempu itu!” Lalu Anas menjawab, ”Perempuan itu lebih baik daripada kamu”. Ia
7

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


menginginkan rasulullah, karena itu ia menawarkan dirinya kepada beliau”. (HR. Ibnu Majah). Hal ini
menunjukkan betapa hukum Islam sangat menjunjung tinggi hak wanita. Mereka tidak hanya berhak
dilamar tetapi juga memiliki hak untuk melamar lelaki yang disukainya. Beberapa Perkara Penting
Sebelum Pelamaran. Sebelum melakukan pelamaran, seorang lelaki hendaknya memperhatikan beberapa
perkara berikut sebelum menentukan wanita mana yang hendak dia lamar. Hal ini selain berguna untuk
melancarkan proses pelamaran nantinya, juga bisa mencegah terjadinya perkara-perkara yang tidak
diinginkan antara kedua belah pihak. Berikut penyebutan perkara-perkara tersebut:
 Mengetahui dan melihat sang calon (perempuan)
Ini bukan kewajiban, tapi disarankan agar tidak terjadi fitnah atau kasus di kemudian
hari. Melihat yang dimaksudkan disini adalah melihat diri wanita yang ingin dinikahi dengan
tetap berpanutan pada aturan syar’i. ”Dari Anas bin Malik, ia berkata,”Mughirah bin Syu’bah
berkeinginan untuk menikahi seorang perempuan. Lalu rasulullah Saw. Bersabda, ”Pergilah
untuk melihat perempuan itu karena dengan melihat itu akan memberikan jalan untuk dapat lebih
membina kerukunan antara kamu berdua”. Lalu ia melihatnya, kemudian menikahi perempuan
itu dan ia menceritakan kerukunannya dengan perempuan itu. (HR. Ibnu Majah: dishohihkan
oleh Ibnu Hibban, dan beberap hadits sejenis juga ada misalnya diriwayatkan Oleh Tirmidzi dan
Imam Nasai.)
 Sang calon tidak dalam proses dilamar laki-laki lain
Dari Abu Hurairah, Ia berkata,”Rasululloh SAW bersabda,”Seorang lelaki tidak boleh
meminang perempuan yang telah dipinang saudaranya” (HR. Ibnu Majah). Dari Ibnu Umar
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah
seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar
pertama meninggalkan atau mengizinkannya." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Dari Uqbah bin 'Amir r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Orang mu'min itu
adalah saudaranya orang mu'min, maka tidak halallah kalau ia menjual atas jualan saudaranya
itu dan jangan pula melamar atas lamaran saudaranya, sehingga saudaranya ini meninggalkan
lamarannya -misalnya mengurungkan atau memberinya izin-." (Riwayat Muslim). Sebagian
ulama membolehkan seseorang melamar wanita yang telah dilamar jika pelamar pertama adalah
orang fasik atau ahli bid’ah, wallahu A’lam. Oleh karenanya, ada baiknya pihak laki-laki
mencari dan mengumpulkan informasi mengenai hal ini. Jika sang calon ternyata sedang pacaran
dengan laki-laki lain, bagaimana? pacaran BUKAN lamaran, tidak ada keterikatan secara hukum
(agama), maka sah-sah saja jika ada laki-laki lain yang melamar. Malah lebih baik sang
perempuan memprioritaskan dan menyetujui lamaran laki-laki lain, daripada pacaran sekian
lama tapi tidak jelas arahnya. Tentu saja, sang perempuan juga mesti mengumpulkan informasi
mengenai laki-laki yang melamarnya.
 Sang perempuan boleh menolak/memilih yang melamarnya.
Sang perempuan mempunyai hak untuk memilih (menyetujui/menolak) laki-laki yang
melamarnya. Hendaknya pada saat melamar, sang perempuan ditanya dan ditunggu jawabannya.
Dengan demikian, tidak terjadi pemaksaan dalam proses lamaran. Mari simak hadits
berikut Rasulullah SAW bersabda, “Janda lebih berhak atas dirinya dibanding walinya.
Sedangkan gadis dimintai izin tentang urusan dirinya. Izinnya adalah diamnya. “(Mutaffaqun
8

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


alaih). Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Seorang wanita
janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai pertimbangan dan seorang gadis perawan tidak
boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuan. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah,
bagaimana tanda setujunya? Rasulullah saw. menjawab: Bila ia diam. (Shahih Muslim)
 Tidak melamar perempuan yang sedang masa iddah
Yang dimaksud masa iddah adalah waktu yang dimiliki seorang perempuan yang
ditinggal mati atau dicerai oleh suaminya. Sedangkan yang dilarang melamar di sini adalah
melamar secara terus terang. Sementara jika memberi ‘isyarat’, diperbolehkan. “Dan tidak ada
dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-
nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah
kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al Baqarah (2):235)

H. Rukun Nikah
 Pengantin laki-laki
 Pengantin perempuan
 Wali
 Dua orang saksi laki-laki
 Mahar
 Ijab dan kabul (akad nikah)
Ijab yaitu ucapan penyerahan yang diucapkan wali (dari pihak permpuan) atau wakilnya sebagai
penyerahan kepada mempelai laki-laki. Contoh Ucapan ijab “Hai Ḥasan aku nikahkan dan aku
kawinkan kamu dengan zainab binti Aḥmad dengan mas kawin seperangkat alat shalat di bayar tunai”
Sedangkan qabul adalah ucapan pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan.
Contoh Ucapan qabulv“Aku terima nikahnya zainab dengan maskawin tersebut tunai”
Syarat-Syarat Ijab dan Qabul. Adapaun syarat-syarat ijab qabul adalah sebagai berikut:
i. Menggunakan kata yang bermakna menikah atau tazwij atau terjemahannya
ii. Ijab-qabul diucapkan pelaku akad nikah
iii. Antara ijab dan qabul harus bersambung tidak boleh diselingi perkataan atau perbuatan
lain
iv. Pelaksanaan ijab dan qabul harus berada pada satu tempat
v. Tidak digantungkan dengan suatu persyaratan apapun
vi. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu.

I. Syarat Calon Suami


 Islam
 Bukan lelaki muhrim dengan calon istri
 Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
9

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


 Bukan dalam ihram haji atau umroh
 Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
 Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
 Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri

J. Syarat Calon Istri


 Islam
 Bukan perempuan muhrim dengan calon suami
 Bukan seorang banci
 Bukan dalam ihram haji atau umroh
 Tidak dalam iddah
 Bukan istri orang

K. Syarat Wali
 Islam, bukan kafir dan murtad
 Lelaki dan bukannya perempuan
 Telah pubertas
 Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
 Bukan dalam ihram haji atau umroh
 Tidak fasik
 Tidak cacat akal pikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya
 Tidak dibatasi kebebasannya ketimbang membelanjakan hartanya
Sebaiknya calon istri perlu memastikan syarat WAJIB menjadi wali. Jika syarat-syarat wali
terpenuhi seperti di atas maka sahlah sebuah pernikahan itu.Sebagai seorang mukmin yang sejati,
kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yag wajib seperti ini.Jika tidak, kita hanya akan dianggap
hidup dalam berzinahan selamanya.

L. Jenis-Jenis Wali
 Wali mujbir : Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang mempunyai hak mewalikan
pernikahan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu
mendapatkan kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan)
 Wali aqrab : Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali
 Wali ab’ad : Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi wali, jikalau wali aqrab
berkenaan tidak ada. Wali ab’ad ini akan digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah seterusnya
mengikut susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
 Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri
tersebut oleh orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu

M. Syarat-Syarat Saksi
o Sekurang-kurangya dua orang
o Islam
10

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


o Berakal
o Telah pubertas
o Laki-laki
o Memahami isi lafal ijab dan qobul
o Dapat mendengar, melihat dan berbicara
o Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu banyak melakukan dosa-dosa kecil)

N. Syarat Ijab
 Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
 Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
 Diucapkan oleh wali atau wakilnya
 Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(nikah kontrak atau pernikahan (ikatan suami
istri) yang sah dalam tempo tertentu seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)
 Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)
Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada calon suami:"Aku nikahkan Anda dengan
Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai".

O. Syarat Qobul
 Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
 Tidak ada perkataan sindiran
 Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
 Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
 Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan)
 Menyebut nama calon istri
 Tidak ditambahkan dengan perkataan lain

Contoh sebutan qabul (akan dilafazkan oleh suami):"Aku terima nikahnya dengan Diana Binti
Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai" ATAU "Aku terima Diana
Binti Daniel sebagai istriku".

Setelah qobul dilafalkan Wali/wakil Wali akan mendapatkan kesaksian dari para hadirin
khususnya dari dua orang saksi pernikahan dengan cara meminta saksi mengatakan lafal "SAH" atau
perkataan lain yang sama maksudnya dengan perkataan itu. Selanjutnya Wali/wakil Wali akan
membaca doa selamat agar pernikahan suami istri itu kekal dan bahagia sepanjang kehidupan mereka
serta doa itu akan diAminkan oleh para hadirin. Bersamaan itu pula, mas kawin/mahar akan
diserahkan kepada pihak istri dan selanjutnya berupa cincin akan dipakaikan kepada jari cincin istri
oleh suami sebagai tanda dimulainya ikatan kekeluargaan atau simbol pertalian kebahagian suami
istri.Aktivitas ini diteruskan dengan suami mencium istri.Aktivitas ini disebut sebagai "Pembatalan
Wudhu".Ini karena sebelum akad nikah dijalankan suami dan isteri itu diminta untuk
berwudhu terlebih dahulu.
11

Pendidikan Agama Islam Kelas XII

Suami istri juga diminta untuk salat sunat nikah sebagai tanda syukur setelah pernikahan
berlangsung. Pernikahan Islam yang memang amat mudah karena ia tidak perlu mengambil masa
yang lama dan memerlukan banyak aset-aset pernikahan disamping mas kawin,hantaran atau majelis
umum (walimatul urus) yang tidak perlu dibebankan atau dibuang.

P. Mahar
Yang dimaksud dengan mahar adalah maskawin, yaitu suatu pemberian dari pihak laki-laki
kepada pihak perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi
laki-laki, walaupun mahar ini bukan termasuk syarat atau rukun nikah. Mahar dalam suatu pernikahan
dianggap penting, karena selain memang diwajibkan oleh agama, ia juga merupakan tanda kesungguhan
dan penghargaan dari pihak laki-laki sebagai calon suami kepada calon istrinya. Allah SWT berfirman:
Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Maskawin itu menjadi milik sepenuhnya si istri. Suami tidak mempunyai hak apapun atas harta
maskawin itu. Sebagaimana juga tidak berhak atas harta benda si Istri. Apabila si istri merelakannya
kepada suami hal itu tidak mengapa. Cara pembayaran maskawin dapat dilakukan dengan dua cara,
pertama, pembayaran dilakukan secara tunai (cash) dan kedua pembayaran dilakukan di hari kemudian
(utang, credit). Dalam kasus mahar yang dibayar di kemudian hari, mahar boleh disebutkan kuantitas dan
kualitasnya dalam akad perkawinan, juga kuantitas dan kualitas boleh tidak disebutkan. Mahar dibagi
dalam 2 macam:
i. Mahar musamma adalah mahar yang bentuk dan jumlahnya ditetapkan dalam sighal akad nikah.
Mahar ini bisa dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan dengan persetujuan kedua belah pihak
ii. Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang diterima keluarga
pihak isteri, karena pada waktu akad nikah jumlah dan bentuk mahar belum
ditetapkan.Pemberian mahar terutama didasarkan kepada nilai dan manfaat yang terkandung di
dalamnya. Karena Islam menyerahkan masalah ini kepada masing-masing sesuai dengan
kemampuan dan adat yang berlaku di dalam masyarakat, dengan syarat tidak berbentuk sesuatu
yang mendatangkan mudharat, membahayakan atau berasal dari usaha yang haram. Banyak
hadits Nabi saw yang menerangkan aneka ragam bentuk mahar yang diberikan pihak laki-laki.
Antara lain:
(‫ت َزَ َّوجْ َولَ ْو بِخَات ٍَم مِ ْن َح ِد ْي ٍد (رواه البخاري‬
“Nikahlah engkau walaupun (maharnya) berupa cincin dari besi.”
( HR. Bukhari)
(‫َت لَهُ َحالَلً (رواه احمد و ابوداود‬ َ ً ‫طى ا ِْم َرأَة‬
َ ‫صدَاقًا مِ ْل َء َيدَ ْي ِه‬
ْ ‫طعَا ًما كَا ن‬ َ ‫لَ ْو ا َ َّن َر ُجالً ا َ ْع‬

”Seandainya seorang laki-laki memberikan makanan sepenuh tangannya saja sebagai mahar
seorang perempuan, maka perempuan itu halal baginya.”(HR. Ahmad dan Abu Daud). Adapun
syarat-syarat mahar ialah
 Benda yang suci, atau pekerjaaan yang bermanfaat
12

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


 Milik suami
 Ada manfaatnya
 Sanggup menyerahkan, mahar tidak sah dengan benda yang sedang dirampasorang dan
tidak sanggup menyerahkannya
 Dapat diketahui sifat dan jumlahnya.

Q. Wakil Wali/ Qadi


Wakil wali/Qadi adalah orang yang dipertanggung jawabkan oleh institusi Masjid atau
jabatan/pusat Islam untuk menerima tuntutan para Wali untuk menikahkan/mengahwinkan bakal istri
dengan bakal suami.Segala urusan pernikahan,penyediaan aset pernikahan seperti mas kawin,barangan
hantaran(hadiah),penyedian tempat pernikahan,jamuan makan kepada para hadirin dan lainnya adalah
tanggungjawab pihak suami istri itu. Qadi hanya perlu memastikan aset-aset itu telah disediakan supaya
urusan pernikahan berjalan lancar.Disamping tanggungjawabnya menikahi suami istri berjalan dengan
sempurna,Qadi perlu menyempurnakan dokumen-dokumen berkaitan pernikahan seperti sertifikat

Pernikahan dan pengesahan suami istri di pihak tertinggi seperti mentri agama dan administratif
negara.Untuk memastikan status resmi suami isteri itu sentiasa sulit dan terpelihara.Qadi selalunya
dilantik dari kalangan orang-orang alim(yang mempunyai pengetahuan dalam agama Islam dengan luas)
seperti Ustaz,Muallim,Mufti,Sheikh ulIslam dan sebagainya.Qadi juga mesti merupakan seorang laki-
laki Islam yang sudah merdeka dan telah pubertas.

R. Mahram
Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan,
persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam. Muslim di Asia Tenggara sering salah dalam
menggunakan istilah mahram ini dengan kata muhrim sebenarnya kata muhrim memiliki arti yang lain.
Dalam bahasa arab, kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang berihram dalam ibadah haji sebelum
bertahallul. Sedangkan kata mahram (mahramun) artinya orang-orang yang merupakan lawan jenis kita,
tetapi haram (tidak boleh) kita nikahi sementara atau selamanya. Mahram terbagi menjadi dua macam
yaitu:
1. Mahram muabbad, adalah golongan mahram yang tidak boleh dinikahi selamanya;
2. Mahram muaqqot, adalah golongan mahram yang tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja dan
jika kondisi ini hilang maka menjadi halal. [1]
 Macam-Macam Mahram Muabbad terbagi menjadi 3 yaitu :
a. Mahram karena keturunan
 Ibu, nenek dan seterusnya ke atas, baik jalur laki-laki maupun wanita
 Anak perempuan (putri), cucu perempuan, dan seterusnya, ke bawah baik dari jalur
laki-laki-laki maupun perempuan
 Saudara perempuan (kakak atau adik), seayah atau seibu
 Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan
seterusnya ke atas baik sekandung

[1]
Tafsir Ibnu Katsir surat An Nisa: 22-23, Tafsir As Sa’di surat An Nisa 22-23, Asy Syarhul Mumti’, 5 /168-210
13

Pendidikan Agama Islam Kelas XII

 Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan
seterusnya ke atas baik sekandung
 Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu
perempuannya dan seterusnya ke bawah, baik dari jalur laki-laki maupun wanita
 Putri saudara laki-laki (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya
dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita

b. Mahram karena pernikahan


 Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas
 Istri anak (menantu), istri cucu dan seterusnya ke bawah
 Ibu mertua, ibunya (nenek) dan seterusnya ke atas
 Anak perempuan istri dari suami lain (anak tiri)
 Cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib (anak
lelaki istri dari suami lain)

c. Mahram karena sepersusuan


 Wanita yang menyusui dan ibunya
 Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan)
 Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan)
 Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menysusui (anak dari saudara
persusuan)
 Ibu dari suami dari wanita yang menyusui
 Saudara perempuan dari suami dari wanita yang menyusui
 Anak perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari saudara
persusuan)
 Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui
 Istri lain dari suami dari wanita yang menyesui

 Mahram Muaqqot
o Kakak atau adik ipar (saudara perempuan dari istri)
o Bibi (ayah atau ibu mertua) dari istri
o Istri yang telah bersuami dan istri orang kafir jika ia masuk Islam
o Wanita yang telah ditalak tiga, maka ia tidak boleh dinikahi oleh suaminya yang dulu
sampai ia menjadi istri dari laki-laki lain
o Wanita musyrik sampai ia masuk Islam
o Wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab atau laki-laki kafi
o Wanita pezina sampai ia bertaubat dan melakukan istibro’ (pembuktian kosongnya
rahim)
o Wanita yang sedang ihrom sampai ia tahallul
o Wanita dijadikan istri kelima sedangkan masih memiliki istri yang keempat [2]
[2] Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik hafizhohullah, 3/76-96, Al Maktabah At Taufiqiyah.
14

Pendidikan Agama Islam Kelas XII

S. Pernikahan Yang Tidak Sah


Layaknya akad-akad yang lain, pernikahan bisa jadi tidak sah (batal dan rusak) bilamana tidak
memenuhi syarat dan rukunnya. Dalam kaitan ini, Syekh Wahbah ibn Mushthafa al-Zuhaili dalam al-
Fiqh al-Islami wa Adillatuhu telah menguraikannya kepada kita semua berdasarkan beberapa pendapat.
Namun, mengingat keterbatasan ruang, yang akan diuraikan di sini hanyalah pernikahan batal menurut
para ulama Syafi‘iyah saja.

Dijelaskan al-Zuhaili, yang dimaksud pernikahan batal ialah pernikahan yang tidak memenuhi
rukun. Sedangkan pernikahan rusak ialah pernikahan yang tidak memenuhi syarat. Namun, baik yang
batal maupun yang rusak, oleh para ulama Syafi’iyah, hukumnya tidak dibedakan. Karenanya, tak
mengherankan jika jumlah bentuk pernikahan batal ini cukup banyak dan berbeda jumlahnya dengan
pendapat mazhab lain.

Selain itu, menurut ulama Syafi’iyah, dalam pernikahan yang batal ini tidak ada konsekuensi
apa pun layaknya pernikahan yang sah, seperti mahar, nafkah, mahram pernikahan, nasab, atau iddah
(lihat: al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, [Darul Fikr: Damaskus] jilid 9, hal. 6613).
Ada beberapa bentuk pernikahan batal menurut mazhab ini, namun yang paling utama, ungkap al-Zuhaili,
ada sembilan.

Pertama, pernikahan syighar. Sebagaimana yang pernah disampaikan, pernikahan syighar adalah
pernikahan di mana seorang laki-laki menikahkan putri atau saudari perempuannya dengan laki-laki lain
dengan mahar, dirinya dinikahkan dengan putri laki-laki lain tersebut. Contohnya ungkapan akadnya,
“Aku nikahkan engkau dengan putriku dengan mahar engkau menikahkanku dengan putrimu.” Akad ini
tidak sah karena ada gabungan dua akad dan menjadikan akad masing-masing sebagai maharnya. Artinya,
jika keduanya tidak menggabungkan dua akad dan tidak menjadikan akad masing-masing sebagai
maharnya, maka pernikahannya sah. Ketidaksahan pernikahan ini berdasarkan hadis Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” Larangan ini berimplikasi pada
rusaknya perkara yang dilarang.

Kedua, pernikahan mut‘ah. Pernikahan mut‘ah adalah pernikahan yang dibatasi oleh waktu
tertentu, baik sebentar maupun lama. Contohnya ungkapan laki-laki kepada istri yang ingin dinikahinya,
“Aku menikahimu selama satu bulan,” atau, “Aku menikahimu hingga selesai kuliah,” atau “Aku
menikahimu sampai aku mencampurimu, hingga engkau halal bagi suami yang telah menalakmu dengan
talak tiga.” Mestinya, akad pernikahan dilakukan secara mutlak tanpa ikatan waktu dan ditujukan untuk
selama-lamanya atau hingga terjadi perceraian yang tak dipersyaratkan sejak akad.

Ketiga, pernikahan orang ihram. Tidak sah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang sedang
ihram, baik uhram haji, ihram umrah, atau ihram keduanya, baik dengan akad yang sah maupun dengan
akad yang rusak, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Orang yang ihram tidak
boleh menikah dan tak boleh dinikahkan.” Namun, selain menikah, orang yang sedang ihram boleh
15

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


melakukan rujuk atau menjadi saksi pernikahan. Pasalnya, rujuk adalah melanjutkan perkawinan, bukan
mengawali perkawinan.

Keempat, pernikahan dengan beberapa akad, dimana dua orang wali menikahkan satu orang
perempuan dengan dua orang laki-laki. Tidak diketahui secara pasti siapa yang akadnya lebih dahulu.
Jika salah seorang laki-laki itu menggaulinya, maka wajib baginya mahar mitsli. Jika keduanya
menggaulinya, maka si perempuan berhak mahar mitsil dari keduanya. Pertanyaannya, bagaimana jika
diketahui akad yang dilakukan lebih dahulu, maka akad itu yang sah.

Kelima, pernikahan perempuan yang beriddah dan sedang istibra dari mantan suaminya
walaupun dari hasil senggama syubhat. Jika laki-laki yang menikahi perempuan beriddah itu
menggaulinya, maka ia harus dijatuhi hukuman (had) kecuali jika ia tidak mengetahui status keharaman
menikahi dengan perempuan beriddah dan sedang istibra. Orang yang tidak tahu harus dimaafkan,
terlebih jika ia awal-awal masuk Islam atau jauh dari para ulama.

Keenam, pernikahan dengan perempuan yang ragu akan kehamilannya sebelum habis masa
iddah. Sehingga, haram menikahi perempuan yang seperti itu hingga keraguannya hilang, meskipun masa
iddah dengan 3 kali quru (masa suci) telah habis. Keharaman ini lahir dari keraguan tadi. Demikian pula
siapa pun yang menikahi perempuan yang diduga masih masa iddah atau sedang istibra dari kehamilan,
atau sedang ihram haji dan umrah, atau karena salah satu mahram, namun ternyata sebaliknya, maka
nikahnya batil karena ragu akan kehalalannya.

Ketujuh, pernikahan seorang Muslim dengan perempuan non-Muslim selain Kitabiyyah (ahli
kitab) asli, seperti perempuan penyembah berhala, penyembah api (majusi), penyembah matahari, atau
perempuan murtad, atau perempuan kitabiyyah tidak murni seperti keturunan antara kitabi dan majusi
atau sebaliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah, Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman, (QS al-Baqarah [2]: 221). Maksud perempuan Kitabiyyah adalah perempuan
Yahudi dan Nasrani. Perempuan Yahudi boleh dinikah dengan catatan asal-usul agama Yahudi-nya tidak
termasuk ke dalam agama Yahudi setelah di-mansukh. Sementara perempuan Nasrani boleh dinikah jika
diketahui asal-usul agama Nasrani-nya masuk ke dalam agama Nasrani sebelum di-mansukh, walaupun
setelah terjadi perubahan selama mereka berusaha menjauhi ajaran-ajaran yang diubah tersebut. Dasar
kebolehan menikahi keduanya adalah firman Allah, (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, (QS al-Maidah [5]: 5). Maksud
kitab yang diberikan kepada mereka adalah Taurat dan Injil, namun tidak termasuk kitab-kitab lain,
seperti suhuf Nabi Syits, suhuf Nabi Idris, atau suhuf Nabi Ibrahim a.s.

Kedelapan, pernikahan dengan perempuan yang pindah dari satu agama kepada agama lain.
Singkatnya, ia tidak boleh dinikah. Singkatnya, tidak boleh diterima agamanya kecuali agama Islam.

Kesembilan, pernikahan seorang Muslimah dengan laki-laki non-Muslim atau pernikahan


perempuan yang murtad dengan laki-laki Muslim. Atas dasar ijmak ulama, tidak boleh seorang Muslimah
16

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


menikah dengan laki-laki non-Muslim, sebagaimana dalam Al-Quran, Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin), (QS al-Baqarah [2]: 221). Bagaimana, jika salah
seorang dari suami atau istri ada yang murtad sebelum bergaul suami istri, maka batallah pernikahannya.
Adapun setelah bergaul suami-istri, maka harus ditunggu. Jika mereka dipersatukan kembali oleh Islam
selama masa iddah, maka langgenglah pernikahnnya. Namun jika tidak, pernikahannya terputus.

Selain pernikahan yang batal, ada lagi pernikahan yang makruh, yaitu pernikahan atas
perempuan yang telah dilamar orang lain dan pernikahan muhallil dengan niat menghalalkan perempuan
yang telah ditalak tiga tanpa ada syarat harus talak sewaktu akad. Namun, jika pernikahannya dengan
syarat, seperti syarat setelah istrinya dicampuri harus ditalak, maka pernikahannya menjadi
batal. Demikian pernikahan-pernikahan yang batal, rusak, dan makruh dalam pandangan Syafi‘iyyah
sebagaimana dikutip oleh Syekh al-Zuhaili.

T. Hak dan Kewajiban Suami Istri


Pernikahan yang agung, pernikahan yang baik, pernikahan yang sesuai perintah Allah. Kedua
belah pihak dituntut harus sama-sama berlaku dan berbuat baik kepada pasangannya. Baik suami maupun
istri. Bukan malah sepihak dan bukan satu saja, tapi keduadua nya harus sama-sama berlaku baik kepada
pasangannya masing-masing. Kewajiban-kewajiban suami kepada istri dan hak yang harus diterima bagi
istri itu setidaknya harus:
 Suami itu harus memberikan Nafkah; nafkah lahir seperti makan dan minum, belanja perabotan
rumah tangga, biaya sekolah, biaya mondok, dan belajar anak-anaknya. Di samping itu juga,
suami harus memberikan nafkah batin, baik hubungan seksual yang baik dan layak, maupun
hubungan psikologis dalam rumah tangga itu yang juga baik dan layak.
 Suami harus juga memberikan mu’nah. Yang dimaksud dengan mu’nah itu adalah segala sesuatu
di luar kewajiban-kewajiban nafkah tersebut, atau bahasa lain adalah segala biaya tak terduga,
seperti biaya-biaya pengobatan jika sakit, biaya yang dengan perhiasan istri, biaya untuk istri
bersolek dan lain-lain.
 Suami juga wajib memberikan biaya kiswah, dalam hal ini suami harus memenuhi biaya pakaian
Istri (secukupnya dan seperlunya).

Kewajiban-kewajiban Istri yang harus dilakukan, dan hak yang harus diterima oleh suami adalah:
 Isteri wajib taat kepada suaminya terhadap segala apa saja perintah suami, selagi dalam hal yang
dihalalkan menurut perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
 Istri tidak boleh berpuasa kecuali atas izin suaminya.
 Istri tidak boleh keluar rumah, kecuali atas izin dan ridla suaminya.
 Seorang istri harus bersungguh-sungguh mencari ridla suaminya, karena ridla Allah berada
didalam ridla suaminya dan marahnya Allah berada di dalam marah suaminya.
17

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


 Sekuat mungkin istri wajib berusaha menjauhi yang sekiranya menyebabkan suaminya marah.
[3] [4]

U. Talak
Perceraian atau dalam islam dikenal dengan talak yang dapat diartikan sebagai terlepasnya
ikatan sebuah perkawinan atau juga bisa diartikan terputusnya hubungan perkawinan antar suami dan istri
dalam jangka waktu tertentu atau untuk selama-lamanya. Mengapa dikatakan dalam jangka waktu
tertentu? Karena dalam islam diperbolehkan adanya rujuk, dengan beberapa catatan seperti firman Allah
SWT berikut ini : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al- Baqarah ayat 229)
Allah juga berfirman :

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah
mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah
kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. At- Talaq ayat 2)

Islam telah mengajarkan bahwasannya talak atau cerai tidak bisa dilakukan kapan saja. Al-
Qur’an dan As- Sunnah telah mengajarkan bahwa talak hendaknya dilakukan secara pelan-pelan dan
memilih waktu yang sesuai. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam talak atau cerai diantaranya :

[3]
Disarikan dari Kitab Dhaul Misbah fi Bayani Ahkam an Nikah, karya Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari dan
Kitab Madzahib al Arba’ah karya Imam Abdurrahman Al Juzairy
[4]
Santri Tebuireng 1989-1999, Ketua Umum IKAPETE Jawa Timur 2006-2009, saat ini sebagai Pengasuh
Pesantren Roudlotut Tholibin Kombangan Bangkalan Madura
18

Pendidikan Agama Islam Kelas XII

a. Talak atau cerai tidak boleh dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya pada saat istrinya
sedang dalam masa haid, nifas, atau saat istrinya dalam keadaan suci akan tetapi ia
menggaulinya. Jika suami melakukan hal tersebut maka dianggap telah
melakukan talak yang bid’ah dan diharamkan.
Rasulullah Shalallahu Alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan
tanpa dilandasi perintah kami maka itu tertolak (tidak diterima).”
b. Hendaknya ketika mengucapkan talak, suami dalam keadaan sadar, karena apabila suami
mentalak istrinya dalam keadaan tidak sadar seperti ketika sedang marah, sehingga karena
amarah tersebut dapat menutupi kesadarannya hingga ia bicaa yang tidak diinginkan, maka
talak yang ia lakukan adalah tidak sah.
c. Seorang suami yang mentalak atau menceraikan istrinya bermaksud untuk benar-benar
mencerai atau berpisah dengan istrinya tersebut, jangan sampai talak yang diucapkan hanya
sekedar menakut-nakuti atau menjadikan talak itu sebagai sumpah. Hal tersebut tidak
dibenarkan dalam islam. Ibnu Abbas pernah berkata: “Sesungguhnya talak itu harena
diperlukan.”

V. Hukum Talak
Pada dasarnya perceraian atau talak adalah sesuatu hal yang harus dihindari dalam sebuah
perkawinan. Mengapa? Karena selain merupakan perbuatan yang amat disenangi oleh iblis, talak juga
nantinya dapat berakibat buruk bagi kehidupan, baik itu bagi pasanagan suami istri yang memutuskan
untuk bercerai, bagi keturunan atau anak-anak mereka, juga bagi anggota keluarga lainnya.

Jadi sebelum memutuskan untuk bercerai, ada baiknya jika pasangan suami istri lebih
memikirkan bagaimana masa depan anak-anak mereka nantinya, jangan sampai keinginan iblis untuk
menjadikan mereka sebagai pendukungnya menjadi terkabul. Adapun hukum dari talak atau cerai ada
bermacam-macam, yaitu :
1. Wajib ; Perceraian atau talak dikatakan wajib apabila :
 Antara suami dan istri tidak dapat didamaikan lagi
 Tidak terjadi kata sepakat oleh dua orang wakil baik dari pihak suami maupun istri untuk
perdamaian rumah tangga yang hendak bercerai
 Adanya pendapat dari pihak pengadilan yang menyatakan bahwa perceraian/ talak adalah
jalan yang terbaik.
 Dan jika dalam keadaan-keadaan tersebut keduanya tidak diceraikan, maka suami akan
berdosa.
2. Haram ; Suatu perceraian/ talak akan menjadi haram hukumnya apabila :
 Seorang suami menceraikan istrinya ketika si istri sedang dalam masa haid atau nifas
 Seorang suami yang menceraikan istri ketika si istri dalam keadaan suci yang telah
disetubuhi
 Seorang suami yang dalam keadaan sakit lalu ia menceraikan istrinya dengan tujuan agar
sang istri tidak menuntut harta
19

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


 Seorang suami yang menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus, atau juga bisa
dengan mengucapkan talak sat akan tetapi pengucapannya dilakukan secara berulang-
ulang sehingga mencapai tiga kali atau bahkan lebih.
3. Sunnah ; Perceraian merupakan hal yang disunnahkan, apabila :
 Suami tidak lagi mampu menafkahi istrinya
 Sang istri tidak bisa menjaga martabat dan kehormatan dirinya
4. Makruh ; Perceraian/ talak bisa dianggap sebagai hal yang makruh apabila seorang suami
menjatuhkan talak kepada istrinya yang baik, memiliki akhlak yang mulia, serta memiliki
pengetahuan agama yang baik.
5. Mubah ; Sedangkan perceraian atau talak bisa dikatakan mubah hukumnya apabila suami
memiliki keinginan/ nafsu yang lemah atau juga bisa dikarenakan sang istri belum datang haid
atau telah habis masa haidnya
 Rukun Perceraian/ Talak
Bagi Suami ; Suami yang hendak menceraikan istrinya haruslah :
i. Berakal sehat
ii. Baligh
iii. Bercerai atas kemauan sendiri atau tanpa adanya paksaan dari pihak lain

Bagi Istri ; Seorang istri yang bisa diceraikan haruslah :


i. Memiliki akad nikah yang sah dengan suami
ii. Suami belum pernah menceraikannya dengan mengucapkan talak tiga

Lafadz Talak ; Talak dianggap sah apabila dalam lafadznya :


i. Terdapat kejelasan ucapan yang menyatakan perceraian
ii. Disengaja atau tanpa adanya paksaan dari pihak manapun atas pengucapan
talak tersebut

W. Rujuk
Rujuk artinya kembali. Maksudnya ialah kembalinya suami istri pada ikatan perkawinan setelah
terjadi talak raj'i dan masih dalam masa iddah. Dasar hukum rujuk adalah QS. Al-Baqoroh: 228
20

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


yang artinya sebagai berikut: "Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki rujuk".
 Hukum Rujuk
i. Mubah, adalah asal hukum rujuk
ii. Haram, apabila si istri dirugikan serta lebih menderita dibanding sebelum rujuk
iii. Makruh, bila diketahui meneruskan perceraian lebih bermanfaat
iv. Sunat, bila diketahui rujuk lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian
v. Wajib, khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu

 Rukun Rujuk
i. Istri, syaratnya : pernah digauli, talaknya talak raj'i dan masih dalam masa iddah
ii. Suami, syaratnya : Islam, berakal sehat dan tidak terpaksa
iii. Sighat (lafal rujuk)
iv. Saksi, yaitu 2 orang laki-laki yang adil.

X. Pernikahan Menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia No. 1 Tahun 1974


1. Syarat-Syarat Perkawinan
- Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
- Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
- Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal
ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
- Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
- Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal
ini.
- Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
- Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
21

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


- Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
pihak wanita.
22

Pendidikan Agama Islam Kelas XII

Jika lelaki boleh beristri lebih dari


satu, mengapa wanita tidak boleh
bersuami lebih dari satu (poliandri)?

SUARA HATI WANITA


1. Ketentuan Dari Allah
Aturan bahwa wanita tidak boleh memiliki beberapa suami dalam satu waktu adalah ketentuan
Allah Ta’ala. Tidak ada pilihan lain bagi seorang hamba yang beriman kepada Allah kecuali menaati dan
menerima dengan sepenuh hati setiap ketentuan-Nya. Karena orang yang beriman kepada Allah-lah yang
senantiasa taat dan tunduk kepada hukum agama. Allah berfirman.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Kaidah ini meliputi seluruh
ajaran Islam, tanpa terkecuali. Sama saja, baik hal-hal ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), baik yang
berupa hubungan terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia. Allah Ta’ala berfirman,
23

Pendidikan Agama Islam Kelas XII

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An Nahl: 90)

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa setiap keadilan, kebaikan, silaturahim pasti diperintahkan oleh
syariat. Setiap kekejian dan kemungkaran terhadap Allah, setiap gangguan terhadap manusia baik berupa
gangguan terhadap jiwa, harta, kehormatan, pasti dilarang oleh syariat. Allah juga senantiasa
mengingatkan hamba-Nya tentang kebaikan perintah-perintah syariat, manfaatnya dan memerintahkan
menjalankannya. Allah juga senantiasa mengingatkan tentang keburukan hal-hal dilarang agama,
kejelekannya, bahayanya dan melarang mereka terhadapnya” (Qawaid Wal Ushul Al Jami’ah, hal.27)

Adapun dalil tentang terlarangnya poliandri, diantaranya firman Allah Ta’ala:

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu


yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu
istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan (diharamkan juga kamu mengawini)
wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu” (QS. An Nisaa: 23-24)

2. Lelaki Sebagai Pemimpin Keluarga


Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam juga bersabda: “Setiap kalian adalah orang yang
bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang
24

Pendidikan Agama Islam Kelas XII


yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab
terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab
terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya” (HR. Bukhari 893,
Muslim 1829). Oleh karena itu, seorang istri wajib taat kepada suaminya selama bukan dalam perkara
maksiat.

3. Cobaan Terbesar Lelaki Adalah Wanita


Cobaan terbesar dan terdahsyat serta paling menjatuhkan seorang lelaki pada titik terendahnya
adalah wanita. Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam sering kali mewanti-wanti hal ini. Beliau bersabda:
“Tidaklah aku tinggalkan cobaan yang paling berbahaya bagi kaum lelaki selain wanita” (HR.
Bukhari 5096, Muslim 2740)

Beliau Shallallahu’alahi Wasallam juga bersabda:


“Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah menyerahkannya kepada kalian
untuk diurusi kemudian Allah ingin melihat bagaimana sikap kalian terhadapnya. Berhati-hatilah dari
fitnah dunia dan waspadalah terhadap wanita. Karena cobaan pertama yang melanda Bani Israil adalah
wanita” (HR. Muslim 2742)
Tentang godaan setan, Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya tipu-daya setan itu lemah” (QS. An Nisaa: 76)

Namun tentang godaan wanita, Allah Ta’ala berfirman:


“Sesungguhnya godaan wanita itu sangat dahsyat” (QS. Yusuf: 28)
Oleh karena itulah Allah Al Hakim, Yang Maha Bijaksana, mensyariatkan poligami (baca: poligini) bagi
laki-laki sebagai salah satu jalan untuk meringankan cobaan dari godaan wanita. Namun sebaliknya, tidak
kita dapati dalil yang menunjukkan bahwa cobaan terbesar wanita adalah godaan pria. Ini adalah salah
satu hikmah mengapa poliandri tidak disyariatkan
25

Pendidikan Agama Islam Kelas XII

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pernikahan adalah akad nikah (Ijab Qobul) antara laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrimnya sehingga menimbulkan kewajiban dan hak di antara keduanya melalui kata-
kata secara lisan, sesuai dengan peraturan-peraturan yang diwajibkan secara Islam. Pernikahan
merupakan sunnah Rasulullah Saw.

Maka pernikahan dianjurnya kepada ummad Rasulullah, tetapi pernikahan yang mengikuti aturan yang
dianjurkan oleh ajaran agama Islam. Adapun cangkupan pernikahan yang dianjurkan dalam Islam yaitu
adanya Rukun Pernikahan, Hukum Pernikahan, Syarat sebuah Pernikahan, Perminangan, dan dalam pemilihan
calon suami/istri. Islam sangat membenci sebuah perceraian, tetapi dalam pernikahan itu sendiri terkadang
ada hal-hal yang menyebabkan kehancuran dalam sebuah rumah tangga. Islam secara terperinci menjelaskan
mengenai perceraian yang berdasarkan hukumnya. Dan dalam Islam pun dijelaskan mengenai fasakh, khuluk,
rujuk, dan masa iddah bagi kaum perempuan.

Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun1974, pasal 1 merumuskan arti perkawinan sebagai ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Akibat yang ditimbulkan dari perkawinan usia
muda ini adalah pelaku yang melakukan perkawinan usia muda rentan dengan perceraian, sering mengalami
pertengkaran akibat ketidakharmonisan dalam rumah tangga, dan kesulitan dalam pemenuhan segala
kebutuhan dalam rumah tangga

B. Saran
Berdasarkan apa yang telah kami jelaskan dalam makalah mengenai pernikahan ini pasti ada kekurangan
maupun kelebihannya. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menambah
wawasan pembaca mengenai pernikahan berdasarkan Islam. Adapun kritik maupun saran dapat disampaikan
ke penulis agar dapat memperbaiki makalah ini baik dari segi penulisan, materi, maupun tata bahasa yang
disampaikan. Penulis mengharapkan pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah yang telah dibuat.
26

Pendidikan Agama Islam Kelas XII

DAFTAR PUSTAKA

https://www.kangmasroer.com/2011/12/kelas-xii-bab-5-pernikahan-dalam-islam.html
https://almanhaj.or.id/3232-tujuan-pernikahan-dalam-islam.html
https://islam.nu.or.id/post/read/109139/9-bentuk-pernikahan-batal-alias-tidak-sah
Pengertian dan Macam Mahram di al-Badar.net
Siapakah Mahram Anda? di Muslim.or.id
Definis Mahram dan Macamnya di Web.archive.org
https://www.wordproject.org/bibles/id/03/18.htm#0
https://id.wikipedia.org/wiki/Mahram
https://tebuireng.online/memahami-hak-dan-kewajiban-suami-istri/
https://muslim.or.id/9115-mengapa-perempuan-tidak-lebih-dari-satu-suami.html
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam
http://aldy-firdani.blogspot.com/2014/01/makalah-pernikahan-dalam-agama-islam.html
https://www.kompasiana.com/ofie.thea/551aec39a333118d23b65aab/lamaran-atau-khitbah-dalam-pandangan-
islam#
https://www.bacaanmadani.com/2017/11/pengertian-ijab-kabul-syarat-ijab-kabul.html
https://www.kangmasroer.com/2011/12/kelas-xii-bab-5-pernikahan-dalam-islam.html
https://almanhaj.or.id/3559-memilih-isteri-dan-berbagai-kriterianya-1.html
Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahullah Al-Mughni 6/555.
Buku Pendidikan Agama Islam ciptaan SLA JL. III oleh Drs. H. A. Mudzakir dan H. Wardan Amir BA.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[3]
Disarikan dari Kitab Dhaul Misbah fi Bayani Ahkam an Nikah, karya Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari dan
Kitab Madzahib al Arba’ah karya Imam Abdurrahman Al Juzairy
[4]
Santri Tebuireng 1989-1999, Ketua Umum IKAPETE Jawa Timur 2006-2009, saat ini sebagai Pengasuh
Pesantren Roudlotut Tholibin Kombangan Bangkalan Madura
[1]
Tafsir Ibnu Katsir surat An Nisa: 22-23, Tafsir As Sa’di surat An Nisa 22-23, Asy Syarhul Mumti’, 5 /168-210

Anda mungkin juga menyukai