Anda di halaman 1dari 8

Tugas Resume Pendidikan Agama Islam

“ Pernikahan dalam Islam ”

Dosen Pengampu : Feri Irawan M.Pd.I


OLEH :
Siti Khaira Sabila
19053062
Pendidikan Ekonomi

Universitas Negeri Padang


2020
Pernikahan dalam Islam

Pernikaan adalah salah satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan masyarakatagama
islam dan masyarakat.  Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan  untuk membangun
rumah tangga dan melanjutkan keturunan. Pernikahan juga dipandang  sebagai jalan untuk
meningkatkan ukhuwah islamiyah dan memperluas serta memperkuat tali silaturahmi
diantara manusia.

A. Pengertian

Secara etimologi bahasa Indonesia pernikahan berasal  dari kata nikah, yang kemudian
diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Pernikahan dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi
suami istri. Pernikahan dalam islam juga berkaitan dengan  pengertian mahram (baca muhrim
dalam islam) dan wanita yang haram dinikahi.

1.  Pengertian menurut etimologi

Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan disebut denganberasal dari kata an-
nikh dan azziwaj yang memiliki arti melalui, menginjak, berjalan di atas,  menaiki, dan
bersenggema atau bersetubuh. Di sisi lain nikah juga berasal dari istilah Adh-dhammu, yang
memiliki arti merangkum, menyatukan dan mengumpulkan serta sikap yang ramah.  adapun
pernikahan yang berasalh dari kata aljam’u yang berarti menghimpun atau mengumpulkan.
Pernikahan dalam istilah ilmu fiqih disebut ( ‫) زواج‬, ( ‫ ) نكاح‬keduanya berasal dari bahasa arab.
Nikah dalam bahasa arab mempunyai dua arti yaitu ( ‫ ) الوطء والضم‬baik arti secara hakiki ( ‫الضم‬
) yakni menindih atau berhimpit serta arti dalam kiasan ( ‫ ) الوطء‬yakni perjanjian atau
bersetubuh.

2. Pengertian Menurut Istilah

Adapun makna tentang pernikahan secara istilah masing-masing ulama fikih memiliki
pendapatnya sendiri antara lain :

Ulama Hanafiyah mengartikan pernikahan sebagai suatu akad yang membuat pernikahan
menjadikan  seorang laki-laki dapat memiliki dan menggunakan perempuan termasuk seluruh
anggota badannya untuk mendapatkan sebuah kepuasan atau kenikmatan.Ulama Syafi’iyah
menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal ‫ ُح حا َككنِن‬, atau
‫ك وا ُح ج‬
َ ‫ كَ ز‬, yang memiliki arti pernikahan menyebabkan pasangan mendapatkan
kesenanagn.Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad atau
perjanjian yang dilakukan untuk mendapatkan kepuasan tanpa adanya harga yang dibayar.

B. Hukum Pernikahan

Dalam agama islam pernikahan memiliki hukum yang disesuaikan dengan kondisi atau
situasi orang yang akan menikah. Berikut hukum pernikahan menurut islam

 Wajib, jika orang tersebut memiliki kemampuan untuk meinkah dan jika tidak
menikah ia bisa tergelincir perbuatan zina (baca zina dalam islam)
 Sunnah, berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah namun
jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir perbuatan zina
 Makruh, jika ia memiliki kemampuan untuk menikah dan mampu menahan diri dari
zina tapi ia tidak memiliki keinginan yang kuat untuk menikah. Ditakutkan akan
menimbulkan mudarat salah satunya akan menelantarkan istri dan anaknya
 Mubah, jika seseorang hanya menikah meskipun ia memiliki kemampuan untuk
menikah dan mampu menghindarkan diri dari zina, ia hanya menikah untuk
kesenangan semata
 Haram, jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan dikhawatirkan
jika menikah ia akan menelantarkan istrinya atau tidak dapat memenuhi kewajiban
suami terhadap istri dan sebaliknya istri tidak dapat memenuhi kewajiban istri
terhadap suaminya. Pernikahan juga haram hukumnya apabila menikahi mahram
atau pernikahan sedarah.

C. Tujuan Penikahan

1. Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi

Islam sangat menganjurkan bagi mereka yang telah mampu untuk menikah, karena nikah
merupakan fitrah kemanusiaan serta naluri kemanusiaan. Jika naluri tersebut tidak tidak
dipenuhi melalui jalan yang benar yaitu melalui pernikahan atau perkawinan, maka bisa
menjerumuskan seseorang ke jalan syaitan yaitu mereka dapat berbuat hal-hal yang
diharaman Allah seperti berzina, kumpul kebo, dan lain sebagainya.

2. Sebagai Benteng yang Kokoh bagi Akhlaq Manusia

Dalam sebuah hadist shahih yang telah diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim,
Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud, dan Baihaqi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda yang artinya:

“Wahai para pemuda ! Barang siapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka
nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji
(kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum),
karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”

Dari hadist di atas bisa disimpulkan bahwa pernikahan merupakan hal yang disyariatkan
dalam islam, dimana dengan menikah akan dapat menghindarkan seseorang dari perbuatan
keji dan kotor yang dapat menurunkan atau merendahkan martabatnya. Ini berarti bahwa
pernikahan merupakan benteng yang kokoh bagi martabat seseorang

Syarat Pernikahan Dalam Islam adalah suatu jalan untuk membentuk sebuah keluarga
yang merupakan cara paling efektif dalam upaya mencegah kerusakan pribadi para pemuda
dan pemudi, serta menghindari kekacauan dalam masyarakat.

3. Menegakkan Rumah Tangga Islami

Tujuan suci dari suatu pernikahan adalah agar syariat islam dalam kehidupan rumah
tangga selalu ditegakkan oleh pasangan suami istri. Untuk itu, sangatlah penting bagi kita
untuk memilih calon yang tepat sebelum menikah, agar nantinya bisa terbina Keluarga
Sakinah, Mawaddah, Warahmah.Islam juga membenarkan tentang adanya thalaq (perceraian)
apabila suami dan istri tidak lagi bisa menegakkan syariat-syariat islam dalam rumah
tangganya. Namun, islam juga membenarkan adanya rujuk (kembali menikah) apabila
keduanya sanggup untuk kembali melaksanakan syariat-syariat islam dalam rumah
tangganya.

4. Meningkatkan Ibadah kepada Allah

Rumah tangga merupakan salah satu wadah untuk beribadah serta beramal sholeh
disamping kegiatan ibadah dan amal sholeh lainnya, dimana menurut konsep ajaran islam,
hidup adalah untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah

5. Memperoleh Keturunan

Dalam Q.S. An-Nahl ayat 72, Allah telah berfirman yang artinya:

“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik.
Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”

Dari penjabaran Ayat di atas dapat disimpulkan bahwa menurut ajaran islam tujuan
dilaksanakannya suatu pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan yang sholeh dan
sholehah agar nantinya dapat terbentuk generasi yang berkualitas. Agar syariat islam dapat
ditegakkan dalam suatu rumah tangga, maka diperlukan pasangan-pasangan yang ideal

D. Hikmah Pernikahan Islam


 Terpenuhinya Kebutuhan Biologis
 Rezeki Makin Melimpah
 Naluri Kasih Sayang
 Memperoleh Pertolongan Allah Swt
 Membentuk Keluarga Yang Mulia
 Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab
 Mendapat Pahala Berlipat
 Bermesraan Tidak Lagi Berdosa
 Menggenapkan Setengah Agama Islam
 Menundukkan Pandangan

E. Bentuk Pemutusan hubungan dalam pernikahan


1.Talak
Talak dalam islam halal tapi dibenci. Talak tidak dibenci Allah Swt. Jika
apabila si istri durhaka terhadap suaminya dan suaminya telah berupaya. Apabila si
istri ditalak suami, maka si istri wajib manunggu, tidak boleh menikah lagi selama 3
kali suci (3 bulan) atau si istri sudah monopause. Saat menunggu, si suami juga
berkewajiban menafkahi istrinya. Begitu pula jika pada saat menunggu, si suami atau
si istri meninggal, maka masih terdapat harta waris. Khulu’ talak tebus, perceraian
yang inisiatifnya dari istri dengan kesediaan istri membayar sejumlah uang tertentu.
Masa iddahnya 4 bulan. Karena islam memandang pernikahanadalah untuk beribadah
kepada Allah, saling membahagiakan. Talak boleh terjadi rujuk (Talak Raj’i). Khulu’
tidak boleh, tapi harus kawin lagi (ba’in) Talak terbagi menjadi 3, yaitu:
 Talak 1 : Rujuk
 Talak 2 : Rujuk
 Talak 3 : tidak boleh rujuk(Ba’in kubro / tidak boleh nikah lagi)
Dzihar (penyamaan istri dengan ibunya)
Kalau ada yang melakukanya, maka akan terjadi putus pernikahan.
I’laa yaitu sumpah suami kepada istri untuk tidak menggaulinya dalam waktu tertentu
(Ba’in Kubro). Penyelesaiannya dengan membayar Kifarat, misalnya memberi makan
anak yatim. Tapi harus menikah kembali.
Li’an yaitu sumpah seorang suami / istri menuduh berzinah; apabila tuduhannya tifak
ada saksi dan bukti.
Shiqoq yaitu perselisihan dengan melalu tahapan.
Fa’sakh yaitu keadaan tertentu yang menyebabkan fungsi rumah tangga tidak berjalan
baik, misalnya karena sakit.
Salah seorang keluar dari Islam
Menikahi kakak atau adik dari si Istri

2. Iddah
Secara bahasa berasal dari kata “adda” yang artinya menghitung. Maksudnya adalah
masa menunggu atau menanti yang dilakukan wanita yang baru diceraikan oleh
suaminya, dimana ia tidak boleh menikah atau kawin dengan orang lain sebelum
habis waktu menunggu tersebut. Hal ini sesuai dengan tuntunan Allah Swt. dalam
firman-Nya, ”Wanita – wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru’ (suci haidh).” (Q.S. Al – Baqarah: 228)
1. Hikmah Iddah
 Menjaga nasab dan keturunan, sehingga keteraturan kehiduan manusia
 menjadi terpelihara.
 Penegasan apakah wanita yang dicerai itu hamil atau tidak.
 Memberi kesempatan dan peluang kepada suami dan istri yang telah bercerai
untuk rujuk kembali dan memperbaiki hubungan.
 Kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya dengan menyadari bahwa selama
masa menunggu itu orang akan sadar betapa nikmat hidup beristri /
bersuamidan betapa malangnya hidup sendirian.
 Menghormati almarhum suami yang meninggal, bila iddahnya di tinggal oleh
suami.

2. Macam – Macam Iddah


a. Iddah wanita yang ditalak, sedang dia dalam keadaan hamil, maka waktunya
adalah sampai dia melahirkan sesuai firman Allah Swt.
“Dan perempuan – perempuan hamil, masa iddah mereka ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.” (Q.S. Ath – Thalaq: 4)
b. Iddah wanita yang ditalak sedang dia tidak hamil, waktunya adalah 3 kali haidh
atau suci. Allah berfirman dalam surat Al – Baqarah [2] ayat 228 yang artinya,
“Wanita – wanita yang ditalak hedaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”
c. Iddah wanita yang ditinggal oleh suaminya sedang dia tidak dalam keadaan
hamil masanya adalah 4 bulan 10 hari. Panduan ini terdapat dalam firman Allah,
“Orang – orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri – istri
(hendaklah para istri itu) menagguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah Maha
Mengetahui apa yang kmu perbuat.” (Q.S. Al – Baqarah: 234)
d. Iddah wanita yang dtimggal mati oleh suaminya sedangkan dia dalam keadaan
hamil. Tentang hal ini terdapat dua pendapat, yaitu :
Pertama, para sahabat dan ulama yang mengikuti pendapat Abdullahm bin Abbas r.a.,
mereka berpendapat bahwa masa iddahnya adalah masa yang terpanjang antara
menunggu sampai melahirkan atau ketentuan 4 bulan 10 hari.
Kedua, para sahabat dan ulama yang mengikuti pendapat Abdullah bin Mas’ud yang
menyatakan bahwa masa iddahnya adalah 4 bulan 10 hari.
e. Iddah Wanita Mustahadhah
Bagi wanita mustahadhah (penderitaan keputihan), maka masa iddahnya berdasarkan
pengalamannya haidhnya, yaitu memerhatikan masa haidhya dan berapa lama masa
sucinya. Jikalau terasa sudah melewati 3 kali haidh yang biasa dia alami, maka berarti
iddahnya sudah habis. Sedangkan wanita mustahadhah yang tidak mengalami haidh
lagi maka masa iddahnya adalah 3 bulan.
f. Iddah Wanita yang Belum Sempat Disetubuhi
Bagi wanita yang diceraikan oleh suaminya, dan belum sempat disetubuhi (jima’),
maka baginya tidak ada masa iddah walau sehari pun. Hal ini sesuai firman Allah
Swt. dalam surat Al – Ahzab [33] ayat 40, ”Hai orang – orang yang beriman, apabila
kamu menikahi perempuan – perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali – kali tidak wajib atas mereka
iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah
dan lepaskanlah meeka itu dengan cara yang sebaik – baiknya.”

3.Rujuk
Secara bahasa berarti kembali atau menahan. Secara istilah adalah keinginan kembali
suami untuk kembali bersatu dengan istrinya, selama masa iddah dalam kasus talak
raj’i.
Allah berfirman dalam surat Al – Baqarah [2] ayat 228 yang artinya, ”Dan suami –
suaminya yang berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
itu menghendaki ishlah.”
Para ulama sepakat bahwa seorang suami boleh rujuk kembali dengan istrinya selama
kasus cerainya bukan dengan talak tiga (talak bain kubra’).
1. Jenis Rujuk
 Rujuk talak raf’i: cukup dengan ucapan atau langsung menggauli istrinya dan tidak
diwajibkan atas suami memberikan mahar, ada wali, dan tidak perlu izin dari istrinya,
selama masa iddahnya belum berakhir.
 Rujuk talak ba’in: rujuk yang dilakukan seorang suami kepada istrinya setelah masa
iddahnya habis, wajib baginya melakukan akad, mahar, wali, dan hal lainnya
sebagaimana lazimnya dalam sebuah pernikahan.

2. Syarat Sahnya Rujuk


 Suami yang hendak rujuk haruslah mempunyai syarat-syarat sebagaimana orang yang
hendak menikah sperti baligh, berakal, tidak murtad dari agama, tidak gila, tidak
keadaan mabuk, dan tidak sedang menunaikan ibadah haji atau umrah, serta bukan
rujuknya nikah anak. Demikian pendapat madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.
Sedang Hanafi berpendapat, rujuknya anak kecil sah dengan walinya.
 Talak raj’i bukan talak ba’in atau iwadh.
 Rujuk yang dilakukan saat masa iddah, bukan setelahnya.
 Istri yang dirujuk adalah istri yang dari pernikahan yang sah dan sudah digauli
(jima’).
 Rujuk untuk seterusnya bukan sementara dan tidak disertai dengan syarat – syarat
tertentu, atau untuk waktu yang tertentu.

F. Pembagian Warisan
1. Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separuh dari harta waris peninggalan
pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima
ashhabul furudh tersebut adalah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki, saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah.
2. Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta
peninggalannya hanya ada dua yaitu suami dan istri.
3. Seperdelapan
Dari sederet ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian warisan seperdelapan
(1/8) yaitu istri. Istri baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari
harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak
tersebut lahir dari rahimnya atau rahim istri yang lain.
Dalilnya adalah firman Allah SWT:
"Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau )dan) sesudah
dibayar utang-utangmu." (an-Nisa: 12)
4. Dua per Tiga
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga dari harta peninggalan pewaris
ada empat dan semuanya terdiri dari wanita:
- Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
- Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
- Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
- Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
5. Sepertiga
Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapat warisan sepertiga bagian hanya dua
yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
6. Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam, ada tujuh orang.
Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara
laki-laki dan perempuan seibu.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur
yakni:
- Budak
Seseorang yang berstatus budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari
saudaranya. Sebab, segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi
milik tuannya.
- Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya: seorang anak membunuh
ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah SAW:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya."
- Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim,
apapun agamanya. Hal ini telah diterangkan Rasulullah SAW dalam sabdanya:
"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir dan tidak pula orang kafir
mewarisi muslim." (HR. Bukhari dan Muslim).

Anda mungkin juga menyukai