Disusun Oleh :
Yuli Miswanto
HALAMAN JUDUL
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat
manusia. Dengan adanya pernikahan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai
dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat.
Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan
yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka
disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn perempuan yang diatur dengan
pernikahan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi
laki - laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat
yang berada disekeliling kedua insan tersebut.
Dalam agama samawi, masalah pernikahan mendapat tempat yang sangat terhormat
dan sangat terjunjung tinggi tata aturan yang telah ditetapkan dalam kitab suci. Negara
Indonesia misalnya, masalah pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pemerintah Indonesia sejak Proklamasi
Kemerdekaan hingga sekarang menaruh perhatian yang sangat serius dalam hal
pernikahan ini.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari pernikahan.
2. Untuk mengetahui dasar hukum pernikahan.
3. Untuk mengetahui tujuan dan hikmah pernikahan.
4. Untuk mengetahui syarat dan rukun pernikahan
iii
BAB II
PEMBAHASAN
Secara bahasa nikah adalah hubungan intim dan mengumpuli. Sedangkan arti nikah
menurut istilah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat diri antara
seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk menghalalkan suatu hubungan kelamin
antara keduanya sebagai dasar suka rela atau keridhaan hidup keluarga yang diliputi rasa
kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai Allah SWT.
Menurut ulama Syafi’iyah adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikah atau
zawj yang menyimpan arti wati’ (hubungan intim). Artinya dengan pernikahan seseorang
dapat memiliki atau dapat kesenangan dari pasangannya.
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur
kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan
kaum yang lainnya.
1
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisa’ : 3)
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki-laki yang sudah mampu
untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah
adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain -
lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam
memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat tertentu.
Menurut Al-Qur’an, Surat Al A’raaf ayat 189 berbunyi :
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah
dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat,
keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata:
"Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami
terraasuk orang-orang yang bersyukur".
Sehingga pernikahan adalah menciptakan kehidupan keluarga anatar
suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang
aman dan tenteram (Sakinah), pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah) dan
saling menyantuni (Rohmah).
2
b. Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa dioantara kalian memiliki kemampuan,
maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga
kehormatan. Dan siapa yang tidak memiiki kemampuan itu, hendaklah ia selalu
berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).
“Nikahilah wanita yang sangat cinta dan subur. Karena aku akan berbangga
dengan kalian dihadapan umat yang lain” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
3
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah,
maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim.” (QS. Al-Baqarah : 229) Yakni
keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk
(kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah.
Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum
Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (QS. Al-Baqarah :
230) Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan
syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga
berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan
berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah
salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-
amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah
(sedekah).
a) Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan
berketurunan.
b) Mampu
c) menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang
syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.
d) Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan
bencrengkramah dengan pacarannya.
e) Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan
yang diciptakan.
5
2.5 Rukun dan Syarat Pernikahan
Dalam perkawinan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Hal itu adalah syarat
dan rukun yang harus dipenuhi. Adapun syarat dan rukun merupakan perbuatan hukum
yang sangat dominan menyangkut sah atau tidaknya perbuatan tertentu dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Diantaranya adalah persetujuan para pihak. Menurut hukum
Islam akad (perjanjian) yang didasarkan pada kesukarelaan kedua belah pihak calon
suami isteri. Karena pihak wanita tidak langsung melaksanakan hak ijab (penawaran
tanggung jawab), disyaratkan izin atau meminta persetujuan sebelum perkawinan
dilangsungkan, adanya syarat ini berarti bahwa tidak boleh ada pihak ketiga (yang
melaksanakan ijab) memaksa kemauannya tanpa persetujuan yang punya diri (calon
wanita pengantin bersangkutan). Di masa lampau banyak gadis yang merana kawin paksa
dibawah umur.
6
perempuan,saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara saudara
ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara sesusuan,
ibu-ibu isterimu (mertua) ank-anak isterimu yang ada dalam
pemeliharaanmu, dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi bila kamu
belum menyampuri isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak
berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawina) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dari ayat
tersebut kita dapat memilih bahwa pada ayat tersebut terbagi menjadi tiga
hal: karena ada hubungan nasab (larangan ini untuk selama lamanya),
larangan perkawinan karena ada hubungan musaharah (perkawinan),
larangan perkawinan karena susuan.
4. Bukan seorang khunsa (diragukan jenis kelaminnya/ mempunyai kelamin
ganda)
5. Bukan dalam ihram haji atau umrah
6. Tidak dalam iddah
7. Bukan isteri orang
8. Dalam pasal 7 UUP di Indonesia usia calon istri minimal 16 tahun
c. Syarat Wali
1. Islam, bukan kafir dan murtad
2. Lelaki
3. Baligh
4. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
5. Bukan dalam ihram haji atau unrah
6. Tidak fasik
7. Tidak cacat akal pikiran
8. Merdeka
9. Adil
d. Syarat Saksi
1. Sekurang-kurangnya dua orang
2. Islam
3. Berakal
7
4. Baligh
5. Laki-laki
6. Memahami kandungan lafal ijab dan qabul
7. Dapat melihat, mendengar dan bercakap
8. Adil
9. Merdeka
Jika yang menjadi saksi itu anak-anak atau orang gila atau orang bisu, atau
yang sedang mabuk, maka perkawinan tidak sah, sebab mereka dipandang
seperti tidak ada. Bagi orang yang buta, tuli atau bisu bisa menjadi saksi asalkan
mereka benarbenar mampu mengenali dan membedakan suara-suara pelaku-
pelaku akad, secara yakin dan pasti.
e. Syarat Ijab
1. Pernikahan ini hendaklah tepat
2. Tidak boleh menggunakan sindiran
3. Diucapkan wali atau wakilnya
4. Tidak dikatakan dengan tempo waktu seperti mut’ah (nikah kontrak)
5. Tidak dikatakan taklit (tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafadzkan)
6. Harus dilafalkan dengan jelas
f. Syarat Kabul
1. Ucapan mestilah seperti ucapan ijab
2. Diucapkan setelah ijab tanpa terputus sesaat pun.
3. Tidak berkata sindiran
4. Dilafalkan oleh calon suaminya
5. Tidak dikatakan dengan tempo waktu seperti mut’ah
6. Tidak dikatakan taklit (tiada sebutan prasyaratsewaktu ijab dilafadzkan
7. Menyebut nama calon isteri
8. Harus dilafalkan dengan jelas
2) Rukun Pernikahan
Adapun rukun perkawinan itu ada lima, yang terdiri dari :
1. Calon Isteri
Calon mempelai wanita, yang dalam hal ini isteri tersebut boleh dinikahi dan
sah secara syar’i karena tidak ada penyebab-penyebab tertentu yang menjadikan
pernikahan terlarang atau dilarang.
2. Calon Suami
Calon mempelai pria yang dalam hal ini harus memenuhi syarat yang ada diatas.
8
3. Wali
Wali ialah ayah dari mempelai wanita. Mengenai wali bagi calon mempelai
wanita ini terbagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh)
Karena perkawinan itu tidak sah tanpa ada izin dari walinya. Hal ini
dikarenakan ada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.
“Telah menceritakan Muhammad bin Katsir, telah mengkabarkan kepada kita
sufyan, telah menceritakan kepada kita ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari
Azzuhri dari Urwah dari Aisyah, Aisyah berkata: Rasulullah telah bersabda
“Siapapun wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu
batal (diucapkan tiga kali).
Menurut Imam Nawawi seperti yang telah dinukil oleh imam Mawardi
apabila seorang wanita tersebut tidak mempunyai wali dan orang yang dapat
menjadi hakim maka ada tiga cara:
1. Dia tetap tidak dapat menikahkan dirinya tanpa adanya wali.
2. Ia boleh menikahkan dirinya sendiri karena darurat.
3. Dia menyuruh kepada seorang untuk menjadi wali bagi dirinya, dan
diceritakan dari Imam Asyayis bagi mereka yang tidak ada wali baginya
harus mengangkat seorang wali (hakim) yang ahli dan mujtahid.
Imam Syafi’i pernah menyatakan, “Apabila dalam suatu rombongan (dalam
perjalanan jauh) ada seorang perempuan yang tidak ada walinya, lalu ia
memperwalikan seseorang laki-laki untuk menikahkannya, maka yang demikian
itu diperbolehkan. Hal ini dapat disamakan dengan memperwalikan seseorang
hakim (penguasa Negara atau pejabat yang mewakilinya) dikala tidak terdapat
seorang wali nikah yang sah.”
Dan apabila terjadi perpisahan antara wali nasab dengan wanita yang akan
dinikahinya, izin wali nasab itu dapat diganti dengan izin wali hakim. Wali
menurut hukum Islam terbagi menjadi dua. Wali nasab yaitu anggota keluarga
laki-laki calon pengantin perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan
calon pengantin wanita. Wali nasab ini digolongkan menjadi dua yaitu wali
mujbir (wali yang berhak menikahkan orang yang diwalikan tanpa meminta izin
pendapat wanita)dan wali nasab biasa (wali yang tidak memiliki kewenangan
untuk memaksa menikahkan tanpa persetujuan wanita). Wali hakim adalah
penguasa atau wakil penguasa dalam bidang perkawinan.
4. Dua orang saksi
Menurut juhur ulama’ perkawinan yang tidak dihdiri oleh para saksi yang
9
menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain,
perkawinannya tetap tidak sah. Karena saksi merupakana syarat sahnya
pernikahan, bahwa Imam Syafi’i menyatakan bahwa saksi dalam akad nikah itu
termasuk rukun.
Rasulullah bersabda : Telah menceritakan Muhammad bin Qadamah bin “Ayun,
menceritakan Abu ‘Ubaidah al-Haddad dari Yunus dan Israil dari Abi Ishaq
dari Abi Bardah dari Abi Musa, sesungguhnya Rasulullah telah bersabda
“Tidak sah perkawinan kecuali dengan wali”
5. Sighat (Ijab Qobul)
Pengucapan: sigat (yakni pengucapan “ijab” yang mengandung menyerahkan
dari pihak wali si perempuan, dan “qabul” yang mengandung penerimaan dari
pihak wali calon suami).
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Nikah ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat diri antara
seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk menghalalkan suatu hubungan kelamin
antara keduanya sebagai dasar suka rela atau keridhaan hidup keluarga yang diliputi rasa
kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai Allah SWT. Dasar hukum
pernikahan banyak tercantum dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits, dan pernikahan
merupakan Sunnah Rasulullah. Hikmah dalam pernikahan yaitu : Mampu menjaga
kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan berketurunan, mampu
menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat
seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan, mampu menenangkan dan
menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya,
mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang
diciptakan.
Tujuan pernikahan : Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi, untuk
Membentengi Ahlak Yang Luhur, untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami, untuk
Meningkatkan Ibadah Kepada Allah, untuk Mencari Keturunan Yang Shalih. syarat dan
rukun merupakan perbuatan hukum yang sangat dominan menyangkut sah atau tidaknya
perbuatan tertentu dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung yang sama dalam
hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Rukun pernikahan ada lima
yaitu, calon suami, calon itri, wali nikah, saksi dan sighat (Ijab dan Qobul).
3.2 Saran
Dari beberapa Uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta kekeliruan, baik
disengaja maupun tidak, dari itu kami harapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki
segala keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa.
11