MASA PENGENALAN
Disusun Oleh :
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. yang telah senantiasa memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, umat manusia. Shalawat serta salam tak lupa penulis
ucapkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Atas berkat rahmat Allah SWT. penulis dapat menyelesaikan makalah yang
membahas tentang ta’aruf. Makalah ini merupakan tugas terstruktur dari mata kuliah
Fiqh Munakahat. Di dalamnya akan dibahas mengenai pengertian, proses, tujuan,
perbedaan antara ta’aruf dengan pacaran, tata cara berta’aruf yang sesuai dengan
syariat islam, dan membahas tentang berta’aruf ala Rasulullah saw.
Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri penulis maupun
para pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca agar makalah menjadi lebih baik dan sempurna untuk kedepannya.
Penyusun
\
DAFTAR ISI
Siapakah di antara kita yang tidak ingin di masa depannya memiliki rumah tangga
yang islami, sakinah mawaddah warahmah? Anak-anak yang shalih, istri shalihah,
suami yang shalih, semua tidak akan terwujud kecuali karena taufiq dari Allah, dan
ikhtiar masing masing individu. Maka untuk membentuk suatu keluarga yang Islami,
perlu dilakukan upaya-upaya yang dari awalnya harus sesuai dengan syari’at Islam.
Jalan yang disyari’atkan salah satunya adalah ta’aruf, yaitu mengenal calon pasangan
kita.
Saat ini sering kali kita mendengar istilah ta’aruf, yang identik dengan proses
menuju pernikahan. Tapi apakah sebenarnya ta’aruf itu? Ta’aruf, secara makna
berarti perkenalan, namun secara istilah adalah upaya pengenalan seorang muslim
dengan calon pasangannya untuk menjajaki adanya keserasian diantara mereka agar
bisa menjalani hubungan sebagai suami istri.
Proses ta’aruf, tujuan ta’aruf, perbedaan ta’aruf dan pacaran, tata cara ta’aruf
yang baik dan benar akan dibahas selanjutnya dalam makalah ini. Semoga Allah
selalu menolong kita agar tetap istiqomah dalam melaksanakan syari’atnya.
1.2 Rumusan Masalah
Pertama. Orang kalau sedang berpacaran maunya berdua terus. Beberapa hari
tidak ditelepon sudah resah, seharian enggak disms sudah kangen. Begitu ketemu
ingin memandang wajahnya terus, seakan dunia hanya milik berdua. Tak jarang pula
terlihat sampai mojok berdua di tempat sepi, kemudian bermesra-mesraan. Sebaiknya
berhati-hati, sebab Rasulullah SAW bersabda : “Tiada bersepi-sepian seorang lelaki
dan perempuan, melainkan syaitan merupakan orang ketiga di antara mereka.”
Kedua. Kalau sedang pacaran rasanya seperti dimabuk cinta. Lupa dengan yang
lainnya. Hati-hati juga bila seperti inim karena nanti kita bias lupa sama tujuan Allah
menciptakan kita (manusia). Firman Allah SWT : “Dan tidak kuciptakan jin dan
manusia, kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS 51 : 56).
Ketiga. Bukan rahasia lagi kalau di jaman serba permisif ini seks sudah menjadi
bumbu penyedap dalam pacaran (Majalah Hai edisi 4-10 Maret 2002). Majalah
Kosmopolitan juga mengadakan riset di lima universitas terbesar di Jakarta, dan
ternyata dari yang mengaku pernah melakukan aktivitas seksual, sebanyak 67,1%
pertama kali melakukan dengan pacarnya.
Keempat. Ternyata pacaran bukan jaminan akan berlanjut ke jenjang pernikahan.
Banyak orang di sekitar kita yang sudah bertahun-tahun pacaran ternyata kandas di
tengah jalan. Pacaran pun tidak menjadikan kita tahu segalanya tentang si dia.
Banyak yang sikapnya berubah setelah menikah.
Dapat disimpulkan bahwa praktek pacaran tidak menjadi suatu jaminan bahkan
banyak melanggar aturan Allah dan tidak mendapat ridho-Nya. Tetapi seringkali
timbul pertanyaan, lalu kalau bukan dengan pacaran, bagaimana kita dapat bertemu
dengan jodoh kita? jadi perlu ada penjajakan. Sudah pasti Islam pun mengatur hal
seperti ini, karena segala sesuatu aspek dalam kehidupan kita sesungguhnya sudah
diatur dan tercantum dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an. Untuk mengatasi hal tersebut,
kita mengenalnya dengan sebutan ta’aruf, yang berarti perkenalan.
Berikut adalah hal-hal mengenai ta’aruf :
Pertama, ta'aruf itu sebenarnya hanya untuk penjajagan sebelum menikah. Jadi
kalau salah satu atau keduanya tidak merasa cocok bisa menyudahi ta'arufnya. Ini
lebih baik daripada orang yang pacaran lalu putus. Biasanya orang yang pacaran
hatinya sudah bertaut sehingga kalau tidak cocok sulit putus dan terasa menyakitkan.
Tapi ta'aruf, yang Insya Allah niatnya untuk menikah Lillahi Ta'ala, kalau tidak cocok
bertawakal saja, mungkin memang bukan jodoh. Tidak ada pihak yang dirugikan
maupun merugikan.
Kedua, ta'aruf itu lebih fair. Masa penjajakan diisi dengan saling tukar informasi
mengenai diri masing-masing baik kebaikan maupun keburukannya. Bahkan kalau
kita tidurnya sering ngorok, misalnya, sebaiknya diberitahukan kepada calon kita agar
tidak menimbukan kekecewaan di kemudian hari. Begitu pula dengan kekurangan-
kekurangan lainnya, seperti mengidap penyakit tertentu, enggak bisa masak, atau
yang lainnya. Informasi bukan cuma dari si calon langsung, tapi juga dari orang-
orang yang mengenalnya (sahabat, guru ngaji, orang tua si calon). Jadi si calon
enggak bisa ngaku-ngaku dirinya baik. Ini berbeda dengan orang pacaran yang
biasanya semu dan penuh kepura-puraan. Yang perempuan akan dandan habis-
habisan dan malu-malu (sampai makan pun jadi sedikit gara-gara takut dibilang
rakus). Yang laki-laki biarpun lagi bokek tetap berlagak kaya, traktir ini dan itu
(padahal dapat duit dari minjem teman atau hasil ngerengek ke orang tua).
Ketiga. Dengan ta'aruf kita bisa berusaha mengenal calon dan mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Hal ini bisa
terjadi karena kedua belah pihak telah siap menikah dan siap membuka diri baik
kelebihan maupun kekurangan. Ini akan menghemat waktu yang cukup besar. Coba
bandingkan dengan orang pacaran yang sudah lama pacarannya, tetapi sering merasa
belum bisa mengenal pasangannya. Bukankah sia-sia belaka?
Keempat. Melalui ta’aruf kita boleh mengajukan criteria calon yang kita inginkan.
Kalau ada hal-hal yang cocok Alhamdulillah, tetapi bila ada yang kurang cocok bisa
dipertimbangkan dengan memakai hati dan pikiran yang sehat. Keputusan akhirpun
tetap berdasarkan dialog dengan Allah melalui shalat istikharah. Berbeda dengan
orang yang mabuk cinta dan pacaran. Kadang hal buruk pacarnya, misalnya suka
memukul, suka mabuk, tetap diterimanya padahal hati kecilnya tidak menyukainya.
Tapi karena cinta (atau sebenarnya nafsu) terpaksa menerimanya.
Kelima. Kalau memang ada kecocokan, biasanya jangka waktu ta'aruf ke khitbah
(lamaran) dan ke akad nikah tidak terlalu lama. Ini bisa menghindarkan kita dari
berbagai macam zina termasuk zina hati. Selain itu tidak ada perasaan "digantung"
pada pihak perempuan. Karena semuanya sudah jelas tujuannya adalah untuk
memenuhi sunah Rasulullah yaitu menikah.
Keenam. Dalam ta’aruf tetap dijaga adab berhubungan antara laki-laki dan
perempuan. Biasanya ada pihak ketiga yang memperkenalkan. Jadi kemungkinan
berkhalwat (berdua-duaan) menjadi semakin kecil, yang artinya kita terhindar dari
zina.
Dilihat dari berbagai macam perbedaan di atas, ternyata ta’aruf memiliki banyak
kelebihan dan manfaat dibandingkan dengan pacaran. Dan di ridhai oleh Allah SWT
tentunya.
2.5 Tata Cara Ta’aruf Yang Sesuai Dengan Aturan Syariat Islam
Ta'aruf merupakan sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan
pendekatan. Ta'aruf sangat berbeda dengan pacaran. Ta`aruf secara syar`i memang
diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin nikah. Perbedaan
hakiki antara pacaran dengan ta'aruf adalah dari segi tujuan dan manfaat. Jika tujuan
pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina dan maksiat. Sedangkan ta'aruf jelas
sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.
Ketika melakukan ta'aruf, seseorang baik pihak laki-laki atau perempuan
berhak untuk bertanya yang mendetail, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan
baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya.
Karena bila tidak jujur, bisa berakibat fatal nantinya. Dalam upaya ta’aruf dengan
calon pasangan, pihak laki-laki dan perempuan dipersilahkan menanyakan apa saja
yang kira-kira terkait dengan kepentingan masing-masing nanti selama mengarungi
kehidupan. Tapi tentu saja semua itu harus dilakukan dengan adab dan etikanya.
Tidak boleh dilakukan hanya berdua saja, tetapi harus ada yang mendampinginya dan
yang utama adalah wali atau keluarganya. Jadi ta’aruf bukanlah bermesraan berdua,
tapi lebih kepada pembicaraan yang bersifat realistis untuk mempersiapkan sebuah
perjalanan panjang berdua. Sisi yang dijadikan pengenalan tidak hanya terkait dengan
data global, melainkan juga termasuk hal-hal kecil yang menurut masing-masing
pihak cukup penting.
Misalnya masalah kecantikan calon istri, dibolehkan untuk melihat langsung
wajahnya dengan cara yang seksama, bukan hanya sekedar curi-curi pandang atau
mengintip fotonya. Justru Islam telah memerintahkan seorang calon suami untuk
mendatangi calon istrinya secara langsung face to face, bukan melalui media foto,
lukisan atau video.
Karena pada hakikatnya wajah seorang wanita itu bukan aurat, jadi tidak ada
salahnya untuk dilihat. Dan khusus dalam kasus ta`aruf, yang namanya melihat wajah
itu bukan cuma melirik-melirik sekilas, tapi kalau perlu dipelototi dengan seksama.
Periksalah apakah ada jerawat numpang tumbuh disana. Begitu juga dia boleh
meminta diperlihatkan kedua tapak tangan calon istrinya. Juga bukan melihat sekilas,
tapi melihat dengan seksama. Karena tapak tangan wanita pun bukan termasuk aurat.
Selain urusan melihat fisik, ta’aruf juga harus menghasilkan data yang
berkaitan dengan sikap, perilaku, pengalaman, cara kehidupan dan lain-lainnya.
Hanya saja, semua itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai dengan
koridor syariat Islam. Minimal harus ditemani orang lain baik dari keluarga calon istri
atau dari calon suami. Sehingga tidak dibenarkan untuk pergi jalan-jalan berdua,
nonton, boncengan, kencan, dan sebagainya dengan menggunakan alasan ta’aruf.
Janganlah ta’aruf menjadi pacaran. Sehingga tidak terjadi khalwat dan ikhtilat antara
pasangan yang belum resmi menjadi suami istri.
Bila kita cermati ayat atau hadist tentang pernikahan, maka kita akan
menemukan bahwa kita di anjurkan untuk menikah dengan orang yang kita sukai.
Dalam hal ini, suka menjadi “Hal” atau Syarat untuk menikah. Nabi Muhammad
SAW bersabda dalam sebuah hadist yang di riwayatkan oleh imam Ahmad dengan
sanad hasan dari Jabir Bin Abdillah Al-Anshari yang menuturkan bahwa dia
mendengar Rasulullah SAW bersabda “Jika salah seorang di antara kalian hendak
melamar seorang wanita dan mampu melihat (tanpa sepengetahuan wanita tersebut),
bagian dan anggota tubuh wanita tersebut, sehingga bisa mendorongnya untuk
menikahinya, maka lakukanlah”.
Juga hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Sahl bin
Sa’ad As-Saidi. Dia menceritakan bahwa ada seorang wanita yang mendatangi
Rasulullah SAW dan mengatakan “Wahai Rasulullah aku datang untuk
menghadiahkan diriku padamu”. Rasulullah SAW lantas memandangnya dari atas
sampai bawah, setelah itu menundukkan kepala. Allah SWT Berfirman : “Tidak
Halal bagi kamu mengawini perempuan-perempuan seudah itu, tidak boleh pula
mengganti mereka dengan istri-istri yang lain, meskipun kecantikannya menarik
hatimu”. (Al-Ahzab:53).
Juga Firman Allah SWT dalam surat Annisa ayat 3 : “Maka nikahilah oleh
kalian wanita yang kalian sukai”. Dari penjelasan ini jelas bahwa Ta’aruf berfungsi
untuk mengetahui hal-hal yang bisa membuat kita tertarik atau suka dan yakin akan
menikahi orang tersebut.
3.1 Kesimpulan
Ta’aruf adalah Proses saling mengenal antara seseorang dengan orang lain.
Dengan maksud untuk bisa saling mengerti dan memahami. Sedangkan dalam
Konteks Pernikahan, maka ta’aruf di maknai sebagai “Aktivitas saling mengenal,
mengerti dan memahami untuk tujuan meminang atau menikahi”.
Dalam uraian di atas, sudah diterangkan bahwa Islam tidak mengenal adanya budaya
pacaran, melainkan ta’aruf sebagai upaya pengenalannya. Ta’aruf di sini artinya luas,
bukan hanya untuk mengenal calon suami atau istri, tetapi juga bisa dijadikan sarana
pendekatan dalam hal berbisnis seperti yang dilakukan oleh Rasulullah yang
kemudian berujung ke pernikahan.
Sudah jelas bahwa, ta’aruf memiliki banyak kelebihan dan manfaat dibandingkan
dengan pacaran. Dan di ridhai oleh Allah SWT.
Berta'aruf pun memiliki etika dan aturannya dalam islam, sehingga tidak disalah
artikan ta'aruf menjadi pacaran. Penjabarannya telah disebutkan di atas, bahwa
seorang laki-laki dalam menjalani proses ta’aruf tidak dibenarkan hanya berdua
dengan calon istrinya, melainkan harus ada yang menemani mereka, paling utama
adalah wali (keluarganya).
DAFTAR PUSTAKA
Basyir, Abu Umar (2015). Ta’aruf Dulu Baru Menikah. Dalam RemajaIslam.com
diakses 24 Desember 2019.
http://id.wikipedia.org/wiki/Taaruf