Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KEBIDANAN DALAM ISLAM

MASA PENGENALAN

(ADAB DALAM BERTAARUF)

Disusun Oleh :

1. Fita Komariyan : 1910104043


2. Hima Athiatus Sa’adah : 1910104056
3. Lulu Annisa : 1910104054
4. Suti Hartati : 1910104044
5. Windi Ajeng Respati : 1910104055

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH

YOGYAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah senantiasa memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, umat manusia. Shalawat serta salam tak lupa penulis
ucapkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Atas berkat rahmat Allah SWT. penulis dapat menyelesaikan makalah yang
membahas tentang ta’aruf. Makalah ini merupakan tugas terstruktur dari mata kuliah
Fiqh Munakahat. Di dalamnya akan dibahas mengenai pengertian, proses, tujuan,
perbedaan antara ta’aruf dengan pacaran, tata cara berta’aruf yang sesuai dengan
syariat islam, dan membahas tentang berta’aruf ala Rasulullah saw.
Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri penulis maupun
para pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca agar makalah menjadi lebih baik dan sempurna untuk kedepannya.

Yogyakarta, 24 Desember 2019

Penyusun

\
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................


DAFTAR ISI .................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
1.1  Latar Belakang ............................................................................
1.2  Rumusan Masalah .......................................................................
1.3  Tujuan penulisan makalah ..........................................................

BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................


2.1 Pengertian Ta’aruf .......................................................................
2.2 Proses Ta’aruf ..............................................................................
2.3 Tujuan Ta’aruf ............................................................................
2.4 Perbedaan Antara Ta’aruf dengan Pacaran .................................
2.5 Tata Cara Ta’aruf Sesuai Syariat Islam...................................
2.6 Berta’aruf ala Rasulullah SAW................................................

BAB III PENUTUP .......................................................................................


3.1 Kesimpulan ..................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Siapakah di antara kita yang tidak ingin di masa depannya memiliki rumah tangga
yang islami, sakinah mawaddah warahmah? Anak-anak yang shalih, istri shalihah,
suami yang shalih, semua tidak akan terwujud kecuali karena taufiq dari Allah, dan
ikhtiar masing masing individu. Maka untuk membentuk suatu keluarga yang Islami,
perlu dilakukan upaya-upaya yang dari awalnya harus sesuai dengan syari’at Islam.
Jalan yang disyari’atkan salah satunya adalah ta’aruf, yaitu mengenal calon pasangan
kita.
Saat ini sering kali kita mendengar istilah ta’aruf, yang identik dengan proses
menuju pernikahan. Tapi apakah sebenarnya ta’aruf itu? Ta’aruf, secara makna
berarti perkenalan, namun secara istilah adalah upaya pengenalan seorang muslim
dengan calon pasangannya untuk menjajaki adanya keserasian diantara mereka agar
bisa menjalani hubungan sebagai suami istri.
Proses ta’aruf, tujuan ta’aruf, perbedaan ta’aruf dan pacaran, tata cara ta’aruf
yang baik dan benar akan dibahas selanjutnya dalam makalah ini. Semoga Allah
selalu menolong kita agar tetap istiqomah dalam melaksanakan syari’atnya.
1.2  Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini :


1.       Apa yang dimaksud dengan ta’aruf?
2.       Bagaimana proses ta’aruf?
3.       Apa tujuan ta’aruf?
4.       Apa saja perbedaan antara ta’aruf dengan pacaran?
5.       Bagaimana tata cara ta’aruf yang sesuai dengan syariat islam?
6.       Bagaimana proses ta’aruf yang dilakukan oleh Rasulullah SAW?

1.3  Tujuan Penulisan Makalah

Tujuan penulisan makalah ini di antaranya :

1.      Mengetahui pengertian ta’aruf


2.      Mengetahui proses ta’aruf
3.      Mengetahui tujuan ta’aruf
4.      Mengetahui perbedaan mendasar antara ta’aruf dengan pacaran
5.      Mengetahui tata cara ta’aruf yang sesuai dengan syariat islam
6.      Mengetahui proses ta’aruf yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Ta’aruf


Secara bahasa ta'aruf bisa bermakna ‘berkenalan’ atau ‘saling mengenal’.
Asalnya berasal dari akar kata ta’aarafa. Seperti ini sudah ada dalam Al-Qur’an.
Firman Allah (yang artinya):
“Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria
dan seorang wanita, lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kalian saling mengenal (ta’arofu) ...” (QS. Al Hujurat: 13).
Kata li ta’aarafuu dalam ayat ini mengandung makna bahwa, aslinya tujuan
dari semua ciptaan Allah itu adalah agar kita semua saling mengenal yang satu
terhadap yang lain. Sehingga secara umum, ta’aruf bisa berarti saling mengenal.
Dengan bahasa yang jelas ta’aruf adalah upaya sebagian orang untuk mengenal
sebagian yang lain.
Jadi, kata ta’aruf itu mirip dengan makna ‘berkenalan’ dalam bahasa kita.
Setiap kali kita berkenalan dengan seseorang, entah itu tetangga kita, orang baru atau
sesama penumpang dalam sebuah kendaraan umum misalnya, dapat disebut sebagai
ta’aruf. Ta’aruf jenis ini dianjurkan dengan siapa saja, terutama sekali dengan sesama
muslim untuk mengikat hubungan persaudaraan. Tentu saja ada batasan yang harus
diperhatikan kalau perkenalan itu terjadi antara dua orang berlawanan jenis, yaitu pria
dengan wanita. Untuk itu umat islam sudah menganjurkan memberlakukan hijab bagi
wanita muslimah, yang bukan hanya berarti selembar jilbab dan baju kurung yang
menutupi tubuhnya dari pandangan pria yang bukan mahram, tapi juga melindungi
pergaulannya dengan lawan jenis yang tidak diizinkan syari’at. Contoh dari pergaulan
yang tidak diizinkan syari’at ini ialah berduaan atau bercampur-baur antara beberapa
orang yang berlainan jenis dalam satu tempat secara berbauran, pergi bersama pria
yang bukan mahram, dan berbagai hal lain yang dilarang syari’at. Semua itu tidak
otomatis menjadi halal bila diatasnamakan ta’aruf.
Ta’aruf atau perkenalan yang dianjurkan dalam islam adalah dalam batas-
batas yang tidak melanggar aturan islam itu sendiri. Kalau dalam soalan makan,
minum dan berpakaian saja islam memiliki aturan yang harus dijaga, misalnya tidak
sembarang makan dan minum itu halal, dan tidak sembarang pakaian boleh dipakai,
maka untuk hal-hal lain yang lebih kompleks islam tentu juga memiliki aturannya.
Adab pergaulan, adab berkenalan, adab mengenal sesama muslim, juga memiliki
aturan yang harus diperhatikan. Jadi jangan sekali-kali mencampuradukkan antara
anjuran berkenalan atau mengenal sesama muslim dengan larangan-larangan agama
seputar proses berkenalan tersebut. Bila dilakukan, maka hal itu sama saja dengan
mencampuradukkan antara makanan halal dengan haram, dengan dalil karena
manusia hidup harus makan, dan bahwa makan minum itu boleh dilakukan diluar
puasa.
Kemudian dalam makna khusus proses pengenalan seseorang terhadap pria
atau wanita yang akan dipilih sebagai pasangan hidup sering juga disebut sebagai
ta’aruf. Sebagai istilah ta’aruf tentu saja bebas nilai, sampai ada hal-hal yang memuat
aplikasi dari hal-hal yang dianjurkan atau diwajibkan, atau sebaliknya, justru hal-hal
yang tidak baik atau dilarang. Ungkapan ta’aruf ini tidak pernah disebutkan sebagai
istilah khusus sengan arti perkenalan antar dua orang berlainan jenis yang ingin
menjajaki kecocokan sebelum menikah. Karena tak ada penggunaan istilah yang
sama untuk makna tersebut, maka sekali lagi kata ta’aruf ini masih bebas dinilai. Dan
karna bebas nilai inilah, maka aplikasi ta’aruf ini pun bisa ditarik ulur menjadi nilai-
nilai yang dianjurkan atau bahkan diwajibkan, atau sebaliknya, justru menjadi nilai-
nilai yang dilarang dan diharamkan.

2.2  Proses Ta’aruf


Dalam upaya ta’aruf dengan calon pasangan, pihak pria dan wanita
dipersilakan menanyakan apa saja yang kira-kira terkait dengan kepentingan masing-
masing nanti selama mengarungi kehidupan. Tapi tentu saja semua itu harus
dilakukan dengan adab dan etikanya. Tidak boleh dilakukan cuma berdua saja. Harus
ada yang mendampingi dan yang utama adalah wali atau keluarganya. Jadi,taaruf
bukanlah bermesraan berdua,tapi lebih kepada pembicaraan yang bersifat realistis
untuk mempersiapkan sebuah perjalanan panjang berdua. ta'aruf adalah proses saling
kenal mengenal pra nikah dengan dilandasi ketentuan syar'i.

2.3  Tujuan Ta’aruf


Taaruf adalah media syar`i yang dapat digunakan untuk melakukan
pengenalan terhadap calon pasangan. Sisi yang dijadikan pengenalan tak hanya
terkait dengan data global, melainkan juga termasuk hal-hal kecil yang menurut
masing-masing pihak cukup penting, misalnya masalah kecantikan calon istri,
dibolehkan untuk melihat langsung wajahnya dengan cara yang saksama, bukan cuma
sekadar curi-curi pandang atau melihat fotonya. Islam telah memerintahkan seorang
calon suami untuk mendatangi calon istrinya secara langsung, bukan melalui media
foto, lukisan, atau video. Karena pada hakikatnya wajah seorang wanita itu bukan
aurat.

2.4  Perbedaan Antara Ta’aruf dengan Pacaran


Dewasa ini seringkali kita menemukan orang yang lagi pacaran, entah itu di
jalan, mall, kampus, jembatan layang, taman kota, atau di mana pun pasti ada.
Terlebih lagi saat ini acara-acara televisi sangat gamblang mengekspos kehidupan
cinta para remaja yang kian hari kian membawa dampak negatif bagi para
pemirsanya.
Sebetulnya apa pacaran itu? Biasanya kalau ada cowok dan cewek saling
suka, salah satunya menyatakan cinta dan yang lainnya menerima, itu berarti sudah
pacaran. Buat sebagian orang pacaran itu isinya jalan berdua, makan, nonton, curhat-
curhatan, mesra-mesraan. Pokoknya hanya untuk melakukan kesenangan semata. Ada
pula orang yang menganggap tujuan pacaran itu untuk lebih mengenal sebelum
menuju pernikahan.
Sebagai umat Islam kita perlu mengkritisi apakah “praktek pacaran” yang
banyak dilakukan orang ini sesuai atau tidak dengan aturan-aturan dalam Islam.
Berikut adalah penjabaran mengenai perbedaan antara pacaran dengan ta’aruf:

Pertama. Orang kalau sedang berpacaran maunya berdua terus. Beberapa hari
tidak ditelepon sudah resah, seharian enggak disms sudah kangen. Begitu ketemu
ingin memandang wajahnya terus, seakan dunia hanya milik berdua. Tak jarang pula
terlihat sampai mojok berdua di tempat sepi, kemudian bermesra-mesraan. Sebaiknya
berhati-hati, sebab Rasulullah SAW bersabda : “Tiada bersepi-sepian seorang lelaki
dan perempuan, melainkan syaitan merupakan orang ketiga di antara mereka.”
Kedua. Kalau sedang pacaran rasanya seperti dimabuk cinta. Lupa dengan yang
lainnya. Hati-hati juga bila seperti inim karena nanti kita bias lupa sama tujuan Allah
menciptakan kita (manusia). Firman Allah SWT : “Dan tidak kuciptakan jin dan
manusia, kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS 51 : 56).
Ketiga. Bukan rahasia lagi kalau di jaman serba permisif ini seks sudah menjadi
bumbu penyedap dalam pacaran (Majalah Hai edisi 4-10 Maret 2002). Majalah
Kosmopolitan juga mengadakan riset di lima universitas terbesar di Jakarta, dan
ternyata dari yang mengaku pernah melakukan aktivitas seksual, sebanyak 67,1%
pertama kali melakukan dengan pacarnya.
Keempat. Ternyata pacaran bukan jaminan akan berlanjut ke jenjang pernikahan.
Banyak orang di sekitar kita yang sudah bertahun-tahun pacaran ternyata kandas di
tengah jalan. Pacaran pun tidak menjadikan kita tahu segalanya tentang si dia.
Banyak yang sikapnya berubah setelah menikah.
Dapat disimpulkan bahwa praktek pacaran tidak menjadi suatu jaminan bahkan
banyak melanggar aturan Allah dan tidak mendapat ridho-Nya. Tetapi seringkali
timbul pertanyaan, lalu kalau bukan dengan pacaran, bagaimana kita dapat bertemu
dengan jodoh kita? jadi perlu ada penjajakan. Sudah pasti Islam pun mengatur hal
seperti ini, karena segala sesuatu aspek dalam kehidupan kita sesungguhnya sudah
diatur dan tercantum dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an. Untuk mengatasi hal tersebut,
kita mengenalnya dengan sebutan ta’aruf, yang berarti perkenalan.
Berikut adalah hal-hal mengenai ta’aruf :
Pertama, ta'aruf itu sebenarnya hanya untuk penjajagan sebelum menikah. Jadi
kalau salah satu atau keduanya tidak merasa cocok bisa menyudahi ta'arufnya. Ini
lebih baik daripada orang yang pacaran lalu putus. Biasanya orang yang pacaran
hatinya sudah bertaut sehingga kalau tidak cocok sulit putus dan terasa menyakitkan.
Tapi ta'aruf, yang Insya Allah niatnya untuk menikah Lillahi Ta'ala, kalau tidak cocok
bertawakal saja, mungkin memang bukan jodoh. Tidak ada pihak yang dirugikan
maupun merugikan.
Kedua, ta'aruf itu lebih fair. Masa penjajakan diisi dengan saling tukar informasi
mengenai diri masing-masing baik kebaikan maupun keburukannya. Bahkan kalau
kita tidurnya sering ngorok, misalnya, sebaiknya diberitahukan kepada calon kita agar
tidak menimbukan kekecewaan di kemudian hari. Begitu pula dengan kekurangan-
kekurangan lainnya, seperti mengidap penyakit tertentu, enggak bisa masak, atau
yang lainnya. Informasi bukan cuma dari si calon langsung, tapi juga dari orang-
orang yang mengenalnya (sahabat, guru ngaji, orang tua si calon). Jadi si calon
enggak bisa ngaku-ngaku dirinya baik. Ini berbeda dengan orang pacaran yang
biasanya semu dan penuh kepura-puraan. Yang perempuan akan dandan habis-
habisan dan malu-malu (sampai makan pun jadi sedikit gara-gara takut dibilang
rakus). Yang laki-laki biarpun lagi bokek tetap berlagak kaya, traktir ini dan itu
(padahal dapat duit dari minjem teman atau hasil ngerengek ke orang tua).
Ketiga. Dengan ta'aruf kita bisa berusaha mengenal calon dan mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Hal ini bisa
terjadi karena kedua belah pihak telah siap menikah dan siap membuka diri baik
kelebihan maupun kekurangan. Ini akan menghemat waktu yang cukup besar. Coba
bandingkan dengan orang pacaran yang sudah lama pacarannya, tetapi sering merasa
belum bisa mengenal pasangannya. Bukankah sia-sia belaka?
Keempat. Melalui ta’aruf kita boleh mengajukan criteria calon yang kita inginkan.
Kalau ada hal-hal yang cocok Alhamdulillah, tetapi bila ada yang kurang cocok bisa
dipertimbangkan dengan memakai hati dan pikiran yang sehat. Keputusan akhirpun
tetap berdasarkan dialog dengan Allah melalui shalat istikharah. Berbeda dengan
orang yang mabuk cinta dan pacaran. Kadang hal buruk pacarnya, misalnya suka
memukul, suka mabuk, tetap diterimanya padahal hati kecilnya tidak menyukainya.
Tapi karena cinta (atau sebenarnya nafsu) terpaksa menerimanya.
Kelima. Kalau memang ada kecocokan, biasanya jangka waktu ta'aruf ke khitbah
(lamaran) dan ke akad nikah tidak terlalu lama. Ini bisa menghindarkan kita dari
berbagai macam zina termasuk zina hati. Selain itu tidak ada perasaan "digantung"
pada pihak perempuan. Karena semuanya sudah jelas tujuannya adalah untuk
memenuhi sunah Rasulullah yaitu menikah.
Keenam. Dalam ta’aruf tetap dijaga adab berhubungan antara laki-laki dan
perempuan. Biasanya ada pihak ketiga yang memperkenalkan. Jadi kemungkinan
berkhalwat (berdua-duaan) menjadi semakin kecil, yang artinya kita terhindar dari
zina.
Dilihat dari berbagai macam perbedaan di atas, ternyata ta’aruf memiliki banyak
kelebihan dan manfaat dibandingkan dengan pacaran. Dan di ridhai oleh Allah SWT
tentunya.

2.5  Tata Cara Ta’aruf Yang Sesuai Dengan Aturan Syariat Islam
Ta'aruf merupakan sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan
pendekatan. Ta'aruf sangat berbeda dengan pacaran. Ta`aruf secara syar`i memang
diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin nikah. Perbedaan
hakiki antara pacaran dengan ta'aruf adalah dari segi tujuan dan manfaat. Jika tujuan
pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina dan maksiat. Sedangkan ta'aruf jelas
sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.
Ketika melakukan ta'aruf, seseorang baik pihak laki-laki atau perempuan
berhak untuk bertanya yang mendetail, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan
baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya.
Karena bila tidak jujur, bisa berakibat fatal nantinya. Dalam upaya ta’aruf dengan
calon pasangan, pihak laki-laki dan perempuan dipersilahkan menanyakan apa saja
yang kira-kira terkait dengan kepentingan masing-masing nanti selama mengarungi
kehidupan. Tapi tentu saja semua itu harus dilakukan dengan adab dan etikanya.
Tidak boleh dilakukan hanya berdua saja, tetapi harus ada yang mendampinginya dan
yang utama adalah wali atau keluarganya. Jadi ta’aruf bukanlah bermesraan berdua,
tapi lebih kepada pembicaraan yang bersifat realistis untuk mempersiapkan sebuah
perjalanan panjang berdua. Sisi yang dijadikan pengenalan tidak hanya terkait dengan
data global, melainkan juga termasuk hal-hal kecil yang menurut masing-masing
pihak cukup penting.
Misalnya masalah kecantikan calon istri, dibolehkan untuk melihat langsung
wajahnya dengan cara yang seksama, bukan hanya sekedar curi-curi pandang atau
mengintip fotonya. Justru Islam telah memerintahkan seorang calon suami untuk
mendatangi calon istrinya secara langsung face to face, bukan melalui media foto,
lukisan atau video.
Karena pada hakikatnya wajah seorang wanita itu bukan aurat, jadi tidak ada
salahnya untuk dilihat. Dan khusus dalam kasus ta`aruf, yang namanya melihat wajah
itu bukan cuma melirik-melirik sekilas, tapi kalau perlu dipelototi dengan seksama.
Periksalah apakah ada jerawat numpang tumbuh disana. Begitu juga dia boleh
meminta diperlihatkan kedua tapak tangan calon istrinya. Juga bukan melihat sekilas,
tapi melihat dengan seksama. Karena tapak tangan wanita pun bukan termasuk aurat.
Selain urusan melihat fisik, ta’aruf juga harus menghasilkan data yang
berkaitan dengan sikap, perilaku, pengalaman, cara kehidupan dan lain-lainnya.
Hanya saja, semua itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai dengan
koridor syariat Islam. Minimal harus ditemani orang lain baik dari keluarga calon istri
atau dari calon suami. Sehingga tidak dibenarkan untuk pergi jalan-jalan berdua,
nonton, boncengan, kencan, dan sebagainya dengan menggunakan alasan ta’aruf.
Janganlah ta’aruf menjadi pacaran. Sehingga tidak terjadi khalwat dan ikhtilat antara
pasangan yang belum resmi menjadi suami istri.
Bila kita cermati ayat atau hadist tentang pernikahan, maka kita akan
menemukan bahwa kita di anjurkan untuk menikah dengan orang yang kita sukai.
Dalam hal ini, suka menjadi “Hal” atau Syarat untuk menikah. Nabi Muhammad
SAW bersabda dalam sebuah hadist yang di riwayatkan oleh imam Ahmad dengan
sanad hasan dari Jabir Bin Abdillah Al-Anshari yang menuturkan bahwa dia
mendengar Rasulullah SAW bersabda “Jika salah seorang di antara kalian hendak
melamar seorang wanita dan mampu melihat (tanpa sepengetahuan wanita tersebut),
bagian dan anggota tubuh wanita tersebut, sehingga bisa mendorongnya untuk
menikahinya, maka lakukanlah”.
Juga hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Sahl bin
Sa’ad As-Saidi. Dia menceritakan bahwa ada seorang wanita yang mendatangi
Rasulullah SAW dan mengatakan “Wahai Rasulullah aku datang untuk
menghadiahkan diriku padamu”. Rasulullah SAW lantas memandangnya dari atas
sampai bawah, setelah itu menundukkan kepala. Allah SWT Berfirman : “Tidak
Halal bagi kamu mengawini perempuan-perempuan seudah itu, tidak boleh pula
mengganti mereka dengan istri-istri yang lain, meskipun kecantikannya menarik
hatimu”. (Al-Ahzab:53).
Juga Firman Allah SWT dalam surat Annisa ayat 3 : “Maka nikahilah oleh
kalian wanita yang kalian sukai”. Dari penjelasan ini jelas bahwa Ta’aruf berfungsi
untuk mengetahui hal-hal yang bisa membuat kita tertarik atau suka dan yakin akan
menikahi orang tersebut.

2.6 Berta’aruf ala Rasulullah SAW

Dahulu, Rasulullah pernah mengalami tanazhur yang artinya saling menaruh


perhatian.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku telah diberi karunia dengan
cintanya Khadijah kepadaku.” (HR Muslim, Bab “Keutamaan Khadijah”).
Ibnu al-Atsir menceritakan dalam Tarikh-nya bahwa setelah mendengar kabar
tentang sifat-sifat Muhammad SAW, Siti Khadijah menawarkan kesempatan
kepada beliau untuk membawa barang dagangannya ke Syam. Tawaran ini
diterima dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar (daripada bila dibawa
oleh orang lain). Lantas, Ibnu al-Atsir mengungkapkan “Siti Khadijah sangat
gembira menerima keuntungan yang besar itu, tetapi kekagumannya kepada orang
yang telah diujinya itu jauh lebih mendalam.” (Kekaguman yang mendalam inilah
yang kita kenal sebagai rasa cinta)
Perhatikanlah bahwa diantara mereka berdua tidak hanya terjadi proses
taaruf (dengan wawancara, observasi, dokumentasi, dsb). Diantara mereka ternyata
terdapat pula “interaksi yang mendalam” dalam bentuk kerjasama bisnis. Interaksi
yang mendalam seperti itulah salah satu perbedaan utama antara pacaran islami
dan taaruf.

Pola tanazhur dengan model kerjasama ala Khadijah-Muhammad itu


dapat kita jadikan teladan. Anda dapat menjalin kerjasama bisnis, belajar bersama,
atau pun melakukan kegiatan bersama lainnya yang membawa manfaat sebesar-
besarnya. Justru kalau Anda hanya bertaaruf dengan si dia tanpa interaksi yang
mendalam, maka Anda belum sepenuhnya memenuhi Sunnah Nabi tersebut.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ta’aruf adalah Proses saling mengenal antara seseorang dengan orang lain.
Dengan maksud untuk bisa saling mengerti dan memahami. Sedangkan dalam
Konteks Pernikahan, maka ta’aruf di maknai sebagai “Aktivitas saling mengenal,
mengerti dan memahami untuk tujuan meminang atau menikahi”.
Dalam uraian di atas, sudah diterangkan bahwa Islam tidak mengenal adanya budaya
pacaran, melainkan ta’aruf sebagai upaya pengenalannya. Ta’aruf di sini artinya luas,
bukan hanya untuk mengenal calon suami atau istri, tetapi juga bisa dijadikan sarana
pendekatan dalam hal berbisnis seperti yang dilakukan oleh Rasulullah yang
kemudian berujung ke pernikahan.
Sudah jelas bahwa, ta’aruf memiliki banyak kelebihan dan manfaat dibandingkan
dengan pacaran. Dan di ridhai oleh Allah SWT.
Berta'aruf pun memiliki etika dan aturannya dalam islam, sehingga tidak disalah
artikan ta'aruf menjadi pacaran. Penjabarannya telah disebutkan di atas, bahwa
seorang laki-laki dalam menjalani proses ta’aruf tidak dibenarkan hanya berdua
dengan calon istrinya, melainkan harus ada yang menemani mereka, paling utama
adalah wali (keluarganya).
DAFTAR PUSTAKA

Basyir, Abu Umar (2015). Ta’aruf Dulu Baru Menikah. Dalam RemajaIslam.com
diakses 24 Desember 2019.
http://id.wikipedia.org/wiki/Taaruf

Anda mungkin juga menyukai