Dosen Pengampu:
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Filosofi Hukum Keluarga Islam?
2. Bagaimana Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Dan Tujuan
Pemabharuan Hukum Keluarga Islam?
3. Bagaimana Aspek Pembaharuan Hukum Keluarga Islam?
1
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia, Jakarta : Pt Raja Grapido
Persada, 2005, 166
1
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Filosofi Hukum Keluarga Islam
4. Untuk Mengetahui Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Dan Tujuan
Pemabharuan Hukum Keluarga Islam?
2. Untuk Mengetahui Aspek Pembaharuan Hukum Keluarga Islam
2
BAB II
PEMBAHASAN
2
Wahyuni, Sri. Pembahauan Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim. Jurnal Al-
Ahwal, Vol. 6, No. 2. 2013
3
yang terjadi karena sebab perkawinan antara seseorang dengan keluarga yang
tidak sedarah dari istri (suaminya).3
3
Habudin, Thab. Menimbang Metode Tematik-Holistik Dalam Pembaruan Hukum
Keluarga Muslim (Telaah Pemikiran Khairuddin Nasution). Jurnal, Vol. 8, No. 1.2015
4
Setiawan, Eko, Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia Jurnal
Syariah dan Hukum. Volume 6 Nomor 2, Desember 2014,12
4
Sedangkan hukum keluarga yang di Indonesia di atur dalam perundang-
undangan no 32 tahun 1954 tentang penetapan berlakunya undang-undang
Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 no 22 tahun 1964 tentang
pencatatan nikah, talak, dan rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura.
Undang-undang ini diikuti oleh undang-undang no 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, yang merupakan hukum materil. Peraturan perundang-undangan
negara Indonesia ini telah dijadikan pedoman oleh hakim Pengadilan Agama
yang harus diikuti dalam penyelesaian perkara perkawinan, yaitu Kompilasi
Hukum Islam yang penyebarluaskannya dilakukan melalui Instruksi Presiden
No. 1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
a. Unifikasi Hukum
Unifikasi hukum adalah upaya penyatuan hukum menjadi satu hukum
yang berlaku bagi rakyat yang ada di seluruh wilayah negara dan menjadi
bagian dari sistem hukum nasional. Usaha unifikasi hukum ini dilakukan
karena masyarakatnya menganut bermacam-macam mazhab atau bahkan
agama yang berbeda. Alasan pembaruan untuk unifikasi ini adalah karena
adanya sejumlah mazhab yang diikuti oleh negara yang bersangkutan.
Unifikasi hukum ini memiliki beberapa pemberlakuan, yaitu:
1) Unifikasi berlaku utuk muslim dan non-muslim;
2) Unifikasi berlaku untuk muslim dengan menyatukan dua aliran
besar dalam Islam yaitu sunni dan syiah
5
3) Unifikasi berlaku untuk muslim dengan memberlakukan antar
mazhab di kalangan sunni;5
4) Unifikasi untuk muslim saja dalam bentuk satu mazhab
saja,dijadikan sebagai mazhab yang terkait dengan negara, seperti
halnya dengan:
a) Fikih adalah pemikiran yang tidak dijadikan undang-
undang/tidak mengikat.
b) Qonun adalah fikih taqnin, pemahaman yang dijadikan
undang-undang
c) Yurisprudensi adalah pemahaman hakim terdahulu, dapat
d) dijadikan rujukan pakar-pakar hukum yang lain d. Fatwa
adalah pemahaman terhadap suatu perkara yang muncul
stelah adanya perkara.
b. Tujuan peningkatan status perempuan
Tujuan ini memang tidak disebutkan secara gamblang, namun terlihat dari
materi hukum yang dirumuskan bahwa undang-undang tersebut merespon
sejumlah tuntutan peningkatan status dan kedudukan perempuan. Hampir
semua pembaharuan undang- undang perkawinan di berbagai negara
dilakukan untuk meningkatkan ststus perempuan.
c. Tujuan menyesuaikan dengan perkembangan zaman
Agar tidak tertinggal dengan perubahan zaman yang terus menerus
terjadi, maka perlu pembaruan hukum keluarga Islam untuk
mengimbanginnya. Dapat dikatakan bahwa tujuan ketiga ini merupakan
tujuan dari pembaruan hukum keluarga dari kebanyakan negara muslim,
meskipun tidak menutup kemungkinan di beberapa negara mencakup
berbagai tujuan sekaligus.
5
Ritongga, Iskandar. Hak-hak Wanita dalam Putusan Peradilan. Diterbitkan Program
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji
Departemen Agama RI. 2005
6
C. Aspek Pembaharuan Hukum Keluarga Islam
6
Latief, Nur Hasan. Pembaharuan Hukum Keluarga Serta Dampaknya Terhadap
Pembatasan Usia Minimal Kawin Dan Peningkatan Status Wanita. Jurnal Hukum Novelty.
Vol. 7 No. 2 Agustus 2016. 1.7
7
2. Kontrol terhadap Poligami
Poligami merupakan suatu yang diperbolehkan dalam wacana fiqh,
dan dibatasi hingga empat orang isteri. Namun, masalah poligami ini
menjadi polemic di kalangan para pemikir muslim kontemporer. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa poligami bukanlah merupakan aturan,
melainkan merupakan bentuk pengecualian, yaitu untuk menghindari
perbuatan yang keji. Oleh karena itu, dalam hukum keluarga di negara-
negara Muslim, poligami cenderung dikontrol oleh hukum negara.
Dalam hukum keluarga di Libanon, poligami dibatasi hingga
maksimal empat orang isteri dan harus dapat berbuat adil terhadap isteri-
isterinya; dalam hukum keluarga Maroko tahun 1954, menyatakan bahwa
para isteri yang dipoligami harus mendapatkan perlakuan yang sama dari
suami, dan jika ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil, maka poligami
tidak diperbolehkan. Di India dan Pakistan, dengan UU Perkawinan tahun
1939, kegagalan laki-laki untuk berlaku adil terhadap isteri-isteri yang
dipoligami, dapat menjadi sebab perceraian di pengadilan.
3. Perceraian dari suami
Perkawinan merupakan ikatan yang sangat kuat antara pasaan suami
dan isteri. Oleh karena itu, hukum keluarga di beberapa negara Muslim,
cenderung membatasi kehendak suami untuk memutuskan perkawinan.
Jika di masa pembentukan hukum Islam sebagaimana yang diwacanakan
dalam fiqh, seorang suami berhak menjatuhan talak kepada isterinya dan
ketika suami mengucap talak maka, telah jatuh talak, dan perkawinan
menjadi putus; maka hukum keluarga Islam saat ini cenderung untuk
membatasi hak talak bagi suami tersebut. 7
4. Perceraian yang diajukan oleh isteri
7
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (antara figh munakahat dan
undang-undang perkawinan), Jakarta:Kencana 2006. 41
8
Dalam fiqh, dinyatakan bahwa hak talak ada pada suami, namun
seorang isteri juga dapat meminta cerai dari suami, dalam apa yang disebut
dengan fasakh. Di negara-negara Muslim saat ini, perceraian yang
diajukan oleh isteri juga diatur dalam hukum keluarga. Seorang sitri dapat
mengajukan perceraian ke pengadilan dengan beberapa alasan yaitu
kegagalan suami dalam memberaikan nafkah, suami memiliki halangan
fisik, mental dan penyakit yang susah disembuhkan, meninggalkan rumah
tangga, menyakiti sitri, berbuat kekerasan terhadap sitri, dipenjara,
menghilang dan sebagainya" Inisiatif perceraian dari isteri ini diajukan ke
pengadilan. Di Iran, seorang isteri yang suaminya melakukan perkawinan
kedua atau berpoligami tanpa persetujuan isterinya, maka sang isteri dapat
mengajukan perceraian ke pengadilan begitu juga di India dan di Pakistan.
5. Status hukum anak
Anak yang sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.
Namun, dalam fiqh terdapat konsep tentang masa iddah, yaitu masa
menunggu setelah perceraian. Hal ini penting untuk mengetahui apakah
isteri ketika dicerai dan setelah cerai, dalam keadaan mengandung atau
tidak. Jika setelah cerai, dalam masa iddah si isteri mengandung, maka
berarti anak tersebut masih anak dari suami yang telah menceraikannya.
Di beberapa negara Muslim, hukum keluarga mengatur tentang masa
iddah, hak nafkah dan hak waris bagi isteri serta status anak dalam masa
ini. Di negara Mesir ditetapkan masa iddah tidak lebih dari satu tahun,
begitu juga di negara Sudan. Di India dan Pakistan juga diatur tentang hal
tersebut, bahwa seorang anak yang dilahirkan dalam masa iddah, dan
ibunya belum menikah dengan orang lain, anak tersebut masih
mendapatkan status anak sah dari perkawinan sebelumnya."
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
10
DAFTAR PUSTAKA
11
12