Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

FILOSOFI HUKUM KELUARGA ISLAM

Dosen Pengampu:

Dr. Ulya Kencana,S.Ag, M.H

Disusun Oleh Kelompok 10:

1. Alya Patona Mutmaina 2130101117


2. Nurkhasanah 2110101021
3. Ahmad 2130101111
4. Rizki Tiar Rahmatullah 2130101113

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum keluarga dalam masyarakat Islam Kontemporer seperti


dijelaskan oleh M. Daud Ali, sangat menarik untuk dikaji. Sebab di dalam
hukum keluarga itulah kini terdapat jiwa wahyu ilahi dan Sunnah. Rasulllah.
Oleh karena itu, M Tahir Azhary mengatakan orang yang ingin menjadi ahli
dalam hukum Islam tidak mungkin mengabaikan hukum keluarga dan
kewarisan Islam, yang boleh dikatakan sebagai titik central dalam hukum
Islam. 1

Zaman modern sekarang ini, seperti ditegaskan oleh Daniel S. Lav,


hukum perkawinan dan perubahan-perubahannya merupakan masalah yang
paling menonjol dalam islam. semakin hari semakin banyak orang
mengupasnya. Hal ini disebabkan karena keluarga adalah sumber kekuatan
dan perkembangan jiwa agama. Lebih lanjut dia mengatakan hampir dimana
mana terjadi persaingan antara negara dan agama dalan memperbutkan
pengaruhnya dalam bidang kekeluagaan. Seiring dengan perkembangan
zaman, maka negara-negara muslim kemudian melakukan pembaharuan
hukum keluarga untuk mengakomodir berbagai persoalan yang muncul.
Pembaharuan ini selanjutnya menjadi tonggak awal reformasi hukum keluarga
yang merata di negara-negara muslim.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Filosofi Hukum Keluarga Islam?
2. Bagaimana Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Dan Tujuan
Pemabharuan Hukum Keluarga Islam?
3. Bagaimana Aspek Pembaharuan Hukum Keluarga Islam?

1
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia, Jakarta : Pt Raja Grapido
Persada, 2005, 166

1
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Filosofi Hukum Keluarga Islam
4. Untuk Mengetahui Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Dan Tujuan
Pemabharuan Hukum Keluarga Islam?
2. Untuk Mengetahui Aspek Pembaharuan Hukum Keluarga Islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Filosofi Hukum Keluarga

Secara etimologis istilah "filsafat" atau dalam bahasa Inggrisnya


"philosophi" berasal dari bahsa Yunani "philosophia" yang secara lazim
diterjemahkan sebagai "cinta kearifan" Kata philosophia tersebut berakar pada
kata "philos" (pilia, cinta) dan "sophia" (kearifan). Berdasarkan pengertian
bahasa tersebut filsafat berarti cinta kearifan. Kata kearifan bisa juga berarti
kebijaksanaan, sehingga filsafat bisa juga berarti cinta kebijaksanaan,
Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan
upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup terutama kebijaksanan
dalam berkeluarga.2

Hukum keluarga secara garis besar dapat dimaknai hukum mengatur


tentang pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi karena
pertalian darah, ataupun terjadi karena adanya sebuah perkawinan. Hubungan
keluarga ini sangat penting sebab terkait dengan hubungan orang tua dan anak,
hukum waris, perwalian, serta pengampuan. Hukum keluarga diartikan
sebagai keseluruhan peraturan yang mengatur tentang hubungan kekeluargaan.
Maksud kekeluargaan disini terdapat dua macam, yaitu pertama di tinjau dari
hubungan darah dan kedua ditinjau dari hubungan perkawinan. Kekeluargaan
ditinjau dari hubungan darah atau bisa disebut dengan kekeluargaan sedarah
ialah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai
leluhur yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan ialah pertalian keluarga

2
Wahyuni, Sri. Pembahauan Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim. Jurnal Al-
Ahwal, Vol. 6, No. 2. 2013

3
yang terjadi karena sebab perkawinan antara seseorang dengan keluarga yang
tidak sedarah dari istri (suaminya).3

B. Pembaruan Hukum Keluarga Dan Tujuannya

Negara Turki merupakan negara pertama yang melakukan pembaruan


hukum keluarga dalam bentuk undang-undang. Menurut Seyyed Hossein Nasr
dalam Arvind Sharma Our Religion, bagi muslim Turki, Hanafi adalah
mazhab yang melatari kehidupan keberagamaan secara formal hingga tahun
1926. Pembaruan hukum keluarga di Turki juga telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat dibandingkan dengan fikih konvensional di
mana tujuannya adalah aktualisasi hukum yang terus berkembang. Setelah
Turki, Republik Arab Mesir mengikuti pembaruan hukum keluarga. Lain
halnya dengan Turki yang mengadopsi hukum Code Civil Switzerland,
Republik Arab Mesir memperbaruinya dengan melakukan reformasi terhadap
hukum-hukum fikih yang telah berlaku. 4 Mesir menjadi negara pertama di
Arab dan negara kedua setelah Turki yang mengadakan pembaruan hukum
keluarga. Pembaruan hukum keluarga di Mesir dimulai tahun 1920 ditandai
dengan diundangkannya Rancangan Undang-Undang Hukum Keluarga. Pada
tahun 1929 dilakukan amandemen kedua terhadap beberapa pasal pada
undang-undang sebelumnya. Setelah itu tercatat dua kali amandemen terhadap
hukum keluarga Mesir yaitu pada tahun 1979 dan 1985. Reformasi hukum
keluarga Mesir antara lain terkait dengan masalah poligami, wasiat wajibah,
warisan, dan pengasuhan anak. Pasal 13 Kitab undang-Undnag Acara
Peradilan Mesir menyebutkan bahwa al- Ahwal as-Syakhsiyyah menyangkut
masalah-masalah yang berhubungan dengan pribadi, ahliyyah dan keluarga
(seperti perkawinan dan akibat hukumnya, pengampuan, orang maqfud dan
harta warisan).

3
Habudin, Thab. Menimbang Metode Tematik-Holistik Dalam Pembaruan Hukum
Keluarga Muslim (Telaah Pemikiran Khairuddin Nasution). Jurnal, Vol. 8, No. 1.2015
4
Setiawan, Eko, Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia Jurnal
Syariah dan Hukum. Volume 6 Nomor 2, Desember 2014,12

4
Sedangkan hukum keluarga yang di Indonesia di atur dalam perundang-
undangan no 32 tahun 1954 tentang penetapan berlakunya undang-undang
Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 no 22 tahun 1964 tentang
pencatatan nikah, talak, dan rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura.
Undang-undang ini diikuti oleh undang-undang no 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, yang merupakan hukum materil. Peraturan perundang-undangan
negara Indonesia ini telah dijadikan pedoman oleh hakim Pengadilan Agama
yang harus diikuti dalam penyelesaian perkara perkawinan, yaitu Kompilasi
Hukum Islam yang penyebarluaskannya dilakukan melalui Instruksi Presiden
No. 1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

 Tujuan Pembaharuan Hukum Keluara Islam

Tujuan dari pembaruan hukum keluarga Islam dapat dikelompokkan


menjadi tiga, yaitu unifikasi hukum, pengangkatan status perempuan dan
penyesuaian fikih dengan perkembangan zaman. Kelompok yang dimaksud
adalah sebagai berikut:

a. Unifikasi Hukum
Unifikasi hukum adalah upaya penyatuan hukum menjadi satu hukum
yang berlaku bagi rakyat yang ada di seluruh wilayah negara dan menjadi
bagian dari sistem hukum nasional. Usaha unifikasi hukum ini dilakukan
karena masyarakatnya menganut bermacam-macam mazhab atau bahkan
agama yang berbeda. Alasan pembaruan untuk unifikasi ini adalah karena
adanya sejumlah mazhab yang diikuti oleh negara yang bersangkutan.
Unifikasi hukum ini memiliki beberapa pemberlakuan, yaitu:
1) Unifikasi berlaku utuk muslim dan non-muslim;
2) Unifikasi berlaku untuk muslim dengan menyatukan dua aliran
besar dalam Islam yaitu sunni dan syiah

5
3) Unifikasi berlaku untuk muslim dengan memberlakukan antar
mazhab di kalangan sunni;5
4) Unifikasi untuk muslim saja dalam bentuk satu mazhab
saja,dijadikan sebagai mazhab yang terkait dengan negara, seperti
halnya dengan:
a) Fikih adalah pemikiran yang tidak dijadikan undang-
undang/tidak mengikat.
b) Qonun adalah fikih taqnin, pemahaman yang dijadikan
undang-undang
c) Yurisprudensi adalah pemahaman hakim terdahulu, dapat
d) dijadikan rujukan pakar-pakar hukum yang lain d. Fatwa
adalah pemahaman terhadap suatu perkara yang muncul
stelah adanya perkara.
b. Tujuan peningkatan status perempuan
Tujuan ini memang tidak disebutkan secara gamblang, namun terlihat dari
materi hukum yang dirumuskan bahwa undang-undang tersebut merespon
sejumlah tuntutan peningkatan status dan kedudukan perempuan. Hampir
semua pembaharuan undang- undang perkawinan di berbagai negara
dilakukan untuk meningkatkan ststus perempuan.
c. Tujuan menyesuaikan dengan perkembangan zaman
Agar tidak tertinggal dengan perubahan zaman yang terus menerus
terjadi, maka perlu pembaruan hukum keluarga Islam untuk
mengimbanginnya. Dapat dikatakan bahwa tujuan ketiga ini merupakan
tujuan dari pembaruan hukum keluarga dari kebanyakan negara muslim,
meskipun tidak menutup kemungkinan di beberapa negara mencakup
berbagai tujuan sekaligus.

5
Ritongga, Iskandar. Hak-hak Wanita dalam Putusan Peradilan. Diterbitkan Program
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji
Departemen Agama RI. 2005

6
C. Aspek Pembaharuan Hukum Keluarga Islam

Adapun aspek pembaharuan hukum Islam di Negara-negara muslim


terutama dalam bidang hukum keluarga diantaranya adalah:

1. Usia Perkawinan dan Perwalian


Dalam fiqh batas usia perkawinan tidak ditentukan dengan angka
umur pasti. Para ulama hanya menyebutkan akil baligh; adapun baligh
sendiri bagi perempuan ketika sudah mengalami haid, dan bagi laki-laki
adalah yang sudah mengalami mimpi basah. Akan tetapi, beberapa negara
muslim telah menetapkan batas usia seorang laki-laki dan perempuan
untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini ditujukan untuk mengurangi
dan menghapuskan praktik perkawinan anak-anak. Sehingga, perkawinan
yang belum memenuhi syarat usia tersebut. dianggap tidak sah oleh
hukum Negara, bahkan di Negara tertentu diberikan sanksi pidana untuk
perkawinan anak di bawah umur. 6Di Turki ditetapkan usia perkawinan
untuk laki-laki 17 tahun dan perempuan 15 tahun, dalam Code Civil 1926;
di Lebanon, laki-laki 18 tahun dan perempuan 15 tahun; di Mesir laki-laki
18 tahun dan perempuan 16 tahun; di Jordania laki-laki 18 tahun dan
perempuan 17 tahun di Syiria laki-laki 18 tahun dan perempuan 17 tahun;
di Irak laki-laki dan perempuan 18 tahun; di Iran laki-laki 18 tahun dan
perempuan 15 tahun; di India laki-laki 18 tahun dan perempuan 14 tahun;
di Pakistan laki-laki 18 tahun dan perempuan 16 tahun. Di beberapa
negara Muslim perwalian bagi perempuan dalam perkawinan sangat
ditekankan. Adanya perwalian ini ditujukan untuk melindungi kepentingan
si perempuan namun jika wali berbuat tidak adil dan tidak baik maka
pengadilan dapat mengambil alihnya.

6
Latief, Nur Hasan. Pembaharuan Hukum Keluarga Serta Dampaknya Terhadap
Pembatasan Usia Minimal Kawin Dan Peningkatan Status Wanita. Jurnal Hukum Novelty.
Vol. 7 No. 2 Agustus 2016. 1.7

7
2. Kontrol terhadap Poligami
Poligami merupakan suatu yang diperbolehkan dalam wacana fiqh,
dan dibatasi hingga empat orang isteri. Namun, masalah poligami ini
menjadi polemic di kalangan para pemikir muslim kontemporer. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa poligami bukanlah merupakan aturan,
melainkan merupakan bentuk pengecualian, yaitu untuk menghindari
perbuatan yang keji. Oleh karena itu, dalam hukum keluarga di negara-
negara Muslim, poligami cenderung dikontrol oleh hukum negara.
Dalam hukum keluarga di Libanon, poligami dibatasi hingga
maksimal empat orang isteri dan harus dapat berbuat adil terhadap isteri-
isterinya; dalam hukum keluarga Maroko tahun 1954, menyatakan bahwa
para isteri yang dipoligami harus mendapatkan perlakuan yang sama dari
suami, dan jika ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil, maka poligami
tidak diperbolehkan. Di India dan Pakistan, dengan UU Perkawinan tahun
1939, kegagalan laki-laki untuk berlaku adil terhadap isteri-isteri yang
dipoligami, dapat menjadi sebab perceraian di pengadilan.
3. Perceraian dari suami
Perkawinan merupakan ikatan yang sangat kuat antara pasaan suami
dan isteri. Oleh karena itu, hukum keluarga di beberapa negara Muslim,
cenderung membatasi kehendak suami untuk memutuskan perkawinan.
Jika di masa pembentukan hukum Islam sebagaimana yang diwacanakan
dalam fiqh, seorang suami berhak menjatuhan talak kepada isterinya dan
ketika suami mengucap talak maka, telah jatuh talak, dan perkawinan
menjadi putus; maka hukum keluarga Islam saat ini cenderung untuk
membatasi hak talak bagi suami tersebut. 7
4. Perceraian yang diajukan oleh isteri

7
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (antara figh munakahat dan
undang-undang perkawinan), Jakarta:Kencana 2006. 41

8
Dalam fiqh, dinyatakan bahwa hak talak ada pada suami, namun
seorang isteri juga dapat meminta cerai dari suami, dalam apa yang disebut
dengan fasakh. Di negara-negara Muslim saat ini, perceraian yang
diajukan oleh isteri juga diatur dalam hukum keluarga. Seorang sitri dapat
mengajukan perceraian ke pengadilan dengan beberapa alasan yaitu
kegagalan suami dalam memberaikan nafkah, suami memiliki halangan
fisik, mental dan penyakit yang susah disembuhkan, meninggalkan rumah
tangga, menyakiti sitri, berbuat kekerasan terhadap sitri, dipenjara,
menghilang dan sebagainya" Inisiatif perceraian dari isteri ini diajukan ke
pengadilan. Di Iran, seorang isteri yang suaminya melakukan perkawinan
kedua atau berpoligami tanpa persetujuan isterinya, maka sang isteri dapat
mengajukan perceraian ke pengadilan begitu juga di India dan di Pakistan.
5. Status hukum anak
Anak yang sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.
Namun, dalam fiqh terdapat konsep tentang masa iddah, yaitu masa
menunggu setelah perceraian. Hal ini penting untuk mengetahui apakah
isteri ketika dicerai dan setelah cerai, dalam keadaan mengandung atau
tidak. Jika setelah cerai, dalam masa iddah si isteri mengandung, maka
berarti anak tersebut masih anak dari suami yang telah menceraikannya.
Di beberapa negara Muslim, hukum keluarga mengatur tentang masa
iddah, hak nafkah dan hak waris bagi isteri serta status anak dalam masa
ini. Di negara Mesir ditetapkan masa iddah tidak lebih dari satu tahun,
begitu juga di negara Sudan. Di India dan Pakistan juga diatur tentang hal
tersebut, bahwa seorang anak yang dilahirkan dalam masa iddah, dan
ibunya belum menikah dengan orang lain, anak tersebut masih
mendapatkan status anak sah dari perkawinan sebelumnya."

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum keluarga secara garis besar dapat dimaknai hukum mengatur


tentang pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi karena
pertalian darah, ataupun terjadi karena adanya sebuah perkawinan. Pembaruan
hukum keluarga Islam yang dilakukan oleh Turki, Mesir, Pakistan, Indonesia
dan lain-lain adalah upaya untuk menjawab tantangan yang ada pada era
modern karena fikih konvensional belum mampu untuk menjawabnya.

Tujuan dari pembaruan hukum keluarga Islam dapat dikelompokkan


menjadi tiga, yaitu unifikasi hukum, pengangkatan status perempuan dan
penyesuaian fikih dengan perkembangan zaman. Adapun aspek pembaharuan
hukum Islam di Negara-negara muslim terutama dalam bidang hukum
keluarga diantaranya adalah pembatasan usia perkawinan, kontrol terhadap
poligami. dalam hal perceraian dari suami dan isteri.

10
DAFTAR PUSTAKA

Latief, Nur Hasan. Pembaharuan Hukum Keluarga Serta Dampaknya Terhadap


Pembatasan Usia Minimal Kawin Dan Peningkatan Status Wanita. Jurnal
Hukum Novelty. Vol. 7 No. 2 Agustus 2016. 1.7

Habudin, Thab. Menimbang Metode Tematik-Holistik Dalam Pembaruan Hukum


Keluarga Muslim (Telaah Pemikiran Khairuddin Nasution). Jurnal, Vol. 8,
No. 1.2015

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia, Jakarta : Pt Raja


Grapido Persada, 2005, 166

Setiawan, Eko, Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia


Jurnal Syariah dan Hukum. Volume 6 Nomor 2, Desember 2014,12

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (antara figh munakahat


dan undang-undang perkawinan), Jakarta:Kencana 2006.

Ritongga, Iskandar. Hak-hak Wanita dalam Putusan Peradilan. Diterbitkan


Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI. 2005

Wahyuni,Sri. Pembahauan Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim. Jurnal Al-


Ahwal, Vol. 6, No. 2. 2013

11
12

Anda mungkin juga menyukai