DOSEN PENGAMPU:
AHMAD JUNAEDY, Lc., M.Pd
DISUSUN OLEH:
NIM : 1941119
MATERI KE-2 Hadits tentang Celaan bagi Orang Tidak Mau Bekerja...................................7
MATERI KE-4 Hadits tentang Tunaikan Gaji Pegawai Sebelum Keringatnya Kering..........17
2
MATERI KE-1
Hadits tentang Nilai Dasar Ekonomi Islam
Pokok Bahasan:
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Kandungan Hadits
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
ع َْن، ُّي ِْريI ٍن ْالقُ َشIو ُم ب ُْن َجوْ َشIIُ َّدثَنَا ُك ْلثI َح:الIَ Iَ َح َّدثَنَا َكثِي ُر ب ُْن ِه َش ٍام ق:َان قَا َل ٍ َح َّدثَنَا أَحْ َم ُد ب ُْن ِسن
ُاج ُر اأْل َ ِمين
ِ َّ «الت:لَّ َمI ِه َو َسIلَّى هللاُ َعلَ ْيIص َ ِ و ُل هَّللاIال َر ُسIَ Iَ ق:ال َ َ ق، ع َِن ا ْب ِن ُع َم َر، ع َْن نَافِ ٍع،ُّوب َ أَي
»ش َهدَا ِء يَ ْو َم ا ْلقِيَا َم ِة ْ ق ا ْل ُم
ُّ سلِ ُم َم َع ال ُ صدُو َّ ال
Telah menceritaka kepada kami Ahmad bin Sinan dia berkata: telah menceritakan kepada
kami Katsir bin Hisyam, beliau berkata: telah menceritakan kepada kami Kultsum bin
Jausyan al-Qusyairy, dari ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, beliau berkata: bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang pedagang muslim yang jujur
dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama orang-orang yang mati syahid pada
hari kiamat (nanti).
2. Kosakata/Mufradat
َح َّدثَنَا : telah menceritakan kami
اج ُرِ َّالت : Pedagang, Pebisnis
ُاأْل َ ِمين : yang jujur
َم َع : bersama
ق ُ صدُو َّ ال : Yang amanah
ش َهدَا ِء ُّ ال : Orang-orang yang mati syahid
يَ ْو َم : hari
3. Status Hadits
Hadits dari Ibnu Umar ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (Sunan Al-Kubra, 5:266),
dan Al-Hakim Al-Naysaburiy (Mustadrak ‘ala Al-Shahihayn, 2:7). Menurut Abu Hatim Al-
Razi, hadits ini ‘laa ashla lahu’ (tidak ada sumbernya) karena dalam sanadnya terdapat
3
Kultsum bin Jauzan yang dha’if (Abu Muhammad Abdur Rahman bin Muhammad bin Idris
bin Mihran al-Razi (240-327 H.), (‘Ilal al-Hadits li ibn Abi Hatim Al-Razi, 1: 386).
Hadits ini memiliki syahid (hadits lain yang merupakan pendukung hadits sebelumnya
dengan periwayat yang berbeda sejak periode sahabat) dari sahabat Abu Sa’id:
ُ ق األَ ِم
َين َم َع النَّبِيِّين َ ع َْن أَبِي َس ِعي ٍد ع َْن النَّبِ ِّي
َّ االتَّا ِج ُر ال: صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل
ُ ص ُدو
ين َوال ُّشهَدَا ِء
Iَ َِوالصِّ دِّيق
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi, (Al-Jami’ Al-Shahih, 1:515) dan Al-Hakim
Al-Naisaburiy (Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihayn, 2:7). Dalam penilaian Al-Tirmidzi, hadits
ini berkualitas hasan. Nashiruddin Al-Albani memiliki penilaian yang berbeda, karena ia
menyatakan bahwa hadits ini berkualitas dha’if (Dha’if Sunan Al-Tirmidzi, 1:145).
Akan tetapi, dalam kitab Shahih Al-Targhib wa Al-Tarhib, Muhammad Nashiruddin Al-
Albaniy (2:162) menyatakan bahwa hadits ini berkualitas Shahih Lighairihi (Berkualitas
shahih karena ada sanad lain yang memperkuat sehingga kualitasnya naik derajatnya menjadi
shahih).
4
kesempatan lainnya. Di antara para Tabi'in, yang paling banyak meriwayatkan darinya ialah
Salim dan hamba sahayanya, Nafi'.
Pujian dari Sahabat
Kesalehan Ibnu Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi dan
kaum muslimin lainnya. Jabir bin Abdullah berkata: " Tidak ada di antara kami disenangi
oleh dunia dan dunia senang kepadanya, kecuali Umar dan putranya Abdullah." Abu
Salamah bin Abdurrahman mengatakan: "Ibnu Umar meninggal dan keutamaannya sama
seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak orang yang sebanding dengan dia, sementara
Ibnu Umar hidup pada masa yang tidak ada seorang pun yang sebanding dengan dia".
Pedagang yang dermawan
Ibnu Umar adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya, tetapi juga banyak
berderma. ia pedagang yang sukses, sebagai pedagang ia berpenghasilan banyak karena
kejujurannya berniaga. Selain itu ia menerima gaji dari Baitul Maal. Tunjangan yang
diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk dirinya sendiri, tetapi dibagi-bagikannya kepada
fakir miskin. Berdagang buat Ibn Umar hanya sebuah jalan memutar rezeki Allah di antara
hamba-hambanya.
Ia hidup sampai 60 tahun (Ia wafat pada tahun 73 H) setelah wafatnya Rasulullah. Ia
kehilangan pengelihatannya pada masa tuanya. Ia wafat dalam usia lebih dari 80 tahun, dan
merupakan salah satu sahabat yang paling akhir yang meninggal di kota Makkah.
5. Kandungan Hadits
Hadis yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang pedagang yang
memiliki sifat-sifat ini, karena dia akan dimuliakan dengan keutamaan besar dan kedudukan
yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan dikumpulkan bersama para Nabi,
orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat.
Imam ath-Thiibi mengomentari hadis ini dengan mengatakan, “Barangsiapa yang
selalu mengutamakan sifat jujur dan amanah, maka dia termasuk golongan orang-orang
yang taat (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala); dari kalangan orang-orang shiddiq dan
orang-orang yang mati syahid, tapi barangsiapa yang selalu memilih sifat dusta dan khianat,
maka dia termasuk golongan orang-orang yang durhaka (kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala); dari kalangan orang-orang yang fasik (buruk/rusak agamanya) atau pelaku
maksiat”.
6. Beberapa Faidah Penting Yang Dapat kita Petik Dari Hadis Ini:
Maksud sifat jujur dan amanah dalam berdagang adalah dalam keterangan yang
disampaikan sehubungan dengan jual beli tersebut dan penjelasan tentang cacat atau
kekurangan pada barang dagangan yang dijual jika memang ada cacatnya.
Inilah sebab yang menjadikan keberkahan dan kebaikan dalam perdagangan dan jual
beli, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kalau keduanya
(pedagang dan pembeli) bersifat jujur dan menjelaskan (keadaan barang dagangan
atau uang pembayaran), maka Allah akan memberkahi keduanya dalam jual beli
tersebut. Akan tetapi kalau kaduanya berdusta dan menyembunyikan (hal tersebut),
maka akan hilang keberkahan jual beli tersebut”.
5
Berdagang yang halal dengan sifat-sifat terpuji yang disebutkan dalam hadis ini
adalah pekerjaan yang disukai dan dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para shahabatnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang
shahih. Adapun hadis “Sembilan persepuluh (90 %) rezeki adalah dari perniagaan”,
maka ini adalah hadis yang lemah, sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh al-
Albani.
Maksud dari keutamaan dalam hadis ini: “…bersama para Nabi, orang-orang
shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti)” bukanlah
berarti derajat dan kedudukannya sama persis dengan derajat dan kedudukan mereka,
tapi maksudnya dikumpulkan di dalam golongan mereka, sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ين ِّ َع الَّ ِذينَ أَ ْن َع َم هَّللا ُ َعلَ ْي ِه ْم ِمنَ النَّبِيِّينَ َوIIIكَ َمIIIِول فَأُولَئ
Iَ ِدِّيقIIIالص ُ ع هَّللا َ َوالرIII
َ IIIَّس ِ َو َم ْن يُ ِط
َذلِ َك ْالفَضْ ُل ِمنَ هَّللا ِ َو َكفَى بِاهَّلل ِ َعلِي ًما.َوال ُّشهَدَا ِء َوالصَّالِ ِحينَ َو َحسُنَ أُولَئِ َك َرفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan
(dikumpulkan) bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang
yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah
karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (QS an-Nisaa’: 69-70)
6
MATERI KE-2
Hadits tentang Celaan bagi Orang Tidak Mau Bekerja
Pokok Bahasan;
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Asbabul Wurud
6. Kandungan Hadits
7. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
Pembahasan;
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
ِ َع ْن َع ْب ِد هللا، َع ْن نَافِ ٍع،ئ َعلَ ْي ِه َ فِي َما قُ ِر،س ٍ َك ب ِْن أَن ِ ِ َع ْن َمال،َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ ب ُْن َس ِعي ٍد
َ Iَ ق،صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
«ا ْليَ\ ُد ا ْل ُع ْليَ\\ا َخيْ ٌر ِم َن ا ْليَ\ ِد:الI َ هللاِ ُول َ أَ َّن َرس،ْب ِن ُع َم َر
»ُسائِلَةَّ س ْفلَى ال ُّ َوال،ُ َوا ْليَ ُد ا ْل ُع ْليَا ا ْل ُم ْنفِقَة،س ْفلَى
ُّ ال
Terjemahan;
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dari Malik bin Anas -sebagaimana
yang telah dibacakan kepadanya- dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda di atas mimbar, beliau menyebut tentang sedekah
dan menahan diri dari meminta-minta. Sabda beliau: "Tangan yang di atas lebih baik
daripada tangan yang dibawah. Tangan di atas adalah tangan pemberi sementara
tangan yang di bawah adalah tangan peminta-minta." (Hadits Riwayat Imam Muslim)
2. Kosakata/Mufradat
ْاليَ ُد ْالع ُْليَا: Az-Zamakhsyari mengatakan: asal makna ْالع ُْليَاdigunakan untuk nama tempat
ْ َاأل,
yang tinggi dan bukan mwnunjukkan makna feminim (muannas) atas lafadz علَى
““ ْاليَ ُد ْالع ُْليَاmaksudnya ialah tangan orang yang memberi sedekah. Ini mengikut pendapat
yang paling kuat, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang
mentafsirkannya.
Menurut pendapat lain, maksudnya ialah tangan yang tidak mau menerima. Menurut
pendapat yang lain lagi, maksudnya ialah tangan yang menerima tanpa meminta-minta.
“ ٌرIIْخيَ “ lebih utama. Lafaz ini berkedudukan sebagai khabar dan lafaz “ ُدIIَ “ ْاليyang
berkedudukan sebagai mubtada’, sedangkan lafaz ““ ْالع ُْليَاberkedudukan sebagai sifat
kepada lafaz ““ ْاليَ ُد
7
ُّ “ ِمنَ ْاليَ ِد الmenurut pendapat yang paling kuat adalah “tangan yang menerima”.
“س ْفلَى
Pendapat yang lain menyatakan “tangan yang tidak mau memberi.” Menurut pendapat
yang lain lagi, “tangan yang meminta.
Secara keseluruhan berarti ُ ْال ُم ْنفِقَةyaitu pemberi/ penginfak. Sedangkan س ْفلَى
ُّ ْاليَ ِدال berarti
ُ السَّائِلَةyaitu peminta
3. Status Hadis
Hadits di atas dalam shahih Bukhari diriwayatkan melalui dua belas jalur. Dari
kedua belas jalur tersebut, ada dua jalur berderajat hasan, satu dhaif, dan selebihnya
shahih.
Sanad
JALUR SANAD KE - 1
Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab bin Nufail
(Sahabat)
8
Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Ibnu Umar untuk menjabat sebagai
hakim, tapi ia tidak mau menerimanya. Setelah Utsman terbunuh, sebagian kaum
muslimin pernah berupaya membai'atnya menjadi khalifah, tapi ia juga menolaknya. Ia
tidak ikut campur dalam pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu
Sufyan. Ia cenderung menjauhi dunia politik, meskipun ia sempat terlibat konflik dengan
Abdullah bin Zubair yang pada saat itu telah menjadi penguasa Makkah.
Periwayat hadits
Ibnu Umar adalah seorang yang meriwayatkan hadist terbanyak kedua setelah
Abu Hurairah, yaitu sebanyak 2.630 hadits, karena ia selalu mengikuti kemana
Rasulullah pergi. Bahkan Aisyah istri Rasulullah pernah memujinya dan berkata :"Tak
seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentiannya,
seperti yang telah dilakukan Ibnu Umar". Ia bersikap sangat berhati-hati dalam
meriwayatkan hadist Nabi. Demikian pula dalam mengeluarkan fatwa, ia senantiasa
mengikuti tradisi dan sunnah Rasulullah, karenanya ia tidak mau melakukan ijtihad.
Biasanya ia memberi fatwa pada musim haji, atau pada kesempatan lainnya. Di antara
para Tabi'in, yang paling banyak meriwayatkan darinya ialah Salim dan hamba
sahayanya, Nafi'.
Pujian dari Sahabat
Kesalehan Ibnu Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi dan
kaum muslimin lainnya. Jabir bin Abdullah berkata: " Tidak ada di antara kami
disenangi oleh dunia dan dunia senang kepadanya, kecuali Umar dan putranya
Abdullah." Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan: "Ibnu Umar meninggal dan
keutamaannya sama seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak orang yang
sebanding dengan dia, sementara Ibnu Umar hidup pada masa yang tidak ada seorang
pun yang sebanding dengan dia".
Pedagang yang dermawan
Ibnu Umar adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya, tetapi juga banyak
berderma. ia pedagang yang sukses, sebagai pedagang ia berpenghasilan banyak karena
kejujurannya berniaga. Selain itu ia menerima gaji dari Baitul Maal. Tunjangan yang
diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk dirinya sendiri, tetapi dibagi-bagikannya
kepada fakir miskin. Berdagang buat Ibn Umar hanya sebuah jalan memutar rezeki Allah
di antara hamba-hambanya.
Ia hidup sampai 60 tahun (Ia wafat pada tahun 73 H) setelah wafatnya Rasulullah.
Ia kehilangan pengelihatannya pada masa tuanya. Ia wafat dalam usia lebih dari 80
tahun, dan merupakan salah satu sahabat yang paling akhir yang meninggal di kota
Makkah.
4. Asbabul Wurud
Latar belakang munculnya hadis di atas, dan beberapa hadis lain yang senada
dengannya, adalah sebagaimana diceritakan oleh Hakim bin Hizam r.a., bahwasanya,
suatu ketika ia (Hakim) meminta sesuatu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam., dan beliau memberikannya, kemudian ia meminta lagi hingga beberapa kali,
dan Rasulullah-pun selalu memberikannya, hingga akhirnya, beliau bersabda, “Wahai
Hakim, sesungguhnya harta itu seperti barang yang manis dan menyenangkan,
9
barangsiapa mengambilnya dengan sikap diri rendah hati, Allah akan memberkati apa
yang dia ambil. Barangsiapa yang mengambilnya dengan sikap diri berlebih-lebihan,
Allah tidak akan memberkahi apa yang diambilnya, dan apa yang ia makan tidak akan
mengenyangkannya. Sesungguhnya tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di
bawah”
5. Kandungan Hadis
Hadis ini menjelaskan bahwa kita sebagai orang yang tangannya di atas hendaklah
lebih dahulu memulai atau mendahulukan pemberiannya kepada keluarga setelah itu
barulah kepada yang lain. Disamping itu didalam hadis itu dijelaskan bahwa Allah akan
mencukupi seseorang yang menuntut atau bertekad menjadikan dirinya berkecukupan
tidak mau meminta belas kasihan orang lain.
Ungkapan ini dapat dipahami bahwa sangatlah bijak dan dianjurkan bagi orang
kaya atau yang berkecukupan agar member kepada yang miskin dengan pemberian yang
dapat menjadi modal usahanya untuk dia dapat menjadi orang yang mempunyai usaha
sehingga pada saatnya nanti ia tidak lagi menjadi orang yang meminta-minta
(mengharapbelaskasihan orang).
Meminta-minta adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah Subhaanahu wa ta’ala,
karena selama ia mampu untuk bekerja keras, pasti akan menumbuahkan hasil yang
manis. Meminta-minta diidentikkan kepada orang yang malas, karena mereka tidak mau
bekerja keras, sehingga kerjaannya hanya meminta – minta. Bekerja sama saja dengan
menjaga kehormatan dirinya dari sifat tercela.
Perspektif Ekonomi
HUKUM MENGEMIS DAN MEMINTA SUMBANGAN DALAM PANDANGAN
ISLAM :
Meminta-minta sumbangan atau mengemis tidak disyari’atkan dalam agama
Islam, apalagi jika dilakukan dengan cara menipu atau berdusta dengan cara
menampakkan dirinya seakan-akan dalam kesulitan ekonomi, atau sangat membutuhkan
biaya pendidikan anak sekolah, atau perawatan dan pengobatan keluarganya yang sakit,
atau untuk membiayai kegiatan tertentu, maka hukumnya haram dan termasuk dosa
besar.
Kesimpulan
Dari hadis diatas dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang memberi lebih
baik dari pada orang yang meminta-minta, karena perbuatan meminta-minta merupakan
perbuatan yang mengakibatkan seseorang menjadi tercela dan hina. Sebenarnya
meminta-minta itu boleh dan halal, tetapi boleh disini diartikan bila seseorang dalam
keadaan tidak mempunyai apa-apa pada saat itu. Dengan kata lain yaitu dalam keadaan
mendesak atau sangat terpaksa sekali. Dan perbuatan meminta-minta itu dikatakan hina
jika orang yang melakukan pekerjaan itu dalam keadaan cukup, sehingga akan
merendahkan dirinya baik di mata manusia maupun pada pandangan Allah swt di akhirat
nanti.
Orang yang memberi lebih utama dibandingkan orang yang meminta-minta saja.
Jadi bagi mereka yang memperoleh banyak harta harus diamalkan bagi orang yang
10
membutuhkan,sebab islam telah memberi tanggung jawab kepada orang muslim untuk
memelihara orang-orang yang karena alasan tertentu tidak bisa memenuhi kebutuhan
hidupnya, yaitu melalui zakat, maupun sedekah. Dan islam tidak menganjurkan hidup
dari belas kasihan orang lain atau dengan kata lain islam tidak menyukai pengangguran
dan mendorong manusia untuk berusaha. Membuka jalan atas dirinya untuk meminta-
minta dalam arti kata meminta dengan ketiadaan mudharat maka Allah akan membuka
pintu kemiskinan atas dirinya.
11
MATERIKE-3
Hadits tentang Keutamaan Memberi Nafkah dan Bekerja
Pokok Bahasan;
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Kandungan Hadits
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
Pembahasan:
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
Terjemahan
Telah menceritakan kepada kami Adam bin Abu Iyas Te
lah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Adi bin Tsabit ia berkata; Aku mendengar
Abdullah bin Yazid Al-Anshari dari Abu Mas'ud Al Anshari maka aku berkata; Dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jika seorang muslim memberi nafkah pada
1
keluarganya dengan niat mengharap pahala, maka baginya hal itu adalah sedekah." (HR. al-
Bukhari)
2. Kosakata/Mufradat
3. Asbabul Wurud
Para ulama memberikan satu batasan tentang makna nafkah. Diantaranya
sebagaimana disebutkan dalam Mu’jamul Wasith, yaitu apa-apa yang dikeluarkan oleh
12
seorang suami untuk keluarganya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan yang
selainnya. Nafkah ini juga mencakup keperluan isteri sewaktu melahirkan, seperti
pembiayaan bidan atau dokter yang menolong persalinan, biaya obat serta rumah sakit.
Termasuk juga didalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis isteri.
Telah menceritakan kepada kami Adam bin Abu Iyas Telah menceritakan kepada kami
Syu'bah dari Adi bin Tsabit ia berkata; Aku mendengar Abdullah bin Yazid Al Anshari
dari Abu Mas'ud Al Anshari maka aku berkata; Dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda: "Jika seorang muslim memberi nafkah pada keluarganya dengan niat
mengharap pahala, maka baginya hal itu adalah sedekah."
4. Status Hadits
∙ Sanad
∙ Kuantitas
Sumber : Bukhari
Kitab : Nafkah
Kualitas : Hadits mashyur
13
5. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
Abu Mas'ud Al Anshari
Nama lengkapanya Uqbah bin Amr bin Tsa’labah bin Asirah bin Athiyah al-
Khzrajy al-Anshary, Abu Mas’ud al-Badry radhiallahu anhu
Ayahanda beliau bernama Amir bin Naabi dan ibunda beliau bernama Fukaihah
binti Sakan.
Beliau adalah salah satu di antara sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sahabat yang memiliki kunyah Abu Mas’ud ini termasuk sahabat yang sering
meriwayatkan hadis. Abu Mas’ud yang tergolong ulama di antara para sahabat ini
mengikuti baiat Aqabah pertama di Mekkah di kala masih muda. Ibunda beliau pun
mendapatkan taufik untuk baiat kepada Rasulullah saw. Ia tidak mengikuti perang
Badar, akan tetapi pernah turun ke sumur Badar hingga dikenal dengan Al-Badri. Ketika
Ali bin Abi Thalib ingin beranjak menemui Muawiyah, Ali mengangkat Abu Mas’ud
untuk menjadi penggantinya di Kufah.
Uqbah Bin Amir meriwayatkan, “Saya membawa anak saya yang masih kecil
lalu hadir ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saya berkata, “‘Demi
Anda, wahai Rasul! Saya bersedia mengorbankan ayah dan ibu saya. Mohon ajarkanlah
doa-doa kepada anak saya yang dengannya ia akan selalu berdoa kepada Allah ta’ala
dan Dia mengasihinya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Nak! Ikutilah dengan mengatakan, ‘Ya Allah! Hamba memohon kesehatan kepada
engkau dalam keadaan iman, aku memohon akhlak mulia beserta keimanan dan setelah
mendapatkan kedamaian aku mengharapkan kesuksesan.”
6. Kandungan Hadits
Diantara hadits yang menjadi penguat terhadap hadits di atas adalah sebagaimana
hadits yang bersumber dari Sa’ad bin Abu Waqqash Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia
memberitahukan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
14
SHOHIH. Diriwayatkan oleh imam al-Bukhari (no. 1295) & Muslim (no. 1628), dari Sa’ad
bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anhu).
Dalam kitab Fathul Bari, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqolani menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan kata “sedekah” pada hadits diatas adalah “pahala”, maksudnya
orang yang menafkahi keluarganya itu akan mendapatkan pahala, dan pahala itu akan
didapatkan dengan syarat apabila nafkah itu diniatkan untuk mematuhi perintah Allah
dan mendekatkan diri pada-Nya (niat ibadah) agar mendapatkan pahala.
Imam At-Thobari menerangkan; “Menafkahi keluarga itu hukumnya wajib, dan
orang yang memberikan nafkah akan diberikan pahala tergantung dari tujuan (niat) nya,
dan tidak ada yang salah dengan mengistilahkan nafkah dengan kata “sedekah”, bahkan
nafkah pada keluarga adalah sedekah yang lebih utama dibandingkan sedekah sunat”.
Syekh Al-Muhallab menjelaskan; “Menafkahi keluarga itu hukumnya wajib
berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama’), sedangkan menafkahi keluarga disebut dengan
"sedekah" karena dikhawatirkan orang-orang akan mengira bahwa ketika mereka
bekerja untuk menafkahi keluarganya mereka tidak akan mendapatkan pahala, dan pada
umumnya mereka tahu kalau orang yang bersedekah itu akan mendapatkan pahala,
karena itulah dijelaskan bahwa menafkahi keluarga itu juga mendapatkan pahala, dan
agar supaya mereka baru bersedekah setelah kebutuhan keluarganya tercukupi, karena
keluarga lebih didahulukan”.
Artin
ya: “…Dan kewajiban ayah menanggung nafkah & pakaian mereka dengan cara yang
patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.”. (QS. Al-Baqarah: 233).
2. Menerima nafkah dari seorang suami tidaklah merendahkan martabat seorang istri karena
memang ia berhak mendapatkan nafkah tsb atas tugas dan pekerjaannya mengurus
rumah tangga dan mendidik anak-anak di dlm rumah secara khusus.
3. Setiap suami dan istri berkewajiban menjalankan tugas-tugasnya, dan masing masing dari
mereka akan mendapatkan pahala dari Allah atas pekerjaan n tugasnya itu.
4. Berbuat baik kepada istri dan anak-anak dengan harta, perkataan n perbuatan merupakan
ibadah yg berpahala jika benar-benar dilandasi dengan niat yg baik n ikhlas karena
mengharap ridho Allah Ta’ala semata.
5. Niat yg baik dan ikhlas karena Allah semata dapat merubah segala aktifitas dan rutinitas
sehari-hari yg bersifat wajib spt mencari nafkah, ataupun yg berfisat mubah spt makan,
minum, berpakaian, tidur, mandi dsb menjadi ibadah yg berpahala.
15
6. Seseorang akan diberi pahala oleh Allah atas pemberian nafkahnya kpd anak n istrinya
dengan syarat profesi dan penghasilannya adalah HALAL n BAIK menurut syari’at
Islam. Sebab, jika profesi dan penghasilannya haram, maka apapun yg ia infakkan
darinya tidak akan diterima n diberi pahala oleh Allah, karena Allah hanya menerima
ibadah yg ikhlas dan infaq yg dikeluarkan dari harta yg halal.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
Artinya: “Sesungguhnya Allah itu Dzat yg Maha Baik (suci), Dia tidak menerima
apapun kecuali yg baik (suci) saja.” (HR. Muslim).
7. Nafkah berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan n modal usaha yg
berasal dari profesi atau penghasilan yg haram dapat memberikan pengaruh buruk dan
bahaya besar bagi pemberi dan penerima, diantaranya:
16
MATERIKE-4
Hadits tentang Tunaikan Gaji Pegawai Sebelum Keringatnya Kering
Pokok Bahasan
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Kandungan Hadits
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
Pembahasan
Terjemahan:
Dari Abdullah bin Umaria berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah:)
B. Kosakata/Mufradat
C. Status Hadits
17
Hadis shahih li ghairihi yaitu hadis hasan yang derajatnya naik menjadi shahih li
ghairihi sebab terdapat jalur periwayatan lain yang secara kualitas sama atau lebih kuat
darinya.
Abdullah bin Umar bin Khattab atau dikenal juga dengan Ibnu Umar adalah
seorang sahabat Nabi dan merupakan periwayat hadits yang terkenal. Abdullah adalah
putra khalifah ke dua Umar bin al-Khaththab Khulafaur Rasyidin yang kedua saudara
kandung Sayyidah Hafshah Ummul Mukminin.
Ibnu Umar dilahirkan tidak lama setelah Nabi diutus, Umurnya 10 tahun ketika
ikut masuk Islam bersama ayahnya. Ibnu Umar masuk Islam bersama ayahnya saat ia
masih kecil, dan ikut hijrah ke Madinah bersama ayahnya.
Pada usia 13 tahun ia ingin menyertai ayahnya dalam Perang Badar, namun
Rasulullah menolaknya. Perang pertama yang diikutinya adalah Perang Khandaq. Ia ikut
berperang bersama Ja'far bin Abu Thalib dalam Perang Mu'tah, dan turut pula dalam
pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah). Setelah Nabi Muhammad meninggal, ia ikut
dalam perang Qadisiyah, Yarmuk, Penaklukan Afrika, Mesir dan Persia, serta
penyerbuan basrah dan Madain.
Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Ibnu Umar untuk menjabat sebagai
hakim, tapi ia tidak mau menerimanya. Setelah Utsman terbunuh, sebagian kaum
muslimin pernah berupaya membai'atnya menjadi khalifah, tapi ia juga menolaknya. Ia
tidak ikut campur dalam pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu
Sufyan. Ia cenderung menjauhi dunia politik, meskipun ia sempat terlibat konflik
dengan Abdullah bin Zubair yang pada saat itu telah menjadi penguasa Makkah.
Periwayat hadits
Ibnu Umar adalah seorang yang meriwayatkan hadist terbanyak kedua setelah Abu
Hurairah, yaitu sebanyak 2.630 hadits, karena ia selalu mengikuti kemana Rasulullah
pergi. Bahkan Aisyah istri Rasulullah pernah memujinya dan berkata :"Tak seorang pun
mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang
telah dilakukan Ibnu Umar". Ia bersikap sangat
berhati-hati dalam meriwayatkan hadist Nabi. Demikian pula dalam mengeluarkan
fatwa, ia senantiasa mengikuti tradisi dan sunnah Rasulullah, karenanya ia tidak mau
melakukan ijtihad. Biasanya ia memberi fatwa pada musim haji, atau pada kesempatan
lainnya. Di antara para Tabi'in, yang paling banyak meriwayatkan darinya ialah Salim
dan hamba sahayanya, Nafi'.
Pujian dari Sahabat
Kesalehan Ibnu Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi dan
kaum muslimin lainnya. Jabir bin Abdullah berkata: " Tidak ada di antara kami
disenangi oleh dunia dan dunia senang kepadanya, kecuali Umar dan putranya
Abdullah." Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan: "Ibnu Umar meninggal dan
keutamaannya sama seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak orang yang
18
sebanding dengan dia, sementara Ibnu Umar hidup pada masa yang tidak ada seorang
pun yang sebanding dengan dia".
Pedagang yang dermawan
Ibnu Umar adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya, tetapi juga banyak
berderma. ia pedagang yang sukses, sebagai pedagang ia berpenghasilan banyak karena
kejujurannya berniaga. Selain itu ia menerima gaji dari Baitul Maal. Tunjangan yang
diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk dirinya sendiri, tetapi dibagi-bagikannya
kepada fakir miskin. Berdagang buat Ibn Umar hanya sebuah jalan memutar rezeki
Allah di antara hamba-hambanya.
Ia hidup sampai 60 tahun (Ia wafat pada tahun 73 H) setelah wafatnya Rasulullah.
Ia kehilangan pengelihatannya pada masa tuanya. Ia wafat dalam usia lebih dari 80
tahun, dan merupakan salah satu sahabat yang paling akhir yang meninggal di kota
Makkah.
E. Penjelasan Hadits
Di antara kewajiban seorang majikan adalah memperhatikan upah pekerjanya.
Janganlah ia sengaja menunda padahal ia mampu menunaikannya tepat waktu. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan memberikan upah sebelum keringat si
pekerja kering.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu
Majah, shahih).
Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya
pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap
bulan.
Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu
menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si
pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji
setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering
atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718)
Menunda penurunan gaji pada pegawai padahal mampu termasuk kezholiman.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
19
“Orang yang menunda kewajiban, halal kehormatan dan pantas mendapatkan
hukuman” (HR. Abu Daud no. 3628, An Nasa-i no. 4689, Ibnu Majah no. 2427,
hasan).
Maksud halal kehormatannya, boleh saja kita katakan pada orang lain bahwa majikan ini
biasa menunda kewajiban menunaikan gaji dan zholim. Pantas mendapatkan hukuman
adalah ia bisa saja ditahan karena kejahatannya tersebut.
Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi
Arabia) pernah ditanya, “Ada seorang majikan yang tidak memberikan upah kepada
para pekerjanya dan baru memberinya ketika mereka akan safar ke negeri mereka, yaitu
setelah setahun atau dua tahun. Para pekerja pun ridho akan hal
tersebut karena mereka memang tidak terlalu sangat butuh pada gaji mereka (setiap
bulan).”
Jawab ulama Al Lajnah Ad Daimah, “Yang wajib adalah majikan memberikan
gaji di akhir bulan sebagaimana yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi
jika ada kesepakatan dan sudah saling ridho bahwa gaji akan diserahkan terakhir setelah
satu atau dua tahun, maka seperti itu tidaklah mengapa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Kaum muslimin wajib mematuhi persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Fatawa Al
Lajnah Ad Daimah, 14: 390).
20
MATERI KE-5
Hadits tentang Keutamaan Memberi Hutang
Pokok Bahasan
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 2.
Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Kandungan Hadits
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
Pembahasan
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
Status Hadits
Hadits ini jika dilihat secara parsial, sanadnya dhaif karena salah satu perawinya
adalah Sulaiman bin Yasir, serta Qais bin Rumi yang tidak dikenal identitasnya dengan
baik, tetapi hadits ini tingkatannya HASAN karena banyak hadits lain atau riwayat lain
yang mendukung makna hadits tsb.
21
Biografi Perawi Utama (Sahabat)
Abdullah bin Mas'ud bin Ghafil bin Habib al-Hudzali (wafat 32 H/653), (bahasa
(yang dikenal dengan Ibn
Mas'ud,
termasuk salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, muhaddits dan
mufassir Alquran di era permulaan Islam. Menurut penuturannya, ia adalah orang keenam
pertama yang memeluk Islam. Ibnu Mas'ud termasuk kelompok muhajirin pertama yang
pergi ke Habasyah. Ia berhijrah dari Mekkah menuju Madinah dan ikut berpartisipasi dalam
pertempuran Badar dan Uhud. Setelah Rasulullah wafat, ia juga ikut serta dalam peperangan
Riddah dan penaklukan Syam.
Pada tahun 21 H/642, Umar bin Khattab mengutus Ibnu Mas'ud bersama Ammar
untuk mengawasi Baitul Mal dan pengadilan. Ibnu Mas'ud pada masa kekhilafahan Utsman
berseteru dengan Sa'ad bin Abi Waqqash dan Utsman pun mengembalikannya lagi ke
Madinah. Ia meninggal di Madinah, dua tahun sebelum Utsman bin Affan meninggal.
Ia termasuk orang pertama yang hafiz Alquran dan mendengar langsung sekitar 70
surah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Ashim mengambil riwayat
Alqurannya dari Ibnu Mas'ud. Ia membacakan mushaf Alquran kepada sebagian orang dan
mereka menulisnya dan ketika Utsman memerintahkan untuk mengumpulkan semua mushaf
yang ada, awalnya ia menolak, namun akhirnya ia terpaksa melakukan hal tersebut. Ibnu
Mas'ud termasuk kalangan sahabat yang dihormati semua kaum muslim, baik Syiah maupun
Ahlusunah. Riwayat tentang jumlah para imam (berjumlah 12 orang) diriwayatkan dari
dirinya.
Kandungan Hadits
Pada hadits di atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan
bahwa pahala dua kali mengutangkan sama dengan pahala satu kali sedekah. Dari situ kita
pahami bahwa pahala sedekah lebih besar daripada pahala mengutangkan. Hal tersebut
masuk akal karena orang yang menyedekahkan hartanya, pada umumnya tidak
mengharapkan pengembalian. Ikhlas begitu saja. Sedangkan orang yang mengutangkan,
tentu berharap harta yang diutangkannya itu akan dikembalikan di kemudian waktu.
Tetapi, dalam kesempatan lain Nabi menemukan kenyataan berbeda. Ketika Nabi
melaksanakan Isra’ Mi’raj , Nabi sempat diajak jalan-jalan ke surga. Di salah satu pintu
surga Nabi menemukan sebuah tulisan yang terasa agak janggal. Isi tulisan tersebut
bertentangan dengan apa yang selama ini Nabi ketahui bahwa pahala sedekah lebih besar
dari pahala mengutangkan. Tetapi tulisan tersebut malah menyatakan sebaliknya, Nabi pun
heran dan langsung menanyakan hal tersebut kepada malaikat Jibril. Kisah selengkapnya
bisa kita simak dalam hadis berikut ini yang artinya:
Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah bersabda,”Aku melihat pada waktu malam
di-isra’kan, pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat dan qardh
delapan belas kali. Aku bertanya, Wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama dari
22
sedekah? Ia menjawab, karena peminta, meminta sesuatu padahal ia punya, sedangkan
yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan.” (HR. Ibnu Majjah)
Dalam hadis di atas Jibril menjelaskan bahwa bisa jadi pinjaman yang kita berikan
kepada orang yang sedang membutuhkan, lebih besar pahalanya daripada pahala sedekah.
Karena orang yang meminjam, biasanya dalam keadaan butuh. Sehingga pinjaman yang kita
berikan lebih tepat guna.
Sedangkan sedekah, bisa jadi orang yang meminta-minta sedekah itu bukan orang
miskin atau sedang dalam keadaan butuh. Bahkan dalam beberapa kasus, pengemis yang
meminta-minta di jalanan di kota-kota besar, yang pakaiannya terlihat lusuh, compang
camping, ada yang membawa anak kecil yang tertidur atau mungkin ‘sengaja’ dibuat tidur,
ternyata di kampung halamannya punya rumah mewah lengkap dengan kolam renang.
Memang pada dasarnya, beberapa pengemis di lampu merah itu tidak mengemis karena
terpaksa melainkan sudah menjadi profesi dan memang passion-nya dalam bidang itu.
Sehingga masuk akal jika dalam hadits di atas dikatakan bahwa pahala meminjamkan
kadang-kadang lebih besar dari pahala sedekah.
Hadits selanjutnya menjelaskan secara umum anjuran untuk meringankan beban saudara kita
sesama muslim, salah satunya dengan memberikan pinjaman.
Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
Barangsiapa yang melepaskan dari seorang musli kesusahan dunia, maka Allah akan
melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; dan barangsiapa yang memberikan
kemudahan kepada oarng yang sedang mengalami kesulitan di dunia, maka Allah akan
memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa yang
menutupi ‘aib seorang muslim di dunia, maka Allah akn menutupi ‘aibnya di dunia dan di
akhirat; dan Allah akan senantiasa menolonh hambanya, selama hamba itu menolong
saudaranya.” (HR. At-Tirmidzi)
Dalam hadits riwayat Ibnu Majah di atas, menunjukkan bahwa memberi pinjaman
memiliki keutamaan lebih besar daripada bersedekah. Di dalam Al-Qur’an juga disebutkan
bahwa memberi pinjaman dengan hati yang tulus untuk kemaslahatan si peminjam akan
mendapatkan pembayaran atau pahala berlipat ganda, yakni terdapat dalam QS. Al-Baqarah :
245 dan QS. Al-Hadid : 11.
Jika dikaji lebih dalam, ternyata efek sedekah dan pinjaman memiliki pengaruh yang
berbeda tingkatannya. Dapat dikatakan bahwa efek sedekah tidak terasa dan kurang
mendalam, baik di hati pemberi maupun penerima. Pasalnya, pemberian sedekah cenderung
23
bersifat instan, ditandai dengan tidak adanya perjanjian antara si pemberi dan si penerima.
Pemberian sedekah kurang kuat dalam membangkitkan rasa tanggung jawab dan
kemandirian si penerima. Sebaliknya, sistem pinjaman akan menciptakan konsekuensi moril
untuk bersikap jujur, bersungguh-sungguh, bertanggung jawab, dan bekerja keras untuk
mendapatkan hasil yang maksimal demi melunasi hutangnya, bermental maju, dan lain
sebagainya.
Sistem pinjaman juga akan tetap menjaga harga diri dan kemuliaan kedua belah
pihak. Berbeda dengan sedekah yang dapat mendatangkan riya dan takabur bagi si pemberi
sedekah. Tanpa disadari, sedekah akan mengajarkan dan membentuk “mental pengemis”.
Posisi penerima sedekah seolah selalu berada di bawah sehingga dapat menurunkan
derajatnya. Sedangkan sistem pinjam meminjam lebih berorientasi pada kesamaan derajat,
karena posisinya berada di bawah transaksi kesepakatan (akad). Penerima pinjaman akan
berusaha menjaga komitmennya untuk mengembalikan nya pada tempo tertentu sambil
berusaha dan bekerja.
Kesimpulannya adalah memberi pinjaman lebih utama daripada bersedekah. Dengan
memberi pinjaman, itu akan menimbulkan manfaat baik untuk orang yang memberi
pinjaman maupun orang yang menerima pinjaman.
Sangat wajar jika mekanisme ekonomi zaman modern ini tumbuh dinamis dan terus
meningkat berkat aktivitas sistem pinjam meminjam ini. Sistem ini berjalan secara
berkesinambungan untuk jangka panjang. Si pemberi pinjaman akan mendapatkan kembali
uangnya, si peminjam juga mendapatkan manfaat besar karena bisa memenuhi
kebutuhannya, bahkan sekaligus dapat memutar roda ekonominya yang sempat terhambat
karena kekurangan dana. Demikian seterusnya hingga menciptakan perputaran ekonomi
yang saling menguntungkan.
24
MATERI KE-6
Hadits tentang Larangan Menunda-nunda Membayar Hutang
Pokok Bahasan:
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Kandungan Hadits
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
Pembahasan
Terjemah:
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah
suatu kezhaliman. maka jika salah seorang dari kalian di pindahkan kepada seorang
yang kaya maka ikutilah ". (HR. Bukhari)
2. Kosakata/Mufradat
25
3. Status Hadis
Sanad
Abdur Rahman bin Shakhr (Abu Hurairah)
(Sahabat)
Matan
Matan dari hadits utama adalah orang kaya yang menunda-nunda membayar
hutang termasuk kepada perbuatan dzalim, perbedaan matan dari hadits penguat
(Hadits Nasa’i No. 4609) adalah kedzaliman adalah orang kaya yang menunda
26
pembayaran hutang yang tanpa adanya udzur. Jadi, dalam penguat lebih dijelaskan
dengan adanya udzur.
Sedangkan dalam hadits penguat (Hadits Ahmad No.5138 dan Hadits Ahmad
No.7034)dinyatakan bahwa orang kaya yang menunda membayar hutang termasuk
dalam suatu kedzaliman, dan apabila hutang itu dipindahkan kepada orang yang berharta
maka orang yang berhutang hendak mengikutinya.
ABU HURAIRAH
Menurut pendapat mayoritas, nama beliau adalah 'Abdurrahman bin Shakhr ad
Dausi. Pada masa jahiliyyah, beliau bernama Abdu Syams, dan ada pula yang
berpendapat lain. Kunyah-nya Abu Hurairah (inilah yang masyhur) atau Abu Hir, karena
memiliki seekor kucing kecil yang selalu diajaknya bermain-main pada siang hari atau
saat menggembalakan kambing-kambing milik keluarga dan kerabatnya, dan beliau
simpan di atas pohon pada malam harinya. Tersebut dalam Shahihul Bukhari, bahwa
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memanggilnya, “Wahai, Abu Hir”.
Ahli hadits telah sepakat, beliau adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan
hadits. Abu Muhammad Ibnu Hazm mengatakan bahwa, dalam Musnad Baqiy bin
Makhlad terdapat lebih dari 5300 hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu.
Selain meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau Radhiyallahu
'anhu juga meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, al Fadhl bin al Abbas, Ubay bin Ka’ab,
Usamah bin Zaid, ‘Aisyah, Bushrah al Ghifari, dan Ka’ab al Ahbar Radhiyallahu
'anhum. Ada sekitar 800 ahli ilmu dari kalangan sahabat maupun tabi’in yang
meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah dan beliau adalah orang yang paling hafal dalam
meriwayatkan beribu-ribu hadits. Namun, bukan berarti beliau yang paling utama di
antara para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Imam asy Syafi’i berkata,"Abu Hurairah adalah orang yang paling hafal dalam
meriwayatkan hadits pada zamannya (masa sahabat).”
Abu Hurairah masuk Islam antara setelah perjanjian Hudaibiyyah dan sebelum
perang Khaibar. Beliau Radhiyallahu 'anhu datang ke Madinah sebagai muhajir dan
tinggal di Shuffah.
Amr bin Ali al Fallas mengatakan, Abu Hurairah datang ke Madinah pada tahun
terjadinya perang Khaibar pada bulan Muharram tahun ke-7 H.
Humaid al Himyari berkata,"Aku menemani seorang sahabat yang pernah
menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selama empat tahun sebagaimana
halnya Abu Hurairah.”
27
4
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo’akan ibu Abu Hurairah, agar Allah
memberinya hidayah untuk masuk Islam, dan do’a tersebut dikabulkan. Abu Hurairah
wafat pada tahun 57 H menurut pendapat yang terkuat.
5. Kandungan Hadis
Dari teks hadits utama diatas, terdapat kandungan yaitu : Maksud dari kata
“Mathlu” ialah menunda-nunda iddah dan hutang. Dan di dalam istilah ahli fikih
“Mathlu” artinya adalah menahan penunaian sesuatu yang berhak ditunaikan.Haram
menunda-nunda pembayaran hutang bagi yang mampu tanpa ada alasan.
Hadist tersebut mengandung tuntunan untuk menyegerakan pembayaran hutang
bagi orang yang mampu untuk membayarnya. Selain itu pula juga terdapat peringatan
bahwa menunda-nunda pembayaran hutang termasuk perbuatan dzolim. Akan tetapi
yang dimaksud disini ialah penundaan pembayaran yang seharusnya segera
dilaksanakan oleh orang yang mampu melaksanakannya tanpa uzur. Berbeda halnya
dengan orang yang tidak mampu, maka ia boleh menunda pembayaran hutangnya
hingga mampu. Penundaan pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang yang mampu
termasuk dosa besar, terlebih jika orang yang berpiutang membebankan bunga kepada
orang yang berhutang karena pada saat jatuh tempo tidak terbayar dan hal ini termasuk
riba.
Jadi dapat disimpulkan, nahwa bagi orang yang mampu untuk membayar hutang,
harus membayar hutangnya karena dalam menunda-nunda pembayaran hutang termasuk
perbuatan dzalim. Akan tetapi yang dimaksud disini ialah penundaan pembayaran yang
seharusnya segera dilaksanaka noleh orang yang mampu melaksanakannya tanpa uzur.
Berbeda halnya dengan orang yang tidak mampu, maka ia boleh menunda pembayaran
hutangnya hingga ia mampu.
28
e. Berilah tenggang waktu bagi orang yang kesulitan dalam membayar hutangnya f.
Berilah kemudahan bagi orang yang mudah melunasi hutang g. Barangsiapa yang
hutangnya dialihkan kepada orang kaya maka ia harus mengikutinya/menerimanya.
h. Membayar hutang adalah suatu kewajiban yang harus kita penuhi. Haram hukumnya jika
kita menunda-nunda pembayaran hutang padahal kita mampu untuk membayarnya.
Membayar hutang sangat penting, bahkan orang yang belum membayar hutangpun tidak
diperbolehkan membayar zakat, melainkan harus membayar hutang dahulu,
i. seorang yang berjuang dijalan Allah (fii sabilillah) pun harus melunasi hutangnya
tersebut sebelum maju ke medan perang. Maka dari itu j. Membayar hutang adalah suatu
kewajiban mutlak yang harus dilakukan oleh seluruh muslim yang dikenakan membayar
hutang.
k. Hukum menunda pembayaran hutang tidak haram apabila orang yang berhutang memang
benar-benar belum mampu membayarnya atau ia telah mampu membayarnya namun
masih berhalangan untuk membayarnya semisal uang yang ia miliki belum berada
ditangannya atau alasan-alasan lain yang dibenarkan agama.
29
MATERI KE 7
Hadits tentang Khiyar dalam Jual Beli
Bahan Kajian;
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Asbabul Wurud
4. Status Hadits
5. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
6. Kandungan Hadits
7. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
Pembahasan;
Artinya:
Dari Hakim bin Hizam –radliyallahu`anh- ia berkata : Rasulullah –shallallahu`alaihi
wa sallam- bersabda : “Dua orang yang berjual beli itu haruslah bebas memilih sebelum
mereka berpisah. Apabila keduanya jujur dan berterus terang di dalam berjual beli, maka
keduanya akan mendapatkan berkah. Tetapi apabila keduanya menyembunyikan dan
dusta, maka jual belinya itu tidak akan membawa berkah. (Riwayat Imam Al-Bukhari
dan Imam Muslim).
2. Kosakata/Mufradat
: Artinya penjual dan pembeli. Makna ini diberikan kepada keduanya, yang
termasuk masalah kebiasaan. Seperti yang sudah dijelaskan, masing masing dari dua
lafazh inni dapat diartikan pula bagi yang lainnya.
: Merupakan mashdar dari ikhtara, dari al-ikhtiar, berarti meminta yang terbaik
dari dua hal, entah berupa pengesahan atau penolakan.
Keduanya jujur
terang Terus
30
Penjual menyembunyikan kecatatan barang dan pembeli menyembunyikan kecatatan
harga, yang dimaksud dengan menyembunyikan yaitu menyamarkan
kecatatannya dan menampakan yang tidak ada.
3. Asbabul Wurud
4. Status Hadits
Kuantitas hadis utamanya adalah Ahad Gharib karena, Gharib ialah hadits yang
diriwayatkan hanya dengan satu sanad.
Sedangkan Matannya ada Keterkaitan antara hadis utama dan hadis penguat yaitu apa
bila ada dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar, selama keduanya
belum berpisah, dan apabila keduanya jujur dan menampakkan cacat dagangannya maka
keduanya diberkahi dalamjual belinya dan bila menyembunyikan cacat dan berdusta
maka akan dimusnahkan keberkahanjual belinya.
Jika di lihat dari kualitasnya hadis utama ini kualitasnya tergolong hadis shahih
31
yang sebenarnya punya hati yang baik, namun karena pengaruh lingkungan dan
pergaulan, akhirnya mereka-mereka yang berhati baik pun kalah dan ikut bersama
orang-orang yang jelek itu.
Kaum muslimin sudah hijrah ke Madinah, namun Hakim bin Hizam belum juga
masuk Islam. Dalam peperangan Badar, Hakim bin Hizam juga terpaksa ikut di barisan
kaum kafir Quraisy. Hanya saja, Allah berkehendak lain. Ketika Umayyah bin Khalaf,
Utbah bin Rabi’ah dan Abu Jahal tewas, Hakim bin Hizam dibiarkan oleh Allah tetap
hidup, supaya kelak bila tiba masanya, ia akan menerima hidayah.
Telah berlalu perang Uhud, Khandaq, hingga penaklukan Khaibar, namun Hakim
bin Hizam belum juga mau beriman. Sedangkan Rasulullah masih senantiasa
mendoakan dirinya agar segera mendapatkan hidayah.
Doa Rasulullah lalu terjawab ketika kaum muslimin berhasil –dengan izin Allah-
menaklukkan kota Makkah pada bulan Ramadhan tahun 8 H. Saat itu Hakim bin Hizam
termasuk golongan orang-orang Quraisy yang masuk Islam. Namun ada satu perasaan
yang amat mengganjal dalam diri Hakim.Ia pun membebaskan seratus orang budak,
menyedekahkan seratus ekor unta lengkap dengan barang bawaan yang ada di
punggungnya, lalu dia menemui Nabi dan mencoba mengutarakannya, “Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan segala amal kebajikan yang aku lakukan
semasa jahiliah dan ibadahku saat itu, apakah aku bisa mendapatkan pahala darinya?”
Rasulullah mencoba mengobati kegundahan Hakim dengan berkata, “Engkau masuk
Islam dengan membawa serta kebaikanmu di masa lalu.”
4
Setelah itu semakin bagus keislaman Hakim, ia pun semakin dermawan, dan
pada akhirnya ia diberi usia panjang. Disebutkan, bahwa Hakim bin Hizam wafat pada
tahun 50-an Hijriah, dalam usia 120 tahun. Dengan perincian, 60 tahun dia habiskan di
masa jahiliah, sedangkan sisanya di dalam Islam.Semoga Allah meridhai beliau.
6. Penjelasan Hadits
Di antara keistimewaan agama Islam adalah tentang kasih sayangnya kepada
ummat ini agar tidak menyusahkan mereka dalam berjual-beli. Dalam praktik jual beli
terkadang terjadi sebuah penyesalan baik oleh pihak penjual maupun pembeli
disebabkan kurang hati-hati, atau tergesa-gesa, atau sebab lainnya.
Dalam Islam prinsip berlakunya jual beli adalah atas dasar suka sama suka, maka
syariat Islam memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang melakukan akad
jual beli untuk memilih antara dua kemungkinan, yaitu antara melanjutkan jual beli
ataukah membatalkannya. Hak pilih ini dikenal dengan AL
KHIYAR (HAK PILIH).
Definisi Al-Khiyar
32
Secara bahasa, Al-Khiyar bermakna memilih, menyisihkan dan
mengayak/menyaring. Secara umum, Al-Khiyar bermakna menentukan yang terbaik
dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan peninjauan sebelum menentukan sikap.
Macam-Macam Al-Khiyar
Setelah melakukan penelitian, para ulama membagi Al-Khiyar menjadi tujuh
jenis, yaitu:
a) Khiyar Al-Majlis
b) Khiyar Asy-Syart
c) Khiyar Al-‘Aib
d) Khiyar At-Tadlis
e) Khiyar Al-Ghabn
f) Khiyar Fi Al-Bai’ Bi Takhyirits -tsaman
g) Khiyar Li lkhtilafil mutabayi’ain
33
Khiyar inilah yang dimaksud dalam hadits di atas, dan kita hanya akan
mencukupkan sejenak membaca lebih dekat tentang jenis Khiyar Al-Majlis ini pada
tulisan kali ini. Khiyar Al-Majlis ini terjadi selama pembicaraan tentang transaksi jual
beli tersebut berlangsung di lokasi, maka di situ penjual dan pembeli masih dikatakan
berada di majlis. Dan makna majlis disini mencakup tiga hal yaitu tempat transaksi,
waktu transaksi dan tema transaksi. Khiyar Al-Majlis ini sah menjadi milik si penjual
dan si pembeli semenjak dilangsungkannya akad jual beli hingga mereka berpisah.
6
34
MATERI KE 8
Larangan bersumpah dalam jual beli
Bahan Kajian:
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Kandungan Hadits
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
Pembahasan:
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
Dari Abu Qatadah Al Anshari, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam berdagang, karena
ia dapat melariskan (dagangan) dan menghilangkan (keberkahan). (HR. Muslim).
35
Dia dikenal sebagai ksatria berkuda Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam yang
turut dalam perang Uhud dan perjanjian Hudaibiyah. Dia bernama asli Al Harits bin
Rib’i, Ali Ash-Shahih. Iyas bin Salamah bin Al Akwa’ meriwayatkan dari ayahnya,
dari Nabi shallallahu`alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Pasukan berkuda kami yang
terbaik adalah Abu Qatadah, sedangkan pasukan pejalan kaki kami yang terbaik adalah
Salamah bin Al Akwa’.”
Dia wafat tahun 54 Hijriyah. Diriwayatkan dari Abu Qatadah, dia berkata, “Kami
pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam dalam beberapa
perjalanan, tiba-tiba beliau terlambat menaiki tunggangan beliau, sehingga aku
mendorongnya dengan tanganku hingga bangkit. Setelah itu Nabi shallallahu`alaihi wa
sallam bersabda, ‘Ya Allah, jagalah Abu Qatadah sebagaimana dia menjagaku’. Sejak
malam ini kami melihat bahwa kami telah banyak membuat dirimu susah.”
4. Penjelasan Hadits
Hadits ini maknanya adalah bersumpah palsu atau banyak bersumpah untuk
melariskan penjualan (dalam perkiraan orang yang menjual) akan menghilangkan berkah
penjualan. Hilangnya berkah bisa dengan kerusakan hartanya atau ia membelanjakan
36
hartanya dalam hal yang tidak bermanfaat untuknya di dunia dan akhirat, atau hartanya
tetap tapi tidak bisa dimanfaatkan, atau harta itu diwarisi oleh orang yang tidak ia suka.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits di atas berisi larangan banyak
bersumpah dalam menjual dagangan. Karena sumpah tanpa ada hajat dihukumi
terlarang. Tujuan sumpah ini hanya ingin melariskan dagangan, namun maksud
sebenarnya adalah ingin mengelabui si pembeli dengan sumpahnya. Wallahu a’lam.”
Dan juga hadits di atas, kita dilarang untuk bersumpah dalam berjual beli,
konteks bersumpah pada hadits ini hanyalah agar menarik konsumen dan menjadikan
konsumen lebih percaya terhadap barang yang dijual. Seperti yang kita ketahui di pasar
para penjual bersumpah barang dagangan nya adalah kualitas terbaik tetapi
kenyataannya barang tersebut dicampuri dengan yang kualitas buruk, praktek inilah
yang akan menghapus keberkahan rezeki yang didapatnya. Dan para pedagang ini
termasuk dalam ciri-ciri orang munafik seperti dalam hadits.
Artinya : tanda-tanda orang munafik itu ada tiga jika berbicara ia berbohong, jika
berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia berkhianat. (HR Bukhari)
Islam sangat menganjurkan supaya berniaga secara sehat dan melarang berniaga
secara bathil seperti dalam Al-qur’an surat An-Nisa’ ayat 29
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya ALLAH adalah Maha Penyayang kepadamu (QS. An-Nisa’ :29)
Dalam ayat tersebut sudah jelas larangan berniaga atau jual beli secara bathil.
Dan Islam menganjurkan supaya kita berniaga secara jujur, adil, dan amanah. Berikut
adalah praktek-praktek dalam jual beli yang dilarang dalam Islam :
∙ Tallaqi rukban pedagang yang menyongsong di pinggir kota mendapat keuntungan dari
ketidaktahuan dari kampung akan harga yang berlaku di kota sehingga menimbulkan
pasar yang tidak kompetitif.
∙ Mengurangi timbangan
∙ Menyembunyikan barang yang cacat dan penjual memberikan harga seperti barang
kualitas bagus
∙ Menukar kurma kering dengan kurma basah,ini akan mempengaruhi timbangan nya
∙ Menukar satu takar kurma kualitas bagus dengan dua takar kurma kualitas sedang,
dilarang karena harganya berbeda.
∙ Transaksi najasypenjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan
harga tinggi agar orang lain tertarik.
37
∙ Ikhtibar mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit
barang untuk harga yang lebih tinggi
∙ Ghaban faa-hisy (besar) menjual diatas harga pasar.
∙ Praktek-praktek diatas dilarang oleh islam karena akan merugikan orang lain dan akan
merusak harga dan nama baik penjual yang jujur. Jadi jauhilah praktek tersebut agar
kita mendapatkan rezeki yang halal dan mendapatkan keberkahan dari Allah Ta’ala
supaya harta yang kita punya berguna di dunia dan di akhirat kelak dan kita terhindar
dari laknat Allah Ta’ala
38
MATERI KE-9
Hadits tentang Amanah
Bahan Kajian:
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Kandungan Hadits
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil
Pembahasan:
Terjemah:
" Tidaklah Nabiyullah (Muhamamad) shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah di
hadapan kami kecuali beliau bersabda:" Tidak ada keimanan (yang sempurna) bagi
orang yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi seseorang yang tidak memenuhi
janji." (HR. imam Ahmad )
2. Kosakata/Mufradat
39
3. Status Hadits
Hadits tersebut adalah shahih. Diriwayatkan oleh imam Ahmad rahimahullah dalam
Musnad Ahmad, dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul
Jami' no. 7179, dan Shahih at-Targhib wat Tarhib no. 3004. Dan dinyatakan hasan oleh
syaikh al-Arna'uth rahimahullah dalam Ta'liq beliau terhadap Musnad imam Ahmad)
beliau datang menghadap kepada Rasulullah saw bersama putra tercintanya, Anas bin
Malik yang saat itu berumur antara 8-10 tahun.
Ummu Sulaim mengatakan: ”Wahai Rasulullah saw sungguh orang-orang anshar
dan prempuan-prempuan anshar telah memberimu hadiah kecuali aku, dan aku tidak
menemukan sesuatupun untuk dapat aku hadiahkan kepadamu kecuali hanya anak laki-
lakiku (ini). Maka terimalah dariku. Dia akan melayani keperluanmu.”Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati menerimanya, maka sejak saat itu Anas
tinggal bersama dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Melayani Rasulullah
40
Selama 10 tahun lamanya anas Bin Malik hidup bersama dan dengan setia
melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun kenyataan bagaimana perlakuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada
Anas bukan seperti perilaku majikan terhadap pelayannya, melainkan seperti ayah
kepada anak yang disayanginya. Bahkan Rasulullah saw memiliki panggilan sayang
kepada Anas, yaitu Unais.
Anas bin Malik berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang
yang paling baik akhlaknya, paling lapang dadanya dan paling besar kasih sayangnya.
Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan, aku berangkat, tetapi aku menuju
anak-anak yang sedang bermain di pasar dan bukan melaksanakan tugas Rasul, aku
ingin bermain bersama mereka, aku tidak pergi menunaikan perintah yang diperintahkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beberapa saat setelah berada di tengah-
tengah anak-anak itu, aku merasa seseorang berdiri di belakangku dan memegang
bajuku. Aku menoleh, ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan tersenyum, beliau bersabda, “Wahai Unais, apakah kamu telah pergi seperti
yang aku perintahkan?” Maka aku pun salah tingkah aku menjawab, “Ya, sekarang aku
berangkat wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Anas Bin Menyatakan, “Demi Allah, aku telah berkhidmat kepada beliau selama
sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku lakukan,
4
“Mengapa kamu melakukan ini?” Beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku
tinggalkan, “Mengapa kamu tinggalkan ini?” Dan Rasulullah saw apabila memanggil
Anas, memanggilnya dengan panggilan Unais, yaitu dengan panggilan yang penuh
dengan kasih sayang. Terkadang Beliau juga memanggilnya dengan panggilan wahai
Anakku, panggilan yang penuh dengan keakraban.
Walaupun beliau menjadi seorang pelayan dan pesuruh Rasulullah saw, dan tetap
dalam kedudukan itu sampai wafat beliau saw, Rasulullah tak pernah berucap kasar,
tidak pernah menegurnya tanpa ramah dan tidak pernah memberi tugas yang lebih berat
dari pada kemampuannya bekerja.
Selama Rasuluillah saw tinggal di Madinah, Anans tinggal bersama beliau saw.
Oleh karena itu kesaksian Anas menyingkapkan watak Rasulullah saw selama beliau
bermukim di Medinah sebagai seorang Utusan Allah dan sekaligus pemegang tampuk
kekuasaan.
Wafat
Setelah wafatnya Rasulullah saw, Anas Bin Malik menetap di Damaskus dan
kemudian ke Basrah. Pada tahun 93 H atau 712 M, di sana beliau jatuh sakit dan
meninggal. Beliau tinggal di kota Bashsrah hingga usianya lebih dari 100 tahun. Beliau
termasuk Sahabat Nabi yang paling akhir meninggal dunia.
Anas Bin Malik, namanya abadi dalam sejarah Islam, menjadi orang yang
terpelajar dan kaya-raya. Berumur panjang, dikarunia keturunan yang banyak dan sangat
41
dihormati. Itulah Anas Bin Malik, Sahabat Nabi yang mengabdikan hidupnya untuk
melayani Rasulullah saw.
5. Kandungan Hadits
Rasulullah mengisyaratkan dalam haditsnya bahwa keimananan seseorang masih
perlu dibuktikan dengan ujian menjaga kepercayaan. Bahkan seseorang dicap tidak
beriman manakala tidak mampu menjaga amanat.
Pengkhianatan amanat dalam beragam bentuknya merupakan hal yang terlarang
dan sangat dibenci oleh siapapun. Menurut Zamakhsyari, khianat secara bahasa berarti
An-Nuqshan (kurang), sedangkan anonimnya amanat diartikan dengan At-Tamam
(sempurna). Ini berarti segala bentuk amanat agar tidak termasuk
5
" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Alloh dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Anfaal: 27)
Ayat ini menyebutkan secara prioritas tingkatan amanah yang harus ditunaikan
oleh setiap orang yang beriman; amanah Allah, amanah Rasul-Nya dan amanah antar
sesama orang beriman.
Yang menarik dari redaksi ayat ini adalah bahwa perintah menjaga amanah
langsung menyebutkan lawan dari amanah yaitu khianat. Sehingga kata kunci dari ayat
ini lebih tertuju kepada larangan mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang orang yang
beriman.
Makna Amanah
ber
arti aman/tidak takut. Dengan kata lain, aman adalah lawan dari kata takut. Dari sinilah
diambil kata amanah yang merupakan lawan dari kata khianat. Dinamakan aman karena
orang akan merasa aman menitipkan sesuatu kepada orang yang amanah.
Amanah juga di artikan lawan dari khianat, dan asal kata al-Amnu adalah
ketenangan jiwa dan hilangnya rasa takut.
42
Secara istilah, ada sebagian orang yang mengartikan kata amanah secara sempit
yaitu menjaga barang titipan dan mengembalikannya dalam bentuk semula. Padahal
sebenarnya hakikat amanah itu jauh lebih luas. Amanah menurut terminologi Islam
adalah setiap yang dibebankan kepada manusia dari Allah Ta’ala seperti kewajiban-
kewajiban agama, atau dari manusia seperti titipan harta. Syaikh as-Sa'di rahimahullah
berkata tentang amanat dalam surat al Mu'minuun ayat 8:" Semua hal yang diwajibkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada hamba-Nya adalah amanah, wajib bagi
hamba tersebut untuk menjaganya dengan cara melaksanakannya secara sempurna.
Demikian juga masuk ke dalamnya amanah-amanah Adamiyin (manusia), seperti
amanah harta, rahasia dan lainnya. Oleh karena itu wajib atas seorang hamba untuk
memperhatikan dua hal ini dan menunaikan kedua amanah ini. Sesungguhnya Allah
memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada pemiliknya." (Tafsir as-
Sa'di)
Kedudukan Amanah
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyifati orang-orang mukmin yang shalih yang
Allah tetapkan/taqdirkan bagi mereka keberuntungan, dan petunjuk (hidayah) di dunia
dan akherat, bahwasanya mereka menjaga amanat-amanat yang dibebankan kepada
mereka dan mereka menunaikannya kepada yang berhak dengan sebenar
benarnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
" Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya."
(QS. QS. Al-Mu'minun: 8)
Amanah adalah salah satu akhlak yang agung di antara akhlak-akhlak islami yang lain,
dan termasuk salah satu asasnya (pondasi). Ia adalah sebuah kewajiban besar yang
dipikul oleh manusia, sementara langit, bumi dan gunung-gunung enggan memikulnya
karena besar dan beratnya amanah tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
43
" Sesungguhnya Kami telah mengemukakan (menawarkan) amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh." (QS. QS. Al-Ahzaab: 72)
" Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat." (QS. an Nisa : 58)
Dan amanah adalah sifat istimewa yang dimiliki oleh para Rasul 'alaihimussalam.
Masing-masing dari mereka mengatakan:
" Sesungguhnya aku adalah seorang rasul yang amanah (yang diutus) kepadamu." (QS.
QS. Asy-Syu'araa': 107, 125, 143, 162 dan 178)
44
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Tidak ada iman
bagi orang yang tidak amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memmegang
janji.” (HR. Ahmad)
Keempat, Amanah merupakan kekayaan hakiki yang menandingi dunia dan seisinya.
Sebagaimana Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Empat hal jika dia ada dalam dirimu, engkau tidak merugi walupun kehilangan
dunia: Menjaga amanah, berkata dengan jujur, berakhlak yang mulia dan menjaga
makanan (dari yang haram).” (HR. Ahmad)
Kelima, Amanah merupakan salah satu kompentensi terpenting bagi seorang ‘amil
(pekerja).
Hal ini seperti dikisahkan di dalam Al-Qur’an ketika salah seorang putri Nabi
Syu’aib ‘alaihis salam merekomendasikan Nabi Musa ‘alaihis salam agar diangkat
menjadi pekerja:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai ayahku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya."
(Surah Al-Qasas: ayat ke-26)
45
MATERI KE-9
Hadits tentang hukum riba dan bahayanya
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”, dan Beliau
bersabda, “Mereka itu sama.” [HR. Muslim, no. 4177]
Penjelasan Kosakata/Mufradat
46
Beliau memiliki kunyah Abu Abdillah ada yang mengatakan Abu Abdurrohman dan
ada yang mengatakan Abu Muhammad. Beliau adalah sahabat yang akhir wafat di Madinah
disamping itu beliau juga berprofesi sebagai penulis buku pada masa awal, beliau mempunyai
kitab tentang masalah haji yang kemudian ditulis kembali oleh Imam Muslim.
Beliau banyak meriwayatkan hadits dari Rosulullah dan para sahabatnya,
diantaranya : Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Ubaidah, Thalhah, Mu’ad Bin Yasir, Khalid bin
Walid, Abu Huroiroh, Abi Sa’id dan ummu Syarik.
Sementara rowi-rowi yang meriwayatkan hadist dari beliau sangat banyak,
diantaranya putra-putra beliau: Abdur Rohman bin Aqil, Muhammad, Sa’id bin Musayyab,
Mahmud bin Lubaid, Abu Zubair, Amr bin Dinar, Abu Ja’far Al-Bakir, Muhammad bin Al-
mulkadir, Wahab Bin Kisan, Sa’id bin Mina’, Hasan al-Bashori, Sa’id bin Abi Hilal,
Sulaiman bin Atiq, Ashim bin Amr, Sya;bi, Urwah bin Zubair, dan Atho’ bin Abi Robah.
47
dan disuguhkan pada Rosulullah, ketika ditanya oleh Rosul dari mana ketimun tersebut Jabir
menjawab kami membawanya dari Madinah. Hadist ini hanyalah salah satu dari sekian
banyak hadits yang menceriakan tentang kedermawanan sahabat Jabir, beliau telah
mengutamakan tempat yang teduh untuk Rosul serta memberikan ketimun dalam keadaan
patah sebagai tambahan dalam adab.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab sohihnya : Suatu ketika Jabir melihat
rosul dalam keadaan lapar kemudian dia pulang menuju istrinya dan menanyakan apakah ada
yang bisa dimakan ? Ia mempunyai anak domba kecil dan satu sho’ gandum lalu Jabir
menyuruh istrinya untuk menggiling gandum sementara Jabir menyembelih anak kambing
tersebut, setelah semua selesai Jabir memberi tahu pada Rosul, dengan serentak Rosul
langsung berteriak dan memberitahukan pada para pejuang yang sedang menggali parit,
bahwa sahabat punya sedikit makanan, tapir sebelum itu Rosul berpesan agar adonan dan
anak kambing jangan dimasak dulu sebelum Rosul datang. Setelah beliau datang beliau
meludahi danm memberkati adonan roti dan daging yang ada diatas tungku Alhamdulillah
para sahabat yang berjumlah 1000 semuanya telah makan dan masih banyak sisanya karena
berkah dari rosul. Apabila kita saksikan dari kejadian –kejadian diatas sifat dari sahabat Jabir
yang paling terkenal adalah kedermawanan dan kemurahan hati serta kesabaranya dalm
menanggung beban-beban kehidupan.
Riwayat-Riwayatnya
Sahabat Jabir bin Abdullah termasuk urutan yang keenam dari 7 sahabat yang paling
banyak meriwayatkan hadits, beliau meriwayatkan 1540 hadits dari Rosul, sementara ynag
disepakati oleh Imam Bukhori Muslim ada 60 Hadits, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori
sendiri ada 26 Hadits, dan Imam Muslim ada 126 Hadits. Sahabat Jabir mempunyai sebuah
Majlis yang ada dalam masjid, disitulah beliau mengamalkan hadits Rosul, sahabat Jabir
termasuk orang yang senag meneliti hadits Rosul dengan segala kemampuanya ia kerahkan
demi mendapatka kepastian mengenai sohih tidaknya suatu hadits. Pernah beliau mendengar
suatu hadits dari seorang laki-laki kemudian beliau menjual ontanya dan uangnya dipakai
sebagai bekal diperjalanan dalam proses mencari kebenaran hadits tersebut, setelah satu bulan
beliau sampai di Syam ternyata Hadits tersebut berasal dari Umair Al-Anshori.
Kewafatannya
Sahabat Jabir menghembuskan nafas terakhirnya tahun 77 Hijriyah dalam usia 94
tahun, beliau adalah sahabat yang terakhir wafat di Madinah, sebelum beliau wafat Abbas bin
Usman mengirim surat pada anak-anak Jabir agar tidak dimakamkan dulu sebelum dia
mensholatinya, hingga pada akhirnya Abbas pun datang dan mensholatinya.
Penjelasan Hadits
48
Riba merupakan perbuatan dosa besar dengan ijma’ Ulama, berdasarkan al-Qur`ân,
as-Sunnah. Dalil dari al-Qur`ân di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ بَا
Allâh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [al-Baqarah/2:275]
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya dari riba dan
memberitakan bahwa riba termasuk tujuh perbuatan yang menghancurkan. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits:
و َلI ا َر ُسIIَ يIت قَالُوا ِ ال اجْ تَنِبُوا ال َّس ْب َع ْال ُموبِقَا َ َم قIَ َّصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ ض َي هللاُ َع ْنهُ ع َْن النَّبِ ِّي ِ ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ َر
ال ْاليَتِ ِيمI
ِ I ُل َمIا َوأَ ْكIIَ ُل الرِّ بIق َوأَ ْك ْ Iِ َّر َم هَّللا ُ إِاَّل بIس الَّتِي َح
ِّ ال َحI ِّ ك بِاهَّلل ِ َو
ِ ُل النَّ ْفIحْ ُر َوقَ ْتIالس ِّ ا َلIIَهَّللا ِ َو َما ه َُّن ق
ُ ْرIالش
ِ ت ْالغَافِاَل
ت ِ ت ْال ُم ْؤ ِمنَا َ ْف ْال ُمح
ِ صنَا Iُ ف َوقَ ْذ ِ َْوالتَّ َولِّي يَوْ َم ال َّزح
Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau
bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya,
“Wahai Rasûlullâh! Apakah itu?” Beliau n menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir,
membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta
anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita
merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. [HR. al-
Bukhâri, no. 3456; Muslim, no. 2669]
Para Ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum Muslimin telah sepakat akan haramnya
riba. Riba itu termasuk kabâir (dosa-dosa besar). Ada yang mengatakan bahwa riba
diharamkan dalam semua syari’at (Nabi-Nabi), di antara yang menyatakannya adalah al-
Mawardi”. [al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, 9/391]
Syaikhul Islam oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Melakukan riba hukumnya
haram berdasarkan al-Qur`ân, as-Sunnah, dan ijma’.” [Majmû’ al-Fatâwâ, 29/391]
49
Definisi riba ini akan lebih jelas jika kita mengetahui macam-macam riba, sebagai
berikut:
1. Riba an-Nasî’ah (Riba Karena Mengakhirkan Tempo)
Yaitu: tambahan nilai hutang sebagai imbalan dari tempo yang diundurkan.
Dinamakan riba an-nasî’ah (mengakhirkan), karena tambahan ini sebagai imbalan dari tempo
hutang yang diundurkan. Hutang tersebut bisa karena penjualan barang atau hutang (uang).
Riba ini juga disebut riba al-Qur’an, karena diharamkan di dalam Al-Qur’an. Allâh
berfirman:
أْ َذنُواIIَوا فIIُإِ ْن لَ ْم تَ ْف َعلIَ﴾ ف٢٧٨﴿ َؤ ِمنِينI ْ Iا إِ ْن ُك ْنتُ ْم ُمIIَا بَقِ َي ِمنَ ال ِّربIIوا هَّللا َ َو َذرُوا َمIIُوا اتَّقIIُا الَّ ِذينَ آ َمنIIَيَا أَيُّه
ْ َُظلِ ُمونَ َواَل ت
َظلَ ُمون ْ م اَل تIْ ب ِمنَ هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه ۖ َوإِ ْن تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُءوسُ أَ ْم َوالِ ُك
ٍ ْبِ َحر
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allâh dan Rasulnya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah/2: 278-279]
Ayat ini merupakan nash yang tegas bahwa yang menjadi hak orang yang berpiutang
adalah pokok hartanya saja, tanpa tambahan. Dan tambahan dari pokok harta itu disebut riba.
[Lihat Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Marâm, 4/6, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
al-Bassam]
Jika tambahan itu atas kemauan dan inisiatif orang yang berhutang ketika dia hendak
melunasi hutangnya, tanpa disyaratkan maka sebagian ahli fiqih membolehkan. Namun orang
yang berhati-hati tidak mau menerima tambahan tersebut karena khawatir itu termasuk pintu-
pintu riba, wallahu a’lam. [Lihat Fathul Bâri pada syarh hadits no: 3814]
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan larangan ini dalam khutbah
wada’ dan hadits-hadits lainnya. Sehingga kaum Muslimin bersepakat tentang keharaman
riba an-nasîah ini.
Riba ini juga disebut riba al-jahiliyyah, karena riba ini yang dilakukan oleh orang-
orang jahiliyah.
Riba ini juga disebut riba jali (nyata) sebagaimana dikatakan oleh imam Ibnul Qayyim
dalam kitab I’lâmul Muwaqqi’in, 2/154. [al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/57]
Riba ini juga disebut dengan riba dain/duyun (riba pada hutang), karena terjadi pada hutang
piutang.
Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang riba yang tidak diragukan
(keharamannya-pen), dia menjawab, “Riba itu adalah seseorang memiliki piutang, lalu dia
berkata kepada orang yang berhutang, “Engkau bayar (sekarang) atau (pembayarannya
ditunda tapi dengan) memberi tambahan (riba)?” Jika dia tidak membayar, maka orang yang
berhutang memberikan tambahan harta (saat pembayaran), dan pemilik piutang memberikan
tambahan tempo. [I’lâmul Muwaqqi’in]
Imam Ibnul ‘Arabi al-Mâliki rahimahullah berkata, “Orang-orang jahiliyyah dahulu
biasa berniaga dan melakukan riba. Riba di kalangan mereka telah terkenal. Yaitu seseorang
menjual kepada orang lain dengan hutang. Jika waktu pembayaran telah tiba, orang yang
50
memberi hutang berkata, “Engkau membayar atau memberi riba (tambahan)?” Yaitu: Engkau
memberikan tambahan hartaku, dan aku bersabar dengan waktu yang lain. Maka Allâh Azza
wa Jalla mengharamkan riba, yaitu tambahan (di dalam hutang seperti di atas-pen). [Ahkâmul
Qur’an, 1/241, karya Ibnul ‘Arabi]
Dengan penjelasan di atas kita mengetahui bahwa riba jahiliyyah yang dilarang
dengan keras oleh Allâh dan RasulNya adalah tambahan nilai hutang sebagai imbalan dari
tambahan tempo yang diberikan, sementara tambahan tempo itu sendiri disebabkan
ketidakmampuannya membayar hutang pada waktunya. Jika demikian, maka tambahan uang
yang disyaratkan sejak awal terjadinya akad hutang-piutang, walaupun tidak jatuh tempo,
yang dilakukan oleh bank, BMT, koperasi, dan lainnya, di zaman ini, adalah riba yang lebih
buruk dari riba jahiliyyah, walaupun mereka menyebut dengan istilah bunga.
Barang-barang riba ada enam menurut nash hadits, seperti di bawah ini:
ُّرIIُ ِة َو ْالبIض
َّ ِةُ بِ ْالفIض
َّ ِب َو ْالف
ِ َذهI َّ Iذهَبُ بِالIال
َّ : مIَ َّلIصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس َ ِ ى قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا ِّ ع َْن أَبِى َس ِعي ٍد ْال ُخ ْد ِر
ِ ْد أَرْ بَىIَتَزَا َد فَقIاس
ُذIاآلخ ْ ٍد فَ َم ْن زَا َد أَ ِوIَدًا بِيIَح ِم ْثالً بِ ِم ْث ٍل ي
ِ ير َوالتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر َو ْال ِم ْل ُح بِ ْال ِم ْلIِ بِ ْالبُرِّ َوال َّش ِعي ُر بِال َّش ِع
َو ْال ُم ْع ِطى فِي ِه َس َوا ٌء
Dari Abu Sa’id al-Khudri Rahiyallahu anhu, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr (jenis gandum) dengan
burr, sya’ir (jenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam,
harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa
menambah atau minta tambah berarti dia melakukan riba, yang mengambil dan yang
memberi dalam hal ini adalah hukumnya sama.” [HR. Muslim, no. 4148]
51
orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allâh dan Rasulnya akan memerangimu.
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [Al-Baqarah/2: 278-279]
52
3. Nekat Melakukan Riba Padahal Sudah Sampai Larangan, Diancam Dengan Neraka.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
ْ َكَ أIIِا َد فَأُو ٰلَئII ُرهُ إِلَى هَّللا ِ ۖ َو َم ْن َعIلَفَ َوأَ ْمIا َسIIفَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ِه فَا ْنتَهَ ٰى فَلَهُ َم
ِ َّ َحابُ النIص
اIَار ۖ هُ ْم فِيه
َخَالِ ُدون
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allâh. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [al-
Baqarah/2:275]
Inilah berbagai ancaman mengerikan bagi pelaku riba. Alangkah baiknya mereka
bertaubat sebelum terlambat. Sesungguhnya nikmat maksiat hanya sesaat, namun akan
membawa celaka di dunia dan di akhirat. Hanya Allâh Azza wa Jalla tempat memohon
pertolongan.
Jika tambahan bukan prasyarat awal, hanya kerelaan dari pihak peminjam saat
mengembalikan utang, tidaklah masalah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Raafi’
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam dari seseorang unta yang
masih kecil. Lalu ada unta zakat yang diajukan sebagai ganti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas menyuruh Abu Raafi’ untuk mengganti unta muda yang tadi dipinjam. Abu
53
Raafi’ menjawab, “Tidak ada unta sebagai gantian kecuali unta yang terbaik (yang umurnya
lebih baik, -pen).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menjawab,
َ َاس أَحْ َسنَهُ ْم ق
ضا ًء ِ َأَ ْعطُوهُ فَإِ َّن ِم ْن ِخي
ِ َّار الن
“Berikan saja unta terbaik tersebut padanya. Ingatlah sebaik-baik orang adalah yang baik
dalam melunasi utangnya.” (HR. Bukhari, no. 2392 dan Muslim, no. 1600).
Imam ‘Ali bin Husain bin Muhammad atau yang lebih dikenal dengan sebutan as-
Saghadi, menyebutkan dalam kitab an-Nutf bahwa riba menjadi tiga bentuk yaitu:
1. Riba dalam hal peminjaman.
2. Riba dalam hal hutang.
3. Riba dalam hal gadaian.
Abu Bakar al-Jashshash rahimahullah berkata, “Riba yang dulu dikenal dan dilakukan
oleh orang-orang Arab hanyalah berupa pinjaman dirham dan dinar sampai batas waktu
tertentu dengan memberikan sejumlah tambahan dalam pinjaman sesuai dengan kesepakatan
mereka. Ini adalah riba nasi-ah dan riba seperti ini sangat masyhur di kalangan orang Arab
pada masa Jahiliyyah, dan ketika al-Qur-an turun, maka datanglah pengharaman ini.
Sifat (gambaran) yang kedua misalnya, si pemberi pinjaman mengambil manfaat
(keuntungan) pribadi dari pinjaman yang ia berikan.
54
Misalnya, seseorang meminjam sejumlah uang dari orang lain, lalu Muhammad (si pemberi
pinjaman) meminta kepada orang tersebut agar ia menjual sesuatu miliknya kepadanya atau
memberinya sesuatu ataupun yang lainnya sebagai imbalan dari pinjaman yang ia berikan
kepadanya. Maka ia telah mengambil keuntungan pribadi dari pinjamannya, dan ini termasuk
riba.
55
MATERI KE 11
Hadits tentang Salam/Salaf (Jual Beli Pesanan)
B. Kosakata/Mufradat
قَ ِد َم : Tiba/datang
َسلِفُون ْ ُي : mereka memimjamkan
ر ُ الثِّ َما : buah-buahan
ُسنَة َّ ال : tahun
َسلَف ْ َأ : memimjam
ر ٌ تَ ْم : Kurma
ل ٌ َك ْي : Takaran
ن ٌ َو ْز : Timbangan
وم ٍ ُإِلَى أَ َج ٍل َم ْعل : masa tertentu
C. Status Hadis
Kuantitas Hadits Bukhari No. 2085 ini termasuk Hadits Mutawatir. Mutawatir ialah
hadits yang diriwayatkan dengan banyak sanad yang berlainan perawinya, dan mustahil
mereka bisa berkumpul untuk berdusta membuat hadits itu.
Kualitas Hadits Bukhari No. 2085 ini termasuk Hadits Shahih.
D. Asbabul wurud
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah pada saat hijrah, dan
beliau mendapati penduduk Madinah terbiasa untuk melakukan salaf, yaitu terbiasa
melakukan budidaya buah-buahan dan tanaman layak jual lainnya. Pada umumnya
mereka terbiasa untuk menyerahkan uang panjar dan menangguhkan (penyerahan) buah-
56
buahan yang dijualnya dalam tenggang waktu setahun, dua tahun atau tiga tahun. Dalam
hal ini rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa jual beli dengan cara
ini bukan termasuk jual beli barang yang belum ada (barangnya) ditangan penjual yang
akan dapat menjurus kepada penipuan, karena jual beli salaf ini bergantung kepada
jaminan dan bukan pada barang yang diperjualbelikan.
F. Syarah Hadis
Salaf (pinjaman) dengan menggunakan fathah yang berarti pesanan dalam segi
wazan dan maknanya. Imam Jazri berkata dalam kitab An-Nihayah; pesanan itu sama
seperti halnya kamu memberikan emas dan perak, atas barang dagangan yang telah
diketahui dan batas yang telah ditentukan.
57
Maksud dari pengqiyasan pada hadis ini yakni tidak diperbolehkannya melakukan
aqad tersebut, dikarenakan di dalamnya terdapat jual beli sesuatu yang tidak terlihat.
Kecuali ada riwayat lain yang membolehkan malakukan aqad tersebut. Ayat-ayat
Madaniyyah dalam Surat Al-Baqarah mengindikasikan terkait diperbolehkannya
melakukan aqad itu.Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu `Abbas Ra. Mengatakan;
Rasulullah Saw sampai di Madinah dari Mekah setelah hijrah dan mereka meminjam
atau memesan buah-buahan.Sedangkan dalam riwayat hadis Imam Bukhari dan Muslim
meraka meminjam buah-buahan dalam jangka waktu satu sampai dengan tiga tahun.
Begitupun dalam kitab Al-Misykah, barang siapa yang melakukan salaf maka
lakukanlah dengan takaran dan timbangan serta masa yang diketahui.Hal tersebut
menunjukan wajibnya menentukan takaran dan timbangan dan jangka waktu yang telah
ditentukan.Dikarenakan apabila ada salah satu yang tidak ditentukan maka rusaklah aqad
jual beli tersebut.
Imam An-Nawawi berkata dalam syarah Shahih Muslim; melihat hadis
sebelumnya menunjukan bolehnya melakukan aqad salam (pesanan), dengan syarat
takaran, timbangan serta jangka waktu yang diketahui secara jelas ataupun lainnya yang
berkaitan dengan barang tersebut. Jika barang itu merupakan sesuatu yang memiliki
ukuran seperti baju, maka disyaratkan untuk menyebutkan ukurannya yang sesuai.Akan
tetapi apabila barang tersebut merupakan sesuatu yang dapat dihitung atau ditimbang
seperti hewan maka disyaratkan untuk menyebutkan jumlah atau timbangan yang sesuai.
Makna hadis tersebut yakni apabila memesan barang yang dapat diukur atau
ditimbang, maka timbangannya harus diketahui.Apabila barang tersebut merupakan
sesuatu yang ada temponya, maka batas waktunya harus diketahui, dan tidak boleh
mensyaratkan atau memberi syarat kepada barang pesanan pada batas yang
ditangguhkan.Akan tetapi lebih baik ditentukan terlih dahulu, karena jika boleh
menangguhkan pada batas waktu ketika memesan barang tersebut supaya tidak
terjadinya unsur penipuan.Penjelasan hadis sebelumnya tidak adanya penyebutan tempo
atau batas waktu untuk syarat adanya penangguhan pada tempo tersebut.Akan tetapi
apabila adanya batas waktu pada barang yang dipesan maka harus sesuai.
Para ulama berbeda pendapat terkait menghukumi aqad salam (pesanan) yang
masanya seketika ditentukan dengan hasil Ijma` mereka atas diperbolehkannya memesan
barang yang temponya tersebut ditangguhkan. Ulama yang membolehkan memesan pada
batas waktu yang ditentukan adalahImam Asyafi`i, Imam Ahmad serta Ishak.Sedangkan
sebagian ulama yang melarang terkait menangguhkan suatu barang pesanan yakni Imam
Malik, Imam Abu Hanifah dan yang lainnya.
G. Penjelasan Hukum
JUAL BELI SALAM DAN SYARATNYA
Istilah syar’i di negara ini berkembang pesat, khususnya yang berkaitan dengan dunia
bisnis. Ini sejalan dengan perkembangan bisnis perbankan dan lembaga-lembaga keuangan
syari’at. Istilah-istilah syar’i ini sebelumnya sangat jarang terdengar di telinga masyarakat
umum. Diantara istilah itu adalah bai’us salam (jual beli dengan cara inden atau pesan). Bagi
masyarakat umum, istilah bai’us salam terhitung istilah baru. Sehingga tidak mengherankan
kalau kemudian banyak yang mempertanyakan maksud dan praktik sebenarnya dalam Islam.
58
PENGERTIAN BAI’US SALAM (JUAL BELI SISTEM INDEN ATAU PESAN)
ْ َّ)الت. Kata ini semakna dengan as-salaf (
Kata salam berasal dari kata at-taslîm (سلِيْم
)ال َّسلَف
yang bermakna memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil dikemudian hari.
Pengertian ini terkandung dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
ُكلُوا َوا ْش َربُوا هَنِيئًا بِ َما أَ ْسلَ ْفتُ ْم فِي اأْل َي َِّام ْالخَالِيَ ِة
(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang
telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.[al-Hâqqah/69:24]
Menurut para Ulama, definisi bai’us salam yaitu jual beli barang yang disifati (dengan
kriteria tertentu/spek tertentu) dalam tanggungan (penjual) dengan pembayaran kontan
dimajlis akad. Dengan istilah lain, bai’us salam adalah akad pemesanan suatu barang dengan
kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad berlangsung.
Dengan demikian, bai’us salam memiliki kriteria khusus bila dibandingkan dengan
jenis jual beli lainnya, diantaranya:
1. Pembayaran dilakukan didepan (kontan di tempat akad), oleh karena itu jual beli ini
dinamakan juga as-salaf.
2. Serah terima barang ditunda sampai waktu yang telah ditentukan dalam majlis akad.
Para ulama sering mengungkapkan proses akad jual beli semacam ini dengan
ungkapan, “Zaid seorang menyerahkan seribu dinar kepada Ali supaya Ali menyerahkan lima
ton beras kepadanya.”
Pembeli, yaitu Zaid dinamakan al-muslim atau al-muslif atau Rabbus Salam.
Sedangkan penjual yaitu Ali dinamakan al-muslam Ilaihi atau al-muslaf Ilaihi. Sementara
pembayaran kontan yaitu seribu dinar dinamakan ra’su mâlis salam (Modal Salam) dan
barang yang dipesan yaitu beras dinamakan al-muslam fihi atau Dainus Salam (hutang
salam).
Sahabat yang mulia Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu menjadikan ayat ini
sebagai landasan membolehkan jual beli sistem pesan ini. Beliau Radhiyallahu anhu
mengatakan, “Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf (as-salam) yang terjamin hingga
tempo tertentu telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân.
(Kemudian beliau membaca firman Allâh Azza wa Jalla artinya) :
59
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara
tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. (Hadits ini dishahihkan
al-Albâni t dalam kitab Irwâ’ul Ghalîl, no. 340 dan beliau t mengatakan, “Hadits ini
dikeluarkan imam asy-Syâfi’i t no. 1314, al-Hâkim, 2/286 dan al-Baihaqi 6/18).
Firman Allâh Azza wa Jalla diatas, yang artinya, “apabila kamu bermu’amalah
tidak dengan secara tunai,” bersifat umum, artinya meliputi semua yang tidak tunai,
baik pembayaran maupun penyerahan barang. Apabila yang tidak tunai adalah
penyerahan barang maka itu dinamakan bai’us salam.
b. Dalam hadits Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu diriwayatkan :
َم ْن: ا َلIIَنَتَ ْي ِن فَقI الس ِ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْال َم ِدينَةَ َوهُ ْم يُ ْسلِفُونَ فِى الثِّ َم
َّ ار ال َّسنَةَ َو َ قَ ِد َم النَّبِ ُّى
ٍ ُوم إِلَى أَ َج ٍل َم ْعل
وم ٍ ُوم َو َو ْز ٍن َم ْعل
ٍ ُف فِى َك ْي ٍل َم ْعل ْ ِأَ ْسلَفَ فِى تَ ْم ٍر فَ ْليُ ْسل
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah
telah biasa memesan buah kurma dengan waktu satu dan dua tahun. maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memesan kurma, maka
hendaknya ia memesan dalam takaran, timbangan dan tempo yang jelas (diketahui oleh
kedua belah pihak).” [Muttafaqun ‘alaih]
c. Para Ulama telah berijmâ’ (berkonsensus) tentang kebolehan bai’us salam ini, seperti
diungkapkan Ibnu al-Mundzir t dalam al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudâmah t menguatkan
penukilan ijma’ ini. Beliau t menyatakan, “Semua ulama yag kami hafal sepakat
menyatakan as-salam itu boleh.”
c. Kebolehan akad jual beli salam (pemesanan) ini juga sesuai dengan analogi akal dan
kemaslahatan manusia. Syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu-
menjelaskan, “Analogi akal dan hikmah mengisyaratkan jual beli ini boleh. Karena
kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna dengan jual beli salam. Orang
yang membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran tunai
sementara pembeli beruntung karena bisa mendapatkan barang dengan harga lebih
murah dari umumnya. Jadi, manfaatnya kembali ke kedua pihak.”
Oleh karena itu, syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu-
mengatakan, “Pembolehan mua’amalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan
dan kemurahan syariat Islâm. Karena mu’amalah ini berisi hal-hal yang bisa memberikan
kemudahan dan mewujudkan kebaikan bagi manusia, disamping juga bebas dari riba dan
seluruh larangan Allâh.
60
ditentukan. Apabila produknya tidak dapat memenuhi pesanan maka ia harus mencari dan
mendapatkan produk orang lain untuk memenuhi pesanan. Hal ini karena barang (al-Muslam
fihi) tidak boleh ditentukan harus dari hasil produksi mereka saja.
Bila melihat praktik jual beli salam diatas, kita dapati kemaslahatan atau keuntungan
akan dirasakan oleh kedua belah pihak. Penjual memperoleh kemaslahtan dan keuntungan
berupa:
1. Mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara halal. Sehingga ia
dapat menjalankan dan mengembangkan usaha tanpa terlibat riba (bunga). Sebelum jatuh
tempo, penjual dapat menggunakan uang ini untuk menjalankan usahanya dan mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
2. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya
tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan cukup lama.
3. Tidak perlu upaya dan mengeluarkan biaya tambahan untuk menghabiskan produk,
karena telah dibeli sebelumnya.
Pembeli pun memperoleh keuntungan dan manfaat, seperti:
1. Jaminan mendapatkan barang (al-muslam fihi) sesuai dengan kebutuhan dan tepat
waktu.
2. Mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan harga lebih murah bila dibandingkan
membeli saat membutuhkan barang itu, karena:
a. Pembeli telah memberikan uang cash dalam tempo salam (pemesanan) tersebut,
padahal bisa saja ia memanfaatkan uang tunai ini untuk keperluan lain. Sehingga
pantas bila pembeli mendapatkan harga lebih murah.
b. Pembeli komitmen membeli produk tertentu padahal itu beresiko. Sebab bisa saja,
ketika barang diserahkan ternyata harga di pasar lebih murah karena stok barang
banyak atau permintaan kurang.
c. Terkadang, pembeli terpaksa harus mencari kesempatan untuk memasarkan barang
yang telah dipesan itu, jika dia membelinya bukan untuk kebutuhan pribadinya saja.
Dengan ini nampak jelas bahwa jual beli salam merupakan sarana efektif untuk
menyatukan dua unsur penting produksi yaitu harta dan aktifitas produksi dengan metode
yang diterima semua pihak terkait dalam pembagian hasil.
Namun perlu diwaspadai perilaku buruk sebagian pemilik modal yang memancing
ikan di air keruh, ketika para petani atau pengusaha industri sangat membutuhkan modal
cepat. Dalam kondisi sepert ini, terkadang sebagian pemilik modal “memanfaatkan” jual beli
salam sebagai sarana menekan harga barang hingga sangat terpuruk. Seandaianya bukan
karena kebutuhan mendesak, tentu mereka menolak tawaran modal tersebut. Ini tidak bisa
dibenarkan dan terlarang karena masuk dalam kategori bai’ul mudhthar (jual beli dalam
keadaan terpaksa).
61
Contoh, perusahaan A di kota semarang memesan seratus mobil merek Toyota Saluna seri
tertentu kepada perusahaan Toyota dengan membayar tunai 20 milyar rupiah di majlis akad
(tempat transaksi) dengan perjanjian mobil harus dauh terkirim ke pelabuhan Tanjung Emas
di Semarang setelah dua bulan dari waktu transaksi.
Dalam contoh diatas, rukun jual beli salam sudah terpenuhi, yaitu :
a. Al-Muslim adalah perusahaan A sedangkan al-muslam Ilaihi adalah perusahaan
Toyota
b. Modal as-salam yaitu uang 20 milyar rupiah yang dibayar kontan
c. Shighah (transaksi) yaitu ijab dan qabul ketika transaksi sedang berlangsung.
62
hutang, bahkan itulah praktik jual beli hutang dengan hutang yang sebenarnya, dan
beresiko tinggi, serta termasuk praktek untung-untungan.”
Penyebutan kriteria, jumlah dan ukuran barang dilakukan saat transaksi berlangsung
Dalam akad jual beli salam, penjual dan pembeli wajib menyepakati kriteria barang
yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala yang bersangkutan dengan
jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan
berpengaruh pada harga barang.
Contoh; Apabila Ali hendak memesan beras kepada Budi, maka Ali wajib
menyebutkan jenis beras yang diinginkan (misalnya Beras Rojolela), asal barangnya,
kualitas dan kuantitasnya, perkarung diisi berapa kilogram serta produk tahun
kapan.
Kriteria-kriteria ini pasti berpengaruh pada harga. Karena harga beras akan
berbeda sesuai dengan perbedaan jenis, kualitas, asal daerah dan tahun panennya.
Perhatikanlah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits di atas :
ٍ ُوم إلى أَ َج ٍل َم ْعل
وم ٍ ُمن أَ ْسلَفَ في َش ْي ٍء فَفِي َك ْي ٍل َم ْعل
ٍ ُوم َو َو ْز ٍن َم ْعل
Barangsiapa memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah
takaran, timbangan serta tempo yang jelas [Muttafaqun ‘alaih]
Jual beli salam harus ditentukan dengan jelas tempo penyerahan barang pesanan
Kedua transaktor pada akad jual beli salam harus ada kesepakatan tentang tempo
penyerahan barang pesanan, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
ٍ ُإلى أَ َج ٍل َم ْعل
وم
sampai tempo yang jelas [Muttafaqun ‘alaih]
Ayat dan hadits diatas menunjukkan ada pensyaratan tempo yang jelas dalam
jual beli salam.
Barang pesanan sudah tersedia di pasar saat jatuh tempo agar dapat diserahkan pada
waktunya. Kedua belah pihak wajib memperhitungkan ketersediaan barang pada saat
jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-
menipu dan spekulasi perjudian, yang keduanya diharamkan dalam syari’at Islam.
Seandainya barang pesanan dipastikan tidak ada pada saat jatuh tempo maka
jual beli salam tidak sah. Disamping menyebabkan tidak sah, pengabaian syarat ini
juga akan sangat berpotensi memancing percekcokan dan perselisihan yang tercela.
Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan
pembeli pasti dilarang.
Barang pesanan adalah barang yang pengadaannya ada dalam tanggung jawab
penjual, bukan dalam bentuk satu barang yang telah ditentukan dan terbatas.
63
Maksudnya, barang yang dipesan hanya ditentukan kriterianya. Dan
pengadaannya, diserahkan sepenuhnya kepada penjual. Sehingga ia memiliki
kebebasan dalam pengadaan barang yang sesuai dengan semua kreteria dan ukuran
atau jumlah yang diinginkan pembeli. Penjual bisa mendatangkan barang miliknya
yang telah tersedia atau membelinya dari orang lain. Persyaratan ini ditetapkan agar
akad salam terhindar dari unsur gharar (penipuan). Sebab bisa saja kelak ketika jatuh
tempo, karena faktor tertentu, penjual tidak bisa mendatangkan barang dari miliknya
atau dari perusahaannya.
Contoh :
Seseorang melakukan jual beli salam untuk memesan sebuah mobil tertentu
misalnya mobil pribadi milik Ali satu-satunya. Barang yang telah ditentukan seperti
ini tidak bisa dijadikan obyek dalam jual beli salam. Karena keabsahan akad jual
belinya sangat tergantung pada barang yang telah ditentukan itu. Ini sangat berbeda
dengan jual beli salam yang hanya menentukan barang dengan criteria-kriteria
tertentu, sehingga si penjual bebas mencarikan harus berupa pesanan yang
diserahkan setelah jatuh tempo. Tidak bolehnya dengan barang terbatas ini karena
barang tersebut bisa saja hilang sebelum jatuh tempo penyerahan sehingga jadilah
gharar.
Tidak boleh juga dalam jual beli salam ini membatasinya dengan menyatakan
produk si fulan saja atau dari kebunnya fulan saja. Kecuali bila produk perusahaan
besar yang memiliki karakteristik tertentu. Seperti membeli mobel mercy seri 200
model tahun 1994 misalnya, ini diperbolehkan karena tidak dimiliki perusahaan
selainnya.
Jika memungkinkan, penyerahan barang pesanan dilakukan di tempat akad
berlangsung dan bila tidak memungkinkan maka harus ditentukan tempat
penyerahannya dalam akad tersebut.
Apabila bisa terjadi kesepakatan tentang tempat penyerahannya maka
diperbolehkan menetapkannya dan bila tidak terjadi kesepakatan maka kembali
ketempat akad terjadi apabila memungkinkan.
Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli salam,
semoga dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat dalam masalah ini.
64
MATERI KE-12
Hadits tentang Keutamaan Bersedqah dan Sifat Pemaaf
B. Kosakata/Mufradat
ت ْ ص َ َ نَق: Berkurang
ل ٍ َما : Harta
زا َد : bertambah
و ٍ ب َع ْف : dengan maaf
زا ًّ ِعــــــ : kemuliaan
ع َ ض َ تَ َوا: merendahkan diri
ُعه َ َ َرف: mengangkatnya
C. Status Hadis
Kuantitas: Jika dilihat dari segi kuantitasnya hadis ini termasuk hadis masyhur karena
perawinya berjumlah kurang dari 10 perawi.
Kualitas :Jika dilihat dari segi kualitasnya hadis ini termasuk hadis hasan karena ada
salah seorang perawi yang buruk hafalannya.
D. Kandungan Hadits
Hadits yang mulia ini menunjukkan besarnya keutamaan dan kemuliaan sifat-sifat
tersebut di atas, bahkan semua itu termasuk sifat-sifat utama yang dimiliki oleh orang-
orang yang bertakwa, sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
ِ َّافِينَ ع َِن النIIظَ َو ْال َعIIْاظ ِمينَ ْال َغيII
ُّاس َوهَّللا ُ ي ُِحب ِ رَّا ِء َو ْال َكIIالض َّ ونَ فِيIIُالَّ ِذينَ يُ ْنفِق
َّ رَّا ِء َوIIالس
َْال ُمحْ ِسنِين
65
“(Orang-orang yang bertakwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik
di waktu lapang, maupun sempit, dan orang-orang yang (selalu) menahan amarahnya,
serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.” (Qs. Ali ‘Imran: 134).
Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan keberkahan harta di dunia
dan pahala yang besar di akhirat (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/713).
Kata al-‘afwu (memaafkan) artinya memaafkan perbuatan salah dan tidak
menghukumnya, asal maknanya secara bahasa: menghapus dan menghilangkan
Arti bertambahnya kemuliaan orang yang pemaaf di dunia adalah dengan dia
dimuliakan dan diagungkan di hati manusia, karena sifatnya yang mudah memaafkan
orang lain, sedangkan di akhirat dengan besarnya ganjaran pahala dan keutamaan di sisi
Allah Ta’ala.
Arti tawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah adalah merendahkan diri dari
kedudukan yang semestinya pantas bagi dirinya, untuk tujuan menghilangkan sifat ujub
dan bangga terhadap diri sendiri, dengan niat mendekatkan diri kepada-Nya, dan bukan
untuk kepentingan duniawi.
Adapun arti ketinggian derajat orang yang merendahkan diri, karena Allah Ta’ala
di dunia adalah dengan ditinggikan dan dimuliakan kedudukannya di hati manusia
karena sifat tersebut, dan di akhirat dengan pahala yang agung dan kedudukan yang
tinggi di sisi-Nya. Ini termasuk sifat orang-orang yang bertakwa.
Allah Ta’ala berfirman,
َض َوال فَ َساداً َو ْال َعاقِبَةُ لِ ْل ُمتَّقِين
ِ ْتِ ْلكَ ال َّدا ُر اآْل ِخ َرةُ نَجْ َعلُهَا لِلَّ ِذينَ ال ي ُِري ُدونَ ُعلُ ّواً فِي اأْل َر
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan
diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu
(surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. al-Qashash: 83).
66
1. Hadits di atas memberikan motivasi untuk berinfaq. Bukhari sendiri membawakan
hadits ini dalam Bab “Motivasi untuk bersedekah (mengeluarkan zakat) dan memberi
syafa’at dalam hal itu”. An Nawawi membuat bab untuk hadits ini “Motivasi untuk
berinfaq (mengeluarkan zakat) dan larangan untuk menghitung-hitungnya
(menyimpan tanpa mau mensedekahkan).”
2. Hadits ini menunjukkan tercelanya sifat bakhil dan pelit.
3. Hadits di atas menunjukkan bahwa al jaza’ min jinsil ‘amal, balasan sesuai dengan
amalan perbuatan.
4. Ibnu Baththol menerangkan riwayat pertama di atas dengan mengatakan, “Janganlah
engkau menyimpan-nyimpan harta tanpa mensedekahkannya (menzakatkannya).
Janganlah engkau enggan bersedekah (membayar zakat) karena takut hartamu
berkurang. Jika seperti ini, Allah akan menahan rizki untukmu sebagaimana Allah
menahan rizki untuk para peminta-minta.”
5. Menyimpan harta yang terlarang adalah jika enggan mengeluarkan zakat dan sedekah
dari harta tersebut. Itulah yang tercela
6. Hadits ini menunjukkan larangan enggan bersedekah karena takut harta berkurang.
Kekhawatiran semacam ini adalah sebab hilangnya barokah dari harta tersebut.
Karena Allah berjanji akan memberi balasan bagi orang yang berinfaq tanpa batasan.
Inilah yang diterangkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani.
7. Hadits di atas menunjukkan bahwa yang mesti diprioritaskan adalah menunaikan
sedekah yang wajib (yaitu zakat) daripada sedekah yang sunnah.
8. Ibnu Baththol mengatakan, “Hadits ini menunjukkan sedekah (zakat) itu dapat
mengembangkan harta. Maksudnya adalah sedekah merupakan sebab semakin
berkah dan bertambahnya harta. Barangsiapa yang memiliki keluasan harta, namun
enggan untuk bersedekah (mengeluarkan zakat), maka Allah akan menahan rizki
untuknya. Allah akan menghalangi keberkahan hartanya. Allah pun akan menahan
perkembangan hartanya.”
9. Sedekah tidaklah mengurangi harta. Artinya harta tersebut akan diberkahi dan akan
dihilangkan berbagai dampak bahaya padanya. Kekurangan harta tersebut akan
ditutup dengan keberkahannya. Ini bisa dirasakan secara inderawi dan kebiasaan.
10. Walaupun secara bentuk harta tersebut berkurang, namun kekurangan tadi akan
ditutup dengan pahala di sisi Allah dan akan terus ditambah dengan kelipatan yang
amat banyak.
67