Anda di halaman 1dari 67

KUMPULAN HADITS-HADITS EKONOMI

DISUSUN UNTUK MEMENUHI MATA HADITS EKONOMI

DOSEN PENGAMPU:
AHMAD JUNAEDY, Lc., M.Pd

DISUSUN OLEH:

NAMA : Monika Nurdin

NIM : 1941119

KELAS : EKONOMI SYARIAH 3/C

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO
TAHUN AKADEMIK 2020
DAFTAR ISI

MATERI KE-1 Hadits tentang Nilai Dasar Ekonomi Islam......................................................3

MATERI KE-2 Hadits tentang Celaan bagi Orang Tidak Mau Bekerja...................................7

MATERI KE-3 Hadits tentang Keutamaan Memberi Nafkah dan Bekerja.............................12

MATERI KE-4 Hadits tentang Tunaikan Gaji Pegawai Sebelum Keringatnya Kering..........17

MATERI KE-5 Hadits tentang Keutamaan Memberi Hutang.................................................21

MATERI KE-6 Hadits tentang Larangan Menunda-nunda Membayar Hutang.....................25

MATERI KE 7 Hadits tentang Khiyar dalam Jual Beli...........................................................30

MATERI KE 8 Larangan bersumpah dalam jual beli..............................................................35

MATERI KE-9  Hadits tentang Amanah................................................................................39

MATERI KE-9 Hadits tentang hukum riba dan bahayanya....................................................46

MATERI KE 11 Hadits tentang Salam/Salaf (Jual Beli Pesanan)..........................................56

MATERI KE-12 Hadits tentang Keutamaan Bersedqah dan Sifat Pemaaf.............................65

2
MATERI KE-1
Hadits tentang Nilai Dasar Ekonomi Islam

Pokok Bahasan:
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Kandungan Hadits
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil

1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya

‫ ع َْن‬، ُّ‫ي ِْري‬I‫ ٍن ْالقُ َش‬I‫و ُم ب ُْن َجوْ َش‬IIُ‫ َّدثَنَا ُك ْلث‬I‫ َح‬:‫ال‬Iَ Iَ‫ َح َّدثَنَا َكثِي ُر ب ُْن ِه َش ٍام ق‬:‫َان قَا َل‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا أَحْ َم ُد ب ُْن ِسن‬
ُ‫اج ُر اأْل َ ِمين‬
ِ َّ‫ «الت‬:‫لَّ َم‬I‫ ِه َو َس‬I‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬I‫ص‬ َ ِ ‫و ُل هَّللا‬I‫ال َر ُس‬Iَ Iَ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ ع َِن ا ْب ِن ُع َم َر‬،‫ ع َْن نَافِ ٍع‬،‫ُّوب‬ َ ‫أَي‬
»‫ش َهدَا ِء يَ ْو َم ا ْلقِيَا َم ِة‬ ْ ‫ق ا ْل ُم‬
ُّ ‫سلِ ُم َم َع ال‬ ُ ‫صدُو‬ َّ ‫ال‬
Telah menceritaka kepada kami Ahmad bin Sinan dia berkata: telah menceritakan kepada
kami Katsir bin Hisyam, beliau berkata: telah menceritakan kepada kami Kultsum bin
Jausyan al-Qusyairy, dari ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, beliau berkata: bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang pedagang muslim yang jujur
dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama orang-orang yang mati syahid pada
hari kiamat (nanti). 

2. Kosakata/Mufradat
‫َح َّدثَنَا‬ : telah menceritakan kami
‫اج ُر‬ِ َّ‫الت‬ : Pedagang, Pebisnis
ُ‫اأْل َ ِمين‬ : yang jujur
‫َم َع‬ : bersama
‫ق‬ ُ ‫صدُو‬ َّ ‫ال‬ : Yang amanah
‫ش َهدَا ِء‬ ُّ ‫ال‬ : Orang-orang yang mati syahid
‫يَ ْو َم‬ : hari

3. Status Hadits
Hadits dari Ibnu Umar ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (Sunan Al-Kubra, 5:266),
dan Al-Hakim Al-Naysaburiy (Mustadrak ‘ala Al-Shahihayn, 2:7). Menurut Abu Hatim Al-
Razi, hadits ini ‘laa ashla lahu’ (tidak ada sumbernya) karena dalam sanadnya terdapat

3
Kultsum bin Jauzan yang dha’if (Abu Muhammad Abdur Rahman bin Muhammad bin Idris
bin Mihran al-Razi (240-327 H.), (‘Ilal al-Hadits li ibn Abi Hatim Al-Razi, 1: 386).
Hadits ini memiliki syahid (hadits lain yang merupakan pendukung hadits sebelumnya
dengan periwayat yang berbeda sejak periode sahabat) dari sahabat Abu Sa’id:
ُ ‫ق األَ ِم‬
َ‫ين َم َع النَّبِيِّين‬ َ ‫ع َْن أَبِي َس ِعي ٍد ع َْن النَّبِ ِّي‬
َّ ‫ االتَّا ِج ُر ال‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
ُ ‫ص ُدو‬
‫ين َوال ُّشهَدَا ِء‬
Iَ ِ‫َوالصِّ دِّيق‬
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi, (Al-Jami’ Al-Shahih, 1:515) dan Al-Hakim
Al-Naisaburiy (Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihayn, 2:7). Dalam penilaian Al-Tirmidzi, hadits
ini berkualitas hasan. Nashiruddin Al-Albani memiliki penilaian yang berbeda, karena ia
menyatakan bahwa hadits ini berkualitas dha’if (Dha’if Sunan Al-Tirmidzi, 1:145).
Akan tetapi, dalam kitab Shahih Al-Targhib wa Al-Tarhib, Muhammad Nashiruddin Al-
Albaniy (2:162) menyatakan bahwa hadits ini berkualitas Shahih Lighairihi (Berkualitas
shahih karena ada sanad lain yang memperkuat sehingga kualitasnya naik derajatnya menjadi
shahih).

4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)


Abdullah bin Umar bin Khattab atau dikenal juga dengan Ibnu Umar adalah
seorang sahabat Nabi dan merupakan periwayat hadits yang terkenal. Abdullah adalah putra
khalifah ke dua Umar bin al-Khaththab Khulafaur Rasyidin yang kedua saudara kandung
Sayyidah Hafshah Ummul Mukminin.
Ibnu Umar dilahirkan tidak lama setelah Nabi diutus, Umurnya 10 tahun ketika ikut
masuk Islam bersama ayahnya. Ibnu Umar masuk Islam bersama ayahnya saat ia masih kecil,
dan ikut hijrah ke Madinah bersama ayahnya.
Pada usia 13 tahun ia ingin menyertai ayahnya dalam Perang Badar, namun
Rasulullah menolaknya. Perang pertama yang diikutinya adalah Perang Khandaq. Ia ikut
berperang bersama Ja'far bin Abu Thalib dalam Perang Mu'tah, dan turut pula dalam
pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah). Setelah Nabi Muhammad meninggal, ia ikut
dalam perang Qadisiyah, Yarmuk, Penaklukan Afrika, Mesir dan Persia, serta penyerbuan
basrah dan Madain.
Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Ibnu Umar untuk menjabat sebagai
hakim, tapi ia tidak mau menerimanya. Setelah Utsman terbunuh, sebagian kaum muslimin
pernah berupaya membai'atnya menjadi khalifah, tapi ia juga menolaknya. Ia tidak ikut
campur dalam pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia
cenderung menjauhi dunia politik, meskipun ia sempat terlibat konflik dengan Abdullah bin
Zubair yang pada saat itu telah menjadi penguasa Makkah.
Periwayat hadits
Ibnu Umar adalah seorang yang meriwayatkan hadist terbanyak kedua setelah Abu
Hurairah, yaitu sebanyak 2.630 hadits, karena ia selalu mengikuti kemana Rasulullah pergi.
Bahkan Aisyah istri Rasulullah pernah memujinya dan berkata :"Tak seorang pun mengikuti
jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang telah dilakukan
Ibnu Umar". Ia bersikap sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadist Nabi. Demikian pula
dalam mengeluarkan fatwa, ia senantiasa mengikuti tradisi dan sunnah Rasulullah, karenanya
ia tidak mau melakukan ijtihad. Biasanya ia memberi fatwa pada musim haji, atau pada

4
kesempatan lainnya. Di antara para Tabi'in, yang paling banyak meriwayatkan darinya ialah
Salim dan hamba sahayanya, Nafi'.
Pujian dari Sahabat
Kesalehan Ibnu Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi dan
kaum muslimin lainnya. Jabir bin Abdullah berkata: " Tidak ada di antara kami disenangi
oleh dunia dan dunia senang kepadanya, kecuali Umar dan putranya Abdullah." Abu
Salamah bin Abdurrahman mengatakan: "Ibnu Umar meninggal dan keutamaannya sama
seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak orang yang sebanding dengan dia, sementara
Ibnu Umar hidup pada masa yang tidak ada seorang pun yang sebanding dengan dia".
Pedagang yang dermawan
Ibnu Umar adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya, tetapi juga banyak
berderma. ia pedagang yang sukses, sebagai pedagang ia berpenghasilan banyak karena
kejujurannya berniaga. Selain itu ia menerima gaji dari Baitul Maal. Tunjangan yang
diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk dirinya sendiri, tetapi dibagi-bagikannya kepada
fakir miskin. Berdagang buat Ibn Umar hanya sebuah jalan memutar rezeki Allah di antara
hamba-hambanya.
Ia hidup sampai 60 tahun (Ia wafat pada tahun 73 H) setelah wafatnya Rasulullah. Ia
kehilangan pengelihatannya pada masa tuanya. Ia wafat dalam usia lebih dari 80 tahun, dan
merupakan salah satu sahabat yang paling akhir yang meninggal di kota Makkah.

5. Kandungan Hadits
Hadis yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang pedagang yang
memiliki sifat-sifat ini, karena dia akan dimuliakan dengan keutamaan besar dan kedudukan
yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan dikumpulkan bersama para Nabi,
orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat.
Imam ath-Thiibi mengomentari hadis ini dengan mengatakan, “Barangsiapa yang
selalu mengutamakan sifat jujur dan amanah, maka dia termasuk golongan orang-orang
yang taat (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala); dari kalangan orang-orang shiddiq dan
orang-orang yang mati syahid, tapi barangsiapa yang selalu memilih sifat dusta dan khianat,
maka dia termasuk golongan orang-orang yang durhaka (kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala); dari kalangan orang-orang yang fasik (buruk/rusak agamanya) atau pelaku
maksiat”. 

6. Beberapa Faidah Penting Yang Dapat kita Petik Dari Hadis Ini: 
 Maksud sifat jujur dan amanah dalam berdagang adalah dalam keterangan yang
disampaikan sehubungan dengan jual beli tersebut dan penjelasan tentang cacat atau
kekurangan pada barang dagangan yang dijual jika memang ada cacatnya. 
 Inilah sebab yang menjadikan keberkahan dan kebaikan dalam perdagangan dan jual
beli, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kalau keduanya
(pedagang dan pembeli) bersifat jujur dan menjelaskan (keadaan barang dagangan
atau uang pembayaran), maka Allah akan memberkahi keduanya dalam jual beli
tersebut. Akan tetapi kalau kaduanya berdusta dan menyembunyikan (hal tersebut),
maka akan hilang keberkahan jual beli tersebut”. 

5
 Berdagang yang halal dengan sifat-sifat terpuji yang disebutkan dalam hadis ini
adalah pekerjaan yang disukai dan dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para shahabatnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang
shahih. Adapun hadis “Sembilan persepuluh (90 %) rezeki adalah dari perniagaan”,
maka ini adalah hadis yang lemah, sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh al-
Albani. 
 Maksud dari keutamaan dalam hadis ini: “…bersama para Nabi, orang-orang
shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti)” bukanlah
berarti derajat dan kedudukannya sama persis dengan derajat dan kedudukan mereka,
tapi maksudnya dikumpulkan di dalam golongan mereka, sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala: 
‫ين‬ ِّ ‫ َع الَّ ِذينَ أَ ْن َع َم هَّللا ُ َعلَ ْي ِه ْم ِمنَ النَّبِيِّينَ َو‬III‫كَ َم‬IIIِ‫ول فَأُولَئ‬
Iَ ِ‫دِّيق‬III‫الص‬ ُ ‫ع هَّللا َ َوالر‬III
َ III‫َّس‬ ِ ‫َو َم ْن يُ ِط‬
 ‫ َذلِ َك ْالفَضْ ُل ِمنَ هَّللا ِ َو َكفَى بِاهَّلل ِ َعلِي ًما‬.‫َوال ُّشهَدَا ِء َوالصَّالِ ِحينَ َو َحسُنَ أُولَئِ َك َرفِيقًا‬
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan
(dikumpulkan) bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang
yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah
karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (QS an-Nisaa’: 69-70) 

6
MATERI KE-2
Hadits tentang Celaan bagi Orang Tidak Mau Bekerja

Pokok Bahasan;
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Asbabul Wurud 
6. Kandungan Hadits
7. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil

Pembahasan;
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya
ِ‫ َع ْن َع ْب ِد هللا‬،‫ َع ْن نَافِ ٍع‬،‫ئ َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ فِي َما قُ ِر‬،‫س‬ ٍ َ‫ك ب ِْن أَن‬ ِ ِ‫ َع ْن َمال‬،‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ ب ُْن َس ِعي ٍد‬
َ Iَ‫ ق‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫ «ا ْليَ\ ُد ا ْل ُع ْليَ\\ا َخيْ ٌر ِم َن ا ْليَ\ ِد‬:‫ال‬I َ ‫هللا‬ِ ‫ُول‬ َ ‫ أَ َّن َرس‬،‫ْب ِن ُع َم َر‬
 »ُ‫سائِلَة‬َّ ‫س ْفلَى ال‬ ُّ ‫ َوال‬،ُ‫ َوا ْليَ ُد ا ْل ُع ْليَا ا ْل ُم ْنفِقَة‬،‫س ْفلَى‬
ُّ ‫ال‬
Terjemahan;

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dari Malik bin Anas -sebagaimana
yang telah dibacakan kepadanya- dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda di atas mimbar, beliau menyebut tentang sedekah
dan menahan diri dari meminta-minta. Sabda beliau: "Tangan yang di atas lebih baik
daripada tangan yang dibawah. Tangan di atas adalah tangan pemberi sementara
tangan yang di bawah adalah tangan peminta-minta." (Hadits Riwayat Imam Muslim)

2. Kosakata/Mufradat
‫ ْاليَ ُد ْالع ُْليَا‬: Az-Zamakhsyari mengatakan: asal makna ‫ ْالع ُْليَا‬digunakan untuk nama tempat
ْ َ‫األ‬, 
yang tinggi dan bukan mwnunjukkan makna feminim (muannas) atas lafadz ‫علَى‬
“‫“ ْاليَ ُد ْالع ُْليَا‬maksudnya ialah tangan orang yang memberi sedekah. Ini mengikut pendapat
yang paling kuat, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang
mentafsirkannya. 
Menurut pendapat lain, maksudnya ialah tangan yang tidak mau menerima. Menurut
pendapat yang lain lagi, maksudnya ialah tangan yang menerima tanpa meminta-minta.
“‫ ٌر‬IIْ‫خي‬َ “ lebih utama. Lafaz ini berkedudukan sebagai khabar dan lafaz “ ‫ ُد‬IIَ‫ “ ْالي‬yang
berkedudukan sebagai mubtada’, sedangkan lafaz “‫“ ْالع ُْليَا‬berkedudukan sebagai sifat
kepada lafaz “‫“ ْاليَ ُد‬ 

7
ُّ ‫ “ ِمنَ ْاليَ ِد ال‬menurut pendapat yang paling kuat adalah “tangan yang menerima”.
“‫س ْفلَى‬
Pendapat yang lain menyatakan “tangan yang tidak mau memberi.” Menurut pendapat
yang lain lagi, “tangan yang meminta.
Secara keseluruhan berarti ُ‫ ْال ُم ْنفِقَة‬yaitu pemberi/ penginfak. Sedangkan ‫س ْفلَى‬
ُّ ‫ ْاليَ ِدال‬ berarti
ُ‫ السَّائِلَة‬yaitu peminta

3. Status Hadis 
Hadits di atas dalam shahih Bukhari diriwayatkan melalui dua belas jalur. Dari
kedua belas jalur tersebut, ada dua jalur berderajat hasan, satu dhaif, dan selebihnya
shahih. 
Sanad 
JALUR SANAD KE - 1
Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab bin Nufail 
(Sahabat)

"Nafi', maula Ibnu 'Umar " 


(Tabi'in kalangan biasa)

Malik bin Anas bin Malik bin Abi 'Amir 


(Tabi'ut Tabi'in kalangan tua)

Qutaibah bin Sa'id bin Jamil bin Tharif bin 'Abdulla 


(Tabi'ul Atba' kalangan tua)

8. Biografi Perawi Utama (Sahabat)


Abdullah bin Umar bin Khattab atau dikenal juga dengan Ibnu Umar adalah
seorang sahabat Nabi dan merupakan periwayat hadits yang terkenal. Abdullah adalah
putra khalifah ke dua Umar bin al-Khaththab Khulafaur Rasyidin yang kedua saudara
kandung Sayyidah Hafshah Ummul Mukminin.
Ibnu Umar dilahirkan tidak lama setelah Nabi diutus, Umurnya 10 tahun ketika
ikut masuk Islam bersama ayahnya. Ibnu Umar masuk Islam bersama ayahnya saat ia
masih kecil, dan ikut hijrah ke Madinah bersama ayahnya.
Pada usia 13 tahun ia ingin menyertai ayahnya dalam Perang Badar, namun
Rasulullah menolaknya. Perang pertama yang diikutinya adalah Perang Khandaq. Ia ikut
berperang bersama Ja'far bin Abu Thalib dalam Perang Mu'tah, dan turut pula dalam
pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah). Setelah Nabi Muhammad meninggal, ia ikut
dalam perang Qadisiyah, Yarmuk, Penaklukan Afrika, Mesir dan Persia, serta
penyerbuan basrah dan Madain.

8
Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Ibnu Umar untuk menjabat sebagai
hakim, tapi ia tidak mau menerimanya. Setelah Utsman terbunuh, sebagian kaum
muslimin pernah berupaya membai'atnya menjadi khalifah, tapi ia juga menolaknya. Ia
tidak ikut campur dalam pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu
Sufyan. Ia cenderung menjauhi dunia politik, meskipun ia sempat terlibat konflik dengan
Abdullah bin Zubair yang pada saat itu telah menjadi penguasa Makkah.
Periwayat hadits
Ibnu Umar adalah seorang yang meriwayatkan hadist terbanyak kedua setelah
Abu Hurairah, yaitu sebanyak 2.630 hadits, karena ia selalu mengikuti kemana
Rasulullah pergi. Bahkan Aisyah istri Rasulullah pernah memujinya dan berkata :"Tak
seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentiannya,
seperti yang telah dilakukan Ibnu Umar". Ia bersikap sangat berhati-hati dalam
meriwayatkan hadist Nabi. Demikian pula dalam mengeluarkan fatwa, ia senantiasa
mengikuti tradisi dan sunnah Rasulullah, karenanya ia tidak mau melakukan ijtihad.
Biasanya ia memberi fatwa pada musim haji, atau pada kesempatan lainnya. Di antara
para Tabi'in, yang paling banyak meriwayatkan darinya ialah Salim dan hamba
sahayanya, Nafi'.
Pujian dari Sahabat
Kesalehan Ibnu Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi dan
kaum muslimin lainnya. Jabir bin Abdullah berkata: " Tidak ada di antara kami
disenangi oleh dunia dan dunia senang kepadanya, kecuali Umar dan putranya
Abdullah." Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan: "Ibnu Umar meninggal dan
keutamaannya sama seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak orang yang
sebanding dengan dia, sementara Ibnu Umar hidup pada masa yang tidak ada seorang
pun yang sebanding dengan dia".
Pedagang yang dermawan
Ibnu Umar adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya, tetapi juga banyak
berderma. ia pedagang yang sukses, sebagai pedagang ia berpenghasilan banyak karena
kejujurannya berniaga. Selain itu ia menerima gaji dari Baitul Maal. Tunjangan yang
diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk dirinya sendiri, tetapi dibagi-bagikannya
kepada fakir miskin. Berdagang buat Ibn Umar hanya sebuah jalan memutar rezeki Allah
di antara hamba-hambanya.
Ia hidup sampai 60 tahun (Ia wafat pada tahun 73 H) setelah wafatnya Rasulullah.
Ia kehilangan pengelihatannya pada masa tuanya. Ia wafat dalam usia lebih dari 80
tahun, dan merupakan salah satu sahabat yang paling akhir yang meninggal di kota
Makkah.

4. Asbabul Wurud 
Latar belakang munculnya hadis di atas, dan beberapa hadis lain yang senada
dengannya, adalah sebagaimana diceritakan oleh Hakim bin Hizam r.a., bahwasanya,
suatu ketika ia (Hakim) meminta sesuatu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam., dan beliau memberikannya, kemudian ia meminta lagi hingga beberapa kali,
dan Rasulullah-pun selalu memberikannya, hingga akhirnya, beliau bersabda, “Wahai
Hakim, sesungguhnya harta itu seperti barang yang manis dan menyenangkan,

9
barangsiapa mengambilnya dengan sikap diri rendah hati, Allah akan memberkati apa
yang dia ambil. Barangsiapa yang mengambilnya dengan sikap diri berlebih-lebihan,
Allah tidak akan memberkahi apa yang diambilnya, dan apa yang ia makan tidak akan
mengenyangkannya. Sesungguhnya tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di
bawah”

5. Kandungan Hadis 
Hadis ini menjelaskan bahwa kita sebagai orang yang tangannya di atas hendaklah
lebih dahulu memulai atau mendahulukan pemberiannya kepada keluarga setelah itu
barulah kepada yang lain. Disamping itu didalam hadis itu dijelaskan bahwa Allah akan
mencukupi seseorang yang menuntut atau bertekad menjadikan dirinya berkecukupan
tidak mau meminta belas kasihan orang lain. 
Ungkapan ini dapat dipahami bahwa sangatlah bijak dan dianjurkan bagi orang
kaya atau yang berkecukupan agar member kepada yang miskin dengan pemberian yang
dapat menjadi modal usahanya untuk dia dapat menjadi orang yang mempunyai usaha
sehingga pada saatnya nanti ia tidak lagi menjadi orang yang meminta-minta
(mengharapbelaskasihan orang). 
Meminta-minta adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah Subhaanahu wa ta’ala,
karena selama ia mampu untuk bekerja keras, pasti akan menumbuahkan hasil yang
manis. Meminta-minta diidentikkan kepada orang yang malas, karena mereka tidak mau
bekerja keras, sehingga kerjaannya hanya meminta – minta. Bekerja sama saja dengan
menjaga kehormatan dirinya dari sifat tercela. 

Perspektif Ekonomi 
HUKUM MENGEMIS DAN MEMINTA SUMBANGAN DALAM PANDANGAN
ISLAM : 
Meminta-minta sumbangan atau mengemis tidak disyari’atkan dalam agama
Islam, apalagi jika dilakukan dengan cara menipu atau berdusta dengan cara
menampakkan dirinya seakan-akan dalam kesulitan ekonomi, atau sangat membutuhkan
biaya pendidikan anak sekolah, atau perawatan dan pengobatan keluarganya yang sakit,
atau untuk membiayai kegiatan tertentu, maka hukumnya haram dan termasuk dosa
besar. 
Kesimpulan 
Dari hadis diatas dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang memberi lebih
baik dari pada orang yang meminta-minta, karena perbuatan meminta-minta merupakan
perbuatan yang mengakibatkan seseorang menjadi tercela dan hina. Sebenarnya
meminta-minta itu boleh dan halal, tetapi boleh disini diartikan bila seseorang dalam
keadaan tidak mempunyai apa-apa pada saat itu. Dengan kata lain yaitu dalam keadaan
mendesak atau sangat terpaksa sekali. Dan perbuatan meminta-minta itu dikatakan hina
jika orang yang melakukan pekerjaan itu dalam keadaan cukup, sehingga akan
merendahkan dirinya baik di mata manusia maupun pada pandangan Allah swt di akhirat
nanti. 
Orang yang memberi lebih utama dibandingkan orang yang meminta-minta saja.
Jadi bagi mereka yang memperoleh banyak harta harus diamalkan bagi orang yang

10
membutuhkan,sebab islam telah memberi tanggung jawab kepada orang muslim untuk
memelihara orang-orang yang karena alasan tertentu tidak bisa memenuhi kebutuhan
hidupnya, yaitu melalui zakat, maupun sedekah. Dan islam tidak menganjurkan hidup
dari belas kasihan orang lain atau dengan kata lain islam tidak menyukai pengangguran
dan mendorong manusia untuk berusaha. Membuka jalan atas dirinya untuk meminta-
minta dalam arti kata meminta dengan ketiadaan mudharat maka Allah akan membuka
pintu kemiskinan atas dirinya.

9. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil


a. Orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. 
b. Dianjurkan bersedekah dan berinfak kepada kaum Muslimin yang membutuhkan. 
c. Minta-minta hukumnya haram dalam Islam. 
d. Bila seseorang diberi sesuatu tanpa diminta, maka ia boleh menerimanya.
e. Seorang Muslim wajib memberi nafkah kepada orang yang berada dalam
pemeliharaan, seperti isteri, anak, orang tua dan pembantu. 
f. Dimakruhkan menyedekahkan apa yang masih dibutuhkan atau menyedekahkan
seluruh apa yang dimilikinya, sehingga dia tidak terpaksa meminta-minta kepada
orang lain. 
g. Sebaik-baik sedekah yaitu sedekah yang diambilkan dari kelebihan harta setelah
kebutuhan kita terpenuhi. 
h. Memelihara diri dari meminta-minta dan merasa cukup dengan pemberian Allâh Azza
wa Jalla dapat membuahkan rezeki yang baik dan jalan menuju kemuliaan. 
i. Orang-orang yang tidak meminta-minta kepada manusia, maka dia akan mulia. 
j. Orang yang qanâ’ah (merasa puas dengan rezeki yang Allâh Azza wa Jalla
karuniakan), dia adalah orang yang paling kaya. 
k. Orang yang merasa cukup dengan rezeki yang Allâh karuniakan kepadanya, maka
Allâh Azza wa Jalla akan mencukupinya. 
l. Orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla wajib menghilangkan
ketergantungan hatinya kepada makhluk. Dia wajib bergantung hanya kepada Allâh
Azza wa Jalla . 
m. Pemberian yang paling baik yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada seorang hamba
adalah kesabaran.

11
MATERIKE-3
Hadits tentang Keutamaan Memberi Nafkah dan Bekerja

Pokok Bahasan; 
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 
2. Kosakata/Mufradat 
3. Status Hadits 
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat) 
5. Kandungan Hadits 
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil 

Pembahasan: 
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 

Terjemahan 
Telah menceritakan kepada kami Adam bin Abu Iyas Te

lah menceritakan kepada kami  Syu'bah dari Adi bin Tsabit ia berkata; Aku mendengar
Abdullah bin Yazid Al-Anshari  dari Abu Mas'ud Al Anshari maka aku berkata; Dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam,  beliau bersabda: "Jika seorang muslim memberi nafkah pada
1

keluarganya dengan niat  mengharap pahala, maka baginya hal itu adalah sedekah." (HR. al-
Bukhari) 

2. Kosakata/Mufradat 

3. Asbabul Wurud  
Para ulama memberikan satu batasan tentang makna nafkah. Diantaranya
sebagaimana disebutkan dalam  Mu’jamul Wasith, yaitu apa-apa yang dikeluarkan oleh

12
seorang suami untuk keluarganya berupa makanan,  pakaian, tempat tinggal, dan yang
selainnya. Nafkah ini juga mencakup keperluan isteri sewaktu  melahirkan, seperti
pembiayaan bidan atau dokter yang menolong persalinan, biaya obat serta rumah sakit. 
Termasuk juga didalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis isteri. 

Telah menceritakan kepada kami Adam bin Abu Iyas Telah menceritakan kepada  kami
Syu'bah dari Adi bin Tsabit ia berkata; Aku mendengar Abdullah bin Yazid Al  Anshari
dari Abu Mas'ud Al Anshari maka aku berkata; Dari Nabi shallallahu 'alaihi  wasallam,
beliau bersabda: "Jika seorang muslim memberi nafkah pada keluarganya  dengan niat
mengharap pahala, maka baginya hal itu adalah sedekah." 

4. Status Hadits 
∙ Sanad 

Uqbah bin 'Amru bin Tsa'labah 


(Sahabat) 

Abdullah bin Yazid bin Zaid 


() 

Adiy bin Tsabit 


(Tabi'ut Tabi'in kalangan biasa) 

Syu'bah bin Al Hajjaj bin Al Warad 


(Tabi'ul Atba' kalangan tua) 

Adam bin Abu Iyas 


(Tabi'ul Atba' kalangan biasaa) 

∙ Kuantitas  
Sumber : Bukhari  
Kitab : Nafkah  
Kualitas : Hadits mashyur

13
5. Biografi Perawi Utama (Sahabat) 
Abu Mas'ud Al Anshari 
Nama lengkapanya Uqbah bin Amr bin Tsa’labah bin Asirah bin Athiyah  al-
Khzrajy al-Anshary, Abu Mas’ud al-Badry radhiallahu anhu 
Ayahanda beliau bernama Amir bin Naabi dan ibunda beliau bernama  Fukaihah
binti Sakan. 
Beliau adalah salah satu di antara sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. 
Sahabat yang memiliki kunyah Abu Mas’ud ini termasuk sahabat yang sering 
meriwayatkan hadis. Abu Mas’ud yang tergolong ulama di antara para sahabat ini 
mengikuti baiat Aqabah pertama di Mekkah di kala masih muda. Ibunda beliau pun 
mendapatkan taufik untuk baiat kepada Rasulullah saw. Ia tidak mengikuti perang 
Badar, akan tetapi pernah turun ke sumur Badar hingga dikenal dengan Al-Badri.  Ketika
Ali bin Abi Thalib ingin beranjak menemui Muawiyah, Ali mengangkat Abu  Mas’ud
untuk menjadi penggantinya di Kufah.  
Uqbah Bin Amir meriwayatkan, “Saya membawa anak saya yang masih kecil 
lalu hadir ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saya berkata, “‘Demi 
Anda, wahai Rasul! Saya bersedia mengorbankan ayah dan ibu saya. Mohon  ajarkanlah
doa-doa kepada anak saya yang dengannya ia akan selalu berdoa kepada  Allah ta’ala
dan Dia mengasihinya.” 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 

“Nak! Ikutilah dengan mengatakan, ‘Ya Allah! Hamba memohon kesehatan kepada 
engkau dalam keadaan iman, aku memohon akhlak mulia beserta keimanan dan  setelah
mendapatkan kedamaian aku mengharapkan kesuksesan.” 

Abu Mas’ud wafat sekitar tahun 40 H di Kufah.  

6. Kandungan Hadits
Diantara hadits yang menjadi penguat terhadap hadits di atas adalah  sebagaimana
hadits yang bersumber dari Sa’ad bin Abu Waqqash Radhiyallahu  'anhu, bahwa ia
memberitahukan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: 

"Sesungguhnya tidaklah engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari 


wajah Allah (ridho-Nya), melainkan engkau diberi pahala karenanya, sampai pun  apa yg
engkau berikan ke mulut isterimu (juga akan diberi pahala oleh Allah, pent)." (Hadits

14
SHOHIH. Diriwayatkan oleh imam al-Bukhari (no. 1295) & Muslim (no.  1628), dari Sa’ad
bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anhu). 

Dalam kitab Fathul Bari, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqolani menjelaskan  bahwa
yang dimaksud dengan kata “sedekah” pada hadits diatas adalah “pahala”,  maksudnya
orang yang menafkahi keluarganya itu akan mendapatkan pahala, dan  pahala itu akan
didapatkan dengan syarat apabila nafkah itu diniatkan untuk  mematuhi perintah Allah
dan mendekatkan diri pada-Nya (niat ibadah) agar  mendapatkan pahala. 
Imam At-Thobari menerangkan; “Menafkahi keluarga itu hukumnya wajib,  dan
orang yang memberikan nafkah akan diberikan pahala tergantung dari tujuan  (niat) nya,
dan tidak ada yang salah dengan mengistilahkan nafkah dengan kata  “sedekah”, bahkan
nafkah pada keluarga adalah sedekah yang lebih utama  dibandingkan sedekah sunat”. 
Syekh Al-Muhallab menjelaskan; “Menafkahi keluarga itu hukumnya wajib 
berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama’), sedangkan menafkahi keluarga disebut  dengan
"sedekah" karena dikhawatirkan orang-orang akan mengira bahwa ketika  mereka
bekerja untuk menafkahi keluarganya mereka tidak akan mendapatkan  pahala, dan pada
umumnya mereka tahu kalau orang yang bersedekah itu akan  mendapatkan pahala,
karena itulah dijelaskan bahwa menafkahi keluarga itu juga  mendapatkan pahala, dan
agar supaya mereka baru bersedekah setelah kebutuhan  keluarganya tercukupi, karena
keluarga lebih didahulukan”.

7. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil 


1. Memberi nafkah kepada keluarga (anak dan isteri) adalah kewajiban di pundak  seorang
ayah atau suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (artinya

Artin
ya: “…Dan kewajiban ayah menanggung nafkah & pakaian mereka  dengan cara yang
patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.”.  (QS. Al-Baqarah: 233). 

2. Menerima nafkah dari seorang suami tidaklah merendahkan martabat seorang  istri karena
memang ia berhak mendapatkan nafkah tsb atas tugas dan  pekerjaannya mengurus
rumah tangga dan mendidik anak-anak di dlm rumah  secara khusus. 
3. Setiap suami dan istri berkewajiban menjalankan tugas-tugasnya, dan masing masing dari
mereka akan mendapatkan pahala dari Allah atas pekerjaan n  tugasnya itu. 
4. Berbuat baik kepada istri dan anak-anak dengan harta, perkataan n perbuatan  merupakan
ibadah yg berpahala jika benar-benar dilandasi dengan niat yg baik n  ikhlas karena
mengharap ridho Allah Ta’ala semata. 
5. Niat yg baik dan ikhlas karena Allah semata dapat merubah segala aktifitas dan  rutinitas
sehari-hari yg bersifat wajib spt mencari nafkah, ataupun yg berfisat  mubah spt makan,
minum, berpakaian, tidur, mandi dsb menjadi ibadah yg  berpahala. 

15
6. Seseorang akan diberi pahala oleh Allah atas pemberian nafkahnya kpd anak n  istrinya
dengan syarat profesi dan penghasilannya adalah HALAL n BAIK  menurut syari’at
Islam. Sebab, jika profesi dan penghasilannya haram, maka  apapun yg ia infakkan
darinya tidak akan diterima n diberi pahala oleh Allah,  karena Allah hanya menerima
ibadah yg ikhlas dan infaq yg dikeluarkan dari  harta yg halal. 
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: 

 
Artinya: “Sesungguhnya Allah itu Dzat yg Maha Baik (suci), Dia tidak  menerima
apapun kecuali yg baik (suci) saja.” (HR. Muslim).

7. Nafkah berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan n modal  usaha yg
berasal dari profesi atau penghasilan yg haram dapat memberikan  pengaruh buruk dan
bahaya besar bagi pemberi dan penerima, diantaranya: 

a. Menumbuhkan perilaku yg buruk pada anak dan istri. 


b. Badan yg tumbuh dari makanan dan minuman yg haram sangat pantas 
dibakar di dalam api Neraka. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wasallam: 

Artinya: “Sesungguhnya tidaklah tumbuh berkembang daging (badan) dari 


makanan yang haram melainkan api Neraka yang lebih pantas baginya.” (HR.
At-Tirmidzi). 
c. Menyebabkan Doa tertolak dan tidak dikabulkan oleh Allah. d. Profesi dan
penghasilan yg haram dapat Menyebabkan hati menjadi keras  dan berkarat.
(QS. Al-Muthoffifin: 14). 
d. Profesi dan penghasilan yg haram akan menghilangkan keberkahan umur, 
rezeki, ilmu, amal dan keluarga. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: 

Artinya: “Sesungguhnya Allah memusnahkan (harta hasil) RIBA, dan 


mengembangkan (harta) yg disedekahkan.” (QS. Al-Baqarah).

16
MATERIKE-4
Hadits tentang Tunaikan Gaji Pegawai Sebelum Keringatnya Kering

Pokok Bahasan 
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 
2. Kosakata/Mufradat 
3. Status Hadits 
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat) 
5. Kandungan Hadits 
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil 

Pembahasan 

A. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 

Terjemahan: 
Dari Abdullah bin Umaria berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya." (HR.  Ibnu Majah:) 

B. Kosakata/Mufradat 

C. Status Hadits

17
Hadis shahih li ghairihi yaitu hadis hasan yang derajatnya naik menjadi shahih  li
ghairihi sebab terdapat jalur periwayatan lain yang secara kualitas sama atau lebih  kuat
darinya. 

D. Biografi Perawi Utama 

Abdullah bin Umar bin Khattab atau dikenal juga dengan Ibnu Umar adalah 
seorang sahabat Nabi dan merupakan periwayat hadits yang terkenal. Abdullah  adalah
putra khalifah ke dua Umar bin al-Khaththab Khulafaur Rasyidin yang kedua  saudara
kandung Sayyidah Hafshah Ummul Mukminin. 
Ibnu Umar dilahirkan tidak lama setelah Nabi diutus, Umurnya 10 tahun ketika 
ikut masuk Islam bersama ayahnya. Ibnu Umar masuk Islam bersama ayahnya saat ia 
masih kecil, dan ikut hijrah ke Madinah bersama ayahnya. 
Pada usia 13 tahun ia ingin menyertai ayahnya dalam Perang Badar, namun
Rasulullah menolaknya. Perang pertama yang diikutinya adalah Perang Khandaq. Ia  ikut
berperang bersama Ja'far bin Abu Thalib dalam Perang Mu'tah, dan turut pula  dalam
pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah). Setelah Nabi Muhammad meninggal, ia ikut
dalam perang Qadisiyah, Yarmuk, Penaklukan Afrika, Mesir dan  Persia, serta
penyerbuan basrah dan Madain. 
Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Ibnu Umar untuk menjabat  sebagai
hakim, tapi ia tidak mau menerimanya. Setelah Utsman terbunuh, sebagian  kaum
muslimin pernah berupaya membai'atnya menjadi khalifah, tapi ia juga  menolaknya. Ia
tidak ikut campur dalam pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan  Muawiyah bin Abu
Sufyan. Ia cenderung menjauhi dunia politik, meskipun ia  sempat terlibat konflik
dengan Abdullah bin Zubair yang pada saat itu telah menjadi  penguasa Makkah. 
Periwayat hadits 
Ibnu Umar adalah seorang yang meriwayatkan hadist terbanyak kedua setelah  Abu
Hurairah, yaitu sebanyak 2.630 hadits, karena ia selalu mengikuti kemana  Rasulullah
pergi. Bahkan Aisyah istri Rasulullah pernah memujinya dan berkata  :"Tak seorang pun
mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat  pemberhentiannya, seperti yang
telah dilakukan Ibnu Umar". Ia bersikap sangat 
berhati-hati dalam meriwayatkan hadist Nabi. Demikian pula dalam mengeluarkan 
fatwa, ia senantiasa mengikuti tradisi dan sunnah Rasulullah, karenanya ia tidak mau 
melakukan ijtihad. Biasanya ia memberi fatwa pada musim haji, atau pada  kesempatan
lainnya. Di antara para Tabi'in, yang paling banyak meriwayatkan  darinya ialah Salim
dan hamba sahayanya, Nafi'. 
Pujian dari Sahabat 
Kesalehan Ibnu Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi  dan
kaum muslimin lainnya. Jabir bin Abdullah berkata: " Tidak ada di antara kami 
disenangi oleh dunia dan dunia senang kepadanya, kecuali Umar dan putranya 
Abdullah." Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan: "Ibnu Umar meninggal dan 
keutamaannya sama seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak orang yang 

18
sebanding dengan dia, sementara Ibnu Umar hidup pada masa yang tidak ada  seorang
pun yang sebanding dengan dia". 
Pedagang yang dermawan 
Ibnu Umar adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya, tetapi juga banyak 
berderma. ia pedagang yang sukses, sebagai pedagang ia berpenghasilan banyak  karena
kejujurannya berniaga. Selain itu ia menerima gaji dari Baitul Maal.  Tunjangan yang
diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk dirinya sendiri, tetapi  dibagi-bagikannya
kepada fakir miskin. Berdagang buat Ibn Umar hanya sebuah  jalan memutar rezeki
Allah di antara hamba-hambanya. 
Ia hidup sampai 60 tahun (Ia wafat pada tahun 73 H) setelah wafatnya  Rasulullah.
Ia kehilangan pengelihatannya pada masa tuanya. Ia wafat dalam usia  lebih dari 80
tahun, dan merupakan salah satu sahabat yang paling akhir yang  meninggal di kota
Makkah. 

E. Penjelasan Hadits 
Di antara kewajiban seorang majikan adalah memperhatikan upah pekerjanya. 
Janganlah ia sengaja menunda padahal ia mampu menunaikannya tepat waktu. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan memberikan upah sebelum  keringat si
pekerja kering. 
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu 
Majah, shahih).  

Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah  selesainya
pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan  pemberian gaji setiap
bulan. 
Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu 
menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si 
pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan  gaji
setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak  kering
atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718) 
Menunda penurunan gaji pada pegawai padahal mampu termasuk kezholiman. 
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezholiman” (HR. 


Bukhari no. 2400 dan Muslim no. 1564) 
Bahkan orang seperti ini halal kehormatannya dan layak mendapatkan  hukuman,
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

19
“Orang yang menunda kewajiban, halal kehormatan dan pantas mendapatkan 
hukuman” (HR. Abu Daud no. 3628, An Nasa-i no. 4689, Ibnu Majah no. 2427, 
hasan).  

Maksud halal kehormatannya, boleh saja kita katakan pada orang lain bahwa majikan  ini
biasa menunda kewajiban menunaikan gaji dan zholim. Pantas mendapatkan  hukuman
adalah ia bisa saja ditahan karena kejahatannya tersebut. 
Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan  Saudi
Arabia) pernah ditanya, “Ada seorang majikan yang tidak memberikan upah  kepada
para pekerjanya dan baru memberinya ketika mereka akan safar ke negeri  mereka, yaitu
setelah setahun atau dua tahun. Para pekerja pun ridho akan hal 
tersebut karena mereka memang tidak terlalu sangat butuh pada gaji mereka (setiap 
bulan).” 
Jawab ulama Al Lajnah Ad Daimah, “Yang wajib adalah majikan memberikan 
gaji di akhir bulan sebagaimana yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Akan  tetapi
jika ada kesepakatan dan sudah saling ridho bahwa gaji akan diserahkan  terakhir setelah
satu atau dua tahun, maka seperti itu tidaklah mengapa. Karena Nabi  shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, 

“Kaum muslimin wajib mematuhi persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Fatawa  Al
Lajnah Ad Daimah, 14: 390). 

F. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil

20
MATERI KE-5
Hadits tentang Keutamaan Memberi Hutang

Pokok Bahasan 
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 2.
Kosakata/Mufradat 
3. Status Hadits 
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat) 
5. Kandungan Hadits 
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil 

Pembahasan 
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 

Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 


“Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman dua kali kepada muslim yang lain 
kecuali seperti sedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majjah) 

Kosa Kata/Mufradat hadits 

Status Hadits 
Hadits ini jika dilihat secara parsial, sanadnya dhaif karena salah satu perawinya 
adalah Sulaiman bin Yasir, serta Qais bin Rumi yang tidak dikenal identitasnya dengan 
baik, tetapi hadits ini tingkatannya HASAN karena banyak hadits lain atau riwayat lain 
yang mendukung makna hadits tsb.

21
Biografi Perawi Utama (Sahabat) 
Abdullah bin Mas'ud bin Ghafil bin Habib al-Hudzali (wafat 32 H/653), (bahasa 
(yang dikenal dengan Ibn
Mas'ud, 

termasuk salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, muhaddits dan 
mufassir Alquran di era permulaan Islam. Menurut penuturannya, ia adalah orang  keenam
pertama yang memeluk Islam. Ibnu Mas'ud termasuk kelompok muhajirin  pertama yang
pergi ke Habasyah. Ia berhijrah dari Mekkah menuju Madinah dan ikut  berpartisipasi dalam
pertempuran Badar dan Uhud. Setelah Rasulullah wafat, ia juga ikut  serta dalam peperangan
Riddah dan penaklukan Syam.  
Pada tahun 21 H/642, Umar bin Khattab mengutus Ibnu Mas'ud bersama Ammar
untuk mengawasi Baitul Mal dan pengadilan. Ibnu Mas'ud pada masa kekhilafahan  Utsman
berseteru dengan Sa'ad bin Abi Waqqash dan Utsman pun mengembalikannya  lagi ke
Madinah. Ia meninggal di Madinah, dua tahun sebelum Utsman bin Affan  meninggal.  
Ia termasuk orang pertama yang hafiz Alquran dan mendengar langsung sekitar  70
surah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Ashim mengambil riwayat 
Alqurannya dari Ibnu Mas'ud. Ia membacakan mushaf Alquran kepada sebagian orang  dan
mereka menulisnya dan ketika Utsman memerintahkan untuk mengumpulkan semua  mushaf
yang ada, awalnya ia menolak, namun akhirnya ia terpaksa melakukan hal  tersebut. Ibnu
Mas'ud termasuk kalangan sahabat yang dihormati semua kaum muslim,  baik Syiah maupun
Ahlusunah. Riwayat tentang jumlah para imam (berjumlah 12 orang)  diriwayatkan dari
dirinya.  

Kandungan Hadits 
Pada hadits di atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan 
bahwa pahala dua kali mengutangkan sama dengan pahala satu kali sedekah. Dari situ  kita
pahami bahwa pahala sedekah lebih besar daripada pahala mengutangkan. Hal  tersebut
masuk akal karena orang yang menyedekahkan hartanya, pada umumnya tidak 
mengharapkan pengembalian. Ikhlas begitu saja. Sedangkan orang yang mengutangkan, 
tentu berharap harta yang diutangkannya itu akan dikembalikan di kemudian waktu.
Tetapi, dalam kesempatan lain Nabi menemukan kenyataan berbeda. Ketika Nabi 
melaksanakan Isra’ Mi’raj , Nabi sempat diajak jalan-jalan ke surga. Di salah satu pintu 
surga Nabi menemukan sebuah tulisan yang terasa agak janggal. Isi tulisan tersebut 
bertentangan dengan apa yang selama ini Nabi ketahui bahwa pahala sedekah lebih besar 
dari pahala mengutangkan. Tetapi tulisan tersebut malah menyatakan sebaliknya, Nabi  pun
heran dan langsung menanyakan hal tersebut kepada malaikat Jibril. Kisah  selengkapnya
bisa kita simak dalam hadis berikut ini yang artinya: 
Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah bersabda,”Aku melihat pada waktu  malam
di-isra’kan, pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat dan  qardh
delapan belas kali. Aku bertanya, Wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama  dari

22
sedekah? Ia menjawab, karena peminta, meminta sesuatu padahal ia punya,  sedangkan
yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan.” (HR.  Ibnu Majjah)  
Dalam hadis di atas Jibril menjelaskan bahwa bisa jadi pinjaman yang kita  berikan
kepada orang yang sedang membutuhkan, lebih besar pahalanya daripada pahala  sedekah.
Karena orang yang meminjam, biasanya dalam keadaan butuh. Sehingga  pinjaman yang kita
berikan lebih tepat guna. 
Sedangkan sedekah, bisa jadi orang yang meminta-minta sedekah itu bukan orang 
miskin atau sedang dalam keadaan butuh. Bahkan dalam beberapa kasus, pengemis yang 
meminta-minta di jalanan di kota-kota besar, yang pakaiannya terlihat lusuh, compang
camping, ada yang membawa anak kecil yang tertidur atau mungkin ‘sengaja’ dibuat  tidur,
ternyata di kampung halamannya punya rumah mewah lengkap dengan kolam  renang.
Memang pada dasarnya, beberapa pengemis di lampu merah itu tidak mengemis  karena
terpaksa melainkan sudah menjadi profesi dan memang passion-nya dalam bidang  itu.
Sehingga masuk akal jika dalam hadits di atas dikatakan bahwa pahala meminjamkan 
kadang-kadang lebih besar dari pahala sedekah. 
Hadits selanjutnya menjelaskan secara umum anjuran untuk meringankan beban  saudara kita
sesama muslim, salah satunya dengan memberikan pinjaman.

Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: 
Barangsiapa yang melepaskan dari seorang musli kesusahan dunia, maka Allah akan 
melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; dan barangsiapa yang memberikan 
kemudahan kepada oarng yang sedang mengalami kesulitan di dunia, maka Allah akan 
memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa yang 
menutupi ‘aib seorang muslim di dunia, maka Allah akn menutupi ‘aibnya di dunia dan  di
akhirat; dan Allah akan senantiasa menolonh hambanya, selama hamba itu menolong 
saudaranya.” (HR. At-Tirmidzi) 

Dalam hadits riwayat Ibnu Majah di atas, menunjukkan bahwa memberi pinjaman 
memiliki keutamaan lebih besar daripada bersedekah. Di dalam Al-Qur’an juga  disebutkan
bahwa memberi pinjaman dengan hati yang tulus untuk kemaslahatan si  peminjam akan
mendapatkan pembayaran atau pahala berlipat ganda, yakni terdapat  dalam QS. Al-Baqarah :
245 dan QS. Al-Hadid : 11.  
Jika dikaji lebih dalam, ternyata efek sedekah dan pinjaman memiliki pengaruh  yang
berbeda tingkatannya. Dapat dikatakan bahwa efek sedekah tidak terasa dan kurang 
mendalam, baik di hati pemberi maupun penerima. Pasalnya, pemberian sedekah  cenderung

23
bersifat instan, ditandai dengan tidak adanya perjanjian antara si pemberi dan  si penerima.
Pemberian sedekah kurang kuat dalam membangkitkan rasa tanggung jawab  dan
kemandirian si penerima. Sebaliknya, sistem pinjaman akan menciptakan  konsekuensi moril
untuk bersikap jujur, bersungguh-sungguh, bertanggung jawab, dan  bekerja keras untuk
mendapatkan hasil yang maksimal demi melunasi hutangnya,  bermental maju, dan lain
sebagainya.  
Sistem pinjaman juga akan tetap menjaga harga diri dan kemuliaan kedua belah 
pihak. Berbeda dengan sedekah yang dapat mendatangkan riya dan takabur bagi si  pemberi
sedekah. Tanpa disadari, sedekah akan mengajarkan dan membentuk “mental  pengemis”.
Posisi penerima sedekah seolah selalu berada di bawah sehingga dapat  menurunkan
derajatnya. Sedangkan sistem pinjam meminjam lebih berorientasi pada  kesamaan derajat,
karena posisinya berada di bawah transaksi kesepakatan (akad).  Penerima pinjaman akan
berusaha menjaga komitmennya untuk mengembalikan nya  pada tempo tertentu sambil
berusaha dan bekerja.
Kesimpulannya adalah memberi pinjaman lebih utama daripada bersedekah. Dengan 
memberi pinjaman, itu akan menimbulkan manfaat baik untuk orang yang memberi 
pinjaman maupun orang yang menerima pinjaman.  
Sangat wajar jika mekanisme ekonomi zaman modern ini tumbuh dinamis dan terus 
meningkat berkat aktivitas sistem pinjam meminjam ini. Sistem ini berjalan secara 
berkesinambungan untuk jangka panjang. Si pemberi pinjaman akan mendapatkan  kembali
uangnya, si peminjam juga mendapatkan manfaat besar karena bisa memenuhi 
kebutuhannya, bahkan sekaligus dapat memutar roda ekonominya yang sempat terhambat 
karena kekurangan dana. Demikian seterusnya hingga menciptakan perputaran ekonomi 
yang saling menguntungkan.

24
MATERI KE-6
Hadits tentang Larangan Menunda-nunda Membayar Hutang

Pokok Bahasan: 
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 
2. Kosakata/Mufradat 
3. Status Hadits 
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat) 
5. Kandungan Hadits 
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil 

Pembahasan 

1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 

Terjemah: 
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah 
suatu kezhaliman. maka jika salah seorang dari kalian di pindahkan kepada  seorang
yang kaya maka ikutilah ". (HR. Bukhari) 

2. Kosakata/Mufradat 

25
3. Status Hadis  
Sanad 
Abdur Rahman bin Shakhr (Abu Hurairah) 
(Sahabat) 

Hammam bin Munabbih bin Kamil bin Syaikh 


(Perawi yang mempunyai sifat adil dan kuat hafalannya) 

Ma’mar bin Raosyid Sufyan 


(Perawi yang jujur terhadap apa yang diberitakan, tetapi ia memiliki hafalan yang buruk 
dan sering keliru dalam periwayatan) 

Abdul A’laa bin ‘Abdul A’laa 


(Perawi yang memiliki sifat adil dan kuat hafalannya) 

Musaddad bin Musrihad bin Musribal bin Mustawrid 


(Perawi yang diterima periwayatannya dan dapat dijadikan sebagai hujjah) 

Matan  
Matan dari hadits utama adalah orang kaya yang menunda-nunda membayar 
hutang termasuk kepada perbuatan dzalim, perbedaan matan dari hadits penguat 
(Hadits Nasa’i No. 4609) adalah kedzaliman adalah orang kaya yang menunda 

26
pembayaran hutang yang tanpa adanya udzur. Jadi, dalam penguat lebih dijelaskan 
dengan adanya udzur.  
Sedangkan dalam hadits penguat (Hadits Ahmad No.5138 dan Hadits Ahmad 
No.7034)dinyatakan bahwa orang kaya yang menunda membayar hutang termasuk 
dalam suatu kedzaliman, dan apabila hutang itu dipindahkan kepada orang yang  berharta
maka orang yang berhutang hendak mengikutinya.  

Kualitas hadits : Hadits Hasan  

4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)


ABU HURAIRAH  
Menurut pendapat mayoritas, nama beliau adalah 'Abdurrahman bin Shakhr ad 
Dausi. Pada masa jahiliyyah, beliau bernama Abdu Syams, dan ada pula yang 
berpendapat lain. Kunyah-nya Abu Hurairah (inilah yang masyhur) atau Abu Hir,  karena
memiliki seekor kucing kecil yang selalu diajaknya bermain-main pada siang  hari atau
saat menggembalakan kambing-kambing milik keluarga dan kerabatnya,  dan beliau
simpan di atas pohon pada malam harinya. Tersebut dalam Shahihul  Bukhari, bahwa
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memanggilnya, “Wahai,  Abu Hir”. 
Ahli hadits telah sepakat, beliau adalah sahabat yang paling banyak  meriwayatkan
hadits. Abu Muhammad Ibnu Hazm mengatakan bahwa, dalam  Musnad Baqiy bin
Makhlad terdapat lebih dari 5300 hadits yang diriwayatkan oleh  Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu.  
Selain meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau  Radhiyallahu
'anhu juga meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, al Fadhl bin al  Abbas, Ubay bin Ka’ab,
Usamah bin Zaid, ‘Aisyah, Bushrah al Ghifari, dan Ka’ab al  Ahbar Radhiyallahu
'anhum. Ada sekitar 800 ahli ilmu dari kalangan sahabat  maupun tabi’in yang
meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah dan beliau adalah orang  yang paling hafal dalam
meriwayatkan beribu-ribu hadits. Namun, bukan berarti  beliau yang paling utama di
antara para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa  sallam. 
Imam asy Syafi’i berkata,"Abu Hurairah adalah orang yang paling hafal dalam 
meriwayatkan hadits pada zamannya (masa sahabat).”  
Abu Hurairah masuk Islam antara setelah perjanjian Hudaibiyyah dan sebelum 
perang Khaibar. Beliau Radhiyallahu 'anhu datang ke Madinah sebagai muhajir dan 
tinggal di Shuffah.  
Amr bin Ali al Fallas mengatakan, Abu Hurairah datang ke Madinah pada tahun 
terjadinya perang Khaibar pada bulan Muharram tahun ke-7 H.  
Humaid al Himyari berkata,"Aku menemani seorang sahabat yang pernah 
menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selama empat tahun  sebagaimana
halnya Abu Hurairah.” 

27

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo’akan ibu Abu Hurairah, agar Allah 
memberinya hidayah untuk masuk Islam, dan do’a tersebut dikabulkan. Abu  Hurairah
wafat pada tahun 57 H menurut pendapat yang terkuat. 

5. Kandungan Hadis  
Dari teks hadits utama diatas, terdapat kandungan yaitu : Maksud dari kata
“Mathlu” ialah menunda-nunda iddah dan hutang. Dan di dalam istilah ahli fikih 
“Mathlu” artinya adalah menahan penunaian sesuatu yang berhak ditunaikan.Haram 
menunda-nunda pembayaran hutang bagi yang mampu tanpa ada alasan.  
Hadist tersebut mengandung tuntunan untuk menyegerakan pembayaran  hutang
bagi orang yang mampu untuk membayarnya. Selain itu pula juga terdapat  peringatan
bahwa menunda-nunda pembayaran hutang termasuk perbuatan dzolim.  Akan tetapi
yang dimaksud disini ialah penundaan pembayaran yang seharusnya  segera
dilaksanakan oleh orang yang mampu melaksanakannya tanpa uzur. Berbeda  halnya
dengan orang yang tidak mampu, maka ia boleh menunda pembayaran  hutangnya
hingga mampu. Penundaan pembayaran hutang yang dilakukan oleh  orang yang mampu
termasuk dosa besar, terlebih jika orang yang berpiutang  membebankan bunga kepada
orang yang berhutang karena pada saat jatuh tempo  tidak terbayar dan hal ini termasuk
riba. 
Jadi dapat disimpulkan, nahwa bagi orang yang mampu untuk membayar  hutang,
harus membayar hutangnya karena dalam menunda-nunda pembayaran  hutang termasuk
perbuatan dzalim. Akan tetapi yang dimaksud disini ialah  penundaan pembayaran yang
seharusnya segera dilaksanaka noleh orang yang  mampu melaksanakannya tanpa uzur.
Berbeda halnya dengan orang yang tidak  mampu, maka ia boleh menunda pembayaran
hutangnya hingga ia mampu. 

6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil 


a. Larangan bagi manusia dalam menunda-nunda membayar hutang, Karena hal  tersebut
termasuk perbuatan yang zalim.  
b. Jika kita belum mampu membayarnya maka kita harus berterus terang dengan 
sebenarnya: 
a) Memberi kabar kepada orang yang memberi hutang jika belum mampu  membayar.  
b) Harus berusaha keras mencari jalan keluar untuk segera melunasi  hutangnya.  
c) Mendoakan kebaikan untuk orang yang telah meminjamkan sesuatu  kepada kita dan
berterima kasih kepadanya. 
c. Memberikan kemudahan orang lain khusunya dalam hal penyelesaian hutang d.
Tagihlah hutang dengan cara yang baik 

28
e. Berilah tenggang waktu bagi orang yang kesulitan dalam membayar hutangnya f.
Berilah kemudahan bagi orang yang mudah melunasi hutang g. Barangsiapa yang
hutangnya dialihkan kepada orang kaya maka ia harus  mengikutinya/menerimanya.  
h. Membayar hutang adalah suatu kewajiban yang harus kita penuhi. Haram  hukumnya jika
kita menunda-nunda pembayaran hutang padahal kita mampu  untuk membayarnya.
Membayar hutang sangat penting, bahkan orang yang  belum membayar hutangpun tidak
diperbolehkan membayar zakat, melainkan  harus membayar hutang dahulu,  
i. seorang yang berjuang dijalan Allah (fii sabilillah) pun harus melunasi  hutangnya
tersebut sebelum maju ke medan perang. Maka dari itu  j. Membayar hutang adalah suatu
kewajiban mutlak yang harus dilakukan oleh  seluruh muslim yang dikenakan membayar
hutang.  
k. Hukum menunda pembayaran hutang tidak haram apabila orang yang berhutang  memang
benar-benar belum mampu membayarnya atau ia telah mampu  membayarnya namun
masih berhalangan untuk membayarnya semisal uang  yang ia miliki belum berada
ditangannya atau alasan-alasan lain yang  dibenarkan agama.

29
MATERI KE 7
Hadits tentang Khiyar dalam Jual Beli

Bahan Kajian; 
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 
2. Kosakata/Mufradat 
3. Asbabul Wurud 
4. Status Hadits 
5. Biografi Perawi Utama (Sahabat) 
6. Kandungan Hadits 
7. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil 

Pembahasan; 

1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 

Artinya: 
Dari Hakim bin Hizam –radliyallahu`anh- ia berkata : Rasulullah –shallallahu`alaihi 
wa sallam- bersabda : “Dua orang yang berjual beli itu haruslah bebas memilih  sebelum
mereka berpisah. Apabila keduanya jujur dan berterus terang di dalam  berjual beli, maka
keduanya akan mendapatkan berkah. Tetapi apabila keduanya  menyembunyikan dan
dusta, maka jual belinya itu tidak akan membawa berkah.  (Riwayat Imam Al-Bukhari
dan Imam Muslim). 

2. Kosakata/Mufradat 

: Artinya penjual dan pembeli. Makna ini diberikan kepada keduanya, yang 
termasuk masalah kebiasaan. Seperti yang sudah dijelaskan, masing masing dari dua 
lafazh inni dapat diartikan pula bagi yang lainnya. 

: Merupakan mashdar dari ikhtara, dari al-ikhtiar, berarti meminta yang  terbaik
dari dua hal, entah berupa pengesahan atau penolakan.

Keduanya jujur 
terang Terus

30
Penjual menyembunyikan kecatatan barang dan pembeli menyembunyikan  kecatatan
harga, yang dimaksud dengan menyembunyikan yaitu menyamarkan 
kecatatannya dan menampakan yang tidak ada.  

:Barakah dalam harga barangnya akan hilang diakibatkan karena


sikap dusta dan saling menyembunyikan. Artinya: Allah
menghilangkan  kebaikannya dan kaidahnya. 

3. Asbabul Wurud  

Ibnu Umar Ra berkata, “Ada seseorang (bernama Habban bin Munqidz) 


mengadu kepada Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bahwa ia tertipu dalam jual 
beli. Lalu beliau bersabda, “Jika engkau berjual beli, katakanlah, “Jangan melakukan 
tipu daya” (yakni penipuan). (Muttafaq ‘Alaih).  
Ishaq menambahkan dalam riwayat Yunus bin Bakir dan Abdil A’la lafazh.  

4. Status Hadits 
Kuantitas hadis utamanya adalah Ahad Gharib karena, Gharib ialah hadits yang 
diriwayatkan hanya dengan satu sanad. 
Sedangkan Matannya ada Keterkaitan antara hadis utama dan hadis penguat yaitu  apa
bila ada dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar, selama  keduanya
belum berpisah, dan apabila keduanya jujur dan menampakkan cacat  dagangannya maka
keduanya diberkahi dalamjual belinya dan bila menyembunyikan  cacat dan berdusta
maka akan dimusnahkan keberkahanjual belinya. 
Jika di lihat dari kualitasnya hadis utama ini kualitasnya tergolong hadis shahih 

5. Biografi Perawi Utama (Sahabat) 


Hakim bin Hizam dilahirkan di dalam Ka’bah, pada 12 tahun sebelum  Tahun
Gajah. Kehidupan Hakim bin Hizam sebelum Islam sangat baik. Ia pun 

disebutkan menjadi salah satu sahabat dekat Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam


Sayang, ketika Islam datang, Hakim bin Hizam belum ditakdirkan mendapatkan 
hidayah, sehingga ia masih bergabung bersama kafir Quraisy lain. Hanya saja, ia  bukan
seperti Abu Jahal atau Uqbah bin Abi Mu’aith yang tangan dan lisan mereka  sangat
senang menyakiti Nabi. 
Hakim bin Hizam berbeda, karena nilai-nilai fitrahnya masih bagus. Hal itu 
dibuktikan dengan banyaknya harta yang telah ia sedekahkan untuk orang-orang  yang
membutuhkan dan ratusan budak yang dia merdekakan. 
Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam sangat berharap orang-orang Quraisy 
yang baik segera masuk Islam.Hal itu karena beliau sangat kasihan terhadap mereka, 

31
yang sebenarnya punya hati yang baik, namun karena pengaruh lingkungan dan 
pergaulan, akhirnya mereka-mereka yang berhati baik pun kalah dan ikut bersama 
orang-orang yang jelek itu. 
Kaum muslimin sudah hijrah ke Madinah, namun Hakim bin Hizam belum  juga
masuk Islam. Dalam peperangan Badar, Hakim bin Hizam juga terpaksa ikut di  barisan
kaum kafir Quraisy. Hanya saja, Allah berkehendak lain. Ketika Umayyah  bin Khalaf,
Utbah bin Rabi’ah dan Abu Jahal tewas, Hakim bin Hizam dibiarkan  oleh Allah tetap
hidup, supaya kelak bila tiba masanya, ia akan menerima hidayah. 
Telah berlalu perang Uhud, Khandaq, hingga penaklukan Khaibar, namun  Hakim
bin Hizam belum juga mau beriman. Sedangkan Rasulullah masih senantiasa 
mendoakan dirinya agar segera mendapatkan hidayah. 
Doa Rasulullah lalu terjawab ketika kaum muslimin berhasil –dengan izin  Allah-
menaklukkan kota Makkah pada bulan Ramadhan tahun 8 H. Saat itu Hakim  bin Hizam
termasuk golongan orang-orang Quraisy yang masuk Islam. Namun ada  satu perasaan
yang amat mengganjal dalam diri Hakim.Ia pun membebaskan seratus  orang budak,
menyedekahkan seratus ekor unta lengkap dengan barang bawaan yang  ada di
punggungnya, lalu dia menemui Nabi dan mencoba mengutarakannya, “Wahai 
Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan segala amal kebajikan yang aku lakukan 
semasa jahiliah dan ibadahku saat itu, apakah aku bisa mendapatkan pahala  darinya?”
Rasulullah mencoba mengobati kegundahan Hakim dengan berkata,  “Engkau masuk
Islam dengan membawa serta kebaikanmu di masa lalu.”

Setelah itu semakin bagus keislaman Hakim, ia pun semakin dermawan, dan 
pada akhirnya ia diberi usia panjang. Disebutkan, bahwa Hakim bin Hizam wafat  pada
tahun 50-an Hijriah, dalam usia 120 tahun. Dengan perincian, 60 tahun dia  habiskan di
masa jahiliah, sedangkan sisanya di dalam Islam.Semoga Allah meridhai  beliau. 

6. Penjelasan Hadits 
Di antara keistimewaan agama Islam adalah tentang kasih sayangnya kepada 
ummat ini agar tidak menyusahkan mereka dalam berjual-beli. Dalam praktik jual  beli
terkadang terjadi sebuah penyesalan baik oleh pihak penjual maupun pembeli 
disebabkan kurang hati-hati, atau tergesa-gesa, atau sebab lainnya. 
Dalam Islam prinsip berlakunya jual beli adalah atas dasar suka sama suka,  maka
syariat Islam memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang  melakukan akad
jual beli untuk memilih antara dua kemungkinan, yaitu antara  melanjutkan jual beli
ataukah membatalkannya. Hak pilih ini dikenal dengan AL 
KHIYAR (HAK PILIH). 
Definisi Al-Khiyar 

32
Secara bahasa, Al-Khiyar bermakna memilih, menyisihkan dan 
mengayak/menyaring. Secara umum, Al-Khiyar bermakna menentukan yang terbaik 
dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan peninjauan sebelum menentukan sikap. 

Hikmah Pensyariatan Khiyar 


Ada beberapa hikmah dalam pensyariatan Al-Khiyar, di antaranya adalah: 1. Memperkecil
kelemahan transaksi sejak awal, misalnya karena informasi yang  tidak lengkap atau ada
keraguan atau sejenisnya yang dikhawatirkan bisa  menyebabkan kerugian bagi para
pelaku transaksi. 
2. Memberikan kesempatan untuk bermusyawarah dan berfikir ulang dengan  memberikan
kesempatan untuk berkonsultasi dengan para ahli yang ia percayai  tentang kesesuaian
harga dan barang. Sehingga ia tidak merasa dibohongi atau  dirugikan.

3. Memberikan kesempatan kepada pelaku transaksi untuk membatalkan transaksi  apabila


terjadi kesalahan atau karena pihak penjual tidak bersedia memperbaiki  cacat pada
barangnya. 
4. Memberikan kemudahan kepada pemilik harta dan menutup kesempatan orang  yang
tamak, sehingga tidak bisa berbuat semaunya. 
5. Memberikan kesempatan kepada masing-masing pelaku transaksi untuk meninjau  ulang
transaksinya agar bisa mendapatkan kebaikan dan bisa mencapai tujuannya  dalam jual
beli. 
6. Membuktikan dan mempertegas kerelaan dari masing-masing pihak. 

Macam-Macam Al-Khiyar 
Setelah melakukan penelitian, para ulama membagi Al-Khiyar menjadi tujuh 
jenis, yaitu: 
a) Khiyar Al-Majlis 
b) Khiyar Asy-Syart 
c) Khiyar Al-‘Aib 
d) Khiyar At-Tadlis 
e) Khiyar Al-Ghabn 
f) Khiyar Fi Al-Bai’ Bi Takhyirits -tsaman 
g) Khiyar Li lkhtilafil mutabayi’ain 

Khiyar Al-Majlis (Hak Pilih Di Lokasi Transaksi) 

33
Khiyar inilah yang dimaksud dalam hadits di atas, dan kita hanya akan 
mencukupkan sejenak membaca lebih dekat tentang jenis Khiyar Al-Majlis ini pada 
tulisan kali ini. Khiyar Al-Majlis ini terjadi selama pembicaraan tentang transaksi  jual
beli tersebut berlangsung di lokasi, maka di situ penjual dan pembeli masih  dikatakan
berada di majlis. Dan makna majlis disini mencakup tiga hal yaitu tempat  transaksi,
waktu transaksi dan tema transaksi. Khiyar Al-Majlis ini sah menjadi milik  si penjual
dan si pembeli semenjak dilangsungkannya akad jual beli hingga mereka  berpisah.

7. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil 


1) Diberikannya hak pilih di lokasi transaksi, yakni bagi penjual dan pembeli. 2)
Diwajibkan memperlihatkan cacat yang terdapat pada barang dagangan dan  diharamkan
menyembunyikannya. Jika aibnya tampak jelas, maka haruslah  diberikan hak kepada
pembeli untuk memilih pembatalan jual beli. 
3) Apa yang ada pada sisi Allah hanya bisa diperoleh dengan amal shalih. 4) Di antara
keburukan maksiat adalah hilangnya kebaikan dunia dan akhirat dari  dalam diri
pelakunya. 
5) Kejujuran dalam perniagaan tergolong cerminan kedududukan mulia yang tidak  akan
diraih kecuali oleh orang yang beruntung. Bahkan, kejujuran merupakan  sumber
datangnya keberkahan. (Bahjatun-nadzirin Syarhu Riyadlush-shalihin,  hal. 110-111). 
6) Anjuran mencari keberkahan rizki, termasuk dalam upaya berjual-beli. 7) Di antara
ngalap berkah yang dibolehkan adalah dengan cara jujur ketika  berdagang dan tidak
menyembunyikan cacat barang. 
8) Ancaman akan hilangnya keberkahan bagi mereka yang tidak jujur dalam  berjual-beli,
menunjukkan bahwa keberkahan harta adalah sesuatu yang agung  di sisi Allah Ta`ala. 
9) Hak Khiyar adalah salah satu nikmat Allah dan kemurahan-Nya agar tidak  terjadi
penyesalan bagi hambna-Nya yang akan membuatnya sedih. 
10) Penjual tidak boleh memaksa pembeli untuk tergesa-gesa dalam menentukan  pilihan.

34
MATERI KE 8
Larangan bersumpah dalam jual beli

Bahan Kajian:  
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 
2. Kosakata/Mufradat 
3. Status Hadits 
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat) 
5. Kandungan Hadits 
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil 

Pembahasan: 
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 

Dari Abu Qatadah Al Anshari, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi 
wasallam bersabda: “Jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam berdagang,  karena
ia dapat melariskan (dagangan) dan menghilangkan (keberkahan). (HR.  Muslim). 

2. Arti Kosa kata/Mufradat 

3. Biografi Perawi Utama (Sahabat) 


Abu Qatadah Al Anshari As-Sulami 

35
Dia dikenal sebagai ksatria berkuda Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam yang
turut dalam perang Uhud dan perjanjian Hudaibiyah. Dia bernama asli Al  Harits bin
Rib’i, Ali Ash-Shahih. Iyas bin Salamah bin Al Akwa’ meriwayatkan  dari ayahnya,
dari Nabi shallallahu`alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Pasukan berkuda kami yang
terbaik adalah Abu Qatadah, sedangkan pasukan  pejalan kaki kami yang terbaik adalah
Salamah bin Al Akwa’.” 

Diriwayatkan Abu Qatadah, dia berkata, “Kami pernah keluar bersama 


Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam saat perang Hunain. Ketika kami bertemu 
musuh, aku melihat seorang pria menghadang pasukan Islam, lalu aku berbalik lantas 
menyerangnya dari belakang. Aku kemudian memukulnya dengan satu hantaman  hingga
merobek baju besinya. Setelah itu dia berbalik kepadaku lalu merangkulku  dengan
rangkulan kematian, kemudian dia melepaskan rangkulannya lantas  meregang nyawa. 
Selanjutnya dia berkata: Nabi shallallahu`alaihi wa sallam kemudian  bersabda,
“Barangsiapa bisa membunuh musuh dan dia mempunyai bukti (saksi),  maka harta
korban yang dibunuhnya itu menjadi miliknya.” Setelah itu aku berdiri  lalu berkata,
“Siapakah yang menyaksikanku?” Aku lantas menceritakan peristiwa  tersebut kepada
beliau. Tak lama kemudian seorang pria menjawab, “Dia benar ya  Rasulullah, aku telah
menyaksikannya dan harta rampasan korban itu ada padaku,  maka berikanlah
kepadanya!” Abu Bakar kemudian berkata, “Tidak, demi Allah, dia  tidak pernah berniat
menjadi salah satu singa Allah yang berperang membela Allah  serta rasul-Nya, sehingga
harta rampasan itu tidak layak diberikan kepadanya.”  Namun Nabi shallallahu`alaihi
wa sallam bersabda, “Dia benar.” Beliau kemudian  memberikan harta rampasan itu
kepadaku, lalu aku menjual baju besi, lantas  menggunakan uangnya untuk membeli
kebun bani Salamah. Itulah harta pertama  yang aku peroleh dari Islam. 
Ikrimah bin Amar berkata, Abdullah bin Ubaid bin Umair menceritakan kepadaku, 
bahwa Umar pernah mengutus Abu Qatadah, lalu dia membunuh Raja Persia dengan 
tangannya. Raja itu memakai ikat pinggang senilai lima belas ribu. Umar pun 
memberikan ikat pinggang itu kepadanya.

Dia wafat tahun 54 Hijriyah. Diriwayatkan dari Abu Qatadah, dia berkata,  “Kami
pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam dalam  beberapa
perjalanan, tiba-tiba beliau terlambat menaiki tunggangan beliau, sehingga  aku
mendorongnya dengan tanganku hingga bangkit. Setelah itu Nabi  shallallahu`alaihi wa
sallam bersabda, ‘Ya Allah, jagalah Abu Qatadah sebagaimana  dia menjagaku’. Sejak
malam ini kami melihat bahwa kami telah banyak membuat  dirimu susah.” 
4. Penjelasan Hadits 
Hadits ini maknanya adalah bersumpah palsu atau banyak bersumpah untuk 
melariskan penjualan (dalam perkiraan orang yang menjual) akan menghilangkan berkah
penjualan. Hilangnya berkah bisa dengan kerusakan hartanya atau ia  membelanjakan

36
hartanya dalam hal yang tidak bermanfaat untuknya di dunia dan  akhirat, atau hartanya
tetap tapi tidak bisa dimanfaatkan, atau harta itu diwarisi oleh  orang yang tidak ia suka.  
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits di atas berisi larangan banyak 
bersumpah dalam menjual dagangan. Karena sumpah tanpa ada hajat dihukumi 
terlarang. Tujuan sumpah ini hanya ingin melariskan dagangan, namun maksud 
sebenarnya adalah ingin mengelabui si pembeli dengan sumpahnya. Wallahu a’lam.”  
Dan juga hadits di atas, kita dilarang untuk bersumpah dalam berjual beli, 
konteks bersumpah pada hadits ini hanyalah agar menarik konsumen dan menjadikan 
konsumen lebih percaya terhadap barang yang dijual. Seperti yang kita ketahui di  pasar
para penjual bersumpah barang dagangan nya adalah kualitas terbaik tetapi 
kenyataannya barang tersebut dicampuri dengan yang kualitas buruk, praktek inilah 
yang akan menghapus keberkahan rezeki yang didapatnya. Dan para pedagang ini 
termasuk dalam ciri-ciri orang munafik seperti dalam hadits. 

Artinya : tanda-tanda orang munafik itu ada tiga jika berbicara ia berbohong, jika 
berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia berkhianat. (HR Bukhari) 
Islam sangat menganjurkan supaya berniaga secara sehat dan melarang  berniaga
secara bathil seperti dalam Al-qur’an surat An-Nisa’ ayat 29 

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta 
sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku 
dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, 
sesungguhnya ALLAH adalah Maha Penyayang kepadamu (QS. An-Nisa’ :29) 
Dalam ayat tersebut sudah jelas larangan berniaga atau jual beli secara bathil. 
Dan Islam menganjurkan supaya kita berniaga secara jujur, adil, dan amanah.  Berikut
adalah praktek-praktek dalam jual beli yang dilarang dalam Islam : 
∙ Tallaqi rukban pedagang yang menyongsong di pinggir kota mendapat  keuntungan dari
ketidaktahuan dari kampung akan harga yang berlaku di kota  sehingga menimbulkan
pasar yang tidak kompetitif. 
∙ Mengurangi timbangan 

∙ Menyembunyikan barang yang cacat dan penjual memberikan harga seperti  barang
kualitas bagus 
∙ Menukar kurma kering dengan kurma basah,ini akan mempengaruhi timbangan  nya 
∙ Menukar satu takar kurma kualitas bagus dengan dua takar kurma kualitas  sedang,
dilarang karena harganya berbeda. 
∙ Transaksi najasypenjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau  menawar dengan
harga tinggi agar orang lain tertarik. 

37
∙ Ikhtibar mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual  lebih sedikit
barang untuk harga yang lebih tinggi 
∙ Ghaban faa-hisy (besar) menjual diatas harga pasar. 

∙ Praktek-praktek diatas dilarang oleh islam karena akan merugikan orang lain  dan akan
merusak harga dan nama baik penjual yang jujur. Jadi jauhilah  praktek tersebut agar
kita mendapatkan rezeki yang halal dan mendapatkan  keberkahan dari Allah Ta’ala
supaya harta yang kita punya berguna di dunia  dan di akhirat kelak dan kita terhindar
dari laknat Allah Ta’ala

38
MATERI KE-9 
Hadits tentang Amanah

Bahan Kajian: 
1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 
2. Kosakata/Mufradat 
3. Status Hadits 
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat) 
5. Kandungan Hadits 
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil 

Pembahasan: 

1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya 

Terjemah: 
" Tidaklah Nabiyullah (Muhamamad) shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah di 
hadapan kami kecuali beliau bersabda:" Tidak ada keimanan (yang sempurna) bagi 
orang yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi seseorang yang tidak  memenuhi
janji." (HR. imam Ahmad ) 

2. Kosakata/Mufradat 

39
3. Status Hadits 
Hadits tersebut adalah shahih. Diriwayatkan oleh imam Ahmad rahimahullah dalam 
Musnad Ahmad, dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani rahimahullah dalam  Shahihul
Jami' no. 7179, dan Shahih at-Targhib wat Tarhib no. 3004. Dan  dinyatakan hasan oleh
syaikh al-Arna'uth rahimahullah dalam Ta'liq beliau terhadap  Musnad imam Ahmad) 

4. Biografi Perawi Utama (Sahabat) 


Anas bin Malik 
Beliau diperkirakan lahir pada tahun 612 M, tahun ke-3 kenabian atau tahun  ke-10
sebelum hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ke Madinah. Anas Bin Malik
berasal dari Bani Najjar. Beliau putra dari Humaisah Binti  Milhan atau dikenal sebagai
Ummu Sulaim, sedangkan ayah beliau bernama Malik  Bin Nadzar. 
Ummu Sulaim termasuk Sahabaiyah yang baiat dimasa awal Islam. Ummu 
Sulaim, Haraam, Sulaim, dan Ummu Haraam adalah kakak-beradik putra dan putri 
Milhaan bin Khalid dari Banu Adi bin An Najjar. Malik Bin Nadzar meninggalkan 
Ummu Sulaim dan Anasa Bin Malik ketika beliau masih kanak-kana. Kemungkinan 
karena Ummu Sulaim masuk Islam sehigga Malik meninggalkannya, ia pergi ke  Syam
dan kabarnya terbunuh di sana. Setelah menjanda Ummu Sulaim kemudian  dinikahi
oleh Abu Thalhah, sehingga Anas Bin Malik pun menjadi asuhan ayah  tirinya itu. 
Anas Bin Malik seorang yang terpelajar, beliau dari sejak dini sudah pandai 
membaca dan menulis. 

Dipersembahkan Kepada Rasulullah 


Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah setelah perjalanan 
berbahaya dalam hijrah dari Makkah, beliau saw sementara waktu tinggal di rumah  Abu
Ayyub Al- Anshari. Kaum Anshar pun berlomba-lomba untuk melayani  Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan penuh semangat dan ketulusan,  mereka
mempersembahkan yang terbaik dari apa yang mereka miliki ke hadapan  Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ummu Sulaim pun tidak mau ketinggalan, 

beliau datang menghadap kepada Rasulullah saw bersama putra tercintanya, Anas  bin
Malik yang saat itu berumur antara 8-10 tahun. 
Ummu Sulaim mengatakan: ”Wahai Rasulullah saw sungguh orang-orang  anshar
dan prempuan-prempuan anshar telah memberimu hadiah kecuali aku, dan  aku tidak
menemukan sesuatupun untuk dapat aku hadiahkan kepadamu kecuali  hanya anak laki-
lakiku (ini). Maka terimalah dariku. Dia akan melayani  keperluanmu.”Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati  menerimanya, maka sejak saat itu Anas
tinggal bersama dengan Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam. 

Melayani Rasulullah 

40
Selama 10 tahun lamanya anas Bin Malik hidup bersama dan dengan setia 
melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. 
Namun kenyataan bagaimana perlakuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada
Anas bukan seperti perilaku majikan terhadap pelayannya, melainkan seperti  ayah
kepada anak yang disayanginya. Bahkan Rasulullah saw memiliki panggilan  sayang
kepada Anas, yaitu Unais. 
Anas bin Malik berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang 
yang paling baik akhlaknya, paling lapang dadanya dan paling besar kasih  sayangnya.
Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan, aku berangkat,  tetapi aku menuju
anak-anak yang sedang bermain di pasar dan bukan melaksanakan  tugas Rasul, aku
ingin bermain bersama mereka, aku tidak pergi menunaikan  perintah yang diperintahkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beberapa  saat setelah berada di tengah-
tengah anak-anak itu, aku merasa seseorang berdiri di  belakangku dan memegang
bajuku. Aku menoleh, ternyata dia adalah Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan tersenyum, beliau bersabda, “Wahai Unais,  apakah kamu telah pergi seperti
yang aku perintahkan?” Maka aku pun salah tingkah  aku menjawab, “Ya, sekarang aku
berangkat wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa  sallam.” 
Anas Bin Menyatakan, “Demi Allah, aku telah berkhidmat kepada beliau  selama
sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku lakukan, 

“Mengapa kamu melakukan ini?” Beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang  aku
tinggalkan, “Mengapa kamu tinggalkan ini?” Dan Rasulullah saw apabila  memanggil
Anas, memanggilnya dengan panggilan Unais, yaitu dengan panggilan  yang penuh
dengan kasih sayang. Terkadang Beliau juga memanggilnya dengan  panggilan wahai
Anakku, panggilan yang penuh dengan keakraban. 
Walaupun beliau menjadi seorang pelayan dan pesuruh Rasulullah saw, dan  tetap
dalam kedudukan itu sampai wafat beliau saw, Rasulullah tak pernah berucap  kasar,
tidak pernah menegurnya tanpa ramah dan tidak pernah memberi tugas yang  lebih berat
dari pada kemampuannya bekerja. 
Selama Rasuluillah saw tinggal di Madinah, Anans tinggal bersama beliau saw. 
Oleh karena itu kesaksian Anas menyingkapkan watak Rasulullah saw selama beliau 
bermukim di Medinah sebagai seorang Utusan Allah dan sekaligus pemegang  tampuk
kekuasaan. 
Wafat 
Setelah wafatnya Rasulullah saw, Anas Bin Malik menetap di Damaskus dan 
kemudian ke Basrah. Pada tahun 93 H atau 712 M, di sana beliau jatuh sakit dan 
meninggal. Beliau tinggal di kota Bashsrah hingga usianya lebih dari 100 tahun.  Beliau
termasuk Sahabat Nabi yang paling akhir meninggal dunia. 
Anas Bin Malik, namanya abadi dalam sejarah Islam, menjadi orang yang 
terpelajar dan kaya-raya. Berumur panjang, dikarunia keturunan yang banyak dan  sangat

41
dihormati. Itulah Anas Bin Malik, Sahabat Nabi yang mengabdikan hidupnya  untuk
melayani Rasulullah saw. 

5. Kandungan Hadits 
Rasulullah mengisyaratkan dalam haditsnya bahwa keimananan seseorang  masih
perlu dibuktikan dengan ujian menjaga kepercayaan. Bahkan seseorang dicap  tidak
beriman manakala tidak mampu menjaga amanat.  
Pengkhianatan amanat dalam beragam bentuknya merupakan hal yang  terlarang
dan sangat dibenci oleh siapapun. Menurut Zamakhsyari, khianat secara  bahasa berarti
An-Nuqshan (kurang), sedangkan anonimnya amanat diartikan dengan  At-Tamam
(sempurna). Ini berarti segala bentuk amanat agar tidak termasuk 

mengkhianatinya haruslah dilaksanakan dengan sempurna dan sesuai dengan  tuntunan


dan tuntutan sang pemberi amanat. Jika dilaksanakan apa adanya,  cenderung asal-asalan
dan tidak sungguh-sungguh meskipun ia telah  menjalankannya, maka tetap saja berlaku
istilah khianat untuknya berdasarkan  makna bahasa yang cukup tajam ini. 
Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala: 

" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Alloh dan Rasul 
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang 
dipercayakan kepadamu, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Anfaal: 27)  

Ayat ini menyebutkan secara prioritas tingkatan amanah yang harus  ditunaikan
oleh setiap orang yang beriman; amanah Allah, amanah Rasul-Nya dan  amanah antar
sesama orang beriman. 

Yang menarik dari redaksi ayat ini adalah bahwa perintah menjaga amanah 
langsung menyebutkan lawan dari amanah yaitu khianat. Sehingga kata kunci dari  ayat
ini lebih tertuju kepada larangan mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang orang yang
beriman. 

Makna Amanah 

ber
arti aman/tidak takut. Dengan kata lain, aman adalah lawan dari kata takut. Dari  sinilah
diambil kata amanah yang merupakan lawan dari kata khianat. Dinamakan  aman karena
orang akan merasa aman menitipkan sesuatu kepada orang yang  amanah. 
Amanah juga di artikan lawan dari khianat, dan asal kata al-Amnu adalah 
ketenangan jiwa dan hilangnya rasa takut.  

42
Secara istilah, ada sebagian orang yang mengartikan kata amanah secara  sempit
yaitu menjaga barang titipan dan mengembalikannya dalam bentuk semula.  Padahal
sebenarnya hakikat amanah itu jauh lebih luas. Amanah menurut terminologi Islam
adalah setiap yang dibebankan kepada manusia dari Allah Ta’ala seperti kewajiban-
kewajiban agama, atau dari manusia seperti titipan harta. Syaikh as-Sa'di rahimahullah
berkata tentang amanat dalam surat al Mu'minuun ayat 8:" Semua hal yang diwajibkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala  kepada hamba-Nya adalah amanah, wajib bagi
hamba tersebut untuk menjaganya  dengan cara melaksanakannya secara sempurna.
Demikian juga masuk ke dalamnya  amanah-amanah Adamiyin (manusia), seperti
amanah harta, rahasia dan lainnya.  Oleh karena itu wajib atas seorang hamba untuk
memperhatikan dua hal ini dan  menunaikan kedua amanah ini. Sesungguhnya Allah
memerintahkan kalian untuk  menunaikan amanah kepada pemiliknya." (Tafsir as-
Sa'di)  

Kedudukan Amanah 
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyifati orang-orang mukmin yang shalih yang 
Allah tetapkan/taqdirkan bagi mereka keberuntungan, dan petunjuk (hidayah) di  dunia
dan akherat, bahwasanya mereka menjaga amanat-amanat yang dibebankan  kepada
mereka dan mereka menunaikannya kepada yang berhak dengan sebenar 
benarnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 
" Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan  janjinya."
(QS. QS. Al-Mu'minun: 8)  

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata:" Dan amanah (amanat) mencakup 


seluruh tugas-tugas agama menurut pendapat yang shahih." (Tafsir al-Qurthubi  14/255)  
Dan amanah (amanat) mencakup segala sesuatu yang ditanggung oleh seorang 
manusia, berupa urusan agama dan dunianya, baik berupa ucapan maupun perbuatan. 
Amanah adalah sikap menunaikan/memberikan hak, dan menjaganya, sehingga  seorang
muslim memberikan kepada setiap pemilik hak hak mereka masing-masing,  dia
menunaikan hak Allah di dalam ibadah kepada-Nya, menjaga anggota badannya  dari
hal-hal yang diharamkan, dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya yang 
berkaitan dengan sesama makhluk.  

Amanah adalah salah satu akhlak yang agung di antara akhlak-akhlak islami yang  lain,
dan termasuk salah satu asasnya (pondasi). Ia adalah sebuah kewajiban besar  yang
dipikul oleh manusia, sementara langit, bumi dan gunung-gunung enggan  memikulnya
karena besar dan beratnya amanah tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala 
berfirman: 

43
" Sesungguhnya Kami telah mengemukakan (menawarkan) amanat kepada langit,  bumi
dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan  mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. 
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh." (QS. QS. Al-Ahzaab: 72)  

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kita untuk menunaikan  amanah,


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

" Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak 
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia 
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran  yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi 
Maha Melihat." (QS. an Nisa : 58)  

Dan amanah adalah sifat istimewa yang dimiliki oleh para Rasul  'alaihimussalam.
Masing-masing dari mereka mengatakan: 

" Sesungguhnya aku adalah seorang rasul yang amanah (yang diutus) kepadamu." (QS.
QS. Asy-Syu'araa': 107, 125, 143, 162 dan 178)  

6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil 


Pertama, jalan menuju kesuksesan. Allah Ta’ala menyebutkan salah satu golongan 
yang akan memperoleh kesuksesan/keberuntungan, adalah orang yang amanah 
sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an Surah Al-Mu’minun: ayat ke- 8. 

Kedua, Amanah adalah sifat hamba-hamba mulia. 


Amanah merupakan sifat para Nabi dan rasul, di dalam Al-Qur’an Allah Azza  wa
Jalla menceritakan hal ini. Nabi Nuh ‘alaihis salam berkata: 
“Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu.”
(surah asy-syu’ara: ayat ke-107) 

Ketiga, amanah adalah tanda keimanan. 

44
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Tidak ada  iman
bagi orang yang tidak amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak  memmegang
janji.” (HR. Ahmad) 

Keempat, Amanah merupakan kekayaan hakiki yang menandingi dunia dan  seisinya. 
Sebagaimana Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
“Empat hal jika dia ada dalam dirimu, engkau tidak merugi walupun kehilangan 
dunia: Menjaga amanah, berkata dengan jujur, berakhlak yang mulia dan menjaga 
makanan (dari yang haram).” (HR. Ahmad) 

Kelima, Amanah merupakan salah satu kompentensi terpenting bagi seorang ‘amil 
(pekerja). 
Hal ini seperti dikisahkan di dalam Al-Qur’an ketika salah seorang putri Nabi 
Syu’aib ‘alaihis salam merekomendasikan Nabi Musa ‘alaihis salam agar diangkat 
menjadi pekerja: 
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai ayahku ambillah ia sebagai 
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang 
engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya."
(Surah Al-Qasas: ayat ke-26)

45
MATERI KE-9
Hadits tentang hukum riba dan bahayanya

1. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya


2. Kosakata/Mufradat
3. Status Hadits
4. Biografi Perawi Utama (Sahabat)
5. Kandungan Hadits
6. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil

Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya

،ُ‫ َو ُم ْؤ ِكلَ \ه‬،‫س \لَّ َم آ ِك \ َل ال ِّربَ\\ا‬


َ ‫ص \لَّى هللاُ َعلَيْه َو‬ ُ ‫ «لَ َع َن َر‬:‫ال‬I
َ ِ‫س \و ُل هللا‬ َ Iَ‫ ق‬،‫ابِ ٍر‬II‫َع ْن َج‬
َ ‫ « ُه ْم‬:‫ َوقَا َل‬،»‫ َوشَا ِه َد ْي ِه‬،ُ‫َو َكاتِبَه‬
»‫س َوا ٌء‬
Terjemahan:

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”, dan Beliau
bersabda, “Mereka itu sama.” [HR. Muslim, no. 4177] 

Penjelasan Kosakata/Mufradat

 ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ ِ‫لَ َعنَ َرسُو ُل هللا‬.yakni beliau mendoakan orang-orang yang disebutkan
dalam hadis di atas (yakni pemakan riba, wakil dan penulisnya, serta dua orang
saksinya) agar dijauhkan dari rahmat Allah.
 ‫آ ِك َل ال ِّربَا‬.di sinikata “makan” disebutkan secara khusus karena pemanfaatan yang biasa
dilakukan terhadap barang riba itu adalah memakannya, tetapi tidak menutup
kemungkinan pemanfaatan barang riba melalui tindakan lain.
 ُ‫ َو ُم ْؤ ِكلَه‬yakni orang yang memberi barang ribasebab riba tidak mungkin terjadi kecuali
melalui pemberiannya. Oleh karena itu, dia termasuk orang yang berdosa pula.
 ‫ َو َشا ِه َد ْي ِه‬،ُ‫ َو َكاتِبَه‬penulis dan saksi mendapatkan dosa karena keikutsertaannya dalam
menolong terjadinya riba. Hal ini terjadi apabila mereka sengaja melakukannya dan
mengetahui riba.

Biografi Perawi Utama (Sahabat)


Jabir Bin Abdillah Al-Anshory 
Nama beliau adalah Jabir bin Abdullah bin Haram bin Tsa’labah bin Ka’ab, beliau
lahir 16 tahun sebelum hijrah , nasabnya berakhir pada Khajraj. Sahabat Jabir dikenal dengan
julukan Abu Abdillah Al-Ansori, ahli fiqih dan mufti Madinah pada saat itu.

46
Beliau memiliki kunyah Abu Abdillah ada yang mengatakan Abu Abdurrohman dan
ada yang mengatakan Abu Muhammad. Beliau adalah sahabat yang akhir wafat di Madinah
disamping itu beliau juga berprofesi sebagai penulis buku pada masa awal, beliau mempunyai
kitab tentang masalah haji yang kemudian ditulis kembali oleh Imam Muslim.
Beliau banyak meriwayatkan hadits dari Rosulullah dan para sahabatnya,
diantaranya : Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Ubaidah, Thalhah, Mu’ad Bin Yasir, Khalid bin
Walid, Abu Huroiroh, Abi Sa’id dan ummu Syarik.
Sementara rowi-rowi yang meriwayatkan hadist dari beliau sangat banyak,
diantaranya putra-putra beliau: Abdur Rohman bin Aqil, Muhammad, Sa’id bin Musayyab,
Mahmud bin Lubaid, Abu Zubair, Amr bin Dinar, Abu Ja’far Al-Bakir, Muhammad bin Al-
mulkadir, Wahab Bin Kisan, Sa’id bin Mina’, Hasan al-Bashori, Sa’id bin Abi Hilal,
Sulaiman bin Atiq, Ashim bin Amr, Sya;bi, Urwah bin Zubair, dan Atho’ bin Abi Robah.

Pahlawan Tak Kenal Putus Asa


Jiwa kepahlawanan Jabir sudah tampak sejak beliau berusia dini, sejak kecil beliau
diajari perang oleh ayahnya Abdullah bin Amr bin Haram. Ayah dari sahabat Jabir adalah
pasukan yang sangat berani, gagah perkasa hingga semua yang dimilikinya mulai dari jiwa,
raga, nyawa dan harta serta keluarganya diserahkan sepenuhnya pada agama Islam sehingga
beliau dijuluki dengan “ Orang yang dinaungi Malaikat”. 
Kesungguhan Jabir dalam berperang sudah tampak sejak beliau masih kecil, beliau
mempunyai keinginan yang kuat untuk ikut perang Badar tapir ayahnya tidak
mengizinkannya sebab usianya masih terlalu dini sehingga beliau diberi tuga untuk menjaga
saudara-saudar perempuannya yang berjumlah 9 orang. Saat perang Uhud sahabat Jabir juga
memaksa pada ayahnya agar diperbolehkan ikut perang tapir lagi-lagi beliau diberi amanah
untuk menjaga saudaranya, hingga akhirnya ketika ayahnya menjadi syahid beliau menangis
karena pada saat itu beliau tidak bisa membela agma Islamdan membantu ayahnya, namun
Rosulullah berkata” Apa yang menyebabkan engkau mengeluarkan air mata ? sementara
ayahmu disurga dengan syahid lainnya bergembira, tidakkah engkau senang aku menjadi
ayahmu dan Aisyah menjadi ibumu ?!”. Setelah kejadian iutu sahabat Jabir selalu ikut dalam
peperangan membela agama Islam melawan orang kafir dengan penuh semangat dan tidak
putus asa.
Sahabat Jabir juga termasuk salah satu dari 70 sahabat yang ikut Bai’at Aqabah yang
kedua bersama orang-orang Anshor. Dan pada saat itu beliau termasuk sahabat yang termuda
usianya. 

Sosok Dermawan dan Murah Hati


Meskipun sahabat Jabir dibebani tanggung jawab yang sangat berat untuk merawat
saudara-saudaranya setelah ayahnya tiada, tapir beliau tetap berjuang keras dalam
mengorbankan jiwa dan hartanya kepentingan agama, diantara sifat-sifat dari sahabat Jabir
yang paling menonjol adalah beliau adalah orang yang murah hati, dermawan, dan juga sabar.
Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Muwatto’: suatu hari ketika sahabat Jabir
berteduh dibawah pohon tiba – tiba Rosulullah datang, sahabat Jabir pun mengajak
Rosulullah untuk duduk bersamanya, dia menghampiri sebuah wadah makanan dan mencari
sesuatu didalamnya dia hanya menemukan sebuah ketimun, lalu dipatahkanlah ketimun itu

47
dan disuguhkan pada Rosulullah, ketika ditanya oleh Rosul dari mana ketimun tersebut Jabir
menjawab kami membawanya dari Madinah. Hadist ini hanyalah salah satu dari sekian
banyak hadits yang menceriakan tentang kedermawanan sahabat Jabir, beliau telah
mengutamakan tempat yang teduh untuk Rosul serta memberikan ketimun dalam keadaan
patah sebagai tambahan dalam adab.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab sohihnya : Suatu ketika Jabir melihat
rosul dalam keadaan lapar kemudian dia pulang menuju istrinya dan menanyakan apakah ada
yang bisa dimakan ? Ia mempunyai anak domba kecil dan satu sho’ gandum lalu Jabir
menyuruh istrinya untuk menggiling gandum sementara Jabir menyembelih anak kambing
tersebut, setelah semua selesai Jabir memberi tahu pada Rosul, dengan serentak Rosul
langsung berteriak dan memberitahukan pada para pejuang yang sedang menggali parit,
bahwa sahabat punya sedikit makanan, tapir sebelum itu Rosul berpesan agar adonan dan
anak kambing jangan dimasak dulu sebelum Rosul datang. Setelah beliau datang beliau
meludahi danm memberkati adonan roti dan daging yang ada diatas tungku Alhamdulillah
para sahabat yang berjumlah 1000 semuanya telah makan dan masih banyak sisanya karena
berkah dari rosul. Apabila kita saksikan dari kejadian –kejadian diatas sifat dari sahabat Jabir
yang paling terkenal adalah kedermawanan dan kemurahan hati serta kesabaranya dalm
menanggung beban-beban kehidupan. 

Riwayat-Riwayatnya
Sahabat Jabir bin Abdullah termasuk urutan yang keenam dari 7 sahabat yang paling
banyak meriwayatkan hadits, beliau meriwayatkan 1540 hadits dari Rosul, sementara ynag
disepakati oleh Imam Bukhori Muslim ada 60 Hadits, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori
sendiri ada 26 Hadits, dan Imam Muslim ada 126 Hadits. Sahabat Jabir mempunyai sebuah
Majlis yang ada dalam masjid, disitulah beliau mengamalkan hadits Rosul, sahabat Jabir
termasuk orang yang senag meneliti hadits Rosul dengan segala kemampuanya ia kerahkan
demi mendapatka kepastian mengenai sohih tidaknya suatu hadits. Pernah beliau mendengar
suatu hadits dari seorang laki-laki kemudian beliau menjual ontanya dan uangnya dipakai
sebagai bekal diperjalanan dalam proses mencari kebenaran hadits tersebut, setelah satu bulan
beliau sampai di Syam ternyata Hadits tersebut berasal dari Umair Al-Anshori.

Orang-Orang yang menyimpan Tulisan Jabir.


Banyak para sahabat yang menyimpan dan meriwayatkan Hadits dari Jabir
diantaranya : Abu Sufyan, Al-Ja’ad bin Dinar, Hasan Al-Bashri, Sulaiman bin Qois, Amir
As-Syi’bi, Abdullah bin Aqil, Atho’ bin Abi Robbah, Qotadah, Mujahid, Muthorrif,
Muhammad bin Al-Hanafiah dan Muhammad bin Abu Ja’far.

Kewafatannya
Sahabat Jabir menghembuskan nafas terakhirnya tahun 77 Hijriyah dalam usia 94
tahun, beliau adalah sahabat yang terakhir wafat di Madinah, sebelum beliau wafat Abbas bin
Usman mengirim surat pada anak-anak Jabir agar tidak dimakamkan dulu sebelum dia
mensholatinya, hingga pada akhirnya Abbas pun datang dan mensholatinya.

Penjelasan Hadits

48
Riba merupakan perbuatan dosa besar dengan ijma’ Ulama, berdasarkan al-Qur`ân,
as-Sunnah. Dalil dari al-Qur`ân di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
‫َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ بَا‬
Allâh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [al-Baqarah/2:275]

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya dari riba dan
memberitakan bahwa riba termasuk tujuh perbuatan yang menghancurkan. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits:
‫و َل‬I ‫ا َر ُس‬IIَ‫ ي‬I‫ت قَالُوا‬ ِ ‫ال اجْ تَنِبُوا ال َّس ْب َع ْال ُموبِقَا‬ َ َ‫م ق‬Iَ َّ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسل‬َ ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ع َْن النَّبِ ِّي‬ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ َر‬ 
‫ال ْاليَتِ ِيم‬I
ِ I‫ ُل َم‬I‫ا َوأَ ْك‬IIَ‫ ُل الرِّ ب‬I‫ق َوأَ ْك‬ ْ Iِ‫ َّر َم هَّللا ُ إِاَّل ب‬I‫س الَّتِي َح‬
ِّ ‫ال َح‬I ِّ ‫ك بِاهَّلل ِ َو‬
ِ ‫ ُل النَّ ْف‬I‫حْ ُر َوقَ ْت‬I‫الس‬ ِّ ‫ا َل‬IIَ‫هَّللا ِ َو َما ه َُّن ق‬
ُ ْ‫ر‬I‫الش‬
ِ ‫ت ْالغَافِاَل‬
 ‫ت‬ ِ ‫ت ْال ُم ْؤ ِمنَا‬ َ ْ‫ف ْال ُمح‬
ِ ‫صنَا‬ Iُ ‫ف َوقَ ْذ‬ ِ ْ‫َوالتَّ َولِّي يَوْ َم ال َّزح‬
Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau
bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya,
“Wahai Rasûlullâh! Apakah itu?” Beliau n menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir,
membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta
anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita
merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. [HR. al-
Bukhâri, no. 3456; Muslim, no. 2669] 

Para Ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. 
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum Muslimin telah sepakat akan haramnya
riba. Riba itu termasuk kabâir (dosa-dosa besar). Ada yang mengatakan bahwa riba
diharamkan dalam semua syari’at (Nabi-Nabi), di antara yang menyatakannya adalah al-
Mawardi”. [al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, 9/391] 
Syaikhul Islam oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Melakukan riba hukumnya
haram berdasarkan al-Qur`ân, as-Sunnah, dan ijma’.” [Majmû’ al-Fatâwâ, 29/391] 

MAKNA DAN MACAM-MACAM RIBA 


Secara lughah (bahasa) riba artinya tambahan, sedangkan menurut istilah syara’
(agama), para fuqahâ’ (ahli fiqih) memberikan ta’rîf (difinisi) yang berbeda-beda kalimatnya,
namun maknanya berdekatan. 
al-Hanafiyyah menyatakan riba adalah kelebihan yang tidak ada penggantinya
(imbalannya) menurut standar syar’i, yang disyaratkan untuk salah satu dari dua orang yang
melakukan akad penukaran (harta). [al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/50] 
Syâfi’iyyah menyatakan riba adalah akad untuk mendapatkan ganti tertentu yang tidak
diketahui persamaannya menurut standar syar’i (agama Islam) pada waktu perjanjian, atau
dengan menunda penyerahan kedua barang yang ditukar, atau salah satunya. [al-Mausû’ah al-
Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/50] 
Hanabilah menyatakan riba adalah perbedaan kelebihan di dalam perkara-perkara,
mengakhirkan di dalam perkara-perkara, pada perkara-perkara khusus yang yang ada
keterangan larangan riba dari syara’ (agama Islam), dengan nash (keterangan tegas) di dalam
sebagiannya, dan qiyas pada yang lainnya. [al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,
22/50] 

49
Definisi riba ini akan lebih jelas jika kita mengetahui macam-macam riba, sebagai
berikut: 
1. Riba an-Nasî’ah (Riba Karena Mengakhirkan Tempo) 
Yaitu: tambahan nilai hutang sebagai imbalan dari tempo yang diundurkan.
Dinamakan riba an-nasî’ah (mengakhirkan), karena tambahan ini sebagai imbalan dari tempo
hutang yang diundurkan. Hutang tersebut bisa karena penjualan barang atau hutang (uang). 
Riba ini juga disebut riba al-Qur’an, karena diharamkan di dalam Al-Qur’an. Allâh
berfirman:
‫أْ َذنُوا‬IIَ‫وا ف‬IIُ‫إِ ْن لَ ْم تَ ْف َعل‬Iَ‫﴾ ف‬٢٧٨﴿ َ‫ؤ ِمنِين‬I ْ I‫ا إِ ْن ُك ْنتُ ْم ُم‬IIَ‫ا بَقِ َي ِمنَ ال ِّرب‬II‫وا هَّللا َ َو َذرُوا َم‬IIُ‫وا اتَّق‬IIُ‫ا الَّ ِذينَ آ َمن‬IIَ‫يَا أَيُّه‬ 
ْ ُ‫َظلِ ُمونَ َواَل ت‬
  َ‫ظلَ ُمون‬ ْ ‫م اَل ت‬Iْ ‫ب ِمنَ هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه ۖ َوإِ ْن تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُءوسُ أَ ْم َوالِ ُك‬
ٍ ْ‫بِ َحر‬
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allâh dan Rasulnya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah/2: 278-279] 

Ayat ini merupakan nash yang tegas bahwa yang menjadi hak orang yang berpiutang
adalah pokok hartanya saja, tanpa tambahan. Dan tambahan dari pokok harta itu disebut riba.
[Lihat Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Marâm, 4/6, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
al-Bassam] 
Jika tambahan itu atas kemauan dan inisiatif orang yang berhutang ketika dia hendak
melunasi hutangnya, tanpa disyaratkan maka sebagian ahli fiqih membolehkan. Namun orang
yang berhati-hati tidak mau menerima tambahan tersebut karena khawatir itu termasuk pintu-
pintu riba, wallahu a’lam. [Lihat Fathul Bâri pada syarh hadits no: 3814] 
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan larangan ini dalam khutbah
wada’ dan hadits-hadits lainnya. Sehingga kaum Muslimin bersepakat tentang keharaman
riba an-nasîah ini. 
Riba ini juga disebut riba al-jahiliyyah, karena riba ini yang dilakukan oleh orang-
orang jahiliyah. 
Riba ini juga disebut riba jali (nyata) sebagaimana dikatakan oleh imam Ibnul Qayyim
dalam kitab I’lâmul Muwaqqi’in, 2/154. [al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/57] 

Riba ini juga disebut dengan riba dain/duyun (riba pada hutang), karena terjadi pada hutang
piutang. 
Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang riba yang tidak diragukan
(keharamannya-pen), dia menjawab, “Riba itu adalah seseorang memiliki piutang, lalu dia
berkata kepada orang yang berhutang, “Engkau bayar (sekarang) atau (pembayarannya
ditunda tapi dengan) memberi tambahan (riba)?” Jika dia tidak membayar, maka orang yang
berhutang memberikan tambahan harta (saat pembayaran), dan pemilik piutang memberikan
tambahan tempo. [I’lâmul Muwaqqi’in] 
Imam Ibnul ‘Arabi al-Mâliki rahimahullah berkata, “Orang-orang jahiliyyah dahulu
biasa berniaga dan melakukan riba. Riba di kalangan mereka telah terkenal. Yaitu seseorang
menjual kepada orang lain dengan hutang. Jika waktu pembayaran telah tiba, orang yang

50
memberi hutang berkata, “Engkau membayar atau memberi riba (tambahan)?” Yaitu: Engkau
memberikan tambahan hartaku, dan aku bersabar dengan waktu yang lain. Maka Allâh Azza
wa Jalla mengharamkan riba, yaitu tambahan (di dalam hutang seperti di atas-pen). [Ahkâmul
Qur’an, 1/241, karya Ibnul ‘Arabi] 
Dengan penjelasan di atas kita mengetahui bahwa riba jahiliyyah yang dilarang
dengan keras oleh Allâh dan RasulNya adalah tambahan nilai hutang sebagai imbalan dari
tambahan tempo yang diberikan, sementara tambahan tempo itu sendiri disebabkan
ketidakmampuannya membayar hutang pada waktunya. Jika demikian, maka tambahan uang
yang disyaratkan sejak awal terjadinya akad hutang-piutang, walaupun tidak jatuh tempo,
yang dilakukan oleh bank, BMT, koperasi, dan lainnya, di zaman ini, adalah riba yang lebih
buruk dari riba jahiliyyah, walaupun mereka menyebut dengan istilah bunga. 

2. Riba al-Fadhl (Riba Karena Kelebihan). 


Yaitu riba dengan sebab adanya kelebihan pada barang-barang riba yang sejenis, saat
ditukarkan. 
Riba ini juga disebut riba an-naqd (kontan) sebagai kebalikan dari riba an-nasî’ah. Juga
dinamakan riba khafi (samar) sebagai kebalikan riba jali (nyata). [al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah, 22/58] 

Barang-barang riba ada enam menurut nash hadits, seperti di bawah ini:
ُّ‫ر‬IIُ‫ ِة َو ْالب‬I‫ض‬
َّ ِ‫ةُ بِ ْالف‬I‫ض‬
َّ ِ‫ب َو ْالف‬
ِ َ‫ذه‬I َّ I‫ذهَبُ بِال‬I‫ال‬
َّ : ‫م‬Iَ َّ‫ل‬I‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس‬ َ ِ ‫ى قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬ ِّ ‫ع َْن أَبِى َس ِعي ٍد ْال ُخ ْد ِر‬ 
ِ ‫ ْد أَرْ بَى‬Iَ‫تَزَا َد فَق‬I‫اس‬
‫ ُذ‬I‫اآلخ‬ ْ ‫ ٍد فَ َم ْن زَا َد أَ ِو‬Iَ‫دًا بِي‬Iَ‫ح ِم ْثالً بِ ِم ْث ٍل ي‬
ِ ‫ير َوالتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر َو ْال ِم ْل ُح بِ ْال ِم ْل‬Iِ ‫بِ ْالبُرِّ َوال َّش ِعي ُر بِال َّش ِع‬
 ‫َو ْال ُم ْع ِطى فِي ِه َس َوا ٌء‬
Dari Abu Sa’id al-Khudri Rahiyallahu anhu, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr (jenis gandum) dengan
burr, sya’ir (jenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam,
harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa
menambah atau minta tambah berarti dia melakukan riba, yang mengambil dan yang
memberi dalam hal ini adalah hukumnya sama.” [HR. Muslim, no. 4148] 

BAHAYA RIBA DI DUNIA 


Berbagai bahaya riba mengancam para pelakunya di dunia sebelum di akhirat, antara
lain: 
1. Laknat Bagi Pelaku Riba.
َ َ‫م آ ِك َل الرِّ بَا َو ُمو ِكلَهُ َو َكاتِبَهُ َو َشا ِه َد ْي ِه َوق‬Iَ َّ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسل‬
 .‫ال هُ ْم َس َوا ٌء‬ َ ِ ‫ع َْن َجابِ ٍر قَا َل لَ َعنَ َرسُو ُل هَّللا‬ 
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”, dan Beliau n
bersabda, “Mereka itu sama.” [HR. Muslim, no. 4177] 

2. Perang Dari Allâh Azza Wa Jalla Dan RasulNya. 


Barangsiapa nekat melakukan riba, padahal larangan sudah sampai kepadanya, maka
hendaklah dia bersiap mendapatkan serangan peperangan dari Allâh dan RasulNya. Siapa
yang akan menang melawan Allâh? Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Hai orang-

51
orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allâh dan Rasulnya akan memerangimu.
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [Al-Baqarah/2: 278-279] 

BAHAYA RIBA DI AKHIRAT 


Selain bahaya di dunia, maka riba juga mengakibatkan bahaya mengerikan di akhirat, antara
lain: 
1. Bangkit Dari Kubur Dirasuki Setan. 
Ini telah diberitakan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân dan dijelaskan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
‫ فَ َم ْن‬،ُ‫ول‬IIُ‫ ْال ُغل‬:ُ‫وب الَّتِي ال تُ ْغفَر‬ َ ُ‫ي َوال ُّذن‬ َ ‫”إِيَّا‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ ‫ل هَّللا‬Iُ ‫ قَا َل َرسُو‬:‫ قَا َل‬،‫ك‬ ٍ ِ‫ف بن َمال‬ ِ ْ‫ع َْن عَو‬ 
َ‫ “الَّ ِذين‬:َ‫رأ‬I
َ Iَ‫ ثُ َّم ق‬,”ُ‫ا يَتَخَ بَّط‬IIً‫ ِة َمجْ نُون‬I‫وْ َم ْالقِيَا َم‬IIَ‫ث ي‬
َ ‫ا ب ُِع‬IIَ‫ َل الرِّ ب‬I‫ َوآ ِك ُل ال ِّربَا فَ َم ْن أَ َك‬،‫َغ َّل َش ْيئًا أَتَى بِ ِه يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬
 ” ِّ‫يَأْ ُكلُونَ الرِّ بَا ال يَقُو ُمونَ إِال َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَخَ بَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ْال َمس‬
Dari ‘Auf bin Malik, dia berkata: RasûlullâhShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jauhilah dosa-dosa yang tidak terampuni: ghulul (mengambil harta rampasan perang
sebelum dibagi; khianat; korupsi). Barangsiapa melakukan ghulul terhadap sesuatu barang,
dia akan membawanya pada hari kiamat. Dan pemakan riba. Barangsiapa memakan riba
akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, berjalan sempoyongan.”
Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (ayat yang artinya), “Orang-
orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”. (al-Baqarah/2:275) [HR.
Thabrani di dalam Mu’jamul Kabîr, no. 14537; al-Khatib dalam at-Târîkh. Dihasankan oleh
syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahîhah, no. 3313 dan Shahîh at-Targhîb, no. 1862] 

2. Akan Berenang Di Sungai Darah.


، ‫انِى‬IIَ‫ةَ َر ُجلَي ِْن أَتَي‬Iَ‫ْت اللَّ ْيل‬
ُ ‫ َرأَي‬: ‫لَّ َم‬I‫ ِه َو َس‬I‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬I‫ص‬َ ‫ال النَّبِ ُّى‬I َ Iَ‫ال ق‬I َ Iَ‫هُ ق‬I‫ض َي هللاُ َع ْن‬ِ ‫ب َر‬ ٍ ‫ع َْن َس ُم َرةَ ب ِْن ُج ْن ُد‬ 
‫ ٌل‬IIُ‫ َو َعلَى َو َس ِط النَّه ِْر َرج‬، ‫م‬Iٌ ِ‫ فَا ْنطَلَ ْقنَا َحتَّى أَتَ ْينَا َعلَى نَهَ ٍر ِم ْن د ٍَم فِي ِه َر ُج ٌل قَائ‬، ‫ض ُمقَ َّد َس ٍة‬ ٍ ْ‫ إِلَى أَر‬I‫فَأ َ ْخ َر َجانِى‬
ُ‫ َر َّده‬I َ‫ ِه ف‬I ‫ُج َر َمى ال َّر ُج ُل بِ َح َج ٍر فِى فِي‬ َ ‫ فَأ َ ْقبَ َل ال َّر ُج ُل الَّ ِذى فِى النَّهَ ِر فَإِ َذا أَ َرا َد ال َّر ُج ُل أَ ْن يَ ْخر‬، ٌ‫بَ ْينَ يَ َد ْي ِه ِح َجا َرة‬
ُ‫ه‬Iَ‫ال الَّ ِذى َرأَ ْيت‬I
َ َ‫ َذا فَق‬Iَ‫ا ه‬I‫ت َم‬ ُ ‫ فَقُ ْل‬، َ‫ فَيَرْ ِج ُع َك َما َكان‬، ‫ فَ َج َع َل ُكلَّ َما َجا َء لِيَ ْخ ُر َج َر َمى فِى فِي ِه بِ َح َج ٍر‬، َ‫ْث َكان‬ ُ ‫َحي‬
 ‫فِى النَّهَ ِر آ ِك ُل ال ِّربَا‬
Dari Samurah bin Jundub, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tadi
malam aku bermimpi ada dua laki-laki yang mendatangiku, keduanya membawaku ke kota
yang disucikan. Kami berangkat sehingga kami mendatangi sungai darah. Di dalam sungai
itu ada seorang laki-laki yang berdiri. Dan di pinggir sungai ada seorang laki-laki yang di
depannya terdapat batu-batu. Laki-laki yang di sungai itu mendekat, jika dia hendak keluar,
laki-laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia
kembali ke tempat semula. Setiap kali laki-laki yang di sungai itu datang hendak keluar, laki-
laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia kembali
ke tempat semula. Aku bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Orang yang engkau lihat di
dalam sungai itu adalah pemakan riba’”. [HR. al-Bukhâri] 

52
3. Nekat Melakukan Riba Padahal Sudah Sampai Larangan, Diancam Dengan Neraka. 
Allah Azza wa Jalla berfirman :
ْ َ‫كَ أ‬IIِ‫ا َد فَأُو ٰلَئ‬II‫ ُرهُ إِلَى هَّللا ِ ۖ َو َم ْن َع‬I‫لَفَ َوأَ ْم‬I‫ا َس‬II‫فَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ِه فَا ْنتَهَ ٰى فَلَهُ َم‬
ِ َّ‫ َحابُ الن‬I‫ص‬
‫ا‬Iَ‫ار ۖ هُ ْم فِيه‬
  َ‫خَالِ ُدون‬
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allâh. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [al-
Baqarah/2:275] 

Inilah berbagai ancaman mengerikan bagi pelaku riba. Alangkah baiknya mereka
bertaubat sebelum terlambat. Sesungguhnya nikmat maksiat hanya sesaat, namun akan
membawa celaka di dunia dan di akhirat. Hanya Allâh Azza wa Jalla tempat memohon
pertolongan. 

Kaedah Umum dalam Memahami Riba


Ada hadits yang berbunyi,
‫و ِربًا‬Iَ ُ‫ فَه‬,ً‫ض َج َّر َم ْنفَ َعة‬
ٍ ْ‫ُكلُّ قَر‬
“Setiap utang piutang yang ditarik manfaat di dalamnya, maka itu adalah riba.”
(Diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah. Sanadnya terputus sebagaiaman disebutkan
oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram. Begitu pula hadits ini punya penguat dari Fadholah
bin ‘Ubaid dikeluarkan oleh Al-Baihaqi)
Walau hadits di atas dha’if (lemah) namun kandungannya benar karena dikuatkan oleh kata
sepakat para ulama.

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,


‫أجمع العلماء على أن المسلف إذا شرط عشر السلف هدية أو زيادة فأسلفه على ذلك أن أخذه الزيادة ربا‬
“Para ulama sepakat bahwa jika seseorang yang meminjamkan utang dengan
mempersyaratkan 10% dari utangan sebagai hadiah atau tambahan, lalu ia
meminjamkannya dengan mengambil tambahan tersebut, maka itu adalah riba.” (Al-Ijma’,
hal. 99, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 6: 276).

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,


ٍ ‫ بِ َغي ِْر ِخاَل‬، ‫ فَهُ َو َح َرا ٌم‬، ُ‫ض َش َرطَ فِي ِه أَ ْن يَ ِزي َده‬
‫ف‬ ٍ ْ‫َو ُكلُّ قَر‬
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa
diperselisihkan oleh para ulama.” (Al-Mughni, 6: 436)

Jika tambahan bukan prasyarat awal, hanya kerelaan dari pihak peminjam saat
mengembalikan utang, tidaklah masalah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Raafi’
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam dari seseorang unta yang
masih kecil. Lalu ada unta zakat yang diajukan sebagai ganti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas menyuruh Abu Raafi’ untuk mengganti unta muda yang tadi dipinjam. Abu

53
Raafi’ menjawab, “Tidak ada unta sebagai gantian kecuali unta yang terbaik (yang umurnya
lebih baik, -pen).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menjawab,
َ َ‫اس أَحْ َسنَهُ ْم ق‬
‫ضا ًء‬ ِ َ‫أَ ْعطُوهُ فَإِ َّن ِم ْن ِخي‬
ِ َّ‫ار الن‬
“Berikan saja unta terbaik tersebut padanya. Ingatlah sebaik-baik orang adalah yang baik
dalam melunasi utangnya.” (HR. Bukhari, no. 2392 dan Muslim, no. 1600).

Imam ‘Ali bin Husain bin Muhammad atau yang lebih dikenal dengan sebutan as-
Saghadi, menyebutkan dalam kitab an-Nutf bahwa riba menjadi tiga bentuk yaitu: 
1. Riba dalam hal peminjaman. 
2. Riba dalam hal hutang. 
3. Riba dalam hal gadaian. 

Riba Dalam Hal Pinjaman 


Bentuk riba dalam hal pinjaman ada dua sifat (gambaran): 
1. Seseorang meminjam uang 10 dirham tetapi harus mengembalikan 11 atau 12 dirham
dan lain sebagainya. 
2. Ia mengambil manfaat (keuntungan) pribadi dengan pinjaman tersebut, yaitu dengan
cara si peminjam harus menjual barang miliknya kepadanya dengan harga yang lebih
murah dari harga pasaran atau ia harus menyewakan barang itu kepadanya atau
memberinya atau ia (si peminjam) harus bekerja untuk si pemberi pinjaman dengan
pekerjaan yang membantu urusan-urusannya atau ia harus meminjamkan sesuatu
kepadanya atau ia harus membeli sesuatu darinya dengan harga yang lebih mahal dari
harga pasaran atau ia harus menyewa suatu sewaan darinya, dan begitu seterusnya. 
Sifat (gambaran) riba yang pertama misalnya, seseorang meminta kepada orang lain
sejumlah uang dengan cara meminjam, ia meminta darinya sebanyak 10.000 riyal, lalu
Ahmad (si pemberi pinjaman) berkata, “Engkau harus mengembalikan uang pinjaman itu
kepada saya sebesar 11.000 riyal,” atau ia berkata, “Engkau harus memberi saya tambahan
walaupun sedikit.” Maka inilah riba dan hukumnya haram. Dan masuk dalam kategori ini
pinjaman dari bank-bank dengan memberikan tambahan sebagai imbalan pinjaman yang ia
terima. 
Allah Ta’ala berfirman:
َ ‫ ُم‬I‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا الرِّ بَا أَضْ َعافًا‬
َ‫ضا َعفَةً ۖ َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah agar kamu mendapat keberuntungan.” [Ali ‘Imran/3: 130] 

Abu Bakar al-Jashshash rahimahullah berkata, “Riba yang dulu dikenal dan dilakukan
oleh orang-orang Arab hanyalah berupa pinjaman dirham dan dinar sampai batas waktu
tertentu dengan memberikan sejumlah tambahan dalam pinjaman sesuai dengan kesepakatan
mereka. Ini adalah riba nasi-ah dan riba seperti ini sangat masyhur di kalangan orang Arab
pada masa Jahiliyyah, dan ketika al-Qur-an turun, maka datanglah pengharaman ini. 
Sifat (gambaran) yang kedua misalnya, si pemberi pinjaman mengambil manfaat
(keuntungan) pribadi dari pinjaman yang ia berikan. 

54
Misalnya, seseorang meminjam sejumlah uang dari orang lain, lalu Muhammad (si pemberi
pinjaman) meminta kepada orang tersebut agar ia menjual sesuatu miliknya kepadanya atau
memberinya sesuatu ataupun yang lainnya sebagai imbalan dari pinjaman yang ia berikan
kepadanya. Maka ia telah mengambil keuntungan pribadi dari pinjamannya, dan ini termasuk
riba. 

Riba Dalam Hal Hutang 


Bentuk riba kedua ialah riba dalam hal hutang, yaitu seseorang menjual barang
kepada orang lain dengan cara diakhirkan pembayarannya, ketika waktu pembayaran tiba si
pemberi hutang memintanya untuk segera melunasi hutangnya dengan berkata, “Berikan aku
tambahan beberapa dirham,” maka perbuatan ini juga termasuk riba. 
Misalnya seseorang meminjam uang dari orang lain sebesar 10.000 riyal dan akan
dibayar pada waktu tertentu (sesuai dengan kesepakatan). Ketika waktu pembayaran hutang
telah tiba, ia tidak mampu untuk membayarnya, lalu ia (si pemberi pinjaman) berkata
kepadanya, “Engkau bayar hakku sekarang atau engkau harus memberiku tambahan atas
10.000 riyal yang engkau pinjam dan waktu pembayarannya akan diakhirkan lagi.” Maka ini
juga termasuk riba. 

Riba Dalam Pegadaian 


Bentuk riba yang ketiga ialah riba dalam pegadaian. Riba dalam hal ini terjadi
perbedaan pendapat dari para ulama ‫رحمهم هللا‬. 

55
MATERI KE 11
Hadits tentang Salam/Salaf (Jual Beli Pesanan)

A. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya

َ ُ‫لِف‬I‫ َوهُ ْم ي ُْس‬،َ‫ة‬Iَ‫لَّ َم ْال َم ِدين‬I‫ ِه َو َس‬I‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي‬


‫ون فِي‬ َ ‫ قَ ِد َم النَّبِ ُّي‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬،‫س‬ ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعبَّا‬
ٍ \ُ‫س \لِفْ فِي َكيْ ٍل َم ْعل‬
،‫\وم‬ ْ ُ‫ فَ ْلي‬،‫ف فِي تَمْ ٍر‬ ْ َ‫ « َمنْ أ‬:‫ فَقَا َل‬،‫ار ال َّسنَةَ َوال َّسنَتَي ِْن‬
َ َ‫س \ل‬ ِ ‫الثِّ َم‬
ٍ ُ‫ إِلَى أَ َج ٍل َم ْعل‬،‫وم‬
»‫وم‬ ٍ ُ‫َو َو ْز ٍن َم ْعل‬
Terjemahan:
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun
dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka
hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu."
Muttafaq Alaihi. [Muttafaqun ‘alaih] 

B. Kosakata/Mufradat
 ‫قَ ِد َم‬ : Tiba/datang
 َ‫سلِفُون‬ ْ ُ‫ي‬ : mereka memimjamkan
‫ر‬ ُ ‫الثِّ َما‬ : buah-buahan
 ُ‫سنَة‬ َّ ‫ال‬ : tahun
 َ‫سلَف‬ ْ َ‫أ‬ : memimjam
‫ر‬ ٌ ‫تَ ْم‬ : Kurma
‫ل‬ ٌ ‫َك ْي‬ : Takaran
‫ن‬ ٌ ‫َو ْز‬ : Timbangan
 ‫وم‬ ٍ ُ‫إِلَى أَ َج ٍل َم ْعل‬ : masa tertentu

C. Status Hadis 
Kuantitas Hadits Bukhari No. 2085 ini termasuk Hadits Mutawatir. Mutawatir ialah
hadits yang diriwayatkan dengan banyak sanad yang berlainan perawinya, dan mustahil
mereka bisa berkumpul untuk berdusta membuat hadits itu. 
Kualitas Hadits Bukhari No. 2085 ini termasuk Hadits Shahih.

D. Asbabul wurud
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah pada saat hijrah, dan
beliau mendapati penduduk Madinah terbiasa untuk melakukan salaf, yaitu terbiasa
melakukan budidaya buah-buahan dan tanaman layak jual lainnya. Pada umumnya
mereka terbiasa untuk menyerahkan uang panjar dan menangguhkan (penyerahan) buah-

56
buahan yang dijualnya dalam tenggang waktu setahun, dua tahun atau tiga tahun. Dalam
hal ini rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa jual beli dengan cara
ini bukan termasuk jual beli barang yang belum ada (barangnya) ditangan penjual yang
akan dapat menjurus kepada penipuan, karena jual beli salaf ini bergantung kepada
jaminan dan bukan pada barang yang diperjualbelikan.

E. Biografi Perawi Utama (Sahabat)


Ibnu Abbas
Nama lengkapnya Abdullah bin Abas bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin
Abdul Manaf, julukan Abu al-Abbas. Ia juga dikenal dengan Hibr al-umah (paling
tahunya umat) dan Bahr (lautan). Abdullah adalah keponakan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ali bin Abi Thalib. 
Ayahnya, Abbas adalah paman Nabi saw. Ia termasuk tokoh suku Quraisy yang
pada zaman jahiliyah menjadi Amirul Haj selama bertahun-tahun lamanya dan takmir
Masjidil Haram. Ibunya, Lubabah Kubra adalah putri Harits bin Hazn Hilali dan
saudarinya, Maimunah adalah istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
memiliki julukan Ummu al-Fadhl. Ia adalah wanita pertama yang masuk Islam di Mekah
setelah Sayidah Khadijah. Nabi Muhammad sangat menghormatinya. Ia menyusui
Hasanain, oleh karena itu ia disebut untuk Qutsam dan Abdullah adalah saudara
sepersusuan Hasanain. Ibnu Abbas adalah keponakan Khalid bin Walid. 
Menurut pendapat masyhur dikatakan bahwa Ibnu Abbas lahir 3 tahun sebelum
Hijrah di Syi'b Abi Thalib. Menurut nukilan yang lain, ia lahir 5 tahun sebelum hijriah. 
Sahabat Rasulullah
Setelah kelahiran Ibnu Abbas, Nabi Muhammad saw menyuapi dia dengan air
liurnya dan kemudian mendoakannya. Dalam sejarah disebutkan bahwa usia Ibnu Abbas
ketika Nabi Muhammad saw wafat antara 10 hingga 15 tahun. 
Periode Khilafah
Para khulafaur rasyidin sangat menghormati Ibnu Abbas. Ia selama periode
khilafah, menduduki posisi Ifta (mengeluarkan fatwa). Ia termasuk orang-orang yang
pendapatnya didengarkan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi oleh
khalifah ke dua dan ketiga. Pada tahun 35 H/655 ketika Utsman terkepung, Ibnu Abbas
menunaikan ibadah haji atas nama (niyabah) Utsman. 
Ibnu Abbas pada akhir kehidupannya buta. Ia hidup di Mekah. Ia menyaksikan perang
antara Abdullah bin Zubair dan Abdul Malik bin Marwan. Abdullah bin Zubair
menginginkan baiat dari Ibnu Abbas namun ia menolaknya, sehingga mengungsikan ke
Thaif. Sebagian sejarawan melaporkan bahwa Ibnu Abbas meninggal di Thaif pada tahun
68 H/687 dan ketika ia berusia 70 tahun.

F. Syarah Hadis
Salaf (pinjaman) dengan menggunakan fathah yang berarti pesanan dalam segi
wazan dan maknanya. Imam Jazri berkata dalam kitab An-Nihayah; pesanan itu sama
seperti halnya kamu memberikan emas dan perak, atas barang dagangan yang telah
diketahui dan batas yang telah ditentukan. 

57
Maksud dari pengqiyasan pada hadis ini yakni tidak diperbolehkannya melakukan
aqad tersebut, dikarenakan di dalamnya terdapat jual beli sesuatu yang tidak terlihat.
Kecuali ada riwayat lain yang membolehkan malakukan aqad tersebut. Ayat-ayat
Madaniyyah dalam Surat Al-Baqarah mengindikasikan terkait diperbolehkannya
melakukan aqad itu.Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu `Abbas Ra. Mengatakan;
Rasulullah Saw sampai di Madinah dari Mekah setelah hijrah dan mereka meminjam
atau memesan buah-buahan.Sedangkan dalam riwayat hadis Imam Bukhari dan Muslim
meraka meminjam buah-buahan dalam jangka waktu satu sampai dengan tiga tahun.
Begitupun dalam kitab Al-Misykah, barang siapa yang melakukan salaf maka
lakukanlah dengan takaran dan timbangan serta masa yang diketahui.Hal tersebut
menunjukan wajibnya menentukan takaran dan timbangan dan jangka waktu yang telah
ditentukan.Dikarenakan apabila ada salah satu yang tidak ditentukan maka rusaklah aqad
jual beli tersebut.
Imam An-Nawawi berkata dalam syarah Shahih Muslim; melihat hadis
sebelumnya menunjukan bolehnya melakukan aqad salam (pesanan), dengan syarat
takaran, timbangan serta jangka waktu yang diketahui secara jelas ataupun lainnya yang
berkaitan dengan barang tersebut. Jika barang itu merupakan sesuatu yang memiliki
ukuran seperti baju, maka disyaratkan untuk menyebutkan ukurannya yang sesuai.Akan
tetapi apabila barang tersebut merupakan sesuatu yang dapat dihitung atau ditimbang
seperti hewan maka disyaratkan untuk menyebutkan jumlah atau timbangan yang sesuai.
Makna hadis tersebut yakni apabila memesan barang yang dapat diukur atau
ditimbang, maka timbangannya harus diketahui.Apabila barang tersebut merupakan
sesuatu yang ada temponya, maka batas waktunya harus diketahui, dan tidak boleh
mensyaratkan atau memberi syarat kepada barang pesanan pada batas yang
ditangguhkan.Akan tetapi lebih baik ditentukan terlih dahulu, karena jika boleh
menangguhkan pada batas waktu ketika memesan barang tersebut supaya tidak
terjadinya unsur penipuan.Penjelasan hadis sebelumnya tidak adanya penyebutan tempo
atau batas waktu untuk syarat adanya penangguhan pada tempo tersebut.Akan tetapi
apabila adanya batas waktu pada barang yang dipesan maka harus sesuai.
Para ulama berbeda pendapat terkait menghukumi aqad salam (pesanan) yang
masanya seketika ditentukan dengan hasil Ijma` mereka atas diperbolehkannya memesan
barang yang temponya tersebut ditangguhkan. Ulama yang membolehkan memesan pada
batas waktu yang ditentukan adalahImam Asyafi`i, Imam Ahmad serta Ishak.Sedangkan
sebagian ulama yang melarang terkait menangguhkan suatu barang pesanan yakni Imam
Malik, Imam Abu Hanifah dan yang lainnya.

G. Penjelasan Hukum
JUAL BELI SALAM DAN SYARATNYA
Istilah syar’i di negara ini berkembang pesat, khususnya yang berkaitan dengan dunia
bisnis. Ini sejalan dengan perkembangan bisnis perbankan dan lembaga-lembaga keuangan
syari’at. Istilah-istilah syar’i ini sebelumnya sangat jarang terdengar di telinga masyarakat
umum. Diantara istilah itu adalah bai’us salam (jual beli dengan cara inden atau pesan). Bagi
masyarakat umum, istilah bai’us salam terhitung istilah baru. Sehingga tidak mengherankan
kalau kemudian banyak yang mempertanyakan maksud dan praktik sebenarnya dalam Islam. 

58
PENGERTIAN BAI’US SALAM (JUAL BELI SISTEM INDEN ATAU PESAN) 
ْ َّ‫)الت‬. Kata ini semakna dengan as-salaf (
Kata salam berasal dari kata at-taslîm (‫سلِيْم‬
‫)ال َّسلَف‬
yang bermakna memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil dikemudian hari.
Pengertian ini terkandung dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
‫ُكلُوا َوا ْش َربُوا هَنِيئًا بِ َما أَ ْسلَ ْفتُ ْم فِي اأْل َي َِّام ْالخَالِيَ ِة‬
(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang
telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.[al-Hâqqah/69:24] 

Menurut para Ulama, definisi bai’us salam yaitu jual beli barang yang disifati (dengan
kriteria tertentu/spek tertentu) dalam tanggungan (penjual) dengan pembayaran kontan
dimajlis akad. Dengan istilah lain, bai’us salam adalah akad pemesanan suatu barang dengan
kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad berlangsung. 
Dengan demikian, bai’us salam memiliki kriteria khusus bila dibandingkan dengan
jenis jual beli lainnya, diantaranya: 
1. Pembayaran dilakukan didepan (kontan di tempat akad), oleh karena itu jual beli ini
dinamakan juga as-salaf. 
2. Serah terima barang ditunda sampai waktu yang telah ditentukan dalam majlis akad.
Para ulama sering mengungkapkan proses akad jual beli semacam ini dengan
ungkapan, “Zaid seorang menyerahkan seribu dinar kepada Ali supaya Ali menyerahkan lima
ton beras kepadanya.” 
Pembeli, yaitu Zaid dinamakan al-muslim atau al-muslif atau Rabbus Salam.
Sedangkan penjual yaitu Ali dinamakan al-muslam Ilaihi atau al-muslaf Ilaihi. Sementara
pembayaran kontan yaitu seribu dinar dinamakan ra’su mâlis salam (Modal Salam) dan
barang yang dipesan yaitu beras dinamakan al-muslam fihi atau Dainus Salam (hutang
salam).

HUKUM BAI’US SALAM (JUAL BELI SISTEM PESAN) 


Jual beli sistem ini diperbolehkan dalam syariat Islam. Ini berdasarkan dalil-dalil dari
al-Qur`ân dan sunnah serta ijma dan juga sesuai dengan analogi akal yang benar (al-qiyâsush
shahîh). 
a. Dalam al-Qur`ân, Allah Azza wa Jalla berfirman :
ُ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن إِلَ ٰى أَ َج ٍل ُم َس ًّمى فَا ْكتُبُوه‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. [al-Baqarah/2:282]. 

Sahabat yang mulia Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu menjadikan ayat ini
sebagai landasan membolehkan jual beli sistem pesan ini. Beliau Radhiyallahu anhu
mengatakan, “Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf (as-salam) yang terjamin hingga
tempo tertentu telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân.
(Kemudian beliau membaca firman Allâh Azza wa Jalla artinya) : 

59
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara
tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. (Hadits ini dishahihkan
al-Albâni t dalam kitab Irwâ’ul Ghalîl, no. 340 dan beliau t mengatakan, “Hadits ini
dikeluarkan imam asy-Syâfi’i t no. 1314, al-Hâkim, 2/286 dan al-Baihaqi 6/18). 
Firman Allâh Azza wa Jalla diatas, yang artinya, “apabila kamu bermu’amalah
tidak dengan secara tunai,” bersifat umum, artinya meliputi semua yang tidak tunai,
baik pembayaran maupun penyerahan barang. Apabila yang tidak tunai adalah
penyerahan barang maka itu dinamakan bai’us salam. 
b. Dalam hadits Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu diriwayatkan :
‫ َم ْن‬: ‫ا َل‬IIَ‫نَتَ ْي ِن فَق‬I ‫الس‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْال َم ِدينَةَ َوهُ ْم يُ ْسلِفُونَ فِى الثِّ َم‬
َّ ‫ار ال َّسنَةَ َو‬ َ ‫قَ ِد َم النَّبِ ُّى‬ 
ٍ ُ‫وم إِلَى أَ َج ٍل َم ْعل‬
 ‫وم‬ ٍ ُ‫وم َو َو ْز ٍن َم ْعل‬
ٍ ُ‫ف فِى َك ْي ٍل َم ْعل‬ ْ ِ‫أَ ْسلَفَ فِى تَ ْم ٍر فَ ْليُ ْسل‬
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah
telah biasa memesan buah kurma dengan waktu satu dan dua tahun. maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memesan kurma, maka
hendaknya ia memesan dalam takaran, timbangan dan tempo yang jelas (diketahui oleh
kedua belah pihak).” [Muttafaqun ‘alaih] 

c. Para Ulama telah berijmâ’ (berkonsensus) tentang kebolehan bai’us salam ini, seperti
diungkapkan Ibnu al-Mundzir t dalam al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudâmah t menguatkan
penukilan ijma’ ini. Beliau t menyatakan, “Semua ulama yag kami hafal sepakat
menyatakan as-salam itu boleh.”
c. Kebolehan akad jual beli salam (pemesanan) ini juga sesuai dengan analogi akal dan
kemaslahatan manusia. Syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu-
menjelaskan, “Analogi akal dan hikmah mengisyaratkan jual beli ini boleh. Karena
kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna dengan jual beli salam. Orang
yang membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran tunai
sementara pembeli beruntung karena bisa mendapatkan barang dengan harga lebih
murah dari umumnya. Jadi, manfaatnya kembali ke kedua pihak.”
Oleh karena itu, syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu-
mengatakan, “Pembolehan mua’amalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan
dan kemurahan syariat Islâm. Karena mu’amalah ini berisi hal-hal yang bisa memberikan
kemudahan dan mewujudkan kebaikan bagi manusia, disamping juga bebas dari riba dan
seluruh larangan Allâh.

KEBUTUHAN MASYARAKAT TERHADAP BAI’US SALAM 


Bai’us Salam ini dibutuhkan oleh banyak kalangan, misalnya orang-orang yang
memiliki kemampuan dan keterampilan namun mereka tidak miliki modal yang cukup untuk
menjalankan apa yang menjadi obsesinya. Mereka ini bisa menjual sampel produk mereka
(sebelum ada produk dalam jumlah besar) dan mendapatkan uang kontan. Uang kontan ini
bisa mereka manfaatkan untuk menyiapkan bahan baku dan biaya operasinal pengadaan
produk, seperti untuk membeli bibit, alat, pupuk dan lain-lain; Bisa juga untuk memenuhi
kebutuhan diri dan keluarga selama proses pengerjaan produk tersebut. Kemudian setelah
produk siap, mereka bisa menyerahkannya sesuai dengan pesanan pada waktu yang telah

60
ditentukan. Apabila produknya tidak dapat memenuhi pesanan maka ia harus mencari dan
mendapatkan produk orang lain untuk memenuhi pesanan. Hal ini karena barang (al-Muslam
fihi) tidak boleh ditentukan harus dari hasil produksi mereka saja. 
Bila melihat praktik jual beli salam diatas, kita dapati kemaslahatan atau keuntungan
akan dirasakan oleh kedua belah pihak. Penjual memperoleh kemaslahtan dan keuntungan
berupa: 
1. Mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara halal. Sehingga ia
dapat menjalankan dan mengembangkan usaha tanpa terlibat riba (bunga). Sebelum jatuh
tempo, penjual dapat menggunakan uang ini untuk menjalankan usahanya dan mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun. 
2. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya
tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan cukup lama. 
3. Tidak perlu upaya dan mengeluarkan biaya tambahan untuk menghabiskan produk,
karena telah dibeli sebelumnya. 
Pembeli pun memperoleh keuntungan dan manfaat, seperti: 
1. Jaminan mendapatkan barang (al-muslam fihi) sesuai dengan kebutuhan dan tepat
waktu. 
2. Mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan harga lebih murah bila dibandingkan
membeli saat membutuhkan barang itu, karena:
a. Pembeli telah memberikan uang cash dalam tempo salam (pemesanan) tersebut,
padahal bisa saja ia memanfaatkan uang tunai ini untuk keperluan lain. Sehingga
pantas bila pembeli mendapatkan harga lebih murah. 
b. Pembeli komitmen membeli produk tertentu padahal itu beresiko. Sebab bisa saja,
ketika barang diserahkan ternyata harga di pasar lebih murah karena stok barang
banyak atau permintaan kurang. 
c. Terkadang, pembeli terpaksa harus mencari kesempatan untuk memasarkan barang
yang telah dipesan itu, jika dia membelinya bukan untuk kebutuhan pribadinya saja. 
Dengan ini nampak jelas bahwa jual beli salam merupakan sarana efektif untuk
menyatukan dua unsur penting produksi yaitu harta dan aktifitas produksi dengan metode
yang diterima semua pihak terkait dalam pembagian hasil.
Namun perlu diwaspadai perilaku buruk sebagian pemilik modal yang memancing
ikan di air keruh, ketika para petani atau pengusaha industri sangat membutuhkan modal
cepat. Dalam kondisi sepert ini, terkadang sebagian pemilik modal “memanfaatkan” jual beli
salam sebagai sarana menekan harga barang hingga sangat terpuruk. Seandaianya bukan
karena kebutuhan mendesak, tentu mereka menolak tawaran modal tersebut. Ini tidak bisa
dibenarkan dan terlarang karena masuk dalam kategori bai’ul mudhthar (jual beli dalam
keadaan terpaksa). 

RUKUN JUAL BELI SALAM 


Jual beli ini memiliki tiga rukun yaitu: 
1. Ada transaktor, yaitu al-muslim dan al-muslam ilaihi 
2. Ada modal as-salam (ra’su mâlis salam). 
3. Ada shighah (akad) yaitu ijab dan qabûl, baik tertulis maupun terucap. 

61
Contoh, perusahaan A di kota semarang memesan seratus mobil merek Toyota Saluna seri
tertentu kepada perusahaan Toyota dengan membayar tunai 20 milyar rupiah di majlis akad
(tempat transaksi) dengan perjanjian mobil harus dauh terkirim ke pelabuhan Tanjung Emas
di Semarang setelah dua bulan dari waktu transaksi. 
Dalam contoh diatas, rukun jual beli salam sudah terpenuhi, yaitu : 
a. Al-Muslim adalah perusahaan A sedangkan al-muslam Ilaihi adalah perusahaan
Toyota 
b. Modal as-salam yaitu uang 20 milyar rupiah yang dibayar kontan 
c. Shighah (transaksi) yaitu ijab dan qabul ketika transaksi sedang berlangsung. 

SYARAT-SYARAT JUAL BELI SALAM 


Disamping rukun, untuk keabsahan jual beli salam, para Ulama menetapkan syarat-
syarat sah. Secara garis besar, para Ulama menggolongkan syarat-syarat ini menjadi dua yaitu

1. Syarat umum jual beli 
2. Syarat khusus pada jual beli salam ada enam yaitu : 
 Jual beli ini pada barang-barang yang memiliki kriteria jelas. 
Jual beli salam merupakan jenis akad jual beli barang dengan kriteria tertentu
dengan pembayaran tunai. Sehingga menjadi sebuah keharusan, barang yang dipesan
adalah barang yang dapat ditentukan kriterianya dengan jelas, seperti jenis, ukuran,
berat, takaran dan lain sebagainya. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk
menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak dan menghindarkan
sengketa. 
Dalam memberikan kriteria masuk dalam syarat ini perlu diperhatikan bahwa
masalah kriteria ini akan berbeda dari zaman ke zaman. Sehingga tidak semua yang
disampaikan para Ulama ahli fiqh zaman dulu sebagai kriteria barang yang tidak
bisa diberikan kreteria jelas itu pasti benar, sebab dengan perkembangan teknologi
dan pengetahuan muncul alat yang dapat mendeteksi criteria dengan jelas sehingga
dapat diserahkan sesuai dengan criteria yang disepakati ketika akad.
 Pembayaran dilakukan pada saat akad (transaksi) Sebagaimana terfahami dari
namanya, yaitu as-salam (penyerahan), atau as-salaf (mendahulukan), maka para
Ulamâ’ sepakat bahwa pembayaran jual beli salam itu harus dilakukan di muka atau
kontan saat transaksi, tanpa ada yang terhutang sedikitpun. Jika pembayaran ditunda
(dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, maka akadnya berubah menjadi akad
jual beli hutang dengan hutang (bai’ud dain bid dain) yang terlarang dan hukumnya
haram. Diantara contoh yang terlarang, memesan barang dengan tempo setahun,
kemudian pembayaran dilakukan dengan menggunakan cek atau bank garansi yang
hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan berikutnya. 
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allâh mensyaratkan pada akad
salam agar pembayaran dilakukan dengan kontan. Apabila ditunda, niscaya kedua
belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu,
akad ini dinamakan dengan as-salam, karena ada pembayaran di muka. Sehingga
bila pembayaran ditunda, maka itu termasuk kategori jual beli hutang dengan

62
hutang, bahkan itulah praktik jual beli hutang dengan hutang yang sebenarnya, dan
beresiko tinggi, serta termasuk praktek untung-untungan.” 
 Penyebutan kriteria, jumlah dan ukuran barang dilakukan saat transaksi berlangsung
Dalam akad jual beli salam, penjual dan pembeli wajib menyepakati kriteria barang
yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala yang bersangkutan dengan
jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan
berpengaruh pada harga barang. 
Contoh; Apabila Ali hendak memesan beras kepada Budi, maka Ali wajib
menyebutkan jenis beras yang diinginkan (misalnya Beras Rojolela), asal barangnya,
kualitas dan kuantitasnya, perkarung diisi berapa kilogram serta produk tahun
kapan. 
Kriteria-kriteria ini pasti berpengaruh pada harga. Karena harga beras akan
berbeda sesuai dengan perbedaan jenis, kualitas, asal daerah dan tahun panennya.
Perhatikanlah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits di atas :
ٍ ُ‫وم إلى أَ َج ٍل َم ْعل‬
‫وم‬ ٍ ُ‫من أَ ْسلَفَ في َش ْي ٍء فَفِي َك ْي ٍل َم ْعل‬
ٍ ُ‫وم َو َو ْز ٍن َم ْعل‬
Barangsiapa memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah
takaran, timbangan serta tempo yang jelas [Muttafaqun ‘alaih] 

 Jual beli salam harus ditentukan dengan jelas tempo penyerahan barang pesanan
Kedua transaktor pada akad jual beli salam harus ada kesepakatan tentang tempo
penyerahan barang pesanan, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
ٍ ُ‫إلى أَ َج ٍل َم ْعل‬
‫وم‬
sampai tempo yang jelas [Muttafaqun ‘alaih]

juga firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :


ُ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َدي ٍْن إِلَ ٰى أَ َج ٍل ُم َس ًّمى فَا ْكتُبُوه‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. [al-Baqarah/2:282] 

Ayat dan hadits diatas menunjukkan ada pensyaratan tempo yang jelas dalam
jual beli salam. 
 Barang pesanan sudah tersedia di pasar saat jatuh tempo agar dapat diserahkan pada
waktunya. Kedua belah pihak wajib memperhitungkan ketersediaan barang pada saat
jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-
menipu dan spekulasi perjudian, yang keduanya diharamkan dalam syari’at Islam. 
Seandainya barang pesanan dipastikan tidak ada pada saat jatuh tempo maka
jual beli salam tidak sah. Disamping menyebabkan tidak sah, pengabaian syarat ini
juga akan sangat berpotensi memancing percekcokan dan perselisihan yang tercela.
Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan
pembeli pasti dilarang. 
 Barang pesanan adalah barang yang pengadaannya ada dalam tanggung jawab
penjual, bukan dalam bentuk satu barang yang telah ditentukan dan terbatas. 

63
Maksudnya, barang yang dipesan hanya ditentukan kriterianya. Dan
pengadaannya, diserahkan sepenuhnya kepada penjual. Sehingga ia memiliki
kebebasan dalam pengadaan barang yang sesuai dengan semua kreteria dan ukuran
atau jumlah yang diinginkan pembeli. Penjual bisa mendatangkan barang miliknya
yang telah tersedia atau membelinya dari orang lain. Persyaratan ini ditetapkan agar
akad salam terhindar dari unsur gharar (penipuan). Sebab bisa saja kelak ketika jatuh
tempo, karena faktor tertentu, penjual tidak bisa mendatangkan barang dari miliknya
atau dari perusahaannya. 

Contoh : 
Seseorang melakukan jual beli salam untuk memesan sebuah mobil tertentu
misalnya mobil pribadi milik Ali satu-satunya. Barang yang telah ditentukan seperti
ini tidak bisa dijadikan obyek dalam jual beli salam. Karena keabsahan akad jual
belinya sangat tergantung pada barang yang telah ditentukan itu. Ini sangat berbeda
dengan jual beli salam yang hanya menentukan barang dengan criteria-kriteria
tertentu, sehingga si penjual bebas mencarikan harus berupa pesanan yang
diserahkan setelah jatuh tempo. Tidak bolehnya dengan barang terbatas ini karena
barang tersebut bisa saja hilang sebelum jatuh tempo penyerahan sehingga jadilah
gharar. 
Tidak boleh juga dalam jual beli salam ini membatasinya dengan menyatakan
produk si fulan saja atau dari kebunnya fulan saja. Kecuali bila produk perusahaan
besar yang memiliki karakteristik tertentu. Seperti membeli mobel mercy seri 200
model tahun 1994 misalnya, ini diperbolehkan karena tidak dimiliki perusahaan
selainnya.
Jika memungkinkan, penyerahan barang pesanan dilakukan di tempat akad
berlangsung dan bila tidak memungkinkan maka harus ditentukan tempat
penyerahannya dalam akad tersebut. 
Apabila bisa terjadi kesepakatan tentang tempat penyerahannya maka
diperbolehkan menetapkannya dan bila tidak terjadi kesepakatan maka kembali
ketempat akad terjadi apabila memungkinkan.
Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli salam,
semoga dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat dalam masalah ini. 

64
MATERI KE-12
Hadits tentang Keutamaan Bersedqah dan Sifat Pemaaf

A. Teks hadits (sanad dan perawinya) dan Terjemahnya

‫لَّ َم َم\\ا‬I‫ ِه َو َس‬I‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬I‫ص‬


َ ِ ‫و ُل هَّللا‬I‫ال َر ُس‬I َ Iَ‫ ق‬:‫ال‬I ِ ‫َع ْن أَبِي هُ َري َْرةَ َر‬
َ Iَ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ق‬
ِ ‫اض َع أَ َح ٌد هَّلِل‬
َ ‫ َو َما ت ََو‬،‫ َو َما زا َد هللاُ َع ْبداً ب َع ْف ٍو إِالَّ ِعـــــ ًّزا‬،‫ص َدقَةٌ ِمنْ َما ٍل‬ َ ْ‫صت‬ َ َ‫نَق‬
ُ ‫إِاَّل َرفَ َعهُ هَّللا‬
Terjemahan;
“Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi
seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya,) kecuali kemuliaan (di
dunia dan akhirat),Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah,
melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).

B. Kosakata/Mufradat
 ‫ت‬ ْ ‫ص‬ َ َ‫ نَق‬: Berkurang
‫ل‬ ٍ ‫َما‬ : Harta
 ‫زا َد‬ : bertambah
‫و‬ ٍ ‫ب َع ْف‬ : dengan maaf
 ‫زا‬ ًّ ‫ِعــــــ‬ : kemuliaan
‫ع‬ َ ‫ض‬ َ ‫ تَ َوا‬: merendahkan diri
  ُ‫عه‬ َ َ‫ َرف‬: mengangkatnya
C. Status Hadis 
Kuantitas:  Jika dilihat dari segi kuantitasnya hadis ini termasuk hadis masyhur karena
perawinya berjumlah kurang dari 10 perawi. 
Kualitas :Jika dilihat dari segi kualitasnya hadis ini termasuk hadis hasan karena ada
salah seorang perawi yang buruk hafalannya.

D. Kandungan Hadits

Hadits yang mulia ini menunjukkan besarnya keutamaan dan kemuliaan sifat-sifat
tersebut di atas, bahkan semua itu termasuk sifat-sifat utama yang dimiliki oleh orang-
orang yang bertakwa, sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
ِ َّ‫افِينَ ع َِن الن‬II‫ظَ َو ْال َع‬IIْ‫اظ ِمينَ ْال َغي‬II
ُّ‫اس َوهَّللا ُ ي ُِحب‬ ِ ‫رَّا ِء َو ْال َك‬II‫الض‬ َّ ‫ونَ فِي‬IIُ‫الَّ ِذينَ يُ ْنفِق‬
َّ ‫رَّا ِء َو‬II‫الس‬
َ‫ْال ُمحْ ِسنِين‬

65
“(Orang-orang yang bertakwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik
di waktu lapang, maupun sempit, dan orang-orang yang (selalu) menahan amarahnya,
serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.” (Qs. Ali ‘Imran: 134).

‘Sabda Nabi Shollalahu ‘alaihi wa Sallam (‫ل‬ ٍ ‫ص َدقَةٌ ِم ْن َما‬ ْ ‫ص‬


َ ‫ت‬ َ َ‫‘ ) َما نَق‬Sedekah tidak
akan mengurangi harta’. Para ulama menyebutkan ada dua makna berkaitan dengan
hadits ini. 
Pertama, Sesungguhnya Allah akan memberkahi hartanya dan mencegah kemudhorotan
menimpanya. Maka Allah akan menggantikan kekurangan jumlah hartanya dalam bentuk
keberkahan yang tidak terlihat pada hartanya (yang lain –pen), hal ini ini dapat kita
ketahui baik secara inderawi dan kebiasaan.
Kedua, sesungguhnya jika berkurang jumlahnya maka pahala akan menambal
kekurangan hartanya dan ditambahkan baginya pahala dengan kelipatan yang berlipat
ganda
 Allah Ta’ala berfirman,
ِ ‫َو َما أَ ْنفَ ْقتُ ْم ِم ْن َش ْي ٍء فَهُ َو ي ُْخلِفُهُ َوهُ َو َخ ْي ُر الر‬
َ‫َّازقِين‬
“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan
Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Qs. Saba’: 39).

Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan keberkahan harta di dunia
dan pahala yang besar di akhirat (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/713).
Kata al-‘afwu (memaafkan) artinya memaafkan perbuatan salah dan tidak
menghukumnya, asal maknanya secara bahasa: menghapus dan menghilangkan 
Arti bertambahnya kemuliaan orang yang pemaaf di dunia adalah dengan dia
dimuliakan dan diagungkan di hati manusia, karena sifatnya yang mudah memaafkan
orang lain, sedangkan di akhirat dengan besarnya ganjaran pahala dan keutamaan di sisi
Allah Ta’ala.
Arti tawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah adalah merendahkan diri dari
kedudukan yang semestinya pantas bagi dirinya, untuk tujuan menghilangkan sifat ujub
dan bangga terhadap diri sendiri, dengan niat mendekatkan diri kepada-Nya, dan bukan
untuk kepentingan duniawi.
Adapun arti ketinggian derajat orang yang merendahkan diri, karena Allah Ta’ala
di dunia adalah dengan ditinggikan dan dimuliakan kedudukannya di hati manusia
karena sifat tersebut, dan di akhirat dengan pahala yang agung dan kedudukan yang
tinggi di sisi-Nya. Ini termasuk sifat orang-orang yang bertakwa.
Allah Ta’ala berfirman,
َ‫ض َوال فَ َساداً َو ْال َعاقِبَةُ لِ ْل ُمتَّقِين‬
ِ ْ‫تِ ْلكَ ال َّدا ُر اآْل ِخ َرةُ نَجْ َعلُهَا لِلَّ ِذينَ ال ي ُِري ُدونَ ُعلُ ّواً فِي اأْل َر‬
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan
diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu
(surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. al-Qashash: 83).

E. Fawaidul Hadits/Pelajaran yang bisa diambil 

66
1. Hadits di atas memberikan motivasi untuk berinfaq. Bukhari sendiri membawakan
hadits ini dalam Bab “Motivasi untuk bersedekah (mengeluarkan zakat) dan memberi
syafa’at dalam hal itu”. An Nawawi membuat bab untuk hadits ini “Motivasi untuk
berinfaq (mengeluarkan zakat) dan larangan untuk menghitung-hitungnya
(menyimpan tanpa mau mensedekahkan).”
2. Hadits ini menunjukkan tercelanya sifat bakhil dan pelit.
3. Hadits di atas menunjukkan bahwa al jaza’ min jinsil ‘amal, balasan sesuai dengan
amalan perbuatan. 
4. Ibnu Baththol menerangkan riwayat pertama di atas dengan mengatakan, “Janganlah
engkau menyimpan-nyimpan harta tanpa mensedekahkannya (menzakatkannya).
Janganlah engkau enggan bersedekah (membayar zakat) karena takut hartamu
berkurang. Jika seperti ini, Allah akan menahan rizki untukmu sebagaimana Allah
menahan rizki untuk para peminta-minta.” 
5. Menyimpan harta yang terlarang adalah jika enggan mengeluarkan zakat dan sedekah
dari harta tersebut. Itulah yang tercela
6. Hadits ini menunjukkan larangan enggan bersedekah karena takut harta berkurang.
Kekhawatiran semacam ini adalah sebab hilangnya barokah dari harta tersebut.
Karena Allah berjanji akan memberi balasan bagi orang yang berinfaq tanpa batasan.
Inilah yang diterangkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani. 
7. Hadits di atas menunjukkan bahwa yang mesti diprioritaskan adalah menunaikan
sedekah yang wajib (yaitu zakat) daripada sedekah yang sunnah.
8. Ibnu Baththol mengatakan, “Hadits ini menunjukkan sedekah (zakat) itu dapat
mengembangkan harta. Maksudnya adalah sedekah merupakan sebab semakin
berkah dan bertambahnya harta. Barangsiapa yang memiliki keluasan harta, namun
enggan untuk bersedekah (mengeluarkan zakat), maka Allah akan menahan rizki
untuknya. Allah akan menghalangi keberkahan hartanya. Allah pun akan menahan
perkembangan hartanya.” 
9. Sedekah tidaklah mengurangi harta. Artinya harta tersebut akan diberkahi dan akan
dihilangkan berbagai dampak bahaya padanya. Kekurangan harta tersebut akan
ditutup dengan keberkahannya. Ini bisa dirasakan secara inderawi dan kebiasaan.
10. Walaupun secara bentuk harta tersebut berkurang, namun kekurangan tadi akan
ditutup dengan pahala di sisi Allah dan akan terus ditambah dengan kelipatan yang
amat banyak. 

67

Anda mungkin juga menyukai