INDONESIA
DISUSUN OLEH:
Nim : 20156123016
Semester : I (Satu/Ganjil)
Abstrack
This article will explain the idea of reforming Islamic family law in
Indonesia. In a broad sense, family law is a right that arises from family
relationships. This family relationship can be caused by blood or marriage.
Family relationships are very important because they relate to the child's
relationship with his parents, inheritance law, custody and guardianship.
Basically, family law sources are divided into two types, namely written legal
sources and unwritten legal sources. Sources of written family law are legal
sources that originate from various legal provisions, legal cases, and agreements.
Meanwhile, unwritten sources of law are sources of law that are increasingly
growing and developing in human life.
Artikel ini akan menjelaskan gagasan reformasi hukum keluarga Islam di
Indonesia. Dalam arti luas, hukum keluarga adalah suatu hak yang timbul dari
hubungan keluarga. Hubungan kekeluargaan ini bisa disebabkan oleh hubungan
darah atau perkawinan. Hubungan keluarga sangat penting karena berkaitan
dengan hubungan anak dengan orang tuanya, hukum waris, hak asuh, dan
perwalian. Pada dasarnya sumber hukum keluarga dibedakan menjadi dua macam,
yaitu sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Sumber hukum
keluarga tertulis adalah sumber hukum yang bersumber dari berbagai ketentuan
hukum, kasus hukum, dan perjanjian. Sedangkan sumber hukum tidak tertulis
merupakan sumber hukum yang semakin tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan manusia.
Kata Kunci: Pembaharuan, hukum keluarga, Islam
2
BAB I
PENDAHULUAN
1
M. Mudzhar, “Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam”, Jurnal Studi Islam, 1,
(1999), h. 172.
2
John Donohue, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah. (Jakarta: Rajawali Press,
1995), h. 365.
3
3
M. Mudzhar, “Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam”, Jurnal Studi Islam, 1,
(1999), h. 173.
4
BAB II
PEMBAHASAN
4
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama. (Jakarta: P.T. Raja Grafindo, 1997),
h. 90-91
5
7
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Logos, 1999), h. 17
8
Dadan Muttaqien, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
(Yogyakarta: UII Press.1999), h. 80
8
undang perkawinan yang menjamin persamaan hak bagi semua warga negara
terus berlanjut hingga Komisi Perkawinan dibentuk pada tahun 1950.
Komisi Perkawinan ini beranggotakan para ahli agama, terutama laki-laki
tentunya, serta tokoh perempuan dari berbagai latar belakang, khususnya Katolik
dan Islam. Dengan demikian, panitia berhasil menyusun undang-undang
perkawinan umum yang dapat digunakan oleh seluruh warga negara Indonesia.
Namun menurut kepercayaan mereka, perkawinan didasari atas rasa saling
mencintai kedua belah pihak dan poligami diperbolehkan dengan syarat yang
ketat dan hanya dengan persetujuan agama pasangan. Hal menarik terjadi saat
penyusunan RUU Perkawinan oleh Komisi Perkawinan. Pemerintah saat itu
melakukan pengumuman melalui Keputusan No. Surat Keputusan Nomor 19
Tahun 1952 tentang Peraturan Pensiun Bagi “Janda” Pegawai Negeri Sipil. Dalam
keputusan tersebut, salah satu ketentuannya mengatur bahwa dalam hal poligami,
uang pensiun akan dibayarkan dua kali lipat dari jumlah yang diterima “janda”
seorang pekerja, dibagi rata kepada empat orang istri lainnya. Sedangkan PNS
laki-laki yang melakukan poligami mendapat gaji tambahan. Artinya poligami
diperbolehkan dan bahkan didukung oleh negara dengan menggunakan uang
rakyat untuk membayar biayanya. Tentu saja keputusan ini menuai protes dan
protes dari berbagai lapisan gerakan perempuan yang memperjuangkan hak-hak
perempuan. Namun, pada saat itu tidak ada organisasi perempuan Muslim yang
terlibat, karena kurangnya fleksibilitas dalam hubungan dengan beberapa
organisasi keagamaan yang dipimpin laki-laki.
Alhasil, upaya reformasi hukum keluarga terus berlanjut hingga tahun
1974. Dalam rapat dengar pendapat di DPR saat itu, beberapa tokoh meminta agar
segera disusun undang-undang yang mengatur mengenai perkawinan, yang akan
mengatur hal-hal seperti: (1 ) Adanya kesepakatan antar calon pasangan untuk
mencegah kawin paksa; (2) Mengatur batas minimal usia perkawinan, dengan
memperhatikan pentingnya kebahagiaan keluarga dalam perkawinan; (3)
Pernikahan didasarkan pada monogami dengan pengecualian yang sangat ketat;
(4) Persamaan hak dalam mengajukan gugatan cerai antara suami dan istri; (5)
Pembagian harta bersama secara adil setelah perceraian.
Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, peraturan yang diinginkan
akhirnya ditetapkan melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun
hukum merupakan aturan normatif yang mengatur pola perilaku manusia. Hukum
juga tidak berkembang secara alami, melainkan berasal dari rasa kebersamaan
yang memerlukan adanya aturan-aturan bersama. Oleh karena itu, hukum perlu
dikembangkan sedemikian rupa sehingga menyesuaikan dengan nilai-nilai yang
berkembang dalam masyarakat, termasuk nilai-nilai adat, tradisi, dan agama.
Inilah makna al-'âdat muhkamat dalam teori Islam atau adat istiadat suatu
masyarakat dapat diubah menjadi hukum.
11
9
Bias Gender adalah kebijakan / program / kegiatan atau kondisi yang memihak atau merugikan
salah satu jenis kelamin.
10
Syariat Islam berisi hukum dan aturan, disamping itu syariat Islam juga berisi penyelesaian
masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam merupakan
panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.
12
ijtihad dengan mengacu pada ayat Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Para ahli menetapkan ada beberapa ciri atau ciri metode penentuan hukum Islam,
yaitu: (a) penggunaan pendekatan sedikit demi sedikit (komprehensif); b) Kurang
memperhatikan sejarah; (c) Terlalu menekankan kajian tekstual/harfiah; (d)
Metode fiqih nampaknya berbeda dengan metode tafsir; e) Pengaruh berlebihan
dari budaya dan tradisi lokal, dan dalam beberapa kasus meluasnya praktik sesat
dan kufarat, terutama yang berkaitan dengan ibadah; f) Masuknya faktor politik
atau mempengaruhi kepentingan pemerintah dalam menerapkan teori-teori fiqh.
Kedua, metode modern. Pada prinsipnya ada lima metode pembaharuan
yang digunakan untuk mengkodifikasikan hukum Islam kontemporer, yaitu: (a)
Takhayyur, yaitu pendapat para ulama fiqh manapun, termasuk juga ulama luar
madzhab, takhayyur pada dasarnya disebut tarjih; (b) Talfîq, yaitu
menggabungkan beberapa pendapat ulama (dua atau lebih) untuk menentukan
hukum suatu hal; c) Takhshish al-qadla, yaitu hak Negara untuk membatasi
kewenangan kehakiman dalam hal hukum pribadi, teritorial, yurisdiksi, dan
hukum acara yang telah ditetapkan; d) Siyasah syari'ah, yaitu kebijakan penguasa
dalam melaksanakan peraturan yang bermanfaat bagi umat dan tidak bertentangan
dengan syari'ah; (e) Reinterpretasi teks yaitu (reinterpretasi teks) atau
reinterpretasi teks (Alq ur'an dan sunnah Nabi Muhammad SAW).
Setidaknya ada dua pertimbangan mendasar yang perlu diperhatikan dalam
menggunakan metode di atas, yaitu: mashlahah murlahah dan konsep yang lebih
sesuai dengan kebutuhan dan perubahan zaman.
Sementara itu, landasan penafsiran ulang teks tersebut muncul dalam
empat bentuk, yaitu: (a) Beberapa negara menggunakan pendekatan tematik dan
sintetik, meskipun penggunaannya tidak terpadu dan memiliki sistem untuk semua
permasalahan; (b) Beberapa negara menggunakan dasar kesamaan (qiyas) yang
berarti mencari persamaan hukum antara perkara yang sudah ada ketentuan
hukumnya dalam dokumennya dengan perkara baru yang belum ada ketentuan
hukumnya; (c) Ada negara yang berdasarkan machlahah, artinya hukum
didasarkan pada kepentingan rakyat dan hukum tersebut tidak bertentangan
dengan syariah; (d) Beberapa negara mengandalkan pemahaman kontekstual
dalam penafsirannya.
Reformasi hukum Islam merupakan upaya untuk menyesuaikan
pemahaman dan penerapan ajaran Islam di bidang hukum dengan kemajuan
modern dengan tetap menjaga semangat ajaran Islam. Tujuan reformasi hukum
keluarga Islam secara umum juga dapat dikelompokkan sebagai berikut, yaitu: (1)
unifikasi hukum perkawinan; (2) Meningkatkan derajat perempuan; (3)
Memenuhi perkembangan dan tuntutan zaman; (4) Menjamin kepastian hukum
dalam permasalahan perkawinan; (5) Menjadi pedoman bagi para hakim.
15
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: P.T.
Raja Grafindo. 1997.
Ali, Mohammad Daud, “Hukum Keluarga dalam Masyarakat
Kontemporer, 1993.
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pengadilan Agama sebagai
Peradilan Keluarga dalam Masyarakat Modern, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan Pusat Ikatan Hakim Peradilan Agama (Jakarta, 1993) Bisri,
Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional. Jakarta: Logos. 1999.
Donohue, John. Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah.
Jakarta: Rajawali Press. 1995.
Mudzhar, M. Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam.
Jurnal Studi Islam. Volume ke-1 Nomor 1: 1999.
Muttaqien, Dadan. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia.Yogyakarta : UII Press. 1999.
Saeed, Abdullah. Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Baitul
Hikmah. 2014