Anda di halaman 1dari 17

SEMANGAT PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI

INDONESIA

DISUSUN OLEH:

ZAHRATUL WAHIDAH (20156123016)

JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI BISNIS ISLAM

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI MAJENE

TAHUN AKADEMIK 2023 / 2024


1

Nama : Zahratul Wahidah

Nim : 20156123016

Semester : I (Satu/Ganjil)

Jurusan : Syariah dan Ekonomi Bisnis Islam

Prodi :Hukum Keluarga Islam

Abstrack
This article will explain the idea of reforming Islamic family law in
Indonesia. In a broad sense, family law is a right that arises from family
relationships. This family relationship can be caused by blood or marriage.
Family relationships are very important because they relate to the child's
relationship with his parents, inheritance law, custody and guardianship.
Basically, family law sources are divided into two types, namely written legal
sources and unwritten legal sources. Sources of written family law are legal
sources that originate from various legal provisions, legal cases, and agreements.
Meanwhile, unwritten sources of law are sources of law that are increasingly
growing and developing in human life.
Artikel ini akan menjelaskan gagasan reformasi hukum keluarga Islam di
Indonesia. Dalam arti luas, hukum keluarga adalah suatu hak yang timbul dari
hubungan keluarga. Hubungan kekeluargaan ini bisa disebabkan oleh hubungan
darah atau perkawinan. Hubungan keluarga sangat penting karena berkaitan
dengan hubungan anak dengan orang tuanya, hukum waris, hak asuh, dan
perwalian. Pada dasarnya sumber hukum keluarga dibedakan menjadi dua macam,
yaitu sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Sumber hukum
keluarga tertulis adalah sumber hukum yang bersumber dari berbagai ketentuan
hukum, kasus hukum, dan perjanjian. Sedangkan sumber hukum tidak tertulis
merupakan sumber hukum yang semakin tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan manusia.
Kata Kunci: Pembaharuan, hukum keluarga, Islam
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Hukum keluarga islam memiliki tempat atau posisi yang penting (urgent).
Hal ini merupakan salah satu intirasari dalam inti syariah. Sebagimana umat Islam
mengasumsikan bahwa hukum keluarga merupakan pintu gerbang untuk lebih
mendalami agama Islam. Pada dasarnya tidak ada suatu hukum yang terjadi
kecuali bersamaan dengan adanya hukum sebab akibat. Maka dalam hal ini pun
terjadi dalam hukum keluarga Islam.. Pada pembahasan ini bagi masyarakat
Indonesia menganggapnya sangat kontroversial karena memiliki nilai sejarah,
peristiwa dan latar belakang..
Hukum keluarga Islam dianggap sangat penting dalam masyarakat Islam
karena permasalahan keluarga yang berkaitan dengan perkawinan, warisan, dan
lain-lain. dianggap sangat penting dalam komunitas Muslim. tidak bisa
berasimilasi dengan agama non-Muslim. Oleh karena itu, masyarakat
menginginkan hukum keluarga Islam diterapkan secara khusus, terutama sesuai
dengan perkembangan zaman. Sehingga diperlukan langkah-langkah untuk
mereformasi undang-undang tersebut. Pemberlakuan undang-undang no.
Ketetapan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Khi (Kompilasi Hukum
Islam) merupakan jawaban atas keresahan, ketidakjelasan dan permohonan umat
Islam untuk menjadi pedoman dan rujukan dalam mengatasi persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan hak-hak keluarga.
Pada era modern, terkhusus pada abad ke 20, berbagai literatur hukum
Islam terus berkembang dan terbagi menjadi dua, selain keputusan pengadilan,
fatwa, agama dan kitab fikhi.
Adapun yang pertama ialah undang-undang yang berlaku di negara-negara
muslim khususnya mengenai hukum keluarga. Sedangkan yang kedua adalah
kompilasi hukum Islam yang sebenarnya merupakan inovasi Indonesia. Kompilasi
bukan kodifikasi, tetapi juga bukan kitab fiqh.1
Sikap para ulama terhadap diundangkannya materi-materi hukum keluarga
di negara-negara muslim telah menimbulkan pandangan pro dan kontra. Diantara
para ulama ada yang tetap ingin mempertahankan ketentuan-ketentuan hukum
lama dengan kalangan pembaharu baik yang menyangkut metodologi maupun
substansi hukumnya.2

1
M. Mudzhar, “Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam”, Jurnal Studi Islam, 1,
(1999), h. 172.
2
John Donohue, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah. (Jakarta: Rajawali Press,
1995), h. 365.
3

Sebagai contoh misalnya, dengan diberlakukannya UndangUndang No. 1


tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, umat Islam Indonesia telah memiliki peraturan perundang-
undangan yang memadai untuk mengatur masalah-masalah keluarga, perkawinan,
perceraian dan warisan. Sementara ulama tradisional Indonesia masih ada yang
belum sepenuhnya memahami atau menyetujui berbagai aturan dalam kedua
undang-undang tersebut karena dianggap tidak selamanya sesuai dengan apa yang
termuat dalam kitab-kitab fiqh. Akan tetapi sebagian ulama lain merasa bangga
dengan lahirnya kedua undang-undang itu karena dianggap sebagai kemajuan
besar dalam perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia. Apalagi dengan
disepakatinya hasil Kompilasi Hukum Islam oleh para ulama Indonesia pada
tahun 1988 yang kemudian diikuti oleh Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni
1991 untuk menyebarluaskan dan sedapat mungkin menerapkan isi kompilasi
tersebut, hal ini telah menandai lembaran baru dalam perkembangan pemikiran
Islam di Indonesia khususnya dalam bidang hukum keluarga.3
B. RUMUSAN MASALAH
1) apa yang melatarbelakangi adanya pembaharuan hukum keluarga Islam di
Indonesia?
2} bagaimana sejarah dan isu tentang hukum keluarga Islam di Indonesia di era
Modern?
3) bagaimana hukum tentang keluarga Islam di Indonesia di era modern?
C. TUJUAN PENELITIAN
Dari sini penulis ingin meneliti lebih jauh mengenai semangat
pembaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia. Ada beberapa alasan
mengapa penulis memilih judul ini, antara lain: (1) Dalam hukum keluarga di
Indonesia, perkawinan mestinya mendapat perhatian khusus. Pada dasarnya
UU Perkawinan Indonesia merupakan konstruksi dari UU Perkawinan Islam.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, wajar jika
masyarakat Indonesia menjadikan Islam sebagai acuan dalam urusan hukum,
termasuk pernikahan; (2) Di Indonesia, dalam dokumen sejarah, isu reformasi
hukum keluarga sudah muncul jauh sebelum kemerdekaan. Pada Kongres
Perempuan tahun 1928, pertanyaan ini mengemuka karena banyak kasus yang
menimpa perempuan dalam kehidupan berumah tangga. Seperti perkawinan
anak, kawin paksa, poligami, perceraian sewenang-wenang dan kurangnya
pemahaman terhadap hak-hak perempuan, dan sebagainya. (3) Hukum
keluarga menempati tempat yang penting dalam Islam. Hukum keluarga
dianggap sebagai jantung hukum Syariah. Hal ini terkait dengan anggapan

3
M. Mudzhar, “Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam”, Jurnal Studi Islam, 1,
(1999), h. 173.
4

umat Islam mengenai hukum keluarga sebagai pintu gerbang pendalaman


agama Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Kajian Teoritis Hukum Keluarga


Hukum keluarga dalam arti sempit, yaitu hukum perkawinan dan
perceraian, banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqhi suatu negara. Secara
keseluruhan, kitab-kitab ini merupakan hasil proses ijtihad yang dilakukan para
mujahid di berbagai tingkatan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat
Islam pada masa itu. Hukum keluarga ini terdapat dalam kitab-kitab fikhi berbagai
mazhab, seperti empat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) dan
tiga mazhab Syiah (Itsna Asyari, Ismaili dan Zaidi). Sekalipun hasil dalil-dalil
para ahli hukum di masa lalu memenuhi kebutuhan umat Islam saat itu, namun
dalam konteks sekarang belum tentu dianggap tepat. Selain itu, isinya juga
berbeda karena tingkat teorinya, meskipun berasal dari aliran pemikiran yang
sama. Adanya ketidakpuasan terhadap isinya akibat perbedaan pendapat,
menyebabkan masyarakat Islam tidak memahami bahwa agama tersebut
mengikuti hukum adat yang diturunkan dari generasi ke generasi dibandingkan
sistem hukum Kristen. Agama (Barat) disusun secara sistematis dan jelas dalam
kitab atau menurut terhadap ketentuan undang-undang.4
Secara umum hukum keluarga dapat dipahami sebagai hukum yang
mengatur hubungan kekeluargaan. Hubungan kekeluargaan ini bisa disebabkan
oleh hubungan darah atau perkawinan. Hubungan kekeluargaan ini penting karena
berkaitan dengan hubungan orang tua dan anak, hukum waris, perwalian, dan
anugerah. Hukum keluarga diartikan sebagai seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan keluarga. Arti kekerabatan di sini ada dua macam, yang
pertama adalah hubungan darah dan yang kedua adalah hubungan perkawinan.
Kekerabatan dalam istilah hubungan darah atau biasa kita sebut dengan
kekerabatan darah adalah suatu hubungan kekeluargaan yang terjalin antara
beberapa orang yang mempunyai nenek moyang yang sama. Pernikahan adalah
suatu hubungan kekeluargaan yang terbentuk dari perkawinan antara seseorang
dengan salah satu anggota keluarga yang tidak mempunyai hubungan darah
dengan pasangannya.
2. Sumber Hukum Keluarga

4
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama. (Jakarta: P.T. Raja Grafindo, 1997),
h. 90-91
5

Sumber hukum keluarga Islam adalah Al-Quran dan Hadits. Kedua


sumber ini kemudian akan digali dan hasilnya bisa berupa fiqh, fatwa, bahkan
ketentuan undang-undang (qânun). Tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas fiqih
yang ditulis oleh para ulama berkaitan dengan hukum keluarga Islam. Fiqih yang
berkaitan dengan perkawinan dan segala akibat hukumnya sebagian besar
terkonsolidasi dalam fiqh munâkahat. Sedangkan fiqh yang berkaitan dengan
waris digabung dalam fiqh roseit. Sekalipun tidak diadopsi secara hukum secara
formal, kedua produk hukum tersebut masih dapat memenuhi syarat sebagai
hukum tertulis. Oleh karena itu, agar mempunyai kekuatan resmi, produk hukum
Islam (fiqh dan fatwa) harus diadopsi menjadi peraturan hukum.
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
namun konstitusinya tidak mendeklarasikan dirinya sebagai negara Islam
melainkan mengakui kekuatan agama dalam membangun karakter bangsa.
Indonesia menganggap hukum agama sebagai sumber hukum nasional, tidak
bergantung pada hukum adat dan hukum Barat. Kondisi demikian menyebabkan
hukum Islam, salah satu sistem hukum dunia, seolah-olah “menghilang”, kecuali
hukum keluarga.5
Dalam melakukan reformasi hukum Islam, Indonesia cenderung
mengambil jalan kompromi antara hukum syariah dan hukum sekuler. Hukum
Keluarga di Indonesia, dalam upaya membangun hukum, selain mengacu pada
kitab-kitab fiqih klasik, fiqih modern, kumpulan fatwa, putusan pengadilan
(yurisprudensi), wawancara juga dilakukan kepada seluruh ulama Indonesia.
Penerapan hukum sekuler Barat tidak dapat dibuktikan secara langsung, namun
karena di Indonesia terdapat sejarah panjang hukum perdata (Buku Basah
Burgelijk) yang diterjemahkan ke dalam buku hukum perdata, hukum acara
perdata (kitab hukum acara perdata, peraturan Indonesia terkini) yang diwariskan
dari hukum Belanda dan hukum-hukum lainnya, berdasarkan asas korespondensi,
yang pengaruh hukum Baratnya tidak dapat diabaikan. Seperti bidang pencatatan
perkawinan, warisan, harta benda, wasiat, dan lain-lain. Upaya penyesuaian atau
harmonisasi hukum keluarga Islam dengan perkembangan zaman untuk
menciptakan ketertiban sosial menjadi bukti keunikan tersebut.6
Persoalan registrasi dalam yurisprudensi klasik bukanlah sesuatu yang
signifikan menurut standar kehidupan modern saat ini. Namun jika cita-cita
akhlak tersebut mengacu pada ruh Al-Quran maka jelas bahwa Al-Quran secara
langsung mengatur perlunya sistem administrasi yang cermat dalam urusan
hutang dan piutang serta transaksi kontraktual, oleh karena itu hal-hal yang
berkaitan dengan perbuatan hukum seseorang seperti perkawinan, warisan, wakaf
5
Mohammad Daud Ali, “Hukum Keluarga dalam Masyarakat Kontemporer ”, Makalah, disajikan
pada seminar nasional Pengadilan Agama sebagai Peradilan Keluarga dalam Masyarakat Modern,
(Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Pusat Ikatan Hakim Peradilan Agama, 1993)
6
Abdullah Saeed, Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar. (Yogyakarta: Baitul Hikmah.2014), h. 103
6

mempunyai akibat hukum yang lebih kompleks maka pencatatan mempunyai


peranan yang lebih penting. Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas
Islam di dunia, sedangkan mazhab fiqih yang paling dominan adalah mazhab
Syafi’i.
Asas-asas hukum keluarga Berdasarkan hasil analisa KUH Perdata dan
Undang-Undang Nomor 11. Pada tanggal 1 Januari 1974, terbentuklah beberapa
asas hukum keluarga, yaitu: (1) Asas satu istri satu suami, ini prinsipnya adalah
laki-laki hanya boleh mempunyai satu isteri dan perempuan hanya boleh
mempunyai satu suami; (2) Asas persetujuan, yaitu asas yang menyatakan suatu
perkawinan dapat dianggap sah apabila terdapat kesepakatan atau musyawarah
antara calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan tersebut; (3) Asas
kesatuan harta suami istri, yaitu asas kesatuan harta suami istri (Pasal 119
KUHPerdata); (4) Asas proporsionalitas, yaitu asas yang menyeimbangkan hak
dan kedudukan istri dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan
berkeluarga dan dalam hubungan sosial (Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan); (5) Asas tidak dapat dibagi, yaitu asas yang
menegaskan bahwa dalam setiap perwalian hanya ada satu wali.
3. Hak dan Kewajiban dalam Hukum Keluarga
Sebagai suatu hubungan hukum, perkawinan menimbulkan hak dan
kewajiban bagi kedua belah pihak. “Hak” berarti sesuatu yang menjadi milik atau
mungkin milik pasangan dan timbul dari perkawinan mereka. Sedangkan
“kewajiban” adalah apa yang harus dilakukan atau dilakukan pasangan untuk
menghormati hak pihak lain. Hak dan kewajiban dalam hukum keluarga dapat
dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: (a) hak dan kewajiban antara suami dan
istri; b) Hak dan kewajiban antara ayah, ibu dan anak; c) Hak dan kewajiban
antara anak dan orang tua ketika orang tua bertambah tua. Hak dan kewajiban
antara suami dan istri adalah hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan
perkawinan mereka. Hak dan kewajiban tersebut diatur dalam UU Perkawinan no.
1 sejak tahun 1974.
4. Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Secara historis, hukum keluarga Islam muncul dari pengakuan resmi
Peradilan Agama (PA) sebagai salah satu badan “peradilan” pelaksana negara
hukum, melalui Pasal 10 UU No. November 2007. 14 Tahun 1970. Selanjutnya
kedudukan, kewenangan atau yurisdiksi serta organisasinya diatur dan dijelaskan
dalam Undang-Undang No. Pada tanggal 7 Juli 1989, UU No. Maret 2006,
mempunyai kekuasaan mengadili perkara-perkara tertentu: (1) perkawinan, (2)
warisan, (3) wasiat, (4) hibah, (5) wakaf, (6) infaq, (7) sedekah, (8) zakat dan (9)
Ekonomi syariah, bagi warga muslim.
Kenyataannya, keberadaan peradilan agama belum dibarengi dengan
instrumen atau perjanjian hukum positif yang komprehensif dan seragam sebagai
7

acuannya. Meskipun hukum substantif yang menjadi kewenangan peradilan


agama telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.
September 1975, namun pada dasarnya permasalahan yang dikemukakan di
dalamnya hanyalah pokok-pokok saja. Akibatnya hakim yang seharusnya
berkonsultasi dengan hukum malah beralih pada doktrin ilmu fiqh. Oleh karena
itu, adanya perbedaan putusan hukum antar Pengadilan dalam suatu perkara yang
sama dapat dipahami karena adanya ungkapan different judge different sentence
“beda hakim, beda hukuman”.7 Berdasarkan kenyataan tersebut, pemerintah
kemudian berinisiatif untuk memberikan infrastruktur hukum yang unik kepada
Pengadilan Agama melalui jalan pintas berupa kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dalam teori sosiologi hukum, A. P. Craabree LLB berpendapat bahwa
“hukum menyelimuti tubuh masyarakat yang hidup”. Undang-undang mengatur
bahwa pakaian masyarakat harus mempunyai ukuran dan jahitan yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.8 Pada dasarnya hukum mengikuti kebutuhan
masyarakat dan mencerminkan kepentingan. Terkait dengan teori di atas, hukum
keluarga Islam yang banyak ditemukan dalam berbagai peraturan hukum, masih
banyak mempunyai kelemahan yang merupakan konsekuensi logis dari dinamika
kehidupan jika dikaji secara mendalam. Lebih jauh lagi, mengingat kebutuhan dan
kompleksitas permasalahan sosial saat ini, maka perlu dilakukan upaya untuk
memperbarui atau mereformasi permasalahan tersebut. Misalnya, menguatnya
gerakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan atau penghapusan undang-
undang yang bersifat seksis cenderung menempatkan perempuan pada posisi
subordinat, begitu pula dengan beberapa konflik dengan struktur dan model
budaya masyarakat.
Hal ini kemudian menyebabkan minimnya respon masyarakat dalam
menaati hukum keluarga yang ada. Oleh karena itu, menurut saya, reformasi
hukum melalui proses kontekstualisasi perlu dilakukan. Kontekstualisasi hukum
Islam, dalam arti undang-undang yang ada diubah dengan memperbaiki atau
menambahkan poin-poin tertentu untuk memenuhi kebutuhan pembangunan
sosial. Di sini yang perlu diperhatikan adalah isi teks, konteks teks, dan konteks
sosial Indonesia. Ketiga elemen tersebut harus menjadi landasan proses
kontekstualisasi agar budaya lokal dan realitas kebutuhan masyarakat tidak
tersingkir.
Harus ada asumsi bahwa penyatuan hukum Islam selalu diperlukan demi
kepentingan masyarakat. Dasar ushul fiqh yang digunakan adalah “ma laydraku
kulluhu laytraku kuluhu”. Jangan sampai kita membuang sesuatu, karena kita

7
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Logos, 1999), h. 17
8
Dadan Muttaqien, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
(Yogyakarta: UII Press.1999), h. 80
8

tidak bisa mencapai keseluruhan yang benar-benar sempurna. Kesempurnaan


mutlak hanya ada pada Allah.
Dalam dokumen sejarah Indonesia, persoalan reformasi hukum keluarga
sudah muncul jauh sebelum kemerdekaan. Pada Kongres Perempuan tahun 1928,
pertanyaan ini mengemuka karena banyak kasus yang menimpa perempuan dalam
kehidupan berumah tangga. Seperti perkawinan anak, kawin paksa, poligami,
perceraian sewenang-wenang dan pengabaian hak-hak perempuan, dan lain-lain.
Pada tahun 1937, pemerintah kolonial Belanda merancang undang-undang
perkawinan modern yang disebut Ordonansi Pencatatan Nikah. Langkah ini
diambil karena adanya tekanan kuat dari organisasi-organisasi perempuan yang
ada saat itu. Perintah pencatatan perkawinan ini berlaku bagi penduduk asli Asia,
Arab, dan non-Tionghoa di Indonesia. Hebatnya, ketetapan ini secara khusus
mengatur aturan monogami dan memberikan hak yang sama kepada perempuan
dan laki-laki untuk bercerai. Namun perintah ini hanya berlaku bagi mereka yang
memilih untuk mendaftarkan pernikahannya.
Pada tahun 1950, negara ini masih belum memiliki undang-undang
perkawinan yang mempertimbangkan seluruh kepentingan perbedaan agama dan
ras di Indonesia. Tata cara perkawinan monogami ditolak oleh pemerintah
Republik Indonesia. Sebelumnya, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan
undang-undang tahun 1946 yang mengatur pencatatan perkawinan, melarang
perkawinan anak dan perkawinan paksa, mewajibkan otoritas perkawinan untuk
memberitahukan hak-hak pasangan dan berusaha mencegah perceraian dengan
melihat permasalahan dari kedua sisi. pandangan para pihak. Namun sayangnya,
kenyataannya pernikahan anak dan usia dini masih sering terjadi. Mungkin karena
aturan tersebut hanya sekedar anjuran. Akibatnya, dorongan terhadap undang-
undang perkawinan yang menjamin persamaan hak bagi semua warga negara
terus berlanjut hingga Komisi Perkawinan dibentuk pada tahun 1950.
Komisi Perkawinan ini beranggotakan para ahli agama, terutama laki-laki
tentunya, serta tokoh perempuan dari berbagai latar belakang, khususnya Katolik
dan Islam. Dengan demikian, panitia berhasil menyusun undang-undang
perkawinan umum yang dapat digunakan oleh seluruh warga negara Indonesia.
Namun dalam rencananya, perkawinan didasarkan pada rasa suka sama kedua
pasangan, dan poligami diizinkan dengan persyaratan yang ketat serta hanya
dengan persetujuan agama si pasangan.
Hal menarik terjadi saat penyusunan RUU Perkawinan oleh Komisi
Perkawinan. Pemerintah saat itu melakukan pengumuman melalui Keputusan No.
Surat Keputusan Nomor 19 Tahun 1952 tentang Peraturan Pensiun Bagi “Janda”
Pegawai Negeri Sipil. Dalam keputusan tersebut, salah satu ketentuannya adalah
jika terjadi poligami, uang pensiunnya dibayarkan dua kali lipat dari yang
diterima “janda” seorang pekerja, dibagi rata kepada 4 orang istri lainnya.
9

Sedangkan PNS laki-laki yang melakukan poligami mendapat gaji tambahan.


Artinya poligami diperbolehkan bahkan didukung oleh negara dengan
menggunakan uang rakyat untuk membiayainya. Tentu saja keputusan ini menuai
protes dan protes dari berbagai lapisan gerakan perempuan yang memperjuangkan
hak-hak perempuan. Namun, saat ini tidak ada organisasi perempuan Muslim
yang terlibat karena kurangnya fleksibilitas dalam hubungan dengan beberapa
organisasi keagamaan yang dipimpin laki-laki.
Alhasil, upaya reformasi hukum keluarga terus dilakukan hingga tahun
1974. Dalam rapat dengar pendapat di DPR saat itu, beberapa tokoh meminta agar
segera diundangkan peraturan perundang-undangan perkawinan yang mengatur
hal-hal seperti: (1) Adanya merupakan kesepakatan antara calon pasangan untuk
mencegah kawin paksa; (2) Mengatur batas minimal usia perkawinan, dengan
memperhatikan pentingnya kebahagiaan keluarga dalam perkawinan; (3)
Pernikahan didasarkan pada monogami dengan pengecualian yang sangat ketat;
(4) Persamaan hak dalam mengajukan gugatan cerai antara suami dan istri; (5)
Pembagian harta bersama secara adil setelah perceraian.
Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, peraturan yang diinginkan
akhirnya ditetapkan melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun
hukum merupakan aturan normatif yang mengatur pola perilaku manusia. Aturan
ini juga tidak berkembang pada wanita selama kehidupan pernikahannya. Seperti
perkawinan anak, kawin paksa, poligami, perceraian sewenang-wenang dan
pengabaian hak-hak perempuan, dan lain-lain.
Pada tahun 1937, pemerintah kolonial Belanda merancang undang-undang
perkawinan modern yang disebut Ordonansi Pencatatan Nikah. Langkah ini
diambil karena adanya tekanan kuat dari organisasi-organisasi perempuan yang
ada saat itu. Perintah pencatatan perkawinan ini berlaku bagi penduduk asli Asia,
Arab, dan non-Tionghoa di Indonesia. Hebatnya, ketetapan ini secara khusus
mengatur aturan monogami dan memberikan hak yang sama kepada perempuan
dan laki-laki untuk bercerai. Namun perintah ini hanya berlaku bagi mereka yang
memilih untuk mendaftarkan pernikahannya.
Pada tahun 1950, negara ini masih belum memiliki undang-undang
perkawinan yang mempertimbangkan seluruh kepentingan perbedaan agama dan
ras di Indonesia. Tata cara perkawinan monogami ditolak oleh pemerintah
Republik Indonesia. Sebelumnya, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan
undang-undang tahun 1946 yang mengatur pencatatan perkawinan, melarang
perkawinan anak dan perkawinan paksa, mewajibkan otoritas perkawinan untuk
memberitahukan hak-hak pasangan dan berusaha mencegah perceraian dengan
melihat permasalahan dari kedua sisi. pandangan para pihak. Namun sayangnya,
kenyataannya pernikahan anak dan usia dini masih sering terjadi. Mungkin karena
aturan tersebut hanya sekedar anjuran. Akibatnya, dorongan terhadap undang-
10

undang perkawinan yang menjamin persamaan hak bagi semua warga negara
terus berlanjut hingga Komisi Perkawinan dibentuk pada tahun 1950.
Komisi Perkawinan ini beranggotakan para ahli agama, terutama laki-laki
tentunya, serta tokoh perempuan dari berbagai latar belakang, khususnya Katolik
dan Islam. Dengan demikian, panitia berhasil menyusun undang-undang
perkawinan umum yang dapat digunakan oleh seluruh warga negara Indonesia.
Namun menurut kepercayaan mereka, perkawinan didasari atas rasa saling
mencintai kedua belah pihak dan poligami diperbolehkan dengan syarat yang
ketat dan hanya dengan persetujuan agama pasangan. Hal menarik terjadi saat
penyusunan RUU Perkawinan oleh Komisi Perkawinan. Pemerintah saat itu
melakukan pengumuman melalui Keputusan No. Surat Keputusan Nomor 19
Tahun 1952 tentang Peraturan Pensiun Bagi “Janda” Pegawai Negeri Sipil. Dalam
keputusan tersebut, salah satu ketentuannya mengatur bahwa dalam hal poligami,
uang pensiun akan dibayarkan dua kali lipat dari jumlah yang diterima “janda”
seorang pekerja, dibagi rata kepada empat orang istri lainnya. Sedangkan PNS
laki-laki yang melakukan poligami mendapat gaji tambahan. Artinya poligami
diperbolehkan dan bahkan didukung oleh negara dengan menggunakan uang
rakyat untuk membayar biayanya. Tentu saja keputusan ini menuai protes dan
protes dari berbagai lapisan gerakan perempuan yang memperjuangkan hak-hak
perempuan. Namun, pada saat itu tidak ada organisasi perempuan Muslim yang
terlibat, karena kurangnya fleksibilitas dalam hubungan dengan beberapa
organisasi keagamaan yang dipimpin laki-laki.
Alhasil, upaya reformasi hukum keluarga terus berlanjut hingga tahun
1974. Dalam rapat dengar pendapat di DPR saat itu, beberapa tokoh meminta agar
segera disusun undang-undang yang mengatur mengenai perkawinan, yang akan
mengatur hal-hal seperti: (1 ) Adanya kesepakatan antar calon pasangan untuk
mencegah kawin paksa; (2) Mengatur batas minimal usia perkawinan, dengan
memperhatikan pentingnya kebahagiaan keluarga dalam perkawinan; (3)
Pernikahan didasarkan pada monogami dengan pengecualian yang sangat ketat;
(4) Persamaan hak dalam mengajukan gugatan cerai antara suami dan istri; (5)
Pembagian harta bersama secara adil setelah perceraian.
Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, peraturan yang diinginkan
akhirnya ditetapkan melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun
hukum merupakan aturan normatif yang mengatur pola perilaku manusia. Hukum
juga tidak berkembang secara alami, melainkan berasal dari rasa kebersamaan
yang memerlukan adanya aturan-aturan bersama. Oleh karena itu, hukum perlu
dikembangkan sedemikian rupa sehingga menyesuaikan dengan nilai-nilai yang
berkembang dalam masyarakat, termasuk nilai-nilai adat, tradisi, dan agama.
Inilah makna al-'âdat muhkamat dalam teori Islam atau adat istiadat suatu
masyarakat dapat diubah menjadi hukum.
11

Undang-undang tidak boleh menutup pintu bagi upaya reformasi, bagi


kebutuhan dan kepentingan semua orang. Lebih lanjut, hukum idealnya selalu
menghormati prinsip-prinsip dasar Islam dan nilai-nilai hak asasi manusia, seperti
keadilan, kebaikan (maslahah), pluralisme (al-ta'addudiy), demokrasi dan hak
asasi manusia, penguasaan (al-dimuqratiy) dan kesetaraan ( al musâwah).
khususnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, belakangan
ini muncul permintaan perubahan UU No. 1 tahun 1974 melibatkan pernikahan
kembali secara ekstensif. Tidak hanya di Indonesia, tuntutan serupa juga dihadapi
oleh banyak negara Muslim lainnya, karena hukum keluarga yang berlaku di
negara mereka masih dianggap seksis dan tidak memenuhi harapan masyarakat
akan keadilan.9
Tidak mengherankan jika upaya reformasi hukum keluarga selalu menjadi
isu kontroversial di negara-negara Muslim modern. Akibatnya, upaya reformasi
hukum keluarga terus mendapat perlawanan yang kuat, terutama dari kelompok
“otoritas agama”, karena perubahan hukum keluarga dianggap mengubah hakikat
hukum keluarga. Upaya reformasi hukum keluarga dapat dimaknai sebagai
“ketidaktaatan” terhadap hukum Islam.10 Akibatnya, tidak semua negara dengan
populasi Muslim telah melakukan reformasi hukum keluarga. Dengan demikian,
upaya reformasi hukum keluarga terus berlanjut hingga tahun 1974. Saat itu,
dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, sejumlah tokoh menuntut segera
disahkannya undang-undang yang mengatur perkawinan.
Dinamika reformasi hukum keluarga Islam di Indonesia Bagi negara-
negara Islam, reformasi hukum keluarga dipimpin oleh Turki pada tahun 1917
dengan hadirnya Undang-Undang Hak Keluarga Usmani atau Qanun Qarar al-
Huquq al -'A'ilah al-Utsmaniyah. Selanjutnya reformasi hukum keluarga di Turki
diikuti oleh beberapa negara lain seperti Lebanon (1919), Yordania (1951) dan
Suriah (1953). Faktanya, Türkiye adalah bagian dari negara-negara Muslim yang
telah secara radikal melakukan reformasi hukum keluarga dan menggantinya
dengan hukum perdata Eropa. Sementara negara-negara Muslim lainnya hanya
berusaha mensistematisasikan hukum keluarga tanpa menghilangkan landasan
dasarnya, yakni Al-Quran dan Hadits. Seperti yang dilakukan Mesir pada tahun
1920 dan 1929, Tunisia, Pakistan, Yordania, Suriah dan Irak.
Di Indonesia, meski tidak tergolong negara Islam namun berpenduduk
mayoritas beragama Islam, upaya reformasi hukum keluarga tidak lepas dari
munculnya para pemikir reformasi Islam, baik di dalam maupun luar negeri. Di
luar negeri yang dapat kita sebut antara lain Rifa'ah al-Tahtawi (1801-1874),

9
Bias Gender adalah kebijakan / program / kegiatan atau kondisi yang memihak atau merugikan
salah satu jenis kelamin.
10
Syariat Islam berisi hukum dan aturan, disamping itu syariat Islam juga berisi penyelesaian
masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam merupakan
panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.
12

Muhammad 'Abduh (1849-1905), Qasim Amin (1863-1908), dan Fazlur Rahman


(1919-1988). Sedangkan reformis Islam dalam negeri antara lain Mukti Ali,
Harun Nasution, Nurcholis Madjid, dan Munawir Syadzali. Sosok Munawir
Syadzali diketahui sangat menganjurkan umat Islam untuk melakukan ijtihad
dengan jujur dan berani, khususnya terkait hukum waris. Ide-idenya yang terkenal
terfokus pada perlunya perubahan undang-undang waris, terutama yang berkaitan
dengan pembagian yang lebih adil dan seimbang kepada perempuan (anak).
Memang jika dilihat dari tujuannya, reformasi hukum keluarga pada
umumnya bertujuan untuk “meningkatkan status” perempuan dalam segala aspek
kehidupan dan hukum keluarga, termasuk warisan. Meskipun tujuan tersebut tidak
disebutkan secara eksplisit, namun dokumen hukum yang dirumuskan adalah
bahwa peraturan perundang-undangan hukum keluarga yang dianut secara umum
memenuhi beberapa persyaratan untuk mendapatkan status dan kedudukan yang
lebih setara dan setara bagi perempuan. Hukum perkawinan, khususnya hukum
Mesir dan Indonesia, jelas-jelas mengejar tujuan tersebut.
Tujuan lain negara-negara Muslim dalam reformasi hukum keluarga
adalah untuk menyatukan hukum. Upaya kesatuan hukum ini dilakukan oleh
masyarakat yang menganut aliran pemikiran yang berbeda, bahkan berbeda
agama. Misalnya, di Tunisia, upaya untuk menyatukan undang-undang
perkawinan ditujukan untuk semua warga negara, apapun perbedaan agama
mereka. Selain tujuan tersebut, upaya reformasi hukum keluarga mempunyai
tujuan lain, yaitu untuk memenuhi kebutuhan zaman. Dimana kebutuhan zaman
dan dinamika pembangunan sosial merupakan akibat dari pengaruh global yang
mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia.
Terkait reformasi hukum keluarga, upayanya sering kali terfokus pada
persoalan status pribadi, yang masih diatur oleh hukum Islam yang berlaku di
banyak negara Muslim. Untuk memitigasi oposisi konservatif, reformasi ini
seringkali dilaksanakan secara tidak langsung melalui jalur prosedural. Misalnya,
undang-undang baru yang mewajibkan pencatatan pernikahan agar sah secara
hukum dan pasangan harus mencapai usia minimum tertentu merupakan upaya
untuk mencegah pernikahan dini dan pernikahan paksa. Berkaitan dengan
permasalahan di atas, muncullah gagasan untuk melakukan reformasi mujtahid.
tentang hukum khususnya dalam urusan muamalah yang berkaitan dengan
kepentingan umat, dalam hal ini juga perlu adanya cara-cara yang selalu tepat
dalam menegakkan hukum bagi para mujtahid.
Untuk memahami metode-metode reformasi hukum, terlebih dahulu kita
perlu menjelaskan sedikit tentang konsep reformasi hukum. Dalam literatur
hukum Islam kontemporer, kata “inovasi” digunakan secara bergantian dengan
kata reform, modernize, update, dan sebagainya. Di antara kata-kata tersebut, kata
yang paling banyak digunakan adalah kata reformasi. Reformasi berasal dari
13

bahasa Inggris “reformation” yang berarti membentuk atau menata ulang.


Reformasi artinya sama dengan inovasi, asal kata “baru” artinya memperbaiki
menjadi baru atau menggantinya dengan sesuatu yang baru, atau tindakan, cara
berinovasi, proses mengembangkan adat istiadat dan pola hidup baru.
Dari konsep reformasi di atas dapat dipahami bahwa reformasi hukum
Islam berarti suatu usaha atau tindakan melalui suatu proses tertentu yang
dilakukan dengan penuh kesungguhan oleh orang-orang yang mempunyai
kapasitas dan kompetensi yang memadai dalam pengembangan hukum Islam
(mujtahid). ) dengan berpedoman pada kaidah hukum istinbâth, dibenarkan
sedemikian rupa sehingga menjadikan hukum Islam lebih segar, modern dan tidak
ketinggalan jaman.
5. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pembaruan Hukum Keluarga
Menurut para ahli hukum Islam di Indonesia, kebangkitan hukum Islam
saat ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Kekosongan hukum yang
diperkirakan terjadi karena norma-norma dalam kitab fiqih tidak mengaturnya,
padahal terdapat kebutuhan mendesak akan undang-undang terkait. komunitas
untuk menyelesaikan permasalahan terkini; (2) Pengaruh globalisasi dan ilmu
pengetahuan dan teknologi memerlukan peraturan hukum untuk mengaturnya,
terutama permasalahan yang belum mempunyai peraturan hukum; (3) Dampak
reformasi di berbagai bidang memungkinkan hukum Islam dijadikan acuan dalam
proses pengembangan hukum nasional; (4) Pengaruh kebangkitan pemikiran
hukum Islam yang dilakukan oleh para mujtahid pada tingkat internasional dan
nasional.
Kebangkitan hukum Islam disebabkan adanya perubahan kondisi,
keadaan, tempat dan waktu yang diakibatkan oleh faktor-faktor tersebut di atas.
Perubahan ini sesuai dengan teori qaul qadim dan qaul Jadid yang dikemukakan
oleh Imam Syafi’i, yang menyatakan bahwa hukum juga dapat berubah karena
adanya perubahan dalil hukum yang berlaku pada peristiwa tertentu dalam
pelaksanaan maqâsyid syari’ah.
Memperhatikan uraian di atas, terlihat bahwa kebangkitan hukum keluarga
Islam telah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, melalui suatu proses
yang bersifat kondisional, sirkumstansial dan sesuai dengan tuntutan zaman.
Memang kaidah-kaidah yang terdapat dalam kitab fiqh sudah tidak mampu lagi
memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan yang baru muncul. Misalnya
dalam bidang hukum keluarga, seperti perkawinan yang dilakukan melalui
persetujuan telepon, pewarisan anak angkat melalui wasiat wajib, dan lain-lain.
Hal ini mendorong negara untuk mengaturnya dengan berbagai peraturan
perundang-undangan.
Ada dua cara pembaharuan hukum keluarga Islam, yaitu: Pertama, cara
konvensional. Dengan menerapkan cara konvensional, para ulama melakukan
14

ijtihad dengan mengacu pada ayat Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Para ahli menetapkan ada beberapa ciri atau ciri metode penentuan hukum Islam,
yaitu: (a) penggunaan pendekatan sedikit demi sedikit (komprehensif); b) Kurang
memperhatikan sejarah; (c) Terlalu menekankan kajian tekstual/harfiah; (d)
Metode fiqih nampaknya berbeda dengan metode tafsir; e) Pengaruh berlebihan
dari budaya dan tradisi lokal, dan dalam beberapa kasus meluasnya praktik sesat
dan kufarat, terutama yang berkaitan dengan ibadah; f) Masuknya faktor politik
atau mempengaruhi kepentingan pemerintah dalam menerapkan teori-teori fiqh.
Kedua, metode modern. Pada prinsipnya ada lima metode pembaharuan
yang digunakan untuk mengkodifikasikan hukum Islam kontemporer, yaitu: (a)
Takhayyur, yaitu pendapat para ulama fiqh manapun, termasuk juga ulama luar
madzhab, takhayyur pada dasarnya disebut tarjih; (b) Talfîq, yaitu
menggabungkan beberapa pendapat ulama (dua atau lebih) untuk menentukan
hukum suatu hal; c) Takhshish al-qadla, yaitu hak Negara untuk membatasi
kewenangan kehakiman dalam hal hukum pribadi, teritorial, yurisdiksi, dan
hukum acara yang telah ditetapkan; d) Siyasah syari'ah, yaitu kebijakan penguasa
dalam melaksanakan peraturan yang bermanfaat bagi umat dan tidak bertentangan
dengan syari'ah; (e) Reinterpretasi teks yaitu (reinterpretasi teks) atau
reinterpretasi teks (Alq ur'an dan sunnah Nabi Muhammad SAW).
Setidaknya ada dua pertimbangan mendasar yang perlu diperhatikan dalam
menggunakan metode di atas, yaitu: mashlahah murlahah dan konsep yang lebih
sesuai dengan kebutuhan dan perubahan zaman.
Sementara itu, landasan penafsiran ulang teks tersebut muncul dalam
empat bentuk, yaitu: (a) Beberapa negara menggunakan pendekatan tematik dan
sintetik, meskipun penggunaannya tidak terpadu dan memiliki sistem untuk semua
permasalahan; (b) Beberapa negara menggunakan dasar kesamaan (qiyas) yang
berarti mencari persamaan hukum antara perkara yang sudah ada ketentuan
hukumnya dalam dokumennya dengan perkara baru yang belum ada ketentuan
hukumnya; (c) Ada negara yang berdasarkan machlahah, artinya hukum
didasarkan pada kepentingan rakyat dan hukum tersebut tidak bertentangan
dengan syariah; (d) Beberapa negara mengandalkan pemahaman kontekstual
dalam penafsirannya.
Reformasi hukum Islam merupakan upaya untuk menyesuaikan
pemahaman dan penerapan ajaran Islam di bidang hukum dengan kemajuan
modern dengan tetap menjaga semangat ajaran Islam. Tujuan reformasi hukum
keluarga Islam secara umum juga dapat dikelompokkan sebagai berikut, yaitu: (1)
unifikasi hukum perkawinan; (2) Meningkatkan derajat perempuan; (3)
Memenuhi perkembangan dan tuntutan zaman; (4) Menjamin kepastian hukum
dalam permasalahan perkawinan; (5) Menjadi pedoman bagi para hakim.
15

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Pembaharuan hukum keluarga Islam dapat dilakukan apabila diperlukan


dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum syariah. Pembahasan hukum
keluarga yang menyimpang dari syariat adalah salah, meskipun memperdebatkan
kepentingan, keadilan, kesetaraan, atau istilah lainnya. Ada dua cara untuk
mereformasi hukum keluarga Islam, yaitu cara konvensional dan cara modern.
Tujuan reformasi hukum keluarga Islam yang dilakukan di Indonesia adalah
sebagai upaya untuk menjawab tantangan zaman modern di bidang hukum
keluarga, seiring dengan berkembangnya kearifan konvensional mengenai
berbagai ayat dalam Al-Quran, Hadits, dan kitab fiqih yang dianggap mustahil. .
dalam menanggapi tantangan. Masalah hukum keluarga muncul di zaman modern
ini.
16

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: P.T.
Raja Grafindo. 1997.
Ali, Mohammad Daud, “Hukum Keluarga dalam Masyarakat
Kontemporer, 1993.
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pengadilan Agama sebagai
Peradilan Keluarga dalam Masyarakat Modern, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan Pusat Ikatan Hakim Peradilan Agama (Jakarta, 1993) Bisri,
Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional. Jakarta: Logos. 1999.
Donohue, John. Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah.
Jakarta: Rajawali Press. 1995.
Mudzhar, M. Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam.
Jurnal Studi Islam. Volume ke-1 Nomor 1: 1999.
Muttaqien, Dadan. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia.Yogyakarta : UII Press. 1999.
Saeed, Abdullah. Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Baitul
Hikmah. 2014

Anda mungkin juga menyukai