MAKALAH
Oleh
PASCA SARJANA
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan Rahmat dan
dukungan dan doa dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini
telah membantu dan penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan............................................................................................. 16
B. Saran ..................................................................................................... 17
1
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum kewarisan Perdata Barat Pewarisan
Menurut Undang-Undang, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006, hal. 1
2
Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, Jakarta,
Prenada Media Group, 2018, hal. 3
3
Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jilid I,
Jakarta, Intermasi, 1986, hal. 65
1
2
4
Mirsa Astuti, Pengantar hukum adat Indonesia, Medan, Ratu Jaya, 2016, hal. 11
5
Ibid.
3
Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang
baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya”. Dengan demikian dalam Kompilasi Hukum Islam pun pengertian
ahli waris harus beragama Islam, artinya ahli waris non muslim tidak dipandang
sebagai ahli waris oleh Pewaris Muslim.Namun di Indonesia pembagian kepada
ahli waris non muslim dari pewaris muslim dapat diberikan wasiat wajibah seperti
yang diatur Pasal 209 tersebut.
Pembagian waris di Indonesia tidak diatur tersendiri atau terunifikasi, oleh
karenanya di Indonesia berlaku 3 sistem hukum. Bagi non mulim dapat
menggunakan ketentuan hukum adat dan hukum barat (KUHPerdata).
KUHPerdata merupakan ketentuan yang dibuat oleh pemerintah belanda, sehingga
tidak memasukan unsur agama dalam ketentuan tersebut.
Selain di Indonesia, Malaysia juga mengatur mengenai wasiat wajibah,
yang mana negara Malaysia sebagai penduduk mayoritas muslim dan menganut di
masyarakat melalui pengajaran berdasarkan mazhab syafi’I, sama seperti di
Indonesia, pengaturan tentang wasiat wajibahdi Malaysia diperuntukan hanya
untuk cucu yang tidak mendapatkan bagian harta waris karena terhijab.Malaysia
merupakan negara bagian, Negeri Selangor merupakan salah satu Negara bagian
di Malaysia yang pertama mewujudkan Undang-Undang Pentadbiran Hukum
Syara’ di Malaysia.Undang-undang yang diwujudkan adalah Enakmen Wasiat
Orang Islam.Undang-undang ini dirumuskan oleh pemerintah melaluo Jabatan
Kehakiman Syariah Negeri Selangor (JAKESS), dan selanjutnya diajukan dalam
rapat parlemen untuk dibahas bersama wakil rakyat tersebut.Setelah disahkan dan
mendapat persetujuan dari Raja, barulah diundangkan dan diberlakukan.Enakmen
Wasiat Orang Islam Negeri Selangor No 4 Tahun 1999 diundangkan pada 30
September 1999, dan mulai diberlakukan sejak 1 Juli 2004.
Enakmen Wasiat Orang Islam Selangor memang merupakan negara
pertama yang mewujudkan pengaturan wasiat untuk orang Islam tetapi masih ada
Negara bagian lainnya yang mengatur seperti Negeri Melaka diatur dalam
Enakmen Wasiat Orang IslamNomor 4 Tahun 2004 dan Negeri Sembilan diatur
dalam Enakmen Wasiat Orang Islam Nomor 5 Tahun 2005. Hingga kini hanya
4
Negeri Selangor (1999), Negeri Sembilan (2004) dan Melaka (2005) saja yang
telah membuat undang-undang khusus mengenai wasiat orang Islam (Al-Haq.,et
al,2016). Undangundang untuk masyarakat non muslim diatur dalam Distribution
Act 1958 jo. Amendment Act 1997.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka disusun sebuah makalah dengan
maksud untuk membandingan pembagian waris yang belaku di Indonesia dan
yang berlaku di Malaysia. Adapun judul makalah tersebut adalah: “Perbandingan
Hukum Pembagian Waris Indonesia Dengan Malasya Dalam Perspektif
Hukum Perdata Internasional”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan HPI dalam tata hukum nasional?
2. Bagaimana Hukum Waris di Indonesia dalam perspektif Undang-Undang
No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan?
3. Bagaimana perbandingan hukum pembagian waris Indonesia dengan
Malasya dalam Perspektif Hukum Perdata Internasional?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan HPI Dalam Tata Hukum Nasional
Hukum Perdata Internasional pada umumnya dipahami dalam konteks
Hukum Nasional Indonesia yang berhubungan dengan yurisdiksi dan/atau subjek
hukum lintas negara, sehingga biasa disebut sebagai “Hukum Perdata
Internasional Indonesia”. Karena itu, cara pandang para sarjana hukum dalam
memahami pengertian Hukum Perdata Internasional atau International Private
Law cenderung sangat ‘domestic oriented’, yaitu sebagai Hukum Perdata
Internasional Indonesia, yang tentu saja tidak salah, melainkan mengandung
kemuliaan yang tersendiri sebagai sikap kebangsaan. Hanya saja, kadang-kadang
terasa bahwa kandungan maknanya menjadi terbatas, dan bahkan dalam praktik di
dunia pun memang terdapat juga ragam pengertian Hukum Perdata Internasional
(HPI), mulai dari pengertian yang paling sempit sampai ke yang paling luas.
Menurut Profesor Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional itu
dapat dibedakan dalam 4 lingkup pengertian, yaitu6:
1. Dalam pengertian yang paling sempit, hukum perdata internasional itu
hanya dikaitkan dengan “conflict of laws” antara hukum perdata nasional
dengan hukum perdata negara lain, seperti diterapkan di Belanda dan
beberapa negara ‘civil law’ lainnya. “Conflict of laws” atau perselisihan
hukum, yang Sudargo Gautama sendiri lebih condong pada istilah "choice
of law" atau pilihan hukum, karena sebenarnya yang utama bukanlah soal
perselisihan hukumnya, melainkan soal penentuan pilihan mengenai
sistem hukum mana yang sebaiknya diberlakukan dalam suatu peristiwa
hukum.
2. Dalam pengertian yang lebih luas, Hukum Perdata Internasional Indonesia
tidak hanya dilihat sebagai konflik antar norma hukum (conflict of laws),
melainkan juga dengan persoalan “conflict of jurisdiction”, seperti di
Amerika Serikat dan pelbagai negara Anglo-Saxon lainnya. Namun,
6
Sudargo Gautama, “Apa Saja Yang Termasuk Hukum Perdata Internasional”, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, FHUI, Jakarta, 1977, hal. 75-82.
5
6
pandangan kedua ini melihat hubungan antar tata hukum secara positif,
sehingga yang lebih ditekankan bukanlah “conflict of laws”, melainkan
“choice of laws”; bukan “conflict of jurisdiction”, tetapi “choice of
jurisdiction”. Yang dituju dalam Hukum Perdata Internasional, bukan
konfliknya tetapi pilihan hukum dan pilihan yurisdiksinya yang justru
merupakan bagian yang esensial dalam Hukum Perdata International.
3. Hukum Perdata Internasional dalam pengertian yang mencakup tiga
bagian, yaitu (i) ‘conflict of laws’, (ii) ‘conflict of jurisdiction’, dan (iii)
kondisi atau status orang asing atau (condition des etrangers) dalam
hubungannya dengan Subjek Hukum Internasional, seperti yang
diterapkan di Italia, Spanyol, dan negara-negara di Amerika Selatan.
Artinya, segala masalah·masalah yang berkenaan dengan bidang hukum
orang asing, apakah orang asing dapat bekerja di negara yang
bersangkutan dengan leluasa, apakah mereka dapat menikah dan bercerai
dengan bebas tanpa pembatasan, apakah ia dapat menanam modal dengan
bebas, apakah ada restriksi-restriksi tertentu berkenaan dengan masalah-
masalah tanah, apakah ada restriksi tertentu berkenaan dengan
perdagangan, industri, pertambangan, dan sebagainya, semua ini termasuk
bidang Hukum Perdata Internasional.
4. Hukum Perdata Internasional yang paling luas adalah seperti yang
diterapkan di Perancis, yaitu di samping ketiga bidang sebagaimana
pengertian ketiga di atas, juga memuat pelbagai materi yang berkaitan
dengan status kewarganegaraan. Oleh Sudargo Gautama dan banyak
sarjana hukum Indonesia lainnya, pengertian paling luas inilah yang dinilai
paling cocok untuk Indonesia. Karena itu dalam buku-buku Hukum
Perdata Internasional di Indonesia, di samping kedudukan orang asing di
Indonesia, juga dibahas mendalam mengenai segala permasalahan yang
menyangkut kewarganegaraan Indonesia orang Indonesia sendiri, seperti
tatacara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan, dan lain-lain
sebagainya.
7
adanya dalam lalu lintas hukum antar negara, tetapi tidak mengikat dalam lalu
lintas di dalam negeri atau dalam hukum nasional.
Namun praktik-praktik hukum internasional dewasa ini maupun konvensi-
konvensi internasional dan perjanjian-perjanjian organisasi-organisasi multilateral
semakin banyak dan kuat pengaruh dan daya paksanya. Praktik-praktik tidak
tertulis, serta konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian yang bersifat tertulis
itu, bukan saja mengatur norma di bidang hukum publik, tetapi juga di bidang
hukum privat atau perdata, terutama hukum bisnis, dan juga hukum perdata
lainnya, seperti hukum kekeluargaan, dan lain sebagainya.
Puncak dari upaya penegakan hukum perdata dan terutama hukum bisnis
internasional pada umumnya mengidealkan penyelesaian melalui langkah-langkah
hukum di luar negara pihak subjek yang berperkara melalui arbitrase
internasional, bukan melalui melalui sistem peradilan nasional. Karena itu
mekanisme hukum perdata internasional, seperti halnya hukum internasional
publik, juga berkembang semakin kuat dewasa ini. Lebih rumit lagi, karena
dominasi dan hegemoni pengaruh negara-negara persemakmuran yang menganut
tradisi ‘common law’ juga berkembang sangat kuat di bidang ekonomi dan dunia
usaha yang dimitori oleh Amerika Serikat, sehingga praktik-praktik penyelesaian
sengketa bisnis internasional di Indonesia sebagai negara dengan tradisi ‘civil law’
banyak yang harus diselesaikan melalui peradilan arbitrase Singapore, Hongkong,
Sydney, London, atau New York, yang kesemuanya merupakan negara-negara
‘common law’. Hal ini tentu harus mulai dipertimbangkan oleh Indonesia dalam
jangka panjang juga mengembangkan tradisi hukum baru yang dapat beradaptasi
dengan perkembangan kebutuhan dalam pergaulan bisnis internasional. Di
kawasan Asia Tenggara sendiripun yang perekonomiannya mulai berkembang
semakin terintegrasi, Indonesia juga dikepung oleh negara-negara yang memiliki
tradisi “common law” atas pengaruh Inggeris dan Amerika Serikat, yaitu
Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Australia, dan bahkan PNG.
Apalagi lagi kegiatan bisnis dan perekonomian di dunia pada umumnya
dewasa ini terus tumbuh dan berkembang dengan bebas dan tidak terhindarkan
melintasi semua sekat dan batas-batas antar negara. Ekonomi dan indutri terus
9
diratifikasi, tetapi ada pula yang belum, dan bahkan ada pula konvensi yang
Indonesia sendiri belum menjadi anggota. Dokumen-dokumen dimaksud meliputi
tetapi tidak terbatas pada:
1) General Principles of Private International Law;
2) Convention on Conflict of Laws related to the Form of Testamentary
Dispositions, 1961;
3) Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction”, 25
October, 1980;
4) The Hague Convention on the Service Abroad of Judicial and
Extrajudicial Documents in Civil or Commercial Matters, (The Hague
Service Convention, 15 November 1965);
5) The Hague Convention on the Taking of Evidence Abroad in Civil and
Commercial Matters, (The Hague Evidence Convention, 18 March 1970);
6) Abolishing the Requirement of Legalization for Foreign Public
Documents;
7) Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Judgement, 2
July 2019;
8) Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Awards (New York Convention);
9) Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and
Nationals of other States 1965;
10) Convention on Establishing the Multilateral Investment Guarantee
Agency, 1986;
11) Convention on the Law Applicable to Surnames and Given Names, 1980;
12) The Hague Convention on Matrimonial Property, 1978;
13) Convention on Celebration and Recognition of the Validity of Marriage,
1978;
14) The Hague Convention on Protection of Children and Co-operation in
Respect of Intercountry Adoption, May 29, 1993;
11
7
Drajen Saragih, dkk, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba,
Karo dan UU Tentang Perwakinan (UU No. 1 Th. 1974), Bandung, Tarsito, 1980, hal. 9
13
wasiat). Hukum waris yang kedua disebut Hukum Waris Wasiat atau
testamentair erfrecht.
2. Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu / Erfgenaam
Menurut Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, anak yang
ada dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana
keperluan si anak menghendaki. Jadi, dengan demikian seorang anak
yang ada dalam kandungan, walaupun belum lahir dapat mewarisi
karena dalam pasal ini hukum membuat fiksi seakan ± akan anak
sudah dilahirkan.
3. Harta Waris
Hal-hal yang dapat diwarisi dari si pewaris, pada prinsipnya yang
dapat diwarisi hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan harta
kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut berupa, Aktiva (sejumlah benda
yang nyata ada dan atau berupa tagihan atau piutang kepada pihak
ketiga, selain itu juga dapat berupa hak imateriil, seperti hak cipta);
Passiva (sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak
ketiga maupun kewajiban lainnya). Dengan demikian, hak dan
kewajiban yang timbul dari hukum keluarga tidak dapat diwariskan.
Apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka ketentuan hukum
material berkaitan dengan harta kekayaan diatur berdasarkan hukum suami, yaitu
UU Perkawinan. Namun harta benda perkawinan campuran ini apabila tidak
dilakukan perjanjian perkawinan yang menyangkut harta perkawinan maka
berkenaan dengan harta perkawinan ini akan tunduk pada Pasal 35.
Selanjutnya mengenai harta bersama ini dapat dikelola bersama-sama
suami dan isteri,namun dalam setiap perbuatan hukum yang menyangkut harta
bersama harus ada persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1)). Sedangkan
dalam hal harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya Pasal
36 ayat (2)).8
8
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta, Liberty, 1981, hal. 166
14
9
Rehngena Purba, Sikap Mahkamah Agung Terhadap Kedudukan duda dan Janda dalam
Hukum Adat, Jakarta, Kanun, 2000, hal. 60
10
Sabam Huldrick Wesley Sianipar, Sistem Bermasyarakat Bangsa Batak, Medan, CV.
Pustaka Gama, 1991, hal. 81
15
berlaku Kompilasi hukum Islam, bersumber pada Al-Quran dan Hadits. Sama
seperti di Indonesia, Malaysia pengaturan pembagian waris muslim menggunakan
Al-Quran, Hadits, dan Ijma.
Pembagian waris untuk non muslim dari pewaris muslim di Indonesia
tidak diatur, karena dalam Al-Quran, Hadits dan Kompilasi Hukum Islam tidak
mengatur bagian waris ahli waris non muslim. Namun di Indonesia pemberian
kepada ahli waris non muslim merujuk pada yurisprudensi Mahkamah Agung
nomor 368.K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dimana ahli waris non muslim
diberikan wasiat wajibah. Peraturan di Malaysia atas Pembagian waris untuk non
muslim dari ahli waris muslim tidak diatur secara tertulis, karena Malaysia
menggunakan Al-Quran, Hadits, dan Ijma dalam pembagian waris. Namun
terdapat dalam kasus yang diangkat, MAIM memberikan sumbangan kepada
keluarga non muslim sebagai bentuk empati terhadap keluarga pewaris.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Hukum Perdata Internasional pada umumnya dipahami dalam konteks
Hukum Nasional Indonesia yang berhubungan dengan yurisdiksi dan/atau
subjek hukum lintas negara, sehingga biasa disebut sebagai “Hukum
Perdata Internasional Indonesia”. Karena itu, cara pandang para sarjana
hukum dalam memahami pengertian Hukum Perdata Internasional atau
International Private Law cenderung sangat ‘domestic oriented’, yaitu
sebagai Hukum Perdata Internasional Indonesia, yang tentu saja tidak
salah, melainkan mengandung kemuliaan yang tersendiri sebagai sikap
kebangsaan. Hanya saja, kadang-kadang terasa bahwa kandungan
maknanya menjadi terbatas, dan bahkan dalam praktik di dunia pun
memang terdapat juga ragam pengertian Hukum Perdata Internasional
(HPI), mulai dari pengertian yang paling sempit sampai ke yang paling
luas.
2. Waris di Indonesia dalam perspektif Undang-Undang No.12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan berkaitan dengan masalah harta perkawinan
campuran yang mana apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka
tidak ada permasalahan, karena diatur berdasarkan hukum suami yaitu
UU Perkawinan. Sedangkan apabila isteri yang berkebangsaan Indonesia
dan suami berkebangsaan asing maka dapat menganut ketentuan Pasal 2
dan Pasal 6 ayat (1) GHR, yaitu diberlakukan hukum pihak suami.
Namun karena GHR tersebut adalah pengaturan produk zaman Belanda,
sebaiknya masalah ini diatur dalam Hukum Nasional, yang disesuaikan
dengan perkembangan zaman. Di Indonesia sampai saat ini masih bersifat
plural, disamping berlakunya hukum waris adat yang beraneka ragam
sistemnya dan juga berlaku waris yang diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata serta hukum waris Islam.
3. Meskipun Indonesia dan Malaysia memiliki sisitem hukum yang berbeda,
Indonesia dengan civil law dan Malaysia dengan sistem hukum common
16
17
law, terdapat kesamaan dalam hal pengaturan dan penyelesain kasus ahli
waris non muslim ini, yakni; Indonesia pengaturan pembagian waris non
muslim berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sedangkan di
Malaysia berlaku jika pewaris tidak meninggalkan wasiat maka berlaku
Distribution Act 1958 jo. Amendment Act 1997.Pada pengaturan
pembagian waris muslim di Indonesia berlaku Kompilasi hukum Islam,
bersumber pada Al-Quran dan Hadits. Sama seperti di Indonesia,
Malaysia pengaturan pembagian waris muslim menggunakan Al-Quran,
Hadits, dan Ijma.
B. Saran
1. Bagi pasangan yang akan melakukan perkawinan beda warganegara agar
mencari informasi yang jelas dalam mempersiapkan dokumen yang
dibutuhkan dalam melangsungkan perkawinan nantinya
2. Indonesia sebaiknya segera membuat Hukum Waris nasional dimana
berlaku untuk semua warga negara Indonesia tanpa memperdulikan
agama, suku, atau golongan penduduknya.
3. Keadilan sangat diperlukan karena penulis merasa kurang setuju dengan
beberapa Hukum Waris adat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ahmad, M. Rasyid. 1998. Hukum Waris Adat dalam Yurisprudensi, Jakarta,
Ghalia Indonesia
Astuti, Mirsa. 2016. Pengantar hukum adat Indonesia, Medan, Ratu Jaya
Pitlo. 1986. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Belanda, Jilid I, Jakarta, Intermasi
Poerwadarninta, J.S. 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka
Poespasari, Ellyne Dwi. 2018. Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di
Indonesia, Jakarta, Prenada Media Group
Prodjodikoro, Wirjono. 1998. Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, Bale
Bandung
Purba, Rehngena. 2000. Sikap Mahkamah Agung Terhadap Kedudukan duda dan
Janda dalam Hukum Adat, Jakarta, Kanun
Raharjo, Soejipto. 1979. Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni
Jayus, Jaja Ahmad. 2019. “Eksistensi Pewarisan Hukum Adat Batak: Kajian
Putusan Nomor 1/PDT.G/2015/PN.Blg dan Nomor 439/PDT/2015/PT-
Mdn”, Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2
Nadapdap, Buana. 2019. “Pembagian Warisan Masyarakat Batak Toba (Studi
Kasus Masyarakat Batak Toba di Kota Pekanbaru)”, Jurnal Jom Fisip Vol.
6: Edisi II
18
19
Rouli, L. 2012. “Kedudukan Anak Perempuan dalam Hukum Waris Adat Pada
Masyarakat Batak”, Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam: Vol. 1 No. 1, hal.
231