Anda di halaman 1dari 22

PERBANDINGAN HUKUM PEMBAGIAN WARIS INDONESIA DENGAN

MALASYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

MAKALAH

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Perkuliahan


Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh

NABILA APRILIA NASUTION


NIM: 217005032

PASCA SARJANA
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan Rahmat dan

Karunia-Nya, sehingga penulis dapat merampungkan makalah dengan judul

“Perbandingan Hukum Pembagian Waris Indonesia Dengan Malasya Dalam

Perspektif Hukum Perdata Internasional” untuk memenuhi salah satu syarat

perkuliahan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Penulisan makalah ini telah banyak mendapatkan bimbingan, bantuan,

dukungan dan doa dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima

kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang

telah membantu dan penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi

kita semua dan menjadi bahan masukan dalam dunia pendidikan.

Medan, November 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Kedudukan HPI Dalam Tata Hukum Nasional....................................


............................................................................................................5
B. Hukum Waris di Indonesia dalam perspektif Undang-Undang No.12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan................................................
..........................................................................................................12
C. Perbandingan Hukum Pembagian Waris Indonesia dengan Malasya
dalam Perspektif Hukum Perdata Internasional...................................
..........................................................................................................14

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan............................................................................................. 16

B. Saran ..................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 18


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum waris di Indonesia merupakan suatu hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan sebagian kecil dari hukum kekeluargaan. hukum
waris terkait erat dengan ruang lingkup kehidupan manusia, karena setiap manusia
pasti akan mengalami peristiwa hukum yaitu adanya kematian, sehingga akan
menimbulkan akibat hukum dari peristiwa kematian seseorang, diantaranya adalah
masalah Bagaimana kelanjutan hak dan kewajiban seseorang yang meninggal
dunia bagaimana penyelesaian hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya
seseorang tersebut diatur oleh hukum waris.1
Hukum waris di Indonesia terbagi menjadi 3 yaitu; Hukum waris Islam,
hukum waris barat, dan hukum waris adat.Yang membedakan antara ketiga
hukum tersebut adalah hukum waris Islam atau disebut dengan ilmu fara’idh. Di
dalam ilmu tersebut, segala hal berkaitan dengan pewarisan telah diatur secara
lengkap termasuk juga cara menghitungnya,sementara hukum waris adat adalah
tata cara pembagian warisan menurut hukum adat yang berlaku. Selanjutnya,
hukum waris barat menganut sistem pembagian waris berdasarkan individual dan
berlaku bagi setiap individual penganut agama selain muslim.2
Hukum waris Islam merupakan ekspresi penting hukum keluarga Islam, ia
merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan
Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris islam berarti
mengkaji separu pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan terus hidup di
tengah-tengah masyarakat muslim sejak masa awal Islam hingga abad
pertengahan, zaman modern dan kontemporer serta di masa yang akan datang.3
Instruksi Presiden no. 1 Tahun 1991 yakni Kompilasi Hukum Islam untuk
mengatur masalah keperdataan Islam atau hukum keluarga di Indonesia disamping

1
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum kewarisan Perdata Barat Pewarisan
Menurut Undang-Undang, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006, hal. 1
2
Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, Jakarta,
Prenada Media Group, 2018, hal. 3
3
Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jilid I,
Jakarta, Intermasi, 1986, hal. 65

1
2

Undang-undang nomor1 tahun 1974 sebagai Undang-undang nasionalnya.


Walaupun demikian perlu diingatkan bahwa Indonesia bukanlah negara Islam
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang dasar
tahun 1945 amandemen ketiga bahwa Indonesia adalah negara republik dan
negara hukum.
Konflik waris sudah menjadi keniscayaan bahkan Rasullah dalam hadits
menyebutkan pentingnya mempelajari hukum waris.Konflik hukum waris tidak
dapat tehindarkan manakala ketamakan dan keserakahan telah membelenggu pada
diri manusia itu sendiri dimanapun ia berada. Khusus di negara yang mayoritas
beragama Islam seperti Indonesia maupun Malaysia masalah tersebut tidak luput,
kendati Al-Quran, hadits, bahkan ijtihad mengenai waris sudah diatur sedemikian
rinci.
Pada umumnya dan keseluruhan, hukum kewarisan di dalam KHI tampak
sesuai dengan hukum faraid yang termaktub dalam Al-Quran dan Hadits. Namun,
tidak semua isi KHI memuat hukum Islam apa adanya dan kuranglah tepat bila
dikatakan isinya melulu hukum Islam. Paling tidak yang terkait dengan ihwal
batasan ahli waris penggani disampoing harta Bersama/harta gono-gini dan
terutama kewarisan anak angkat. 4
Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf h mejelaskan mengenai
pengertian anak angkat serta beralihnya tanggung jawab orang tua asal kepada
orang tua angkatnya yang berdasarkan putusan Pengadilan.Perlu diketahui untuk
bagian anak angkat yang tidak mendapatkan wasiat berdasarkan KHI Pasal 209
diberi wasiat wajibah, tidak lebih dari 1/3.Wasiat ialah suatu pelepasan terhadap
harta peninggalan yang dilaksanakan sesudah meninggal dunia seseorang.Menurut
asal hukum, wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan dalam keadaan
apapun. Karenanya, tidak ada dalam syariat Islam suatu wasiatyang wajib
dilakukan dengan jalan putusan hakim.5
Berdasarkan Pasal 172 Kompilasi Hukum Islam mengenai pengertian ahli
waris; “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu

4
Mirsa Astuti, Pengantar hukum adat Indonesia, Medan, Ratu Jaya, 2016, hal. 11
5
Ibid.
3

Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang
baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya”. Dengan demikian dalam Kompilasi Hukum Islam pun pengertian
ahli waris harus beragama Islam, artinya ahli waris non muslim tidak dipandang
sebagai ahli waris oleh Pewaris Muslim.Namun di Indonesia pembagian kepada
ahli waris non muslim dari pewaris muslim dapat diberikan wasiat wajibah seperti
yang diatur Pasal 209 tersebut.
Pembagian waris di Indonesia tidak diatur tersendiri atau terunifikasi, oleh
karenanya di Indonesia berlaku 3 sistem hukum. Bagi non mulim dapat
menggunakan ketentuan hukum adat dan hukum barat (KUHPerdata).
KUHPerdata merupakan ketentuan yang dibuat oleh pemerintah belanda, sehingga
tidak memasukan unsur agama dalam ketentuan tersebut.
Selain di Indonesia, Malaysia juga mengatur mengenai wasiat wajibah,
yang mana negara Malaysia sebagai penduduk mayoritas muslim dan menganut di
masyarakat melalui pengajaran berdasarkan mazhab syafi’I, sama seperti di
Indonesia, pengaturan tentang wasiat wajibahdi Malaysia diperuntukan hanya
untuk cucu yang tidak mendapatkan bagian harta waris karena terhijab.Malaysia
merupakan negara bagian, Negeri Selangor merupakan salah satu Negara bagian
di Malaysia yang pertama mewujudkan Undang-Undang Pentadbiran Hukum
Syara’ di Malaysia.Undang-undang yang diwujudkan adalah Enakmen Wasiat
Orang Islam.Undang-undang ini dirumuskan oleh pemerintah melaluo Jabatan
Kehakiman Syariah Negeri Selangor (JAKESS), dan selanjutnya diajukan dalam
rapat parlemen untuk dibahas bersama wakil rakyat tersebut.Setelah disahkan dan
mendapat persetujuan dari Raja, barulah diundangkan dan diberlakukan.Enakmen
Wasiat Orang Islam Negeri Selangor No 4 Tahun 1999 diundangkan pada 30
September 1999, dan mulai diberlakukan sejak 1 Juli 2004.
Enakmen Wasiat Orang Islam Selangor memang merupakan negara
pertama yang mewujudkan pengaturan wasiat untuk orang Islam tetapi masih ada
Negara bagian lainnya yang mengatur seperti Negeri Melaka diatur dalam
Enakmen Wasiat Orang IslamNomor 4 Tahun 2004 dan Negeri Sembilan diatur
dalam Enakmen Wasiat Orang Islam Nomor 5 Tahun 2005. Hingga kini hanya
4

Negeri Selangor (1999), Negeri Sembilan (2004) dan Melaka (2005) saja yang
telah membuat undang-undang khusus mengenai wasiat orang Islam (Al-Haq.,et
al,2016). Undangundang untuk masyarakat non muslim diatur dalam Distribution
Act 1958 jo. Amendment Act 1997.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka disusun sebuah makalah dengan
maksud untuk membandingan pembagian waris yang belaku di Indonesia dan
yang berlaku di Malaysia. Adapun judul makalah tersebut adalah: “Perbandingan
Hukum Pembagian Waris Indonesia Dengan Malasya Dalam Perspektif
Hukum Perdata Internasional”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan HPI dalam tata hukum nasional?
2. Bagaimana Hukum Waris di Indonesia dalam perspektif Undang-Undang
No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan?
3. Bagaimana perbandingan hukum pembagian waris Indonesia dengan
Malasya dalam Perspektif Hukum Perdata Internasional?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan HPI Dalam Tata Hukum Nasional
Hukum Perdata Internasional pada umumnya dipahami dalam konteks
Hukum Nasional Indonesia yang berhubungan dengan yurisdiksi dan/atau subjek
hukum lintas negara, sehingga biasa disebut sebagai “Hukum Perdata
Internasional Indonesia”. Karena itu, cara pandang para sarjana hukum dalam
memahami pengertian Hukum Perdata Internasional atau International Private
Law cenderung sangat ‘domestic oriented’, yaitu sebagai Hukum Perdata
Internasional Indonesia, yang tentu saja tidak salah, melainkan mengandung
kemuliaan yang tersendiri sebagai sikap kebangsaan. Hanya saja, kadang-kadang
terasa bahwa kandungan maknanya menjadi terbatas, dan bahkan dalam praktik di
dunia pun memang terdapat juga ragam pengertian Hukum Perdata Internasional
(HPI), mulai dari pengertian yang paling sempit sampai ke yang paling luas.
Menurut Profesor Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional itu
dapat dibedakan dalam 4 lingkup pengertian, yaitu6:
1. Dalam pengertian yang paling sempit, hukum perdata internasional itu
hanya dikaitkan dengan “conflict of laws” antara hukum perdata nasional
dengan hukum perdata negara lain, seperti diterapkan di Belanda dan
beberapa negara ‘civil law’ lainnya. “Conflict of laws” atau perselisihan
hukum, yang Sudargo Gautama sendiri lebih condong pada istilah "choice
of law" atau pilihan hukum, karena sebenarnya yang utama bukanlah soal
perselisihan hukumnya, melainkan soal penentuan pilihan mengenai
sistem hukum mana yang sebaiknya diberlakukan dalam suatu peristiwa
hukum.
2. Dalam pengertian yang lebih luas, Hukum Perdata Internasional Indonesia
tidak hanya dilihat sebagai konflik antar norma hukum (conflict of laws),
melainkan juga dengan persoalan “conflict of jurisdiction”, seperti di
Amerika Serikat dan pelbagai negara Anglo-Saxon lainnya. Namun,

6
Sudargo Gautama, “Apa Saja Yang Termasuk Hukum Perdata Internasional”, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, FHUI, Jakarta, 1977, hal. 75-82.

5
6

pandangan kedua ini melihat hubungan antar tata hukum secara positif,
sehingga yang lebih ditekankan bukanlah “conflict of laws”, melainkan
“choice of laws”; bukan “conflict of jurisdiction”, tetapi “choice of
jurisdiction”. Yang dituju dalam Hukum Perdata Internasional, bukan
konfliknya tetapi pilihan hukum dan pilihan yurisdiksinya yang justru
merupakan bagian yang esensial dalam Hukum Perdata International.
3. Hukum Perdata Internasional dalam pengertian yang mencakup tiga
bagian, yaitu (i) ‘conflict of laws’, (ii) ‘conflict of jurisdiction’, dan (iii)
kondisi atau status orang asing atau (condition des etrangers) dalam
hubungannya dengan Subjek Hukum Internasional, seperti yang
diterapkan di Italia, Spanyol, dan negara-negara di Amerika Selatan.
Artinya, segala masalah·masalah yang berkenaan dengan bidang hukum
orang asing, apakah orang asing dapat bekerja di negara yang
bersangkutan dengan leluasa, apakah mereka dapat menikah dan bercerai
dengan bebas tanpa pembatasan, apakah ia dapat menanam modal dengan
bebas, apakah ada restriksi-restriksi tertentu berkenaan dengan masalah-
masalah tanah, apakah ada restriksi tertentu berkenaan dengan
perdagangan, industri, pertambangan, dan sebagainya, semua ini termasuk
bidang Hukum Perdata Internasional.
4. Hukum Perdata Internasional yang paling luas adalah seperti yang
diterapkan di Perancis, yaitu di samping ketiga bidang sebagaimana
pengertian ketiga di atas, juga memuat pelbagai materi yang berkaitan
dengan status kewarganegaraan. Oleh Sudargo Gautama dan banyak
sarjana hukum Indonesia lainnya, pengertian paling luas inilah yang dinilai
paling cocok untuk Indonesia. Karena itu dalam buku-buku Hukum
Perdata Internasional di Indonesia, di samping kedudukan orang asing di
Indonesia, juga dibahas mendalam mengenai segala permasalahan yang
menyangkut kewarganegaraan Indonesia orang Indonesia sendiri, seperti
tatacara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan, dan lain-lain
sebagainya.
7

Pengertian Hukum Perdata Internasional (International private law atau


private international law) ini, dapat pula disederhanakan dengan rumusan
pengertian kelima sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara
subjek hukum, baik orang atau badan hukum (judicial person), yang mempunyai
status kewarganegaraan atau terdaftar sebagai badan hukum di negara yang
berbeda. Lingkup materi bahasan HPI berkisar mengenai pilihan hukum (choice
of law), pilihan yurisdiksi (jurisdiction), masalah kewarganegaraan (nationality
and citizenship), dan daya ikat putusan peradilan asing (foreign judgments) dalam
lalu lintas hukum domestik.
Namun, di samping cara pandang yang paling luas itu, perlu dicatat bahwa
perkembangan di era globalisasi dengan teknologi informasi dan komunikasi yang
serba desruptif dewasa ini telah pula menyebabkan terjadinya perubahan yang
semakin mendasar dalam sistem tata hukum dunia baru yang juga mengakibatkan
timbulnya gejala universalisasi yang semakin luas melanda semua sistem hukum
nasional di dunia. Gejala universalisasi itu bukan saja terjadi di bidang hukum
publik yang di tiap-tiap negara biasa diharuskan bersifat seragam, sehingga di
tingkat dunia juga diidealkan bersifat seragam dan monistik seperti yang
dibayangkan oleh Hans Kelsen dengan ide ‘grundnorm’nya dalam konteks
Hukum Internasional. Gejala universalisasi itu dewasa ini juga melanda sistem
norma hukum privat yang pada kenyataannya di tiap-tiap negara sajapun tidak
diharuskan bersifat seragam.
Di bidang hukum internasional publik dikenal adanya 2 doktrin yang terus
diperdebatkan dalam teori dan praktik, yaitu monisme atau dualisme antara
hukum nasional dan hukum internasional. Doktrin monisme yang juga dianut oleh
konstitutisi Indonesia, mensubordinasikan hukum internasioanal di bawah hukum
nasional, sehingga pemberlakuan hukum internasional itu ke dalam lalu lintas
hukum domestik mempersyaratakan lebih dulu adanya tindakan hukum berupa
ratifikasi legislatif dengan UU, kecuali untuk hal-hal tertentu yang menurut
undang-undang didelegasikan kewenangan ratifikasinya kepada kepala
pemerintahan. Sedangkan hukum internasional pada umumnya tetap diakui
8

adanya dalam lalu lintas hukum antar negara, tetapi tidak mengikat dalam lalu
lintas di dalam negeri atau dalam hukum nasional.
Namun praktik-praktik hukum internasional dewasa ini maupun konvensi-
konvensi internasional dan perjanjian-perjanjian organisasi-organisasi multilateral
semakin banyak dan kuat pengaruh dan daya paksanya. Praktik-praktik tidak
tertulis, serta konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian yang bersifat tertulis
itu, bukan saja mengatur norma di bidang hukum publik, tetapi juga di bidang
hukum privat atau perdata, terutama hukum bisnis, dan juga hukum perdata
lainnya, seperti hukum kekeluargaan, dan lain sebagainya.
Puncak dari upaya penegakan hukum perdata dan terutama hukum bisnis
internasional pada umumnya mengidealkan penyelesaian melalui langkah-langkah
hukum di luar negara pihak subjek yang berperkara melalui arbitrase
internasional, bukan melalui melalui sistem peradilan nasional. Karena itu
mekanisme hukum perdata internasional, seperti halnya hukum internasional
publik, juga berkembang semakin kuat dewasa ini. Lebih rumit lagi, karena
dominasi dan hegemoni pengaruh negara-negara persemakmuran yang menganut
tradisi ‘common law’ juga berkembang sangat kuat di bidang ekonomi dan dunia
usaha yang dimitori oleh Amerika Serikat, sehingga praktik-praktik penyelesaian
sengketa bisnis internasional di Indonesia sebagai negara dengan tradisi ‘civil law’
banyak yang harus diselesaikan melalui peradilan arbitrase Singapore, Hongkong,
Sydney, London, atau New York, yang kesemuanya merupakan negara-negara
‘common law’. Hal ini tentu harus mulai dipertimbangkan oleh Indonesia dalam
jangka panjang juga mengembangkan tradisi hukum baru yang dapat beradaptasi
dengan perkembangan kebutuhan dalam pergaulan bisnis internasional. Di
kawasan Asia Tenggara sendiripun yang perekonomiannya mulai berkembang
semakin terintegrasi, Indonesia juga dikepung oleh negara-negara yang memiliki
tradisi “common law” atas pengaruh Inggeris dan Amerika Serikat, yaitu
Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Australia, dan bahkan PNG.
Apalagi lagi kegiatan bisnis dan perekonomian di dunia pada umumnya
dewasa ini terus tumbuh dan berkembang dengan bebas dan tidak terhindarkan
melintasi semua sekat dan batas-batas antar negara. Ekonomi dan indutri terus
9

mengalami integrasi secara regional maupun global dan mendorong meningkatnya


kebutuhan untuk semakin banyaknya perundingan melalui forum-forum
multilateral yang menghasilkan konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian
tertulis baru, seperti oleh WTO (World Trade Organization), United Nations
Commission on International Trade Law (UNCITRAL), International Chamber of
Commerce (ICC), Hague Conference on Private International Law (HCCH),
International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT), dan lain-
lain. Akibatnya, negara besar seperti Indonesia dengan kuantitas penduduk
keempat dunia yang tidak lain merupakan pasar konsumen terbesar keempat
dunia, tetapi juga bermimpi untuk menjadi negara produsen yang juga keempat di
dunia, harus terus bergaul semakin aktif di dunia bisnis Internasional untuk
maksud bersinergi saling menguntungkan antar negara dan bangsa di dunia.
Karena itu, sistem hukum nasional perdata Indonesia khususnya di bidang bisnis
harus pula bersifat adaptif terhadap perkembangan hukum bisnis internasional di
dunia.
Untuk itu, dalam kajian akademik RUU tentang HIP, hendaknya dilakukan
audit norma hukum secara menyeluruh dan komprehensif, dengan menganalisis
semua produk hukum yang termuat dalam: (i) dokumen-dokumen hukum
internasional di bidang hukum perdata yang berlaku dewasa ini, (ii) contoh-
contoh UU tentang Hukum Perdata Internasional di pelbagai negara yang sudah
lebih dulu memiliki undang-undang seperti ini, (iii) Putusan-putusan pengadilan
dan arbitrase Internasional yang pernah diputuskan menyangkut subjek hukum
Indonesia, (iv) Putusan-putusan pengadilan dan arbitrase Indonesia yang terkait
dengan subjek hukum asing; dan (v) semua produk peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan pernah berlaku di Indonesia selama ini, serta (iv)
haluan-haluan konstitusional sistem hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pelbagai norma hukum dalam dokumen-dokumen hukum internasional
bidang ini, perlu ditelaah dengan mendalam untuk dipertimbangkan
kemungkinannya diadopsi dan diadaptasikan menjadi materi muatan RUU tentang
Hukum Perdata Internasional (HPI) yang hendak disusun. Ada yang sudah
10

diratifikasi, tetapi ada pula yang belum, dan bahkan ada pula konvensi yang
Indonesia sendiri belum menjadi anggota. Dokumen-dokumen dimaksud meliputi
tetapi tidak terbatas pada:
1) General Principles of Private International Law;
2) Convention on Conflict of Laws related to the Form of Testamentary
Dispositions, 1961;
3) Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction”, 25
October, 1980;
4) The Hague Convention on the Service Abroad of Judicial and
Extrajudicial Documents in Civil or Commercial Matters, (The Hague
Service Convention, 15 November 1965);
5) The Hague Convention on the Taking of Evidence Abroad in Civil and
Commercial Matters, (The Hague Evidence Convention, 18 March 1970);
6) Abolishing the Requirement of Legalization for Foreign Public
Documents;
7) Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Judgement, 2
July 2019;
8) Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Awards (New York Convention);
9) Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and
Nationals of other States 1965;
10) Convention on Establishing the Multilateral Investment Guarantee
Agency, 1986;
11) Convention on the Law Applicable to Surnames and Given Names, 1980;
12) The Hague Convention on Matrimonial Property, 1978;
13) Convention on Celebration and Recognition of the Validity of Marriage,
1978;
14) The Hague Convention on Protection of Children and Co-operation in
Respect of Intercountry Adoption, May 29, 1993;
11

15) Convention on the Protection of Children and Cooperation in Respects of


Intercountry Adoptions, 1933;
16) Convention on the Law Applicable to Maintenance Obligations, 1973;
17) Convention on the Law Applicable to Agency, 1978.
Namun, masalahnya adalah tindakan ratifikasi tidak dapat dilakukan
dengan mengubah atau mengabaikan sebagian materi yang sudah diperjanjikan
dalam konvensi atau perjanjian internasional, kecuali konvensi internasional itu
sendiri membuka kemungkinan untuk diadakannya peraturan pelaksanaan atau
“implementing legislation” yang berbeda antara satu negara dengan negara
anggota yang lain. Misalnya ratifikasi ICCPR yang memuat ketentuan mengenai
prinsip “the right to life” sebagai “non derogable rights” yang berimplikasi pada
penghapusan pidana mati, tetapi masih memberikan ruang kepada negara anggota
untuk mengatur implementasinya secara berbeda-beda. Karena itu, Indonesia
meratifikasi ICCPR dengan mengecualikan ketentuan pidana mati dan aborsi
melitus untuk menyelamatkan nyawa ibu dalam rangka implementasi dari ‘the
right to life’ itu. Jika konvensi internasional tersebut tidak membuka ruang
semacam itu, maka ratifikasi tidak dapat dilakukan dengan mengubah atau
mengurangi materi yang sudah diperjanjikan.
Karena itu, oleh para guru besar, hukum perdata Internasional biasanya
dipahami hanya sebagai hukum nasional di bidang hukum perdata yang berkaitan
dengan subjek hukum asing atau wilayah hukum asing. Artinya, Hukum Perdata
Internasional yang dimaksud itu tidak lain adalah hukum nasional Indonesia
sendiri, sehingga istilah yang juga biasa dipakai adalah Hukum Perdata
Internasional Indonesia. Namun, pengertian demikian dapat dibedakan dari
Hukum Internasional di bidang privat. Hukum internasional pada pokoknya
memang ada yang bersifat publik dan ada pula yang bersifat privat, yang untuk
diberlakukan ke dalam sistem hukum nasional memerlukan proses ratifikasi lebih
dulu. Jika hukum perdata internasional Indonesia sudah dengan sendirinya
merupakan bagian dari hukum nasional, maka hukum internasional di bidang
perdata yang kedua masih memerlukan ratifikasi lebih dulu untuk diberlakukan
dalam lalu lintas hukum nasional.
12

Tentu, sebagaimana telah diatur dalam UU tentang Perjanjian


Internasional, ada yang harus diratifikasi dengan UU tetapi ada pula yang cukup
diratifikasi oleh Presiden berdasarkan UU, dan ada pula instrumen perjanjian
internasional yang tidak memerlukan ratifikasi sama sekali. Menurut catatan,
terdapat 2.671 instrumen hukum internasional berupa konvensi, perjanjian
bilateral, perjanjian multilateral, dan Memorandum Of Understanding yang tidak
memerlukan ratifikasi, sedangkan yang sudah diratifikasi ada 527, dan hanya
terdapat 13 instrumen perjanjian internasional yang belum diratifikasi. Di
antaranya, instrumen hukum internasional yang terbanyak adalah yang berkenaan
dengan “loan dan grant” sebanyak 688 instrumen, dan yang berhubungan dengan
ASEAN sebanyak 289 instrumen. Instrumen perjanjian lainnya yang menyangkut
perdagangan (trade) tercatat sebanyak 96 instrumen, pertanian 85, Pendidikan 76,
energi dan sumberdaya mineral 69, kelautan dan perikanan 66, investasi 44,
keuangan 41, transportasi 33, transportasi udara 37, turisme 32, kehutanan 30,
industri 20, dan seterusnya.
B. Hukum Waris di Indonesia dalam perspektif Undang-Undang No.12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Dalam membicarakan hukum waris maka ada 3 (tiga) hal yang perlu
mendapat perhatian, di mana ketiga hal ini merupakan unsur-unsur pewarisan:7
1. Orang yang meninggal dunia / Pewaris / Erflater
Pewaris ialah orang yang meninggal dunia dengan meningalkan hak
dan kewajiban kepada orang lain yang berhak menerimanya. Menurut
Pasal 830 KUHPerdata, pewarisan hanya berlangsung karena
kematian. Menurut ketentuan pasal 874 KUHPerdata, segala harta
peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian
ahli warisnya menurut undang± undang sekedar terhadap itu dengan
surat wasiat tidak telah diambil setelah ketetapan yang sah. Dengan
demikian, menurut KUHPerdata ada dua macam waris : Hukum waris
yang disebut pertama, dinamakan Hukum Waris ab intestato (tanpa

7
Drajen Saragih, dkk, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba,
Karo dan UU Tentang Perwakinan (UU No. 1 Th. 1974), Bandung, Tarsito, 1980, hal. 9
13

wasiat). Hukum waris yang kedua disebut Hukum Waris Wasiat atau
testamentair erfrecht.
2. Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu / Erfgenaam
Menurut Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, anak yang
ada dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana
keperluan si anak menghendaki. Jadi, dengan demikian seorang anak
yang ada dalam kandungan, walaupun belum lahir dapat mewarisi
karena dalam pasal ini hukum membuat fiksi seakan ± akan anak
sudah dilahirkan.
3. Harta Waris
Hal-hal yang dapat diwarisi dari si pewaris, pada prinsipnya yang
dapat diwarisi hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan harta
kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut berupa, Aktiva (sejumlah benda
yang nyata ada dan atau berupa tagihan atau piutang kepada pihak
ketiga, selain itu juga dapat berupa hak imateriil, seperti hak cipta);
Passiva (sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak
ketiga maupun kewajiban lainnya). Dengan demikian, hak dan
kewajiban yang timbul dari hukum keluarga tidak dapat diwariskan.
Apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka ketentuan hukum
material berkaitan dengan harta kekayaan diatur berdasarkan hukum suami, yaitu
UU Perkawinan. Namun harta benda perkawinan campuran ini apabila tidak
dilakukan perjanjian perkawinan yang menyangkut harta perkawinan maka
berkenaan dengan harta perkawinan ini akan tunduk pada Pasal 35.
Selanjutnya mengenai harta bersama ini dapat dikelola bersama-sama
suami dan isteri,namun dalam setiap perbuatan hukum yang menyangkut harta
bersama harus ada persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1)). Sedangkan
dalam hal harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya Pasal
36 ayat (2)).8

8
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta, Liberty, 1981, hal. 166
14

Apabila terjadi perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya


masing-masing (Pasal 37), yang dimaksud hukum masing-masing pihak di dalam
undang-undang Perkawinan ini adalah hukum agama, hukum adat atau hukum
lainnya. Untuk Perkawinan Campuran akan munjadi masalah Hukum Perdata
internasional, karena akan terpaut 2 (dua) sistem hukum perkawinan yang yang
berbeda, yang dalam penyelesaiannya dapat digunakan ketentuan Pasal 2 dan
Pasal 6 ayat (1) GHR (Regeling of de gemengde huwelijken) S. 1898 yaitu
diberlakukan hukum pihak suami. 9
Masalah harta perkawinan campuran ini apabila pihak suami warga negara
Indonesia, maka tidak ada permasalahan, karena diatur berdasarkan hukum suami
yaitu UU Perkawinan. Sedangkan apabila isteri yang berkebangsaan Indonesia
dan suami berkebangsaan asing maka dapat menganut ketentuan Pasal 2 dan Pasal
6 ayat (1) GHR, yaitu diberlakukan hukum pihak suami. Namun karena GHR
tersebut adalah pengaturan produk zaman Belanda, sebaiknya masalah ini diatur
dalam Hukum Nasional, yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Di
Indonesia sampai saat ini masih bersifat plural, disamping berlakunya hukum
waris adat yang beraneka ragam sistemnya dan juga berlaku waris yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta hukum waris Islam.10

C. Perbandingan Hukum Pembagian Waris Indonesia dengan Malasya


dalam Perspektif Hukum Perdata Internasional
Meskipun Indonesia dan Malaysia memiliki sisitem hukum yang berbeda,
Indonesia dengan civil law dan Malaysia dengan sistem hukum common law,
terdapat kesamaan dalam hal pengaturan dan penyelesain kasus ahli waris non
muslim ini, yakni; Indonesia pengaturan pembagian waris non muslim berlaku
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sedangkan di Malaysia berlaku jika
pewaris tidak meninggalkan wasiat maka berlaku Distribution Act 1958 jo.
Amendment Act 1997.Pada pengaturan pembagian waris muslim di Indonesia

9
Rehngena Purba, Sikap Mahkamah Agung Terhadap Kedudukan duda dan Janda dalam
Hukum Adat, Jakarta, Kanun, 2000, hal. 60
10
Sabam Huldrick Wesley Sianipar, Sistem Bermasyarakat Bangsa Batak, Medan, CV.
Pustaka Gama, 1991, hal. 81
15

berlaku Kompilasi hukum Islam, bersumber pada Al-Quran dan Hadits. Sama
seperti di Indonesia, Malaysia pengaturan pembagian waris muslim menggunakan
Al-Quran, Hadits, dan Ijma.
Pembagian waris untuk non muslim dari pewaris muslim di Indonesia
tidak diatur, karena dalam Al-Quran, Hadits dan Kompilasi Hukum Islam tidak
mengatur bagian waris ahli waris non muslim. Namun di Indonesia pemberian
kepada ahli waris non muslim merujuk pada yurisprudensi Mahkamah Agung
nomor 368.K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dimana ahli waris non muslim
diberikan wasiat wajibah. Peraturan di Malaysia atas Pembagian waris untuk non
muslim dari ahli waris muslim tidak diatur secara tertulis, karena Malaysia
menggunakan Al-Quran, Hadits, dan Ijma dalam pembagian waris. Namun
terdapat dalam kasus yang diangkat, MAIM memberikan sumbangan kepada
keluarga non muslim sebagai bentuk empati terhadap keluarga pewaris.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Hukum Perdata Internasional pada umumnya dipahami dalam konteks
Hukum Nasional Indonesia yang berhubungan dengan yurisdiksi dan/atau
subjek hukum lintas negara, sehingga biasa disebut sebagai “Hukum
Perdata Internasional Indonesia”. Karena itu, cara pandang para sarjana
hukum dalam memahami pengertian Hukum Perdata Internasional atau
International Private Law cenderung sangat ‘domestic oriented’, yaitu
sebagai Hukum Perdata Internasional Indonesia, yang tentu saja tidak
salah, melainkan mengandung kemuliaan yang tersendiri sebagai sikap
kebangsaan. Hanya saja, kadang-kadang terasa bahwa kandungan
maknanya menjadi terbatas, dan bahkan dalam praktik di dunia pun
memang terdapat juga ragam pengertian Hukum Perdata Internasional
(HPI), mulai dari pengertian yang paling sempit sampai ke yang paling
luas.
2. Waris di Indonesia dalam perspektif Undang-Undang No.12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan berkaitan dengan masalah harta perkawinan
campuran yang mana apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka
tidak ada permasalahan, karena diatur berdasarkan hukum suami yaitu
UU Perkawinan. Sedangkan apabila isteri yang berkebangsaan Indonesia
dan suami berkebangsaan asing maka dapat menganut ketentuan Pasal 2
dan Pasal 6 ayat (1) GHR, yaitu diberlakukan hukum pihak suami.
Namun karena GHR tersebut adalah pengaturan produk zaman Belanda,
sebaiknya masalah ini diatur dalam Hukum Nasional, yang disesuaikan
dengan perkembangan zaman. Di Indonesia sampai saat ini masih bersifat
plural, disamping berlakunya hukum waris adat yang beraneka ragam
sistemnya dan juga berlaku waris yang diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata serta hukum waris Islam.
3. Meskipun Indonesia dan Malaysia memiliki sisitem hukum yang berbeda,
Indonesia dengan civil law dan Malaysia dengan sistem hukum common

16
17

law, terdapat kesamaan dalam hal pengaturan dan penyelesain kasus ahli
waris non muslim ini, yakni; Indonesia pengaturan pembagian waris non
muslim berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sedangkan di
Malaysia berlaku jika pewaris tidak meninggalkan wasiat maka berlaku
Distribution Act 1958 jo. Amendment Act 1997.Pada pengaturan
pembagian waris muslim di Indonesia berlaku Kompilasi hukum Islam,
bersumber pada Al-Quran dan Hadits. Sama seperti di Indonesia,
Malaysia pengaturan pembagian waris muslim menggunakan Al-Quran,
Hadits, dan Ijma.
B. Saran
1. Bagi pasangan yang akan melakukan perkawinan beda warganegara agar
mencari informasi yang jelas dalam mempersiapkan dokumen yang
dibutuhkan dalam melangsungkan perkawinan nantinya
2. Indonesia sebaiknya segera membuat Hukum Waris nasional dimana
berlaku untuk semua warga negara Indonesia tanpa memperdulikan
agama, suku, atau golongan penduduknya.
3. Keadilan sangat diperlukan karena penulis merasa kurang setuju dengan
beberapa Hukum Waris adat.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Ahmad, M. Rasyid. 1998. Hukum Waris Adat dalam Yurisprudensi, Jakarta,
Ghalia Indonesia
Astuti, Mirsa. 2016. Pengantar hukum adat Indonesia, Medan, Ratu Jaya
Pitlo. 1986. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Belanda, Jilid I, Jakarta, Intermasi
Poerwadarninta, J.S. 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka
Poespasari, Ellyne Dwi. 2018. Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di
Indonesia, Jakarta, Prenada Media Group
Prodjodikoro, Wirjono. 1998. Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, Bale
Bandung
Purba, Rehngena. 2000. Sikap Mahkamah Agung Terhadap Kedudukan duda dan
Janda dalam Hukum Adat, Jakarta, Kanun
Raharjo, Soejipto. 1979. Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni

Saragih, Drajen dkk. 1980. Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya


Simalungun, Toba, Karo dan UU Tentang Perwakinan (UU No. 1 Th.
1974), Bandung, Tarsito
Sianipar, Sabam Huldrick Wesley. 1991. Sistem Bermasyarakat Bangsa Batak,
Medan, CV. Pustaka Gama
Sjarif, Surini Ahlan dan Nurul Elmiyah. 2006. Hukum kewarisan Perdata Barat
Pewarisan Menurut Undang-Undang, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group
Sudiyat, Iman. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta, Liberty
B. Jurnal

Jayus, Jaja Ahmad. 2019. “Eksistensi Pewarisan Hukum Adat Batak: Kajian
Putusan Nomor 1/PDT.G/2015/PN.Blg dan Nomor 439/PDT/2015/PT-
Mdn”, Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2
Nadapdap, Buana. 2019. “Pembagian Warisan Masyarakat Batak Toba (Studi
Kasus Masyarakat Batak Toba di Kota Pekanbaru)”, Jurnal Jom Fisip Vol.
6: Edisi II

18
19

Rouli, L. 2012. “Kedudukan Anak Perempuan dalam Hukum Waris Adat Pada
Masyarakat Batak”, Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam: Vol. 1 No. 1, hal.
231

Anda mungkin juga menyukai