Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HUKUM PERKAWINAN : TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN,


HARTA PERKAWINAN DAN PERKAWINAN CAMPURAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

HUKUM PERDATA
Dosen Pengampu;

Binti Ni’matul Qoiriyah, M.H.

Disusun Oleh Kelompok 6 :

1. Ade Restu Aulia (126103212204)


2. Amalia Zannuba Khofsoh (126103212205)
3. M. Ilham Yahya Yuliawan (126103212207)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA 4-E


FAKULTAS SYARIAN DAN ILMU HUKUM
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Atas segala
karunianya sehingga makalah “Hukum Perkawinan : Tentang Perjanjian Perkawinan, Harta
Perkawinan Dan Perkawinan Campuran” ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam
semoga senantiasa abadi tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan umatnya.
Sehubungan dengan selesainya penulisan makalah ini maka penulis mengucapkan terima
kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Maftukin, M.Ag, selaku Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah

2. Bapak Dr. Nur Efendi, M.Ag selaku Dekan Fasih UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung.

3. Bapak Ahmad Gelora Mahardika, M.H. selaku Ketua Jurusan Hukum Tata Negara UIN
Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.

4. Ibu Binti Ni’matul Qoiriyah, M.H. selaku Dosen Pengampu mata kuliah Hukum Perdata.

5. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan makalah ini.

Dengan penuh harap semoga jasa kebaikan mereka diterima oleh Allah SWT. Dan
tercatat sebagai amal shalih. Akhirnya, makalah ini penulis suguhkan kepada segenap
pembaca, dengan harapan adanya saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi perbaikan.
Semoga makalah ini bermanfaat dan mendapatkan ridha Allah SWT.

Tulungagung, 05 April 2023

penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................................ii


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 5
2.1 Hukum Perkawinan ..................................................................................................................... 5
2.2 Perjanjian Perkawinan ................................................................................................................ 5
2.2.1 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 ................................................................. 6
2.2.2 Inpres Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 47 ....................... 6
2.2.3 Persyaratan Perjanjian Perkawinan ................................................................................... 7
2.2.4 Isi Perjanjian Perkawinan.................................................................................................... 7
2.3 Harta Perkawinan ........................................................................................................................ 8
2.3.1 Jenis-Jenis Harta Perkawinan ............................................................................................. 8
2.4 Perkawinan Campuran ............................................................................................................... 9
2.4.1 Syarat Perkawinan Campuran .......................................................................................... 10
BAB III PENUTUP .............................................................................................................................. 13
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkawinan mempunyai nilai yang amat penting bagi kelangsungan hidup
manusia karena dengan perkawinan, maka kedudukan manusia akan lebih terhormat
dan di samping itu dengan melaksanakan perkawinan kehidupan menjadi tenang dan
bahagia serta menumbuhkan rasa cinta kasih di antara keduanya. Ditinjau dari aspek
peraturan tentang perkawinan, maka perkawinan adalah suatu hidup bersama dari
seorang pria dengan seorang wanita yang menenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam
peraturan, yaitu peraturan hidup bersama.
Indonesia telah memiliki undang-undang nasional yang berlaku bagi seluruh
warga Negara Republik Indonesia, yaitu UU Perkawinan. Sebelum diberlakukannya
UU Perkawinan ini, Indonesia telah memberlakukan peraturan-peraturan perkawinan
yang diatur dalam KUHPerdata (BW) , Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijks Ordonansi voor de Christens Indonesiers) Staatsblaad 1933 No.74,
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken). Lahirnya
UU Perkawinan pada tanggal 02 Januari 1974 yang berlaku bagi semua warga negara
Republik Indonesia sebagian besar telah memenuhi tuntutan masyarakat. Undang-
Undang yang berlaku diluar KUHPerdata yang mengatur tentang perkawinan, yaitu
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Hukum Perkawinan?
2. Bagaimana maksud dari Perjanjian Perkawinan?
3. Bagaimana maksud dari Harta Perkawinan?
4. Bagaimana maksud dari Perkawinan Campuran?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui apa itu Hukum Perkawinan
2. Mengetahui maksud dari Perjanjian Perkawinan
3. Mengetahui maksud dari Harta Perkawinan
4. Mengetahui makud dari Perkawinan Campuran

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hukum Perkawinan


Indonesia merupakan negara hukum yang mengakui setiap orang sebagai manusia
terhadap undang-undang yang artinya bahwa setiap orang diakui sebagai subyek
hukum. Perkawinan merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk waktu yang lama. Dalam Pasal 26 KUHPerdata, perkawinan hanya
dilihat sebagai keperdataan saja, yang berarti perkawinan hanya sah jika memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam KUHPerdata. Pasal 2 ayat 1 KHI
menyebutkan bahwa : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ketentuan ini tidak ada beda
dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ini menunjukakan isi dari Kompilasi Hukum Islam masih mengakui pluralisme dalam
hukum perkawinan di indonesia.
Bahwa Hukum Perkawinan bagi umat Islam maka berlaku hukum perkawinan
Islam, sedangkan bagi agama selain islam maka berlaku hukum perkawinan yang diatur
dalam agamanya. Dalam Hukum perkawinan islam mengatur agar perkawinan itu
dilakukan dengan akad antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua
orang laki-laki setelah dipenuhi syarat-syarat lain menurut hukum islam. Dengan
dikukuhkannya hukum agama (Fiqh Munakahat) sebagai syarat sahnya suatu
perkawinan, maka berlakunya hukum islam di Indonesia bukan lagi berdasarkan kepada
teori resepsi, melainkan langsung berdasarkan kepada UU Perkawinan. Dengan
demikian, pelaksanaan Hukum Perkawinan Islam itu disamping menjadi tanggung
jawab pribadi umat islam, juga menjadi tanggung jawab pemerintah untuk ikut
mengawasinya. Adanya pengawasan pemerintah itu dimaksudkan agar supaya dalam
pelaksanaan Hukum perkawinan Islam itu tidak disalah gunakan.
2.2 Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan dibuat oleh calon suami dengan calon isteri jika diperlukan
untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan harta kekayaan atau lain-lainya. Perjanjian
itu harus dibuat sebelum akat nikah dilangsungkan atau pada saat mau melakukan akat
nkah. Perjanjian perkawinan dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum.
Karena hukum perkawinan bersifat fakultatif lebih banyak mengatur, maka dalam
beberapa hal boleh disimpangi dengan memmbuat perjanjian perkawinan.
Di Indonesia, terdapat 3 (tiga) produk peraturan perundang-undangan yang mengatur
masalah perjanjian perkawinan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek(BW), Undang-Undang Nomor 1 tahun
l974 mengenai Perkawinan, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1974 tentang Kompilasi Hukum
Islam. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, sehingga di negara
Indonesia telah terjadi unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan, kecuali sepanjang

5
yang belum atau tidak diatur dalam undang-undang tersebut, maka peraturan lama
dapat dipergunakan.1
Perjanjian perkawinan tidak hanya sebatas memperjanjikan masalah keuangan atau
harta, ada hal lain yang juga penting diperjanjikan, misalnya kejahatan rumah tangga
memperjanjikan salah satu pihak untuk tetap berkarir meski sudah menikah dan lain
sebagainya.2 Perjanjian kawin menurut KUH Perdata Pasal 139 sebenarnya merupakan
persetujuan antara calon suami dan istri, untuk mengatur akibat perkawinan terhadap
harta kekayaan mereka. Oleh karena itu, perjanjian perkawinan dapat diadakan baik
dalam hal suami-istri akan kawin campur harta secara bulat, maupun dalam hal mereka
memperjanjikan adanya harta yang terpisah, atau harta diluar persatuan.
Manfaat perjanjian dalam perkawinan bagi negara sangatlah besar. Adanya perjanjian
perkawinan memberikan batasan bagi pasangan suami isteri guna mencegah dan
mengurangi konflik terutama yang terjadi di dalam Lembaga perkawinan.Perjanjian
perkawinan dapat menjadi acuan jika suatu saat nanti timbul konflik, meskipun konflik
tersebut tidak dikehendaki. Namun manakala terjadi juga konflik yang harus berakhir
dengan perceraian, maka perjanjian tersebut dapat dijadikan rujukan sehingga masing-
masing mengetahui hak dan kewajibannya.

2.2.1 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 29


a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atau persetujuan
Bersama dapat mengadakan perjanjiaan tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat
perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut.
b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan.
c. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali
bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.3

2.2.2 Inpres Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 47
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat
membuat perjanjian tertulisyang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai
kedudukan harta dalam perkawinan”
a. Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan
pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
b. Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu
menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta
pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.4

1
K. Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 3.
2
Muchsin,Perjanjian Perkawinan Dalam Persfektif Hukum Nasional,Varia Peradilan, Jakarta, 2008, hlm. 7.
3
Departement agama RI, Himpunan Peraturan perundang-Undangan Dalam Lingkup Peradilan Agama, Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 Tentang, Jakarta, 2001, hlm. 138.

6
2.2.3 Persyaratan Perjanjian Perkawinan5
1. Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.
2. Dalam bentuk tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah.
3. Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
4. Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
5. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah.
6. Perjanjian perkawinan dimuat dalam akta perkawinan.

2.2.4 Isi Perjanjian Perkawinan6


1. Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa perjanjian perkawinan dapat memuat apa
saja, yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suami-isteri maupun mengenai
hal-hal yangberkaitan dengan harta benda perkawinan. Mengenai batasan-batasan
yang dapatdiperjanjikan dalam perjanjian perkawinan, hal ini merupakan tugas hakim
untuk
mengaturnya.
2. R. Sardjono berpendapat bahwa sepanjang tidak diatur di dalam peraturan
perundang-undangan, dan tidak dapat ditafsirkan lain, maka lebih baik ditafsirkan
bahwa perjanjianperkawinan sebaiknya hanya meliputi hak-hak yang berkaitan
dengan hak dan
kewajiban dibidang hukum kekayaan.
3. Nurnazly Soetarno berpendapat bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat
memperjanjikan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban di bidang hukum
kekayaan, dan hal itu hanya menyangkut mengenai harta yang benar-benar
merupakan harta pribadi suami isteri yang bersangkutan, yang dibawa ke dalam
perkawinan.
Secara umum, perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) berisi tentang
pengaturan harta kekayaan calon suami istri. Pada prinsipnya pengertian perjanjian
perkawinan itu sama dengan perjanjian pada umumnya, yaitu suatu perjanjian antara
dua orang calon suami istri untuk mengatur harta kekayaan pribadi masing-masing
yang dibuat menjelang perkawinan, serta disahkan oleh pegawai pencatat nikah.7
Dalam pembuatan perjanjian perkawinan, undang-undang memberikan kemungkinan
bagi,mereka yang belum mencapai usia dewasa untuk membuat perjanjian, dengan
ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 151 KUHPerdata:
1) Yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan.
2) Dibantu oleh mereka yang izinnya diperlukan untuk melangsungkanpernikahan.
3) Jika perkawinannya berlangsung dengan izin hakim, maka rencana perjanjian
kawin tersebut (konsepnya) harus mendapat persetujuan pengadilan.
Perjanjian Perkawinan dalam KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW) masih
tetap berlaku, sepanjang masalah yang berkaitn dengan tersebut tidak diatur dalam

4
Departement agama RI,Himpunan Peraturan perundang-Undangan Dalam Lingkup Peradilan Agama, Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam,Jakarta, 2001, hlm. 328.
5
HR, Damanhuri, Op. cit, hlm. 19.
6
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif,Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia,Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 80-81.
7
H.A Damanhuri H.R, Op. cit, hlm. 7.

7
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun l974, dan Inpres Kompilasi Hukum Islam
Nomor 1 Tahun 1974.

2.3 Harta Perkawinan

Menurut ketentuan undang-undang perkawinan bahwa harta benda yang diperoleh


selama perkawinan menjadi harta bersama. Secara yuridis formal dapat dipahami
pengertian harta bersama adalah harta benda suami-istri yang didapatkan selama
perkawinan. Pasal 119 Burgerlijk Wetboek (BW) mengatakan:
“Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan harta
secara bulat antara kekayaan suami dan isteri, sekadar mengenai hal itu dengan perjanjian
kawin tidak diadakan ketentuan lain”.
Dalam pasal di atas diletakkan asas hukum harta perkawinan menurut KUH Perdata,
yaitu bahwa dengan menikahnya suami-isteri, maka semua harta yang dibawa oleh suami
maupun isteri ke dalam perkawinan, masuk dalam satu kelompok harta, yang disebut
harta persatuan dan yang demikian terjadi demi hukum, tanpa suami-isteri harus
memperjanjikannya. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan oleh suami maupun
isteri juga pada asasnya masuk dalam harta persatuan itu,[1] dan karenanya dikatakan ada
persatuan-bulat antara harta suami dan isteri. Dalam Pasal 35 UU Perkawinan dikatakan:
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. “Harta
bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.
Dari ketentuan Pasal 35 ayat (1) tersebut di atas kita tahu, bahwa UU Perkawinan
menganut asas hukum harta perkawinan yang berlainan sekali dengan KUH Perdata.
Kalau menurut KUH Perdata, harta yang dibawa masuk ke dalam perkawinan maupun
yang diperoleh sepanjang perkawinan semuanya masuk dalam satu kelompok harta, yaitu
harta-persatuan. Maka menurut Pasal 35 UU Perkawinan, harta yang menjadi satu adalah
harta yang diperoleh suami dan isteri sepanjang perkawinan. Demikian itu kalau istilah
“harta bersama” mempunyai arti yang sama dengan “harta persatuan”, yang menjadi milik
suami-isteri bersama-sama yang menurut asas yang dianut dalam KUH Perdata dalam
wujud pemilikkan-bersama yang terikat (gebonden mede-eigendom). 8
2.3.1 Jenis-Jenis Harta Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenal 3 (tiga) macam
harta, yaitu:

• Pertama, harta bersama;


• kedua, harta bawaan;
• ketiga, harta perolehan.

8
Hukumonline.com, “hukum harta perkawinan yang berlaku sesudah diundangkannya UU perkawinan jilid iv”,
https://www.hukumonline.com/berita/a/hukum-harta-perkawinan-yang-berlaku-sesudah-diundangkannya-uu-
perkawinan-jilid-iv-lt5b1760887dcc3/ , diakses pada tanggal 01 April 2023

8
Setelah terjadinya perkawinan, maka kedudukan harta benda 2 orang yang saling
mengikatkan diri dalam ikatan hukum perkawinan akan berubah.

2.4 Perkawinan Campuran


Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu hak asasi manusia yang dijamin dalam
Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 perkawinan campuran sendiri sering disebut dengan Amalgamasi adalah
pernikahan antara dua orang yang berbeda suku bangsa.9 Perkawinan campuran tidak
termasuk perkawinan beda agama.10 Pernikahan campuran dan pernikahan beda agama
seringkali digunakan secara bergantian, namun keduanya memiliki perbedaan yang
signifikan.
Pernikahan campuran mengacu pada pernikahan antara pasangan dengan latar
belakang budaya yang berbeda, misalnya antara dua orang dari negara yang berbeda
atau antara orang yang memiliki latar belakang etnis yang berbeda. Meskipun pasangan
mungkin mempraktikkan agama yang sama, perbedaan budaya dan bahasa dapat
mempengaruhi pernikahan mereka.
Sementara itu, pernikahan beda agama mengacu pada pernikahan antara pasangan
yang mempraktikkan agama yang berbeda. Pernikahan semacam ini bisa jadi lebih
kompleks karena perbedaan keyakinan, praktik, dan tradisi keagamaan dapat
mempengaruhi hubungan dan kehidupan sehari-hari pasangan. Dalam kedua situasi,
pasangan harus mempertimbangkan perbedaan budaya atau agama mereka dan
bagaimana perbedaan tersebut dapat mempengaruhi pernikahan mereka. Pernikahan
campuran atau beda agama dapat menawarkan banyak manfaat, tetapi juga dapat
menimbulkan tantangan yang perlu ditangani dengan baik oleh pasangan. Perkawinan
antara 2 (dua) orang (laki-laki dan perempuan) yang mempunyai kewarganegaraan yang
berbeda, berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia, dapat dilaksanakan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Perkawinan di luar wilayah Negara Republik Indonesia.

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan:

Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang


warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara
Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana
perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar
ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri

9
detik.com, “amalgamasi pengertian dampak dan contoh perkawinan campuran”,
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-
5543618/amalgamasi-pengertian-dampak-dan-contoh-perkawinan-
campuran&ved=2ahUKEwiAu7WIjJH-AhW16zgGHeXeB9QQFnoECAQQBQ&usg=AOvVaw2Qz-
mXjUQI-PTRM25nrHkN, diakses tanggal 02 April 2023
10
Misaelandpartners, “Perkawinan Campuran di Indonesia”, http://misaelandpartners.com/perkawinan-
campuran-di-indonesia/ , diakses tanggal 02 April 2023

9
itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di
Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

2. Perkawinan di wilayah Republik Indonesia.

Perkawinan antara 2 (dua) orang di wilayah Indonesia yang berbeda


kewarganegaraan dan salah satunya Warga Negara Indonesia, disebut perkawinan
campuran.

Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menyatakan :

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah


perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.

2.4.1 Syarat Perkawinan Campuran11

Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menyatakan :

Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-


syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-
masing telah dipenuhi, yakni

• Untuk Calon Pengantin Berstatus WNI

1. Surat pernyataan belum pernah bermaterai 10 ribu menikah yang diketahui RT/
RW/ Kelurahan.
2. Surat Pengantar dari RT dan RW
3. Syarat perkawinan campuran selanjutnya adalah Surat Keterangan Nikah (N1, N2,
N4) dari tempat domisili.
4. Surat persetujuan dari kedua mempelai (N3)
5. Surat Pindah Nikah atau surat rekomendasi bagi yang hanya ikut berdomisili pada
sebuah wilayah.
6. Fotokopi dokumen
7. Syarat Perkawinan Campuran lainnya adalah Fotokopi KTP, Kartu Keluarga
(KK), Surat Keterangan Domisili, Ijazah dan Akta Kelahiran @ 2 lembar.
8. Fotokopi surat keterangan imunisasi Tetanus Toxoid bagi calon pengantin wanita.
9. Surat atau Akta Cerai Asli bagi duda atau janda yang pernah bercerai sebelumnya.
10. Akta Kematian Suami atau Istri bagi yang cerai mati
11. Pas foto 3 x 4 dan 2 x 3 dengan latar biru masing-masing 4 lembar.
12. Bagi anggota TNI atau Polri, pas foto harus mengenakan seragam kesatuan

11
Justika,com, “Syarat Perkawinan Campuran”, https://blog.justika.com/keluarga/syarat-perkawinan-campuran/
, diakses tanggal 02 April 2023

10
13. Bagi TNI atau Polri harus ada surat izin dari komandan
14. Surat Izin dari orang tua bagi mereka yang belum berusia 21 tahun.
15. Surat Taukil wali dari KUA setempat bagi wali nikah pihak perempuan jika tidak
bisa hadir pada saat akad nikah.
16. Surat Keterangan Memeluk Islam bagi para mualaf.

• Untuk calon pengantin berstatus WNA

1. Syarat Perkawinan Campuran yang pertama adalah Surat izin dari konsulat
perwakilan negara masing-masing di Indonesia.
2. Melampirkan Fotokopi passport yang masih aktif
3. Melampirkan Fotokopi KITAS atau VISA yang masih aktif
4. STMD atau Surat tanda melapor diri dari pihak Kepolisian
5. Syarat Perkawinan Campuran selanjutnya adalah Surat Keterangan Menetap di
Indonesia dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
6. Fotokopi Akta Kelahiran.
7. Melampirkan Akta Cerai bagi janda/duda cerai.
8. Pas Foto ukuran 3 x 4 dan 2 x 3 dan 3 x 4 @ 4 lembar background biru
9. Surat keterangan memeluk Islam bagi mualaf.
10. Taukil wali secara tertulis bagi wali nikah perempuan jika tidak bisa menghadiri
akad nikah.
11. Semua dokumen tersebut harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh
penerjemah tersumpah..

➢ Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah


dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan
perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan,
diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
➢ Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat
keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, pengadilan
memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan
banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu
beralasan atau tidak.
➢ Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka
keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat.
➢ Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai
kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam)
bulan sesudah keterangan itu diberikan.
➢ Perkawinan antara 2 (dua) orang (laki-laki dan perempuan) yang berbeda
kewarganegaraan, dan salah satu adalah Warga Negara Indonesia (WNI)
yang dilangsungkan di Kedutaan Besar Negara Asing di Indonesia, pada
dasarnya dianggap sebagai perkawinan yang dilangsungkan di luar wilayah
Indonesia.

11
➢ Perkawinan yang dianggap sebagai perkawinan yang dilangsungkan di luar
Indonesia tersebut, harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1
(satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak,
maka perkawinan campuran tersebut belum diakui oleh hukum Indonesia.
Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan
tempat tinggal pihak mempelai yang berkewarganegaraan Indonesia di
Indonesia (sesuai dengan ketentuan dalam pasal 56 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Proses pencatatan perkawinan yang diatur oleh undang-undang itu sendiri antara 2
(dua) orang yang berbeda kewarganegaraan, pada prinsipnya tidak menjadikan
perkawinan itu tidak sah, karena proses pencatatan adalah proses administratif. Namun
dalam hukum nasional Indonesia, proses pencatatan ini telah menjadi bagian dari
hukum positif, karena hanya dengan proses ini, maka masing-masing pihak diakui
segala hak dan kewajibannya di muka hukum.12

12
Dukcapil.kulonprogo.kab.go.id, “Legalitas Pernikahan Campuran Dimata Hukum Indonesia”,
https://dukcapil.kulonprogokab.go.id/detil/272/legalitas-pernikahan-campuran-dimata-hukum-indonesia ,diakes
pada tanggal 02 April 2023

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang mengatur akibat suatu dari adanya
ikatan perkawinan. Di Indonesia, perjanjian perkawinan diperbolehkan untuk dibuat sejak
diberlakukannya KUH Perdata. Perihal perjanjian perkawinan ini kemudian dipertegas
Kembali dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974.Perjanjian perkawinan merupakan
bagian dari lapangan hukum keluarga diatur dalam Buku I KUHPerdata (BW).
Pengaturan perjanjian perkawinan dijelaskan pada Bab VII pasal 139 s/d 154.

Secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku dan mengikat para pihak/mempelai
dalam perkawinan. Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Perjanjian Perkawinan
didapati dalam Bab V, berisi satu pasal, yaitu pasal 29. Salah satu azas yang terkandung
dalam UU ini terkait dengan perjanjian perkawinan adalah hak dan kedudukan suami istri
yang seimbang. Masing-masing pihak dapat melakukan perbuatan hukum secara mandiri.
Perjanjian perkawinan dalam pasal 29 tidak mengatur secara tegas, sehingga secara
implisit dapat ditafsirkan perjanjian perkawinan tersebut tidak terbatas hanya mengatur
mengenai harta perkawinan saja, namun juga hal lain sepanjang tidak bertentangan
dengan norma agama, ketertiban umum dan kesusilaan. Esensi Perjanjian Perkawinan
yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 lebih luas dari pada
makna perjanjian perkawinan yang terdapat dalam KUH Perdata (BW).

13
DAFTAR PUSTAKA
Departement agama RI, Himpunan Peraturan perundang-Undangan Dalam Lingkup Peradilan Agama, Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 Tentang, Jakarta, 2001.
Departement agama RI,Himpunan Peraturan perundang-Undangan Dalam Lingkup Peradilan Agama, Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam,Jakarta, 2001.
detik.com, “amalgamasi pengertian dampak dan contoh perkawinan campuran”,
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.detik.com/edu/detikp
edia/d-5543618/amalgamasi-pengertian-dampak-dan-contoh-perkawinan-
campuran&ved=2ahUKEwiAu7WIjJH-
AhW16zgGHeXeB9QQFnoECAQQBQ&usg=AOvVaw2Qz-mXjUQI-PTRM25nrHkN
Dukcapil.kulonprogo.kab.go.id, “Legalitas Pernikahan Campuran Dimata Hukum Indonesia”,
https://dukcapil.kulonprogokab.go.id/detil/272/legalitas-pernikahan-campuran-dimata-hukum-
indonesia

H.A Damanhuri H.R, Op. Cit.


HR, Damanhuri, Op. Cit.
Hukumonline.com, “hukum harta perkawinan yang berlaku sesudah diundangkannya UU perkawinan jilid iv”,
https://www.hukumonline.com/berita/a/hukum-harta-perkawinan-yang-berlaku-sesudah-
diundangkannya-uu-perkawinan-jilid-iv-lt5b1760887dcc3/
Justika,com, “Syarat Perkawinan Campuran”, https://blog.justika.com/keluarga/syarat-perkawinan-campuran/ ,
K. Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982,
Misaelandpartners, “Perkawinan Campuran di Indonesia”, http://misaelandpartners.com/perkawinan-campuran-
di-indonesia/
Muchsin,Perjanjian Perkawinan Dalam Persfektif Hukum Nasional,Varia Peradilan, Jakarta, 2008.
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif,Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia,Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.

14

Anda mungkin juga menyukai