Anda di halaman 1dari 32

DISPARITAS PENETAPAN PENGADILAN NEGERI DALAM

PERMOHONAN IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA

Proposal Penelitian

Disusun Oleh :

YANCE CHANDRA

1921022

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ATMA JAYA MAKASSAR
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................6

C. Tujuan Penelitian..........................................................................................7

D. Manfaat Penulisan.........................................................................................7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................8

A. Tinjauan Umum Tentang Diparitas Putusan pengadilan..............................8

1. Pengertian Disparitas.................................................................................8
2. Pengertian Penetapan Pengadian...............................................................8

B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan..........................................................9

1. Pengertian Perkawinan..............................................................................9
2. Tujuan perkawinan....................................................................................9
3. Syarat Sahnya Perkawinan......................................................................11
4. Syarat Untuk Melangsungkan Perkawinan.............................................14

C. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama...................................16

1. Pengertian Perkawinan Beda Agama......................................................16


2. Pengaturan Perkawinan Beda Agama.....................................................17
3. Pencatatan Perkawinan beda Agama.......................................................20

BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................21

A. Jenis Penelitian............................................................................................21

B. Sumber Data................................................................................................21

C. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum................................23

ii
D. Teknik Analisis Bahan Hukum...................................................................24

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai mahluk sosial, manusia hidup tidak terlepas dari manusia lainnya.

Salah satu bentuk kerjasama dalam menjalani kehidupan dapat dilihat dari

perkawinan, Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan

manusia untuk membentuk sebuah keluarga untuk mewujudkan ketentraman

dengan dasar saling mencintai dan penuh dengan kasih sayang.

Di dalam sebuah perkawinan terdapat akibat-akibat hukum, sehingga

hokum yang ada memberikan aturan secara terperinci terkait perihal

perkawinan.Sejak dilangsungkan perkawinan akan timbul ikatan lahir batin antara

kedua mempelai dan juga timbul hubungan kekeluargaam di antara kerabat kedua

bela pihak. Dengan Perkawinan akan timbul suatu ikatan yang berisi hak dan

kewajiban.1 Perkawinan itu sendiri merupakan ikatan lahir dan juga batin antara

laki-laki dan seorang perempuan guna membentuk rumah tangga berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Di Indonesia terdapat ragam budaya dan adat istiadat serta beberapa agama

resmi yang telah diakui, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha

dan Khonghucu. Dengan adanya interaksi antara masyarakat membuka sebuah

peluang yang menyebabkan terjalinnya suatu hubungan hingga dapat berlanjut ke

1
Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta,
2004, hal 93.
2
Munir Fuadi, Konsep Hukum Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal 10.

1
dalam jenjang perkawinan. Budaya perkawinan dan aturan yang berlaku pada

suatu masyarakat atau suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan

lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya.3

Dengan adanya perkembangan di dalam masyarakat, persoalan mengenai

perkawinan semakin rumit, ditandai dengan adanya pemberitaan mengenai

perkawinan yang merupakan masalah di dalam masyarakat. Salah satunya adalah

perkawinan beda agama yang merupakan ikatan perkawinan antara seorang pria

dan seorang wanita yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda dengan

tetap mempertahankan keyakinan masing-masing.4 Berdasarkan Pasal 29 Ayat 2

Undang-Undang 1945 yang menyatakan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya itu.".

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri demi tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian ketika kita

menarik definisi dan tujuan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang perkawinan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974

Nomor 1, Tambahan lembaran Negara Nomor 3019)

Apabila ditinjau pada pasal 2 ayat (1) UU perkawinan, sahnya suatu

perkawinan adalah menurut hukum agamanya atau keyakinannya masing-masing.

Dan pada ayat (2) berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

3
H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum
Adat Hukum Agama, Mandar Maju, Jakarta, 1990, hal. 1.
4
Nur Asiah, Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama menurut Udang-Undang
Perkawinan dan Hukum Islam, dalam Jurnal Hukum Samudra Keadilan,, vol. 10 No. 2, (Juli-
Desember 2015), hal. 206.

2
perundang-undangan yang berlaku. Jadi, yang dimaksud dengan menurut hukum

agamanya masing masing yaitu tergantung dari sahnya hukum masing-masing

agama yang bersangkutan dalam melangsungkan perkawinan beda agama, aturan

dari masing agamanya. Berarti dengan adanya masalah pengaturan perkawinan di

Indonesia, Undang-undang memberikan kepercayaannya secara penuh kepada

Agama, dan Agama memiliki peranan penting terhadap perkawinan berbeda

agama.

Jelas diketahui bahwa dalam melangsungkan perkawinanan. diharuskan

untuk seagama agar pelaksanaanya tidak terdapat hambatan maupun

penyelewengan agama. Dalam pelaksanaanya menurut Undang-undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan beda agama tidak boleh

dilaksanakan, dan tidak sah menurut hukum kecuali salah satu pihak mengikuti

agama pasangannya. Jika kedua pasangan sudah seagama barulah perkawinan

dapat dilangsungkan dan dianggap sah apabila dicatatkan dalam pencatatan

perkawinan sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam pasal 2 ayat (2)

Undang undang Perkawinan (UUP).

Menurut Sa'id bin Abdullah bin Talib al-Hamdani, wanita muslimah yang

kawin dengan pria non muslim dikhawatirkan terpengaruh oleh dominasi suami,

apalagi jika suami memiliki otoritas secara intlektual dan ekonomi, sehingga

sedikit demi sedikit wanita muslimah goyah dan ragu dengan keimanannya lalu

kemudian murtad, baik atas kemauannya sendiri maupun karena terpaksa oleh

suaminya.5

5
Sa’id bin Abdullah bin Tallib al-hamdani, Risalah an-nikah, dialih bahasakan oleh Agus
salim.II, jakarta: pustaka amani, 2002, hlm 53-54

3
H. Ichtianto menyatakan bahwa sebagai undang-undang yang dibentuk

berdasarkan dan bercita hukum Pancasila, misalnya Undang-Undang No. 2 ayat 1

memberikan kekuatan berlaku hukum perkawinan agama-agama yang dipeluk

penduduk Indonesia. Tidak ada perkawinan yang dilangsungkan di luar hukum

Agama karena Undang-Undang Perkawinan dibentuk berdasarkan asas

Ketuhanan Yang Maha Esa Perkawinan campuran yang sesuai dengan cita

hukum, Ichtianto menyatakan bahwa dalam Negara RI berdasarkan Pancasila

tidak boleh ada pencatatan tentang Perkawinan Campuran antar pemeluk agama

yang berbeda, karena berbahaya dan langsung bertentangan dengan Pancasila.6

Dalam Pasal 2 Undang-Undang ayat 2 Tahun 1974 tentang Perkawinan

disebutkan syarat sahnya perkawinan Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 menyatakan bahwa :

1. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya


menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsunakan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.

6
H. Ichianto, “Perkawinan campuran dalam negara republik indonesia” (jakarta: litbang
Agama dan diklat keagamaan kementriaan agama, 2003) Hal. 195.

4
Pasal 21 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa :

1. Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan


tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak
melangsungkan perkawinan.
2. Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin
melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan
diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan
alasan-alasan penolakannya.
3. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan
kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang
mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan
menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.
4. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan
memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut
ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
5. Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang
mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin
dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

Seperti yang dijumpai dalam dua putusan dengan duduk perkara yang sama

namun mendapatkan amar putusan yang berbeda.

Hal ini dapat dilihat pada putusan pengadilan negeri, kabupaten surabaya,

pengadilan negeri Nomor 916/Pdt.p/2022/Pn.Sby. kronologi kasus pada putusan

dimana pemohon sepakat satu sama lain untuk melaksanakan perkawinan di

pencatatan sipil akan tetapi di tolak karena status berbeda agama, namun dalam

penetapan pengadilan hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan Para

Pemohon.

Pada putusan kedua yakni putusan pengadilan negeri Surakarta Nomor

403/Pdt.p/2019/Pn.Skt. bahwa pada tanggal 15 oktober 2019 para pemohon telah

diberitahukan kepada kantor dinas kependudukan dan pencatatan sipil kota

Surakarta tentang akan dilaksanakannya perkawinan beda agama yaitu pemohon I

azarya hendri estiko beragama Kristen dan pemohon II ari estina sulistyanti ber

agama islam, maka oleh kantor dinas pencatatan sipil kota Surakarta permohonan

para pemohon tersebut ditolak. Namun demikian kedua pasangan tersebut masih
5
berusaha untuk melaksanakan perkawinan dengan memohon ke pengadilan agar

memberikan izin kepada para pemohon untuk melangsungkan perkawinan.

Alasan para pemohon pada putusan kedua hampir mirip dengan pemohon

pada putusan pertama yakni berharap hakim mengabulkan perkawinan beda

agama. Akan tetapi dalam putusan kedua ini pemohon ke II telah menikah

sebelumnya dan telah cerai hidup, dan para saksi-saksi telah memberikan

kasaksiannya bahwa para pemohon I beragama Kristen belum memberitahukan

ke gereja bahwa pemohon I akan melangsungkan perkawinan antara pemohon I

dan pemohon II masing-masing belum mengetahui perkawinan mereka akan

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu, maka

hakim menolak seluruh permohonan para pemohon.

Melihat kedua deskripsi singkat di atas keduanya memiliki karakter perkara

yang sama serta tuntutan/pemohon yang sama yakni memohon izin perkawinan

beda agama menurut undang-undang. Naun dalam hal ini antara putusan satu dan

putusan kedua memiliki Amar putusan yang berbeda. Putusan pertama hakim

mengabulkan izin perkawinan beda agama, sedangkan pada Amar putusan kedua

hakim menolak permohonan para pemohon tentang perwakawinan beda agama

karena para pemohon belum mengetahui perkawinan tersebut akan dilakukan

menurut hukum agama yang mana.

Dari uraian kedua kasus di atas, hal ini menjadi isu hukum yang menarik

dengan judul “DISPARITAS PENETAPAN PENGADILAN DALAM PERMOHONAN

IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan konsep dan latar belakang masalah diatas, maka penulis

membuat rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut:

6
1. Bagaimana pelaksanaan perkawinan beda agama ditinjau dari undang-

undang perkawinan?

2. Bagaimana disparitas pertimbangan hakim tentang perkawinan beda

agama pada Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby dan Penetapan

Nomor 403/Pdt.P/2019/PN.Skt?

C. Tujuan Penelitian

Adapun terkait tujuan penelitian ini terbagi menjadi 2 yakni :

1. Tujuan umum penelitian ini adalah pengumpulan data dan bahan hukum

demi kepentingan penyususnan skripsi yang kemudian untuk

memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Atma

Jaya Makassar.

2. Tujuan khususnya yakni menganalisis dan mengkritis pertimbangan

hakim dalam memutus perkara perkawinan beda agama yang dimana

terjadi disparitas.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Dalam penelitian ini penulis berharap dapat menjadi manfaat dan

memberikan pengetahuan bagi masyarakat mengenai ilmu hukum perdata

khususnya terhadap persoalan perkawinan beda agama.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan tambahan

ilmu pengetahuan terkait masalah yang diteliti serta berguna bagi siapa saja yang

berminat meneliti masalah berkaitan.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Diparitas Putusan pengadilan

1. Pengertian Disparitas

Disparitas adalah kebebasan yang diberikan undang-undang kepada hakim

untuk memutus perkara sesuai dengan ketentuan, walaupun putusan tersebut

bisa saling berbeda antara suatu perkara dengan perkara yang lain.

Penyematan kata disparitas sering terjadi untuk kalimat yang merujuk pada

pemaknaan disparitas yang ada di KBBI, kata tersebut dapat dipahami sebagai

istilah untuk menyebut sebuah kondisi yang tak seragam sehingga

menggambarkan perbedaan atau hal yang berlawanan serta bersinggungan.

2. Pengertian Penetapan Pengadian

Suatu penetapan pengadilan dapat dikeluarkan berdasarkan adanya

permohonan atau gugatan voluntair yang ditandatangani oleh pemohon (baik

perorangan maupun badan hukum) atau kuasanya yang ditujukan kepada ketua

pengadilan negeri. Istilah permohonan atau gugatan voluntair ini dapat dilihat

dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1975

tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang meskipun tidak diatur

lagi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, dan terakhir diperbaharui

dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.

Ketentuan sebagaimana dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman masih dianggap relevan dan merupakan penegasan di samping


8
kewenangan badan peradilan terhadap perkara gugatan, tetapi termasuk juga

pada perkara voluntair untuk meminta penetapan yang hanya melibatkan satu

pihak saja.7

B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Republik Indonesia No.

1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 1 adalah ikatan lahir batin

antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.8

Dalam pengertian dalam segi bahasa memiliki arti bahwa perkawinan

merupakan berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri

menjadi satu kesatuan utuh dan bermitra.9 Sedangkan berdasarkan hukum

islam perkawinan adalah suatu perjanjian antara mempelai laki-laki disatu

pihak dan wali dari memperlai perempuan dilain pihak yang terjadi dengan

suatu ijab yang dilakukan oleh wali calon isteri dan diikuti oleh kobul oleh

calon suami yang disertai sekurang-kurangnya dua orang saksi.10

2. Tujuan perkawinan

Setiap perbuatan pasti memiliki tujuan, begitu pula dengan perkawinan.

Perkawinan tidak sekedar legalitas dalam hubungan badan suami istri tetapi

ada beberapa tujuan dengan diadakannya sebuah perkawinan, di antaranya

adalah;

7
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 3 Desember 2018 Hal 371
8
Undang-undang Republik indonesia no.1 tahun 1974 tentang perkawinan
9
Khoirudin Nasution, loc.cit, Hukum Perkawinan , hlm 17
10
Komariah, Hukum Perdata Edisi Revisi, UMM Press, Malang, 2013, hal 33

9
(1) Untuk mendapatkan keturunan yang sah guna melanjutkan generasi yang

akan datang.11 Ini adalah salah satu tujuan utama perkawinan. Untuk

mendapatkan keturunan yang sah harus melalui perkawinan yang sah

juga.

(2) Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan

(3) rasa kasih sayang12 atau yang disebut dengan keluarga yang sakinah,

mawaddah, dan rahmah. Bangsa yang terdiri atas kumpulan keluarga

yang harmonis dan kokoh, maka kokoh pulalah bangsa tersebut.

Sebaliknya, apabila keluarga sebagai fondasi suatu bangsa itu lemah,

lemahlah bangsa tersebut.13 Dalam komentarnya, Amir Syarifuddin

menjabarkan bahwa dalam penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin

kelangsungan hidup umat manusia bisa saja melalui jalur luar pernikahan.

Akan tetapi hal tersebut tidak akan bisa menghasilkan ketenangan dalam

hidup bersama suami istri dengan penuh rasa kasih sayang.

(4) Sebagai penyaluran syahwat secara sah dan penumpahan kasih sayang

berdasarkan tanggung jawab.14 Telah banyak diketahui bahwa setiap

manusia mempunyai nafsu sahwat yang perlu untuk disalurkan dengan

baik, maka perkawinan merupakan satu-satunya cara dalam penyaluran

biologis secara sah. Jika syahwat telah tersalurkan dengan baik, maka hal

ini bisa memelihara diri dari kerusakan yang diakibatkan oleh nafsu

syahwat.

11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2009), 46
12
Ibid., 47
13
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, 18
14
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, 27

10
Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 disebutkan bahwa “Perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 13 Menurut pasal 1 UU

1/1974 tersebut, tujuan perkawinan lebih kepada hubungan harmonis antara

suami istri, lebih kepada membentuk keluarga atau rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan atas ketakwaan kepada agama yang dianutnya.

Dari beberapa uraian di atas, tujuan tertinggi sebuah perkawinan adalah

memelihara generasi, memelihara gen manusia, dan masing-masing suami

istri mendapatkan ketenangan jiwa karena kecintaan dan kasih sayangnya

dapat disalurkan dengan baik.15

3. Syarat Sahnya Perkawinan

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, pengertian perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.

Dari pengertian perkawinan tersebut menunjukan bahwa perkawinan

bukan hanya ikatan lahir, namun juga ikatan bathin, dan pada dasarnya

perkawinan menganut asas monogami.Tujuan perkawinan adalah untuk

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

15
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

11
Untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut tentunya perkawinan

harus melalaui prosedur dan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Undang-

undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan

sah apabila perkawinan tersebut dilaksanakan dengan memenuhi seluruh

ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Perkawinan yang sah akan

memberikan kepastian hukum dan kepentingan hukum orang yang

melangsungkan perkawinan akan terlindungi.

Bagaimana dan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi sehingga

perkawinan itu sah menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Perkawinan sah menurut hukum apbila perkawinan tersebut dilaksanakan

menurut hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia. Peraturan Perundang-

undangan yang mengatur masalah perkawinan yang berlaku di Indonesia.

Dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan ditentukan bahwa perkawinan

adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan

kepercayaannya itu. Kata “masing-masing agamanya” ini untuk membedakan

agama-agama yang dipeluk oleh masyarakat di Indonesia, sedangkan “dan

kepercayaannya itu” menunjukkan bahwa dalam keseluruhan Pasal 2 ayat 1

UU Perkawinan dimaksudkan semua pelaksanaan perkawinan harus dilakukan

menurut hukum agamanya, atau dengan kata lain, tidak akan ada pelaksanaan

perkawinan di luar hukum agamanya atau yang bertentangan dengan hukum

agamanya. Hal ini juga dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan

beserta dengan penjelasannya, bahwa perkawinan mutlak harus dilaksanakan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, kalau tidak,


12
maka perkawinan tersebut tidak sah. Dengan demikian, bagi orang Islam tidak

ada kemungkinan untuk melangsungkan perkawinan dengan melanggar

hukum agamanya sendiri, demikian pula bagi orang Kristen, Hindu atau pun

Budha.16

Sebagaimana telah dikemukakan di depan, bahwa perkawinan merupakan

suatu perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum. Oleh karenanya

apabila perkawinan para pihak yang bersangkutan menurut hukum dianggap

sah, maka akibat dari perkawinan itu pun akan dianggap sah pula oleh hukum.

Adapun yang dimaksud dengan masing-masing hukum agama dan

kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku

bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan

atau tidak ditentukan lain oleh UU Perkawinan tersebut.17

Kemudian dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan bahwa, setiap

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan tersebut tidak menentukan sahnya perkawinan, tetapi memberikan

sarana pembuktian bahwa perkawinan tersebut memang benarbenar ada dan

terjadi. Dengan demikian perbuatan pencatatan hanyalah merupakan suatu

tindakan yang bersifat administratif. Pencatatan perkawinan bertujuan agar

peristiwa perkawinan tersebut menjadi jelas baik bagi yang bersangkutan

maupun bagi pihak yang lain. Hal tersebut disebabkan pencatatan perkawinan

16
Hazairin, 1986, Tinjauan Mengenai UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Tinta Mas, halaman 8.
17
K. Wantjik Saleh, 1982, Loc. Cit.

13
dituangkan dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat dalam daftar

yang khusus disediakan untuk itu, sehingga dapat dibaca oleh yang

berkepentingan dan sewaktu-waktu dapat dipakai sebagai alat bukti yang

otentik. Dengan surat tersebut dapat dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan

lain.18

4. Syarat Untuk Melangsungkan Perkawinan

Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 sebagai

berikut :

1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1)).

2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum

berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) ).

3. Usia calon mempelai sudah 19 tahun dan usia calon mempelai wanita

sudah mencapai 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)).

4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tdak dalam

hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin (Pasal 8).

5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9).

6. Bagi suami isteri yang bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai

lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang

mereka untuk kawin ketiga kalinya (Pasal 10).

7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang

janda.

18
K. Wantjik Saleh, 1982, Op Cit, halaman 17.

14
Selanjutnya penulis akan menjelaskan syarat-syarat tersebut secara rinci

sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan.

1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.

Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:

“Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”. Dalam

penjelasannya dinyatakan: Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar

suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai

pola dengan hak asasi manusia.Maka perkawinan harus disetujui oleh kedua

belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari

pihak manapun.

2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia

21 tahun.

Dalam Pasal 6 ayat (20, ayat (3) ayat (4), ayat (5) dan ayat (7) Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan sebagai berikut :

1. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berusia mencapai

usia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

2. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin

dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih

hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

3. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak

mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang

15
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam

garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam

keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

4. dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut ayat

(2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih dari mereka tidak

menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat

tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang

tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-

orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

5. ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu tidak menentukan

llain.

C. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama

1. Pengertian Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama sendiri merupakan ikatan lahir batin yang terjadi

antara antara seorang pria dan seorang wanita yang berkelainan agama atau

berbeda agama yang menimbulkan bersatunya suatu percampuran peraturan

mengenai syarat-syarat pelaksanaan perkawinan dan tata cara pelaksanaan

perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.19

19
http://www.academia.edu/7613499/Tugas_9_putusan diakses Tanggal 15 Maret 2023
15 Rusli & R.Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung, 2000, hlm
1

16
2. Pengaturan Perkawinan Beda Agama

Perkawinan didalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 26 sampai dengan

Pasal 102. KUH Perdata memandang perkawinan hanya dalam

hubunganhubungan keperdataannya saja. Bertitik tolak dari ketentuan tersebut

maka undang-undang tidak memandang penting adanya unsur-unsur

keagamaan, selama tidak diatur dalam hubungan hukum perdata.

Di dalam KUHPerdata tidak dijumpai adanya definisi perkawinan. Akan

tetapi para Sarjana Hukum antara lain Asser, Scholten dan Wiarda

memberikan definisi sebagai berikut “perkawinan ialah suatu persekutuan

antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk

hidup Bersama/bersekutu yang kekal.

Mengenai larangan wanita Muslimah kawin dengan laki-laki nonmuslim

secara tegas disebutkan dalam Pasal 44 KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang

menegaskan seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan

dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Dengan demikian agama Islam melarang mutlak perkawinan antar agama

bagi wanita islam, sedangkan bagi pria terdapat perbedaan pendapat diantara

para ahli hukum islam, yang dapat dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu:

1. Melarang secara mutlak

2. Memperkenankan secara mutlak

3. Memperkenankan dengan syarat-syarat tertentu.

Larangan perkawinan ini diatur dengan tegas di dalam Al-quran dan Hadist,

yang meliputi:

17
1. Larangan perkawinan karena hubungan darah terlalu dekat;

2. Larangan perkawinan karena hubungan susuan; larangan perkawinan

karena hubungan samenda;

3. Larangan perkawinan dengan bekas isteri yang diliang;

4. Larangan merujuk bekas isteri yang telah dijatuhi talak tiga, kecuali

setelah si isteri tersebut kawin lagi dengan orang lain dan kemudian

bercerai pula dengan suaminya terakhir;

5. Dan larangan memperisteri dua orang perempuan yang bersaudara;

larangan beristeri lebih dari empat orang;

6. Larangan mengawini wanita yang bersuami; larangan perkawinan karena

perbedaan agama kecuali bagi laki-laki muslim. Seorang laki-laki muslim

dihalalkan mengawini wanita non muslim, asalkan dia dari golongan

kitabiyah (misalnya Kristen)

Perkawinan menurut agama Kristen Protestan, pada dasarnya agama

protestan memandang perkawinan sebagai persekutuan pria dan wanita yang

berasaskan pada ciptaan Tuhan serta untuk meneruskan keturunanya. Gereja

Protestan umumnya menghindari perkawinan beda agama. Hanya dalam

keadaan yang tidak dapat dihindari Gereja akan mengijinkannya dengan

catatan harus memenuhi persyaratan tertentu. Sikap dan syarat-syarat untuk

masing-masing Gereja Protestan adalah berbeda-beda.20 Gerejapun tidak

mengenal adanya perceraian. Hal ini dinyatakan dalam kitab suci

Injil/Perjanjian Baru, Matius 19:6 “apa yang telah dipersatukan oleh Allah,

20
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perpektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012.,
Hlm. 98

18
tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Hampir sama dalam ajaran agama

Katolik, dalam hal ini agama Katolik dan agama Protestan adalah sama,

sedapat mungkin menghindari perkawinan perbedaan agama. Hanya dalam

hal tertentu, dalam keadaan yang tidak dapat dihindari, Gereja dapat

mengijinkan Perkawinan beda agama, dengan memberkatinya di dalam Gereja

setelah mendapat dispensasi dari Bapak Uskup.

Sedangkan Menurut ajaran Agama Budha setiap agama adalah baik dan

setiap manusia bebas untuk memeluk agamanya masing-masing menurut

keyakinannya, sehingga tidak menjadi persoalan apabila seorang yang

beragama budha hendak menikah dengan seorang yang bukan beragama

budha. Dengan demikian apabila ada permohonan untuk melangsungkan

perkawinan beda agama antara seorang yang beragama budha dengan yang

bukan beragama budha maka permohonan tersebut dapat dikabulkan.21

Lain hal dengan menurut Agama Hindu, agama hindu melarang

perkawinan beda agama, terutama jika pihak laki-laki yang beragama hindu,

karena berbeda agama berarti berbeda prinsip hidup. Namun bila kedua calon

mempelai tetap bersikukuh untuk melangsungkan perkawinannya, upaya

penyelesaian yang dapat ditempuh menurut agama hindu adalah salah satu

calon mempelai yang bukan beragama hindu harus disucikan terlebih dahulu

sesua ajaran Agama Hindu yang didasarkan kepada Kitab Suci Weda.

Perkawinan menurut agama kong hu cu dapat dikatakan pada prinsipnya

sama dengan agam Budha artinya membolehkan perkawinan beda agama.

21
Ibid., Hlm. 99

19
3. Pencatatan Perkawinan beda Agama

Perkawinan beda agama di Indonesia dapat di catat atas Perintah atau

Penetapan Pengadilan Negeri, akan tetapi apabila melakukan perkawinan beda

agama di luar negeri maka harus mencatatkan perkawinannya di Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil saat kembali ke Indonesia.

Ada beberapa cara yang ditempuh oleh mereka yang akan melakukan

perkawinan beda agama, diantaranya salah satu dari pasangan mengikuti

keyakinan agama pasangannya dan menikah menurut agama dari pasangannya

tersebut. Dalam hal ini terdapat dua bentuk perpindahan keyakinan agama

yang dilakukan pasangan untuk dapat melangsungkan pernikahan dengan

pasangannya, yaitu; Pertama, perpindahan agama hanya berupa proforma

untuk memenuhi persyaratan agar pernikahannya dapat dilangsungkan dan

dicatatkan secara resmi, namun kemudian setelah perkawinan tersebut

berlangsung yang bersangkutan kembali kepada keyakinan agamanya semula

dan tetap menjalankan aturan agamanya. Kasus perkawinan beda agama

dengan cara seperti ini banyak terjadi dan menyebabkan timbulnya gangguan

terhadap kehidupan rumah tangga dan keluarga di kemudian hari.

Otoritas agama dalam bidang perkawinan hukum tidak dapat dihindari

karena selain mengidentifikasi dua insan yang berbeda perkawinan juga

merupakan ibadah yang ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kaedah-

kaedah agama yang mengatur tentang perkawinan tidak dapat disampingkan

oleh setiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan, tetapi ironisnya

20
terdapat kecenderungan bahwa nilai- nilai agama terabaikan karena

perkawinan hanya merupakan masalah suka sama suka, saling

kesepakatan dan mencintai lawan jenis. Sehingga ingin membentuk

pengikat rumah tangga walaupun beda keyakinan tidak menjadi

halangan untuk melaksanakan perkawinan, akibat perkawinan beda

agama merupakan hal yang biasa dilaksanakan, walaupun agama

belum tentu diperbolehkannya.

21
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis yang digunakan penulis dalam Penelitian ini ialah normatif.

Menurut Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, penelitian yuridis normatif

adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah

bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai

asas-asas. norma, kaidah, dari peraturan perundang- undangan, putusan

pengadilan, perjanjian serta mengkaji tentangpendaftaran akta pemberian

hak tanggungan dengan agunan sertifikat tanah.22

Pengkajian landasan normative juga dimaknai dengan pengkajian

literasi yakni metode yang digunakan dalam penelitian hukum dengan cara

meneliti bahan pustaka yang ada

B. Sumber Data

sumber data hukum merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam

membuat penelitian ilmia, agar diperoleh data yang lengkap,

benar,akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. penulis menggunakan

data sekunder dengan tiga bahan hukum sebagai berikat:

22
Mukti Fajar, Yulianto Achmad. 2017. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Cetakan IV, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 33

22
1. Bahan Hukum Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh

langsung dari lapangan. Sumber hukum primer yang digunakan

yaitu Peraturan Perundang-Undangan yang berhubungan

dengan masalah dispensasi perkawinan anak dibawah umur

seperti :

a. Kitab Undang-Undang Hukum perdata

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor

1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3019)

c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan

d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang perkawinan

2. Bahan Hukum Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber yang didapatkan

melalui kepustakaan dengan cara membaca, mengkaji dan

mempelajari buku- buku yang relevan dengan objek yang di

teliti. Data sekunder digunakan untuk mendukung keterangan

yang melengkapi data primer dalam penelitian ini yaitu seperti

23
yang berupa buku-buku, literatur- literatur, makalah-makalah,

dan data-data yang di tulis oleh para ahli hukum.Bahan hukum

sekunder yang penulis gunakan dalam hal ini adalah Putusan

Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby dan Putusan Pengadilan Nomor

403//Pdt.P/2019/PN.Skt, buku, jurnal hukum, media

onlineserta karya ilmiah kalangan hukum.

3. Bahan hukum tersier

Sumber data tersier adalah berupa data yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap data hukum primer dan

data hukum sekunder seperti Kamus Hukum, ensiklopedia,

surat kabar, berita dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

C. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Dalam mendapatkan informasi bahan hukum yang memuat

pembahasan yang akurat, pengumpulan bahan hukum ini dilakukan yaitu

dengan cara menerapkan studi kepustakaan (library research). Melalui

peraturan perundang- undangan terkait dan data penelitian berupa buku-

buku, teori hukum yang berkaitan dengan masalah yang di teliti, yaitu

bahan-bahan atau Pustaka-pustaka yang berkaitan dengan masalah

dispenasi perkawinan anak dibawah umur.Cara pengolahan bahan hukum

dilakukan dengan cara membaca, menyalin, dan mengunduh (download)

bahan-bahan hukum yang bersifat primer, sekunder, dan tertier sesuai

dengan yang di sebutkan di atas dengan mengidentifikasikan cara

spesifik, objektif, dan sistematis. Adapun setelah bahan hukum yang di

perlukan terkumpul, selanjutnya penulis menyusun dan mengelompokkan

24
bahan hukum secara sistematis.

D. Teknik Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum, terdapat beberapa jenis pendekatan. Namun

sesuai dengan studi normatif dan relevansi dengan kasus yang penulis teliti

maka dari itu penulis kemudian menjabarkan beberapa pendekatan yang

dilakukan sebagai berikut :

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Jika kita merujuk pada pengertia pendekatan undang-undang

menurut Peter Mahmud Marzuki adalah“Pendekatan undang-undang

(statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang

regulasi yang bersangkutan paut dengan permasalahan yang sedang

ditangani. Pendekatan Perundang-undangan adalah pendekatan

dengan menggunakan legilasi dan regulasi.23

Suatu penelitian normatif sudah seharusnyamenggunakan

pendekatan perundang-undangan sebab yang kemudian akan diteliti

adalah berbagai peraturan hukum yang harus menjadi fokus sekaligus

tema sentral suatu penelitian. Dalam penelitian ini, perundang-

undangan yang digunakan penulis adalahKitab Udang –Undang

Hukum perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang- Undang

Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang

25
23
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 157

b. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk

mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang

dilakukan dalam praktik hukum. Pendekatan jenis ini

biasanyadigunakan mengenai kasus-kasus yang telah mendapat

putusan. Kasus-kasus tersebut bermakna empirik, namun dalam suatu

penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dapat dipelajari untuk

memperoleh suatu gambaran terhadap dampak dimensi pernormaan

dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan

hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi

hukum24

c. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

pendekatan ini dilakukan karena memang belum atau tidak ada

aturan hokum untuk masalah yang dihadapi, pendekatan ini

konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

yang berkembang dalam ilmu hukum, sehingga melahirkan pengertian

hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan yang

dihadapi.25

24
Ibid., hlm. 321
25
Johnny Ibrahim. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Cet 3. Malang :
Bayumedia Publishing, 2007),306
Adapun tahapan yang penulis ambil dalam menelaah dan menguraikan data

26
yaitu :

1) Menyajikan bahan hukum berupa putusan pengadilan

negeri Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.SBY dan putusan

pengadilan nomor 403/Pdt.P/2019/PN.SKT

2) Analisis bahan hukum dalam perspektif, yakni:

a. Terjadinya disparitas terhadap perkawinan beda

agama ditinjau dari undang-undang perkawinan

b. Pertimbangan hakim tentang izin melakukan

perkawinan beda agama pada Putusan Nomor

916/Pdt.P/2022/PN.Sby dan Putusan Nomor

403/Pdt.P/2019/PN.Skt

27
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Achmad Nurcholish dan Ahmad Baso, Pernikahan Beda Agama,Kesaksian,


Argumentasi Keagamaan dan Analis Kebijakan. Jakarta: ICRP-
KOMNASHAM, 2011

Ali Afandi,Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Rineka Cipta,


Jakarta, 2004, hal 93.

Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana


Prenada Media Group, 2009), hal. 46.

H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan


Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju, Jakarta, 1990, hal. 1.

Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perudangan,


Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung : Mandar Maju

Makalew, J. (2013). Akibat hukum dari perkawinan beda agama di Indonesia. Lex
Privatum, 1(2).

Munir Fuadi, Konsep Hukum Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2014,hal 10.

O.S, Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, cet. Ke-1, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 12

Prodjodikoro, R. Wirjono. 1984. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung :


Sumur Bandung

B. Jurnal

Makalew, J. (2013). Akibat hukum dari perkawinan beda agama di Indonesia.


Lex Privatum, 1(2).

Nur Asiah, Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama menurut Udang-
Undang Perkawinan dan Hukum Islam, dalam Jurnal Hukum Samudra
Keadilan,, vol. 10 No. 2, (Juli-Desember 2015), hal. 206

Wahyuni, S. (2018). Kontroversi Perkawinan Beda Agama di Indonesia. Al-


Risalah, 14(02), 293-306.

28
Yasin Baidi, Fenomena Nikah Beda Agama Di Indonesia : Telaah Terhadap
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1400K/Pdt/1996”,
dalam Jurnal Sosio-Religia Vol. 9, No. 3 (Mei 2010), hal. 672.

C. Peraturan Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan lembaran Negara
Nomor 3019)

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang admnistrasi kependudukan


(lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674),
sebagaimana telah di ubah dengan undang-undang Nomor 24 Tahun 2013
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 Tentang
administrasi kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 232, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5475)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang


perkawinan

D. Website

http://www.academia.edu/7613499/Tugas_9_putusan diakses Tanggal 15 Maret 2023 15


Rusli & R.Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pionir Jaya,
Bandung, 2000, hlm

29

Anda mungkin juga menyukai