Anda di halaman 1dari 40

TINJAUAN YURIDIS KAWIN LARI SEBAMBANGAN DITINJAU DARI

PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG


PERKAWINAN
(Studi Kasus Di Desa Kubu Batu Kecamatan Way Khilau Lampung Selatan)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

RENA NOVISKA
191010200057

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKIUM
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2023
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
A Latar Belakang Masalah...................................................................................5
B Rumusan Masalah...........................................................................................11
C Tujuan Penelitian............................................................................................12
D Manfaat Penelitian..........................................................................................12
E Kerangka Teori Kepastian hukum..................................................................13
F Orisinalitas Penilitian......................................................................................13
G Sistematika Penulisan.....................................................................................14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................16
A Tinjauan Umum Tentang Pengertian Sebambangan......................................16
1. Pengertian Sebambangan........................................................................16
2. Pelaksanaan Sebambangan Dalam Adat Lampung.................................19
3. Tujuan Sebambangan..............................................................................24
B Hukum Perkawinan Nasional.........................................................................25
1. Pengertian Perkawinan............................................................................25
2. Dasar Hukum Perkawinan.......................................................................27
3. Tujuan Perkawinan..................................................................................28
4. Syarat Sah Perkawinan............................................................................29
5. Rukun Perkawinan..................................................................................32
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................35
A Jenis Penelitian...............................................................................................35
B Spesifikasi Pendekatan...................................................................................36
C Sumber dan Jenis Data....................................................................................36
D Lokasi Penelitian............................................................................................37
E Teknik Pengumpulan Data..............................................................................37
F Teknik Analisis Data.......................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................39
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa juga

merupakan salah satu penjelmaan dari jiwa bangsa yang bersangkutan dari

abad ke abad. Oleh karena itu, tiap bangsa di dunia termasuk suku-suku

bangsa di Indonesia memiliki adat kebiasaannya sendiri-sendiri yang

berbeda-beda satu dengan yang lainnya dan justru karena tidak sama itulah

maka dapat dikatakan bawha adat itu merupakan unsur penting dalam

memberikan identitas suatu bangsa tertentu. Dari segi pandangan yuridis,

hukum adat dapat diidentifikasi dimana ketika hukum adat dilanggar maka

pelakunya akan terkena akibat hukum atau konsekuensi dari hukum

tersebut.

Perkawinan merupakan suatu perjanjian antara seorang laki-laki

dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa “perkawinan

ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menimbulkan

unifikasi hukum dalam perkawinan di Indonesia, dimana perkawinan


1
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Fakultas Hukum,Universitas Diponegoro,
Semarang, 1990. hlm. 8.
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian

karena perkawinan bukan saja mengutamakan unsur jasmani tetapi unsur

rohani juga memegang peranan penting. Tujuan perkawinan dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal. Oleh karena itu suami istri perlu saling membantu dan

melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya

serta membantu mencapai kesejahteraan spiritual dan material.2

Sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 pasal 2 berbunyi “1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2)

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”. Penjelasan pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa tidak ada

perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu,

sesuai dengan UndangUndang Dasar 1945. Hukum masing-masing agama

dan kepercayaannya yang dimaksud itu termasuk ketentuan perundang-

undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu

sepanjang tidak ditentukan lain dalam undang-undang tersebut.

Terjadinya suatu ikatan perwakinan bukan semata-mata membawa

akibat terhadap hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami

istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi

juga menyangkut hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan,

kekerabatan, ketetanggan serta menyangkut upacara-upacara adat dan

2
Prakoso, Azaz Azaz hukum perkawinan di Indonesia, Bina aksara, Jakarta, 1987. hlm.
79.
keagamaan. Perkawinan juga menyangkut kewajiban mentaati perintah

dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya

(ibadah) maupun hubungan dengan sesama manusia (muamalah) dalam

pergaulan hidup agar selamat di dunia dan akhirat.3

Oleh karena itu perkawinan harus diatur sesuai dengan tuntutan

agama dan tradisi yang berlaku, karena dengan perkawinan yang sah

secara agama dan tradisi yang ada hubungan laki-laki dan perempuan

dapat diatur dengan cara yang lebih terpuji dan terhormat sesuai dengan

kedudukan manusia sebagai makhluk yang beradab.

Namun, Indonesia sebagai negara majemuk yang memiliki

keanekaragaman ras, suku, etnis, agama dan kebudayaan khususnya

budaya perkawinan. Hampir setiap daerah di seluruh Indonesia memiliki

tata cara adat perkawinan yang berbeda antara masyarakat adat satu

berbeda dengan masyarakat adat lain, antara suku bangsa satu berbeda

dengan suku bangsa yang lain.

Terkait dengan kebudayaan maka perkawinan khususnya di

Indonesia merupakan peristiwa yang dipahami secara universal, meskipun

bentuk dan tata cara yang berbeda-beda. Bentuk dan tata cara yang

berbeda didasarkan pada kenyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki

beragam aktivitas budaya. Beragam aktivitas budaya ini ditunjang dengan

adanya berbagai adat masyarakat yang memiliki hukum kekerabatan dan

bentuk adat istiadat yang juga berbeda. Salah satu bentuk budaya yang

3
Hadikusuma, Hukum perkawinan Indonesia, Bima aksara, Bandung, 1990. hlm.71.
berbeda-beda ini terlihat dalam hal perkawinan, yaitu pada fenomena

kawin lari.

Perkawinan dalam masyarakat adat merupakan peristiwa yang

sangat penting dan sakral. Ikatan perkawinan tidak hanya menyangkut

kedua belah pihak suami istri saja, tetapi juga menyangkut pihak lain dan

dapat mempengaruhi terhadap keutuhan suatu ikatan perkawinan. Pihak

lain yang dimaksud antara lain adalah orang tua kedua belah pihak,

saudara-saudaranya dan bahkan keluarga mereka masingmasing. Dengan

demikian suatu perkawinan tidak akan dengan mudah dan begitu saja

terlaksana menurut kehendak kedua calon mempelai, tetapi memerlukan

pengakuan dan persetujuan dari pihak-pihak lain.

Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah perkawinan yang

mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam

masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sebelum perkawinan

terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang

merupakan rasan sanak (hubungan anak anak, anak bujang dan gadis) dan

rasan tuha (hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami

istri). Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan itu berbentuk dan

bersistem. Berikut adalah bentuk-bentuk perkawianan di Indonesia pada

umumnya. Pertama, perkawinan jujur dimana pelamaran dilakukan oleh

pihak laki-laki kepada pihak perempuan dan setelah perkawinan istri

mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami (Batak, Lampung Bali).

Kedua, perkawinan semenda dimana pelamaran dilakukan oleh pihak


perempuan kepada pihak laki-laki dan setelah perkawinan suami

mengikuti tempat kedudukan dan kediaman istri (Minangkabau, Semendo,

Sumatera Selatan). Ketiga, perkawinan bebas (Jawa) dimana pelamaran

dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan kedua suami istri bebas

menentukan tempat kedudukan dan kediaman atas kehendak mereka.4

Secara umum, kawin lari merupakan perkawinan di mana lakilaki

melarikan perempuan yang akan dikawininya dengan persetujuan si

perempuan itu, untuk menghindarkan diri dari tata cara adat yang dianggap

berlarut-larut dan memakai biaya terlalu mahal. Sementara itu, pada

masyarakat Lampung, kawin lari disebut sebagai sebambangan.

Sebambangan adalah adat Lampung yang mengatur peminangan seseorang

bujang dan gadis melalui sistem pelarian gadis oleh bujang ke rumah

kepala adat untuk meminta persetujuan dari orang tua si gadis. Sering kali

sebambangan disalah artikan dengan nama “Kawin Lari”. Sehingga citra

adat lampung ini menjadi jelek di mata masyarakat di luar suku Lampung

yang tidak mengerti makna sesungguhnya dari arti sebambangan.

Kawin lari bisa dikatakan juga sebagai perkawinan yang tanpa

dilakukan oleh lamaran dan pertunangan. Hal ini terjadi biasanya

dikarenakan orang tua tidak setuju. Kedua calon suami istri yang telah

sepakat untuk melangsungkan perkawinan lari ke salah seorang kerabat

atau familinya atau dapat juga ke rumah penghulu. Setelah itu baru

diadakan pembicaraan tentang adat yang berlaku.

4
Ibid., hlm.71.
Perkawinan sebambangan yaitu apabila bujang dan gadis belarian

untuk kawin. Pada saat pelaksanaannya wanita meninggalkan sepucuk

surat yang menerangkan bahwa kepergiannya bersama laki-laki pilihannya

atas kehendaknya sendiri dengan tujuan perkawinan.5

Tata cara pelaksanaan adat sebambangan yaitu dengan cara pria

membawa wanita yang disukainya itu ke rumahnya atau ke rumah

saudaranya seperti paman dan bibi yang masih ada hubungan darah.

Kemudian pria meninggalkan sepucuk surat untuk ditunjukan kepada

orangtua wanita,surat itu berisi pemberitahuan jika wanita tersebut dibawa

lari olehnya dan pria tersebut meninggalkan uang tengepik. Uang tengepik

dan surat itu biasanya diletakan dibawah tempat tidur atau di dalam lemari

atau di tempat-tempat lainnya. Uang tengepik berawal dari 12 sampai 24

seperti Rp 120.000,- atau Rp 240.000,-.

Dilihat dari permasalahan diatas, tata cara sebambangan

dilaksanakan sudah berbeda dari tata cara yang sudah ditetapkan.

Dinamika pelaksanaan sebambangan yang terjdadi dari zaman dahulu

sampai sekarang ini sudah banyak perbedaan. Maka dari itu seringkali

menuai konflik di masyarakat. Seharusnya jika melihat tata cara

pelaksanaan sebambangan yang sudah ditetapkan maka pelaksanaan

sbambangan yang terjadi seperti kasus diatas sudah banyak perubahan.

Sedangkan menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 1

tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang

5
Hadikusuma, Hilman, Masyarakat dan Adat Budaya Lampung, Mandar Maju, Bandung,
1989.
Bahagia dan kekal berdasarkan ketuahan Yang Maha Esa. Pasal 2 ayat (1)

perkawianan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaan itu. Pasal 6 ayat (1), tentang syarat sahnya

perkawinan yang berbunyi, “perkawinan harus didasarkan atas persetujuan

dari kedua calon mempelai.” Dan Pasal 17 ayat (2), dijelaskan bahwasanya

pernikahan tidak dapat dilangsungkan apabila ada salah satu pihak yang

tidak setuju.

Bedasarakan fenomena yang terjadi di masyarakat dan paparan

maslah diatas, maka penulis tertarik melakukan penelitian ini dengan judul

“TINJAUAN YURIDIS KAWIN LARI SEBAMBANGAN DITINJAU

DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN (Studi Kasus Di Desa Kubu Batu

Kecamatan Way Khilau Lampung Selatan).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan yang telah di uraikan diatas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini sebai berikut:

1. Bagaimana syarat sah perkawinan adat kawin lari dalam perspektif

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ?

2. Bagaimana kepastian hukum pelaksanaan kawin lari sebambangan

berdasarkan Undang-Undang No. 1Tahun 1974 tentang Perkawinan ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan

dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui syarat sah perkawinan adat kawin lari dalam

perspektif Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2. Untuk mengetahui kepastian hukum pelaksanaan kawin lari

sebambangan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan ?

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis sebagai berikut:

1. Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat

untuk memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan

bidang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia.

2. Secara Praktis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis

di bidang ilmu hukum serta memberikan pengetahuan kepada

masyarakat tentang adat kawin lari.

b. Sebagai pedoman bagi peneliti-peneliti selanjutnya.

E. Kerangka Teori

Kepastian hukum

F. Orisinalitas Penilitian

Orisinalitas penelitian menyajikan substansi perbedaan hal-hal yang

diteliti antara proposal skripsi yang diajukan oleh penulis dengan


penelitian-penelitian sebelumnya khususnya jurnal, skripsi, tesis dan

disertasi.

Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya pengulangan kajian

terhadap hal yang sama. Dengan demikian akan diketahui hal-hal apa-apa

saja yang membedakan antara penelitian-penelitian terdahulu.

1. Zikrul Alfa Nurohim, 2022, Jenis Penelitian : Normatif dan Empiris,

Judul Penelitian, “ Tradisi Sebambangan Masyarakat Adat Lampung

Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Di Desa Mulang Maya

Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara)”.Tema

penelitian yang diangkat dalam skripsinya memiliki persamaan dengan

tema penelitian penulis yaitu membahas persoalan kawin lari. Namun

perbedaanya adalah penelitiannya berfokus pada perspektif Hukum

Islam dengan menggunakan dua sumber data yaitu sumber data primer

dan sumber data sekunder.

2. Rizki Dwi Saputri, 2022, Jenis Penelitian : Empiris, Judul Penelitian,

“Tradisi Sebambangan Masyarakat Adat Lampung Pepadun Di

Kelurahan Kelapa Tujuh Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten

Lampung Utara”. Tema penelitian yang diangkat dalam skripsinya

memiliki persamaan dengan tema penelitian penulis yaitu membahas

terkait persoalan kawin lari. Namun perbedaannya adalah

penelitiannya berfokus pada aspek tradisi masyarakat adat Lampung

Pepaduan dengan metode penelitian kualitatif deskriptif.


3. Ririn Setiawati, Zulkiply Lessy, 2022, Jenis Penelitian : Deskriptif

Kualitatif, Jenis Penelitian, “Diskrimanasi terhadap Perempuan:

Analisis Budaya Sebambangan Perspektif Feminisme”. Tema

penelitian yang yang diangkat dalam penelitiannya memiliki

persamaan dengan tema penelitian penulis yaitu membahas persoalan

terkait kawin lari. Namun perbedaanya terletak pada fokus kajiannya

yaitu membahas budaya sebambangan dari perspektif feminism.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini mengenai latar belakang masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini membahas tinajauan umum tentang adat

kawin lari sebambangan untuk memudahkan pemahaman

alur berpikir dalam penulisan hukum ini.

BAB III METODE PENELITIAN

Berisi tentang metode penelitian yang memuat tentang jenis

penelitian, spesifikasi penelitian, sumber dan jenis data,

lokasi penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik

analisis data.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi tentang hasil pembahasan yang penulis teliti

berdasarkan dengan data-data yang telah didapatkan melalui

studi kepustakaan dan analisis putusan.

BAB V PENUTUP

Pada bab ini menjelaskan tentang kesimpulan pembahasan

yang dijelaskan dalam BAB IV dan memberikan

rekomendasi atau saran sesuia dengan penemuan masalah

yang telah diuraiakan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pengertian Sebambangan

1. Pengertian Sebambangan

Sebambangan ialah perkawinan tanpa acara pelamaran dan masa

pertunangan. Gadis dan bujang bersama-sama mengatur sendiri dengan

dibantu oleh beberapa anggota keluarga terdekat. Ketika gadis

meninggalkan rumah orang tuanya, ia meninggalkan tengepik

(sejumlah uang peninggalan) dan sehelai surat pernyataan permintaan

maaf dan permisi meninggalkan rumah untuk maksud perkawinan atas

kemauannya sendiri.6

Sebambangan seringkali disalah artikan dengan istilah “Kawin

Lari”, sehingga citra adat lampung menjadi kurang baik dimata

masyarakat yang belum terlalu paham tentang adat istiadat lampung

pepadun. Kawin lari berbeda dengan sebambangan/berlarian. Kalau

sebambangan terjadinya perkawinan memang dibolehkan atau diatur

oleh adat istiadat, tetapi kawin lari/bawa lari (paksaan) adalah

perbuatan melarikan gadis secara paksa dengan akal tipu tanpa

persetujuan gadis.7

6
Sabaruddin, Lampung Pepadun Dan Saibatin/Pesisir Dialek O/Nyow dan dialek A/Api,
Buletin Way Lima manjau, Jakarta, 2013. hlm. 153.
7
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan, cet.ke3, Alfabeta,
Banndung, 2013. hlm. 250.
Bujang dan gadis ini kawin secara agama karena mereka berlarian

menuju ke na’ib.11 Keluarga belah pihak tidak tahu menahu sma

sekali terhadap rencana mereka. Akibatnya keluarga kedua belah pihak

bisa bermusuhan selamanya bahkan sampai dibawa mati. Yang akan

menanggung akibatnya ada;lah anak yang mereka hasilkan, karena

orang tua masing-masing tidak mengakuinya.8

Tata cara adat sebambangan/berlarian sampai penyelesaiannya

adalah sebagai berikut :

a. Tengepik

Tengepik artinya peninggalan, yaitu benda sebagai tanda

pemberitahuan kepergian sigadis. Seorang gadis yang

melakukan berlarian, biasanya meninggalkan tanda tengepik ,

yaitu berupa surat dan sejumlah uang. Setelah si gadis sampai

di tempat keluarga pemuda, maka orang tua atau keluarga

bujang segera melaporkan kepada penyimbangnya.

Penyimbang segera mengadakan musyawarah menyanak

untuk menunjuk utusan yang akan menyampaikan kesalahan

kepada keluarga gadis yang disebut “Ngattak Pengunduran

Senjatou” atau “Ngattak Salah”.9

b. Ngattak Pengunduran Senjatou atau Ngattak Salah

8
Sabaruddin, Lampung Pepadun Dan Saibatin/Pesisir Dialek O/Nyow Dan Dialek A/Api,
Buletin Way Lima manjau, Jakarta, 2013. hlm.156.
9
Ibid, hlm. 73
Pengunduran Senjatou atau Tali Pengundur atau juga

disebut Pengattak Salah adalah tindakan yang dilakukan pihak

kerabat bujang yang melarikan gadis dengan mengirim utusan

yang membawa senjata (keris) adat dan menyampaikan kepada

kepala adat pihak gadis. Ngattak Pengunduran Senjatou harus

diterima oleh kepala adat gadis dan segera memberitahukan

keluarga gadis serta Menyanak Wareinya15, bahwa anak gadis

mereka sudah berada ditangan kepala adat pihak bujang.

Senjata punduk atau keris ditinggalkan ditempat keluarga gadis

dan senjata ini akan dikembalikan apabila terdapat kesepakatan

antara kedua belah pihak.10

c. Bepadu atau Bebalah

Apabila didapat berita, bahwa pihak gadis bersedia

menerima, pihak bujang untuk segera mengirim utusan tua-tua

adat pihak bujang untuk menyatakan permintaan maaf dan

memohon perundingan guna mencapai kemufakatan antara

kedua belah pihak serta agar sebambangan dapat diselesaikan

dengan baik kearah perkawinan.11

d. Manjau Mengiyan dan Sujud

Dari pertemuan yang diadakan kedua pihak, maka apabila

tidak ada halangan akan diadakan acara Manjau Mengiyan

(kunjungan menantu pria), dimana calon mempelai pria dating

10
Ibid., hlm. 73.
11
Ibid., hlm. 74.
ke tempat keluarga wanita untuk memperkenalkan diri kepada

orang tua gadis dan penyimbangnya. Selanjutnya diadakan

acara “Sujut” (sungkem), yaitu bersujut kepada semua

penyimbang tua-tua adat dan kerabat gadis yang hadir.

Biasanya dalam acara sujut ini dilakukan pemberian

amaiadek/gelar oleh para ibu-ibu (bubbai) dari pihak keluarga

gadis.12

e. Pengadau Rasan dan Cuak Mengan

Acara Pengadau Rasan, yaitu mengakhiri pekerjaan,

melaksanakan acara akad nikah dan cuak mengan

(mengundang makan bersama), dimana pada hari yang telah

ditentukan dilaksanakan akad nikah kedua mempelai dan pihak

keluarga bujang mengundang semua meyanak warei untuk

makan bersama sebagai pemberitahuan telah terjadinya

pernikahan.

Pada saat yang sama pihak gadis menyampaikan untuk

menyerahkan Sesan19 mempelai wanita. Namun ada

kemungkinan dikarenakan adanya permintaan dari pihak gadis,

maka acaranya menjadi besar, dimana mempelai wanita

“dimuleikan” (digadiskan kembali”, artinya diambil kembali

oleh pihak orang tuanya untuk melaksanakan acara Hibal Serbo

atau Bumbang Aji.13

12
Ibid., hlm. 74.
13
Ibid.,
2. Pelaksanaan Sebambangan Dalam Adat Lampung

Tata cara dan upacara perkawinan adat lampung pada umumya

berdasarkan perkawinan jujur yang pelaksanaanya dapat dengan cara

adat hibal serbo, bumbang aji, intat padang, intar sellep dan

sebambangan. Tata cara dan upacara adat dapat dilaksanakan apabila

tercapai kesepakatan antara pihak kerabat pria dan kerabat wanita, baik

dikarenakan berlakunya rasan sanak, maupun rasan tuha. Masyarakat

lampung pepadun menganut azas ngejuk ngakuk atau memberi-

mengambil didalam sistem perkawinan, konsep ngejuk merujuk pada

makna memberika dan merelakan anak gadisnya untuk diambil oleh

bujang atau keluarga lain. Sebaliknya konsep ngakuk merujuk pada

makna mengambil anak gadis orang lain untuk menjadi anggota

keluarganya.14

Dengan konsep ngejuk ngakuk pada masyarakat lampung pepadun

menganggap lazim dan memang harus terjadi kalau anak muleinya

diambil oleh meghanai keluarga lain atau anak meghanainya

mengambil mulei dari anak orang lain. Sesuai azas yang dianut, sistem

perkawinan di dalam masyarakat lampung pepadun dapat melalui

ngejuk dan dapat pula melalui ngakuk. Konsep ngejuk berarti

memberikan anak gadisnya untuk dinikahi dan dijadikan anggota

keluarga yang lainnya. Artinya, proses pemberian anak gadis tersebut

14
Zuraida Kherustika, dkk, Adat Istiadat Daerah Lampung, Pemerintah Provinsi Lampung
Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung Ruwa Jurai, hlm.
49.
diketahui oleh orang tua (keduabelah pihak). Sebaliknya konsep

ngakuk berarti mengambil anak gadis tertentu tanpa diketahui oleh

orang tua atau keluarga mulei.

Masyarakat lampung pepadun menganut prinsip ngakuk mulei

maksudnya hanya mengenal konsep mengambil gadis. Proses

pengambilan gadis dapat diketahui atau tanpa diketahui oleh orang tua

atau keluarga dari mulei. Namun pada akhirnya, mulei akan dibawa

kerumah meghanai.

Oleh sebab itu proses pengambilan seorang gadis dapat dilakukan

melalui sebambangan.15

a. Hibal Serbo

Hibal Serbo merupakan bentuk perkawinan yang didahului

dengan pertunangan. Sewaktu akan dilaksanakan upacara

perkawinan pihak keluarga laki-laki dengan di pimpin oleh

pemuka adat dan penyimbang suku menghadap keluarga wanita

dengan membawa sarana adat (kenago) secara lengkap dengan

sirih pinang yang ditempatkan dalam pekinangan dan dodol atau

kue-kue adat dan juga uang dan perhiasan emas. Upacara adat

perkawinan hibal serbo harus dimulai dengan acara pineng

(meminang) dan nunang (bertunangan) serta nyamban

dudul(memberi dodol) oleh pihak pria kepada pihak wanita.16

15
Op.Cit., hlm. 72
16
Esther Helena Siniraya, dkk, Pakaian dan Upacara Adat Perkawinan Lampung Melinting,
Dinas Pendidikan Provinsi Lampung UPTD museum Negeri Provinsi Lmpung Ruwa Jurai, 2015.
Hlm. 23.
b. Bumbang Aji

Upacara adat perkawinan bumbang aji adalah upacara

dimana pihak kerabat mempelai wanita cukup melepas anaknya

dengan upacara sederhana, misalnya hanya menyembelih

kambing. Mempelai wanita diserah terimakan kepada tua-tua adat

mempelai pria yang mengambilnya tanpa musyawarah prowatin

adat.(dilepas dengan upacara adat oleh orang tuanya dan diterima

dengan pesta adat di tempat suaminya).

c. Ittar Padang

Upacara adat perkawinan “Tar Padang” yang juga disebut

“Intar Padang” (dilepas dengan terang) atau “lapah da wah”

(berjalan siang), di masa lampau dilakukan oleh anggota kerabat

punyimbang suku dengan nilai jujur 8 atau 6 rial.Perundingan

antara pemuka adat kerabat pria dan wanita cukup dilakukan di

rumah mempealai wanita.Mempelai pria yang datang mengambil

mempelai wanita berpakaian jas hitam, kain songket dan ikat

kepala (kikat akkin), sedangkan mempelai wanita yang berangkat

dari rumahnya berpakaian baju kurung atau kebaya beludru hitam

bertatah benang emas dengan kudung hitam bersulam benang

emas.

d. Ittar Sellep

Dilepas berjalan malam tanpa penerangan lampu. yaitu bila

si gadis diambil dari rumah orang tuanya secara diam-diam tanpa


pengetahuan para tetangga di malam hari. Segala sesuatunya

dilakukan oleh keluarga dalam jumlah terbatas. Nilai-nilai adat

dapat dikatakan tidakada, cukup berdasarkan perundingan antara

orang tua kedua pihak saja. Setelah tiba di tempat pria, pihak pria

boleh saja mengadakan pesta adat besar menurut persetujuan

pemuka adat setempat. Ketika gadis diambil, ia berpakaian

sederhana saja, tidak dengan iringan yang ramai, bahkan tanpa

penerangan, sehingga keesokan hari para tetangga mempelai pria

terkejut bahwa mempelai wanita sudah berada di rumah mempelai

laki-laki.17

e. Sebambangan

Sebambangan adalah proses pengambilan seorang gadis

tanpa di ketahui atau pura-pura tidak diketahui oleh orang tua atau

keluarga si mulei sebambangan biasanya dilakukan oleh mulei

meghanai berdasarkan suka sama suka diantara keduanya.

Sebambangan atau belarian bujang gadis untuk mengikat

perkawinan berdasarkan kehendak bujang gadis itu sendiri bukan

karena akal tipu (melarikan, “ngebembangken”) dengan kekerasan

(“nekep”) sebenarnya merupakan perbuatna yang melanggar adat

dan berakibat dikenakan hukuman (denda). Selain itu,

sebambangan biasa dilakukan karena orang tua atau keluarga si

mulei kurang merestui hubungan mereka atau meghanai beserta

keluarganya merasa tidak akan mampu memenuhi persyaratan


17
Ibid., hlm. 24.
biaya yang di tuntut oleh keluarga simulei, baik untuk tengepik

(dana dari pihak meghanai yang ditinggalkan untuk keluarga si

mulei sebagai tanda dia telah diboyong oleh seorang meghanai)

maupun untuk pelaksanaan adat hinggaproses pernikahan, jika

proses pengambilan si mulei dilakukan berterang (diketahui oleh

orang tua/keluarga si mulei).

3. Tujuan Sebambangan

Salah satu adat budaya yang di miliki Lampung adalah Sebambangan

atau seringkali disebut larian adalah: suatu adat yang mengatur

pelarian seorang gadis (mulei) oleh seorang bujang (meghanai),

kerumah pihak bujang untuk meminta persetujuan dari orang tua dan

keluarga besar si gadis.

1. Tujuannya adalah agar kedua belah pihak (gadis dan bujang)

melakukan musyawarah, sehingga tercapai kesepakatan atau

persetujuan antara kedua belah pihak. Atau dengan kata lain, agar

perkawinan yang akan dilangsungkan kedua belah pihak,

mendapat restu dari orang tua, sebelum mereka melangsungkan

akad nikah.

2. Sebambangan dilakukan apabila orang tua seorang gadis tidak

menyetujui hubungan kasih anaknya dengan seorang bujang.

Tidak setujunya orang tua si gadis, biasanya disebabkan berbagai

faktor. Misalnya perbedaan dalam status adat, ekonomi, atau

sosial. Atau juga dikarenakan perbedaan garis keturunan. Anak


sulung dan anak bungsu maka dari itu, tidak ada istilah kawin

paksa dalam suku Lampung. Bujang gadis akan memanfaatkan

sebambangan, apabila pilihan nya tidak mendapat restu orang tua

atau pilihan orang tua tidak sesuai dengan kehendak hati, jadi

jelaslah, bahwa sebenarnya sebambangan bukan di dasari cinta

harta atau cinta strata, melainkan di dasari cinta sejati dari hati

bujang dan gadis.

B. Hukum Perkawinan Nasional

1. Pengertian Perkawinan

a. Pengertian Perkawinan Menurut Perundang-Undangan

Perkawinan adalah ikatan perjanjian hukum antara pribadi

yang sudah siap lahir batin untuk membentuk suatu hubungan yang

bertujuan untuk membentuk keluarga yang Bahagia dan kekal serta

bermaksud untuk mendapatkan keturunan yang baik dan sehat,

diresmikan dengan upacara perkawinan tergantung dari tata cara

agama dan kepercayaan yang dianut, selain itu juga harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang

perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang

pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tutjuan

membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


Menurut Subekti, perkawinan adalah pertalian yang sah

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu

yang lama.18

b. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat

Perkawinan menurut hukum adat di Indonesia umumnya

bukan saja sebagai “perikatan perdata‟ tetapi juga merupakan

“perikatan adat‟ dan sekaligus merupakan “perikatan kekerabatan

dan ketetanggaan‟, jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan

sematamata membawa pada hubungan-hubungan keperdataan,

seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan

anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut

hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan, kekeluargaan,

kekerabatan, dan ketetanggan serta menyangkut upacara-upacara

adat dan keagamaan.

Perkawinan dalam arti “perikatan adat‟ ialah perkawinan

yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku

dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukumnya telah ada

sebelum perkawinan terjadi misalnya dengan adanya hubungan

pelamaran yang merupakan “rasan sanak” (hubungan anak-anak,

bujang-gadis) dan “rasan tuha‟ (hubungan keluarga dari calon

suami istri).19

c. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam


18
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1987. hlm. 23.
19
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007.
hlm. 8.
Perkawinan merupakan sunnatullah yang berlaku pada

semua makhluk allah, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-

tumbuhan. Semua yang diciptakan allah berpasang-pasangan dan

berjodoh-jodohan.20

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menegaskan

bahwa perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan,

melaksanakannya merupakan ibadah.21

2. Dasar Hukum Perkawinan

Dasar hukum perkawinan terdapat di dalam Undang-Undang No.1

Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur pada Bab I tentang Dasar

Perkawinan yang terdiri dari 5 Pasal, yaitu dari Pasal 1 sampai dengan

Pasal 5. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan mengenai perngertian perkawinan yang menyebutkan

bahwa “ Ikatan lahir bathin seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.22

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan mengenai syarat sahnya suatu perkawinan yang

20
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim, Cet.
Ke-1, CV Pustaka Setia, Bandung, 2013. hlm. 17.
21
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih Dan Hukum Positif, UII
Press, Yogyakarta, 2001. hlm. 174.
22
Agus Riyadi, Bimbingan Konseling Perkawinan, Ombak, Yogyakarta, 2013. hlm. 60.
menyebutkan bahwa : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu”

Selain di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, dasar hukum perkawinan juga terdapat di dalam Pasal 2

sampai dengan Pasal 10 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 2 Kompilasi

Hukum Islam menyebutkan “Perkawinan menurut hukum Islam adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholiidhan

untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.23

3. Tujuan Perkawinan

Mengenai tujuan perkawinan menurut Undang Undang Perkawinan

yang telah disebutkan dalam Pasal 1 bahwa tujuan perkawinan adalah

membentuk keluarga atau rumah tangga yang Bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Pada penjelasan umum

Undang Undang perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan

perkawinan adalah membentuk keluarga yang Bahagia dan kekal,

maka untuk itu suami istri perlu saling membantu dan mencapai

kesejahteraan spiritual dan material.

Tujuan utama dari perkawinan adalah untuk memperoleh

keturunan atau anak. Hadirnya seorang nak dalam suatu perkawinan

akan membuat kehidupan suami dan istri dalam rumah tangga menjadi

Bahagia,tenang, tentram dan lengkap.

23
Ibid., hlm. 62.
Menurut sumiyati dalam Idris, tujuan perkawinan adalah untuk

memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-

laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yag

bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh

keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-

ketentuan yang telah di atur oleh syariah.24

4. Syarat Sah Perkawinan

Syarat sah perkawinan adalah sesuatu yang harus ada untuk

menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan, jikas syarat tersebut

terpenuhi maka akan menimbulkan adanya hak dan kewajiban sebagai

suami istri. Terdapat (2) macam syarat perkawinan, yaitu syarat

materil dan syarat formal. Syarat materil adalah syarat yang melekat

pada diri pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan,

sedangkan syarat formal tata cara atau prosedur melangsungkan

perkawinan menurut agama dan undang-undang.

Persyaratan materil yang harus dilakukan oleh calon mempelai,

sebagai berikut :25

a. Persyaratan orangnya :

1. Berlaku umum bagi semua perkawinan:

a) Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai,

b) Calon mempelai sudah berumur 19 (sembilan belas)

tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita;


24
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996. hlm. 27
25
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006. hlm. 268
c) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali

bagi seoranglaki-laki yang beristri lebih dari seorang;

d) Bagi wanita tidak sedang berada dalam jangka waktu

tunggu atau masa iddah

2. Berlaku khusus bagi perkawinan orang tertentu :

a) Tidak terkena larangan/halangan melakukan

perkawinan, baik

b) Tidak terkena larangan kawin kembali untuk ketiga

kalinya setelah kawin dan bercerai lagi untuk kedua

kalinya berdasarkan hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu.

b. Izin yang harus diperoleh:

1) Izin orang tua/wali calon mempelai;

2) Izin pengadilan bagi mereka yang hendak beristri lebih dari

seorang (berpoligami).

Sedangkan syarat formal yang harus dilakukan calon mempelai,

antara lain:26

1. Laporan

2. Pengumuman

3. Pencegahan

4. Pelangsungan

26
R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1998, dalam www.jurnalhukum.com/syarat-syarat-sahnya-
suatu-perkawinan, pada tanggal 09 April 2016, pukul 23.49 WIB. hlm. 39.
Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,

syarat sahnya perkawinan diatur di dalam pasal 6 sampai dengan pasal

7.didalam ketentuan itu ditemukan dua syarat untuk dapat

melangsungkan perkawinan, yaitu :27

1. Syarat intern, syarat yang menyangkut pihak yang akan

melaksanakan perkawinan meliputi :

a. Persetujuan kedua belah pihak,

b. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21

tahun;

c. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pengecualiannya

ada dispensasi dari Pengadilan atau Camat atau Bupati.

d. Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin;

e. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa

tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena

perceraian, masa iddah-nya 90 hari dan kematia 130 hari.

2. Syarat eksteren, syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas

dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi :

a. Harus mengajukan laporan ke P3NTR ( Pegawai Pencata Nikah

dan Talak);

b. Pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang

memuat :

27
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata (Comparative
civil Law), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014. hlm. 149.
1) Nama, umur, agam/kepercayaan, pekerjaan, tempat

kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon.

Disamping itu disebutkan juga nama istri atau suami

terdahulu;

2) Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan dilangsungkan.

5. Rukun Perkawinan

Rukun adalah bagian dari sesuatu yang takkan ada tanpanya, rukun

perkawinan adalah Ijab dan Qabul yang muncul dari keduanya berupa

ungkapan kata (shighah) yang diucapkan tanpa paksaan maka akan

menyebabkan timbulnya rukun yang lain, dalam ajaran agama Islam

ada aturan yang harus dipenuhi oleh calon mempelai beserta keluarga

agar perkawinannya sah dan mendapat ridho dari Allah SWT.

Perkawinan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat

perkawinan sesuai syari'at Islam Para ulama sepakat bahwa akad nikah

itu baru terjadi setelah dipenuhi rukun-rukun nikah, yaitu:28

a. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan,

b. Calon pengantin kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil

baligh);

c. Persetujuan bebas antara calon mempelai tersebut (tidak boleh ada

paksaan);

d. Harus ada wali bagi calon mempelai perempuan;

e. Harus ada mahar (maskawin) dari calon pengantin laki-laki yang

diberikan setelah resmi menjadi suami istri kepada istrinya,


28
Moh Idris Ramulyo, Op.Cit., hlm. 48-49
f. Harus dihadiri sekurang-kurangnya oleh 2 (dua) orang saksi yang

adil dan laki-laki Islam merdeka

g. Harus ada upacara ijab qabul, ijab adalah penawaran dari pihak

calon istri atau walinya atau wakilnya dan qabul adalah penerimaan

oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar

(maskawin) yang diberikan. Setelah proses ijab dan qabul itu,

resmilah terjadi perkawinan (akad nikah) antara seorang wanita

dan seorang pria membentuk rumah tangga (keluarga) yang

bahagia kekal dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;

h. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah

(perkawinan) maka seyogyanya diadakan walimah (pesta

pernikahan);

i. Sebagai bukti autentik terjadinya perkawinan, sesuai dengan

Undang- undang nomor 1 tahun 1974 dan pasal 7 Kompilasi

Hukum Islam (Instruksi Presiden RI nomor I tahun 1991) harus

diadakan pendaftaran nikah kepada Pejabat Pencatat Nikah.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam menjelaskan rukun

yang harus dipenuhi terdapat pada pasal 14, antara lain:

a. Calon Suami

b. Calon Isteri

c. Wali Nikah

d. Dua orang saksi

e. Ijab dan Qabul


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang dugunakan adalah yuridis

empiris, yakni dengan mengkaji mengenai pemberlakuan atau

inplementasi ketentuan hukum positif yang berlaku dengn kenyataan yang

terjadi dalam masyarakat atau secara in action, yang bermaksud untuk

menemukan fakta-fakta data penelitian dan selanjutnya data tersebut di

analisis untuk dapat mengindentifikasi masalah serta dapat menemukan

penyelesaian masalah tersebut.29

Dalam melakukan analisis permasalahan yang dilakukan dengan cara

memadukan bahan-bahan hukum sebagai data sekunder dengan data

primer yang diperoleh dari data lapangan. Dimana dalam jenis penelitian

ini akan menggunakan pendekatan Undang-Undang (statute approach),

pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan sosiologi hukum.

Pendekatan empiris yaitu menekankan pada penerapan atau praktek di

lapangan yang dalam penelitian hukum ini dapat dipahami sebagai

penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan empiris tentang

hubungan dan pengaruh hukum terhadap masyarakat atau lapangan untuk

mengumpulkan data yang obyektif,data ini merupakan data primer.

29
Kornelius Benuf, Muhamad Azhar, “Metodologi Penelitian Hukum Sebagai Instrumen
Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer”, Jurnal Gema Keadilan. Vol. 7 No. 1, Juni 2020,
hlm. 6.
B. Spesifikasi Pendekatan

Spesifikasi penelitian dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah

penulisan deskriptif analitis. Metode deskriptif analis yaitu suatu jenis

penelitian yang dimaksud untuk menggambarkan atau melukiskan objek

penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampil atau

penulis akan menganalisa berdasarkan peraturan-peraturan yang ada.

Spesifikasi penelitian bermanfaat bagi pembatasan mengenai objek

penelitian serta agar peneliti tidak terjebak pada banyaknya data yang

diperoleh di lapangan dan guna memilih data yang relevan dengan

penelitian yang akan diteliti.

C. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini,

menggunakan Data Primer.

Data primer adalah data yang utama, didapat dari pengumpulan data

lapangan yang bertujuan untuk mempelajari intensif terkait permasalahan

yang akan dibahas. 30


Data lapangan diperoleh dengan melakukan

wawancara terhadap pihak yang terkait dengan penelitian ini.

Data Primer dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh

terutama dari hasil penelitian empiris, yaitu penelitian yang dilakukan

langsung di dalam masyarakat. Sumber data primer yaitu data yang


31

diambil dari sumbernya atau dari lapangan, melalui wawancara dengan

30
Imam Gunawan, “Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktek”, Bumi Aksara, Jakarta,
2013. hlm. 112.
31
Mukti Fajar & Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris”,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010. hlm 156.
pihak berkepentingan atau responden yang dapat memberikan informasi

yang dibutuhkan berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

D. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di desa Kubu-batu, Kecamatan Way Khilau,

Kabupaten Pesawaran, Lampung Selatan. Penelitian ini mengambil lokasi

tersebut karena pada desa Kubu-batu sering terjadi praktik kawin lari

(sebambangan).

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah upaya untuk mendapatkan data yang

berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan oleh peneliti.

Dalam penelitian ini terdapat beberapa Teknik pengumpulan data yang

akan dilakukan, diantaranya:

1. Observasi

Observasi digunakan untuk mendapatkan data primer, salah satu

caranya adalah dengan wawancara. Wawancara merupakan salah satu

teknik pengumpulan data yang diperoleh dari data lapangan (field

research). Wawancara adalah pertemuan dua orang atau lebih dalam

proses tanya jawab yang dilakukan secara lisan,tatap muka dan

mendengarkan secara langsung informasi dari informan yang

mumpuni untuk mendapatkan informasi terkait topik penelitian.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan membuat daftar pertanyaan yang

akan ditanyakan kepada informan untuk mendapatkan jawaban.


Penentuan informan didasarkan pada alasan tertentu yakni pihak-pihak

yang terkait langsung dengan permasalahan penelitian.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan teknik untuk dapat mudah dipahami

sehingga ditemukan kesimpulan penelitian tersebut. Dalam penelitian ini

menggunakan analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif adalah teknik

berupa informasi dengan menggambarkan atau menginterprestasikan data-

data yang telah terkumpul, sehingga dapat diperoleh gambaran secara

umum dan menyeluruh terkait keadaan yang sebenarnya. Penelitian

kualitatif dikumpulkan melalui subjek atau informan yang berkompeten di

bidang yang diteliti.32

32
Nursaipah Harahap, "Penelitian Kualitatif", Sumatera Utara, Wal ashri Publishing, 2020,
hlm. 99.
DAFTAR PUSTAKA

Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Fakultas Hukum,Universitas


Diponegoro, Semarang, 1990. hlm. 8.
2
Prakoso, Azaz Azaz hukum perkawinan di Indonesia, Bina aksara, Jakarta, 1987.
hlm. 79.
3
Hadikusuma, Hukum perkawinan Indonesia, Bima aksara, Bandung, 1990.
hlm.71.
4
Ibid., hlm.71.
5
Hadikusuma, Hilman, Masyarakat dan Adat Budaya Lampung, Mandar Maju,
Bandung, 1989.
6
Sabaruddin, Lampung Pepadun Dan Saibatin/Pesisir Dialek O/Nyow dan dialek
A/Api, Buletin Way Lima manjau, Jakarta, 2013. hlm. 153.
7
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan,
cet.ke3, Alfabeta, Banndung, 2013. hlm. 250.
8
Sabaruddin, Lampung Pepadun Dan Saibatin/Pesisir Dialek O/Nyow Dan
Dialek A/Api, Buletin Way Lima manjau, Jakarta, 2013. hlm.156.
9
Ibid, hlm. 73
10
Ibid., hlm. 73.
11
Ibid., hlm. 74.
12
Ibid., hlm. 74.
13
Ibid.,
14
Zuraida Kherustika, dkk, Adat Istiadat Daerah Lampung, Pemerintah Provinsi
Lampung Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan UPTD Museum Negeri Provinsi
Lampung Ruwa Jurai, hlm. 49.
Op.Cit., hlm. 72
15

Esther Helena Siniraya, dkk, Pakaian dan Upacara Adat Perkawinan Lampung
16

Melinting, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung UPTD museum Negeri Provinsi


Lmpung Ruwa Jurai, 2015. Hlm. 23.
17
Ibid., hlm. 24.
18
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1987. hlm. 23.
19
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju,
Bandung, 2007. hlm. 8.
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga
20

Muslim, Cet. Ke-1, CV Pustaka Setia, Bandung, 2013. hlm. 17.


Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih Dan Hukum
21

Positif, UII Press, Yogyakarta, 2001. hlm. 174.


22
Agus Riyadi, Bimbingan Konseling Perkawinan, Ombak, Yogyakarta, 2013.
hlm. 60.
23
bid., hlm. 62.
24
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996.
hlm. 27
25
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. hlm. 268
26
R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1998, dalam www.jurnalhukum.com/syarat-
syarat-sahnya-suatu-perkawinan, pada tanggal 09 April 2016, pukul 23.49 WIB.
hlm. 39.
27
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata
(Comparative civil Law), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014. hlm. 149.
28
Moh Idris Ramulyo, Op.Cit., hlm. 48-49
29
Kornelius Benuf, Muhamad Azhar, “Metodologi Penelitian Hukum Sebagai
Instrumen Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer”, Jurnal Gema
Keadilan. Vol. 7 No. 1, Juni 2020, hlm. 6.
30
Imam Gunawan, “Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktek”, Bumi
Aksara, Jakarta, 2013. hlm. 112.
31
Mukti Fajar & Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010. hlm 156.
32
Nursaipah Harahap, "Penelitian Kualitatif", Sumatera Utara, Wal ashri
Publishing, 2020, hlm. 99.

Anda mungkin juga menyukai