Anda di halaman 1dari 18

PRO DAN KONTRA HAK WARIS ANAK DALAM PERKAWINAN SIRI

DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN UNDANG UNDANG NOMOR 1

TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

USULAN PENELITIAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Seminar Usulan Proposal

Dosen Pembingbing: Dr. Siah Khosyi’ah. M.Ag

Oleh:

HAZMI ASH-SIDDIKI

1163010041

JURUSAN HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAHSIAH)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2023
DAPTAR ISI
DAPTAR ISI..................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1

A. Latar belakang masalah.................................................................1

B. Rumusan masalah..........................................................................2

C. Tujuan penelitian...........................................................................3

D. Manfaat penelitian.........................................................................3

E. Kerangka berfikir..........................................................................3

F. Metode penelitian..........................................................................14

DAPTAR PUSTAKA....................................................................................16

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berlandaskan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk membina aturan

nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi

semua warga Negara. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria

serta seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau

rumah tangga yang bahagia dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa1.

Sebagaimana firman Allah dalam Surat Yasin ayat 36 bahwa insan sebagai

mahluk yang dijadikan oleh Allah untuk hidup secara berpasang–pasangan dalam

satu ikatan perkawinan. Di Indonesia perkawinan di atur oleh Undang Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor

1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019). Untuk melaksanakan Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan secara efektif, dengan

berlandaskan pasal 5 ayat (2)

Undang Undang Dasar 1945, dipandang perlu untuk mengeluarkan

Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan-ketentuan Pelaksanaan dari

Undang Undang tersebut, Peraturan Pemerintah yang dimaksud yaitu Peraturan

Pemerintah Nomor 1 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mulai diberlakukan secara efektif tanggal 1

Oktober 1975. Dengan diberlakukan Peraturan Pemerintah ini diharapkan akan

dapat memperlancar dan mengamankan pelaksanaan undang-undang tersebut.

1
Lihat Bab I pasal 1 UU No,1 Th. 1974 Tentang Perkawinan

1
Untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan langkah-langkah

persiapan dan serangkaian petunjuk pelaksanaan dari berbagai

Departemen/instansi yang bersangkutan, khususnya dari Departemen Agama,

Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri sehingga segala sesuatu

dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu waktu enam bulan sejak

diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah

persiapan tersebut.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Perkawinan bukan hanya sebagai suatu kontrak keperdataan biasa, sejatinya juga

mempunyai nilai ibadah, disamping itu perkawinan sangat erat sekali

hubungannya dengan agama yang dianut oleh seseorang, terutama dengan

keabsahan perkawinan itu. Pada pasal 2 ayat 2 Undang Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa: Tiap- tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bertolak dari uraian tersebut diatas, maka penulis ingin meneliti lebih

lanjut mengenai permasalahan yang menjadi latar belakang di atas dan

menyusunnya dalam skripsi berjudul :

PRO DAN KONTRA HAK WARIS ANAK DALAM PERKAWINAN SIRI

DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN UNDANG UNDANG NOMOR 1

TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

B. Rumusan Masalah

Penulis mencoba merumuskan permasalahan dan sekaligus merupakan

pembahasan permasalahan yang akan diteliti yaitu sebagai berikut: Bagaiman Hak

2
Waris Anak Dalam Perkawinan Siri Ditinjau dari Hukum Islam dan Undang

undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mendapatkan data dan informasi tentang gambaran Hak Waris

Anak dalam Perkawinan siri ditinjau dari Hukum Islam dan Undang

Undang Nomor 1 Tahun 1974

2. Untuk menjelaskan Hak Waris Anak Dalam Perkawinan Siri Ditinjau dari

Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan ilmu hukum khususnya

Hukum Islam dan Undang Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia

berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 selain itu hasil dari

penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengambil kebijakan

dalam melaksanakan undang undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya

serta untuk masukan pemerintah yang pada saat ini tengah mengajukan rancangan

undang undang hokum perkawinan untuk kesempurnaan undang undang nomor 1

tahun 1974 tentang perkawinan , dan dapat dipergunakan oleh masyarakat sebagai

tolok ukur sebelum melakukan perkawinan.

E. Kerangka Pemikiran

1. Tinjauan Pustaka

Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah aturan

yang mengatur tentang perkawinan warga Negara Indonesia, perkawinan

3
merupakan ikatan lahir bathin antara pria dan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa, sementara di dalam Kompilasi Hukum Islam

perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan

ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah2.

Kompilasi Hukum Islam tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan

perkawinan saja, melainkan juga segala persoalan yang erat hubungannya dengan

perkawinan, misalnya : hak-hak dan kewajiban suami istri, pengaturan harta

kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya

hidup yang harus diadakan sesudah putusnya perkawinan, pemeliharaan anak,

nafkah anak, pembagian harta perkawinan dan lain sebagainya.

Hukum Islam yang merupakan bagian dan bersumber dari ajaran Islam,

sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah seta kesusilaan atau

akhlak islam. Perkawinan sebagai sunnah nabi Muhammad saw juga telah diatur

dalam hukum perkawinan Islam. Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah

sebagai jalan bagi manusia untuk melestarikan hidupnya, setelah masing-masing

pasangan siap untuk melaksanakan peranannya yang positif dalam mewujudkan

tujuan perkawinan

Tuhan tidak mau menjadikan manusia seperti mahluk lainnya, yang hidup

bebas mengikuti nalurinya secara anarki.

Sahnya syarat sebuah perkawinan adalah adanya calon mempelai laki-laki dan

perempuan, calon mempelai laki-laki dan perempuan harus sudah baligh


2
Lihat Bab II Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

4
(berakal), ada persetujuan dari kedua belah pihak mempelai, tidak ada paksaan

dari pihak manapun. Masing-masing pihak yang akan melangsungkan perkawinan

harus mempunyai wali nikah, dan dua orang saksi, serta ijab dan Kabul

Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang diatur

lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai

Pelaksanaan Undang Undang Perkawinan tersebut, namun nikah siri (Perkawinan

dibawah tangan), masih sering terijadi Perkawinan siri yaitu perkawinan yang

dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak

dilakukan dihadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau

perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sehingga perkawinan

tersebut tidak memiliki Akta Nikah yang diterbitkan oleh pemerintah. Perkawinan

yang demikian ini dikalangan masyarakat Indonesia yaitu nikah siri atau dikenal

juga dengan sebutan perkawinan bawah tangan. Setelah diundangkannya Undang

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan567junto Peraturan Pemerintah

Nomor 1 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang undang Nomor 1 Tahun 1974.

Dikedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain

harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan.

Seperti telah dikemukakan diatas, dalam pasal 2 Undang Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, dikatakan bahwa:

1. 1.Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaan itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

5
Ketentuan dari pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara

lain pasal 10, 11, 12, dan 13. Pasal 10 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 yang mengatur tatacara perkawinan.

Dalam ayat 2 disebutkan : Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya, selanjutnya dalam ayat 3

disebutkan : Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum

agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai

Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Melakukan pencatatan perkawinan yang dibuktikan akta nikah, menjaga

apabila terjadi perselisihan antara suami isteri ataupun diantara sal;ah satu pihak

tidak bertanggung jawab, maka dapat melakukan upaya hukum guna memperoleh

atau mempertahankan haknya masing-masing, dengan adanya akta nikah suami

isteri memiliki bukti otentik atas peristiwa hukum atau perkawinan yang terjadi

diantara mereka.

Perkawinan siri menurut pandangan Islam dianggap sah, jika telah

memenuhi syarat dan rukunnya, namun belum dianggap sah dan resmi menurut

pandangan hukum Negara jika belum dicatat oleh pegawai pencatat nikah yang

mana dari peristiwa hukum (perkawinan) tersebut belum dituangkan dalam

sebuah buku nikah. Dampak dari semua, persoalan yang timbul adalah terhadap

kedudukan isteri, status hukum anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan siri

wedi dalam hukum Negara dianggap sebagai anak yang tidak sah.

6
Si anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu,

dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya8910, selanjut didalam

akte kelahirannya dianggap anak tersebut anak luar nikah dan yang dicantumkan

karena hanya nama ibu yang melahirkannya. dan harta kekayaannya dan akan

lebih pelik bila terjadi perceraian. Namun hukum Islam tetap mengakomodir

status mereka dengan penyelesaian secara agama Islam.

Dampak sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya sangat mendalam

dengan tercantumnya keterangan status anak luar nikah dan dengan tidak

tercantumnya nama si ayah.

Akibat ketidakjelasan status anak di mata hukum, menyebabkan hubungan antara

ayah dan anak kurang kuat, dan tidak menutup kemungkinan suatu saat ayahnya

menyangkal bahwa si anak bukanlah anak kandungnya termasuk hak ingkar

dalam hal mewarisi.

Pasal 35 ayat (2) di dalam Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974 menyatakan bahwa : “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan

harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di

bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”,

kemudian Pasal 87 ayat (1) di dalam Kompilasi Hukum Islam menyatakan

bahwa : “Harta bawaan masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh

masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-

masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian

perkawinan”.

7
Akte kelahiran merupakan identitas kepastian hukum serta alat

perlindungan hukum. Akte lahir berguna untuk mengurus berbagai kepentingan

mulai dari prasyarat pendaftaran masuk sekolah, pembuatan Kartu Keluarga,

melamar pekerjaan, prasyarat pembuatan paspor, untuk mendaftar nikah di KUA,

untuk membuat asuransi dan mengurus tunjangan hidup, dana pensiun, untuk

melaksanakan haji, serta untuk pembagian hak ahli waris.

Seperti yang sudah diketahui, bahwa syarat pembuatan akte lahir itu harus

dilengkapi dengan buku nikah kedua orang tuanya (ayah dan ibu), selain Surat

Keterangan Lahir dari Desa/Kelurahan, dokter, bidan, rumah sakit yang disahkan

di desa/kelurahan. Dimana, ketetapan ini sudah diatur dalam Undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada pasal 43 ayat 1 yang menyatakan

jika “anak yang dilahirkan diluar perkawinan resmi maka hanya mempunyai

hubungan perdata derngan ibunya dan keluarga ibunya” Isi dari ketetapan

Undang-Undang tersebut dianggap mendiskriminasikan hak bagi seorang anak.

Untuk itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materil yang

dimohonkan oleh pedangdut Machica Muchtar atas isi ketetapan Undang-undang

Perkawinan tersebut

Cara ini ditempuh Machica guna memberi kepastian hukum serta alat

perlindungan hukum bagi anak lelakinya yang kini telah menginjak usia remaja.

Pada waktu dulu dia (Macicha Muchtar) hanya dinikahi siri oleh Moerdiono,

mantan Mensekneg di era Soeharto. Yang kemudian setelah ia melahirkan,

rupanya anak tersebut tidak diakui oleh pihak ayah. Makanya, hingga saat ini si

anak kesulitan dalam mengurus legalitas membuat surat akte kelahiran.

8
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materril ini semata demi

memberi hak-hak sederajat bagi semua anak yang telah terlahir di Indonesia.

Jadi mulai tanggal 17 Pebruari 2012 Anak diluar nikah. Kini bisa mengurus akte

kelahiran.

Mahkamah Konstitusi resmi merevisi isi pasal 43 ayat 1 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Yang bunyinya menjadi : “Anak yang

dilahirkan diluar perkawinan resmi mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut

hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga

ayahnya”. Yang dimaksud “di luar pernikahan resmi” dalam pasal tersebut, adalah

kawin siri, perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau

samen laven3.

Lain halnya dengan pernyataan keras yang disampaikan Lembaga Bantuan

Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) terhadap

pasal 3, 4 dan 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang

mencerminkan bahwa perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi

kepentingan biologis dan kepentingan untuk mendapatkan ahli waris atau

keturunan dari salah satu jenis kelamin. Ketentuan ini telah menempatkan

perempuan sebagai sex provider, demikian bunyi siaran pers LBH-APIK ketika

menyikapi pemberian anugerah “Poligami Award” di Jakarta, akhir Juli silam.

3
http://lucerahma.blogdetik.com/indek.php/2012/02/anak-di-luar-nikah-kini-bisa-urus-
akte-kelahiran, diunduh Selasa, 2 agustus 2022

9
Langkah LBH-APIK untuk memprotes Undang-undang Perkawinan tidak

berhenti sampai disitu.

Lembaga tersebut telah tuntas menyusun usulan amandemen Undang-

undang Perkawinan (UUP) dan dengan aktif mensosialisasikannya.Selain

mengusulkan revisi tiga pasal, yaitu pasal poligami (pasal 3, pasal 4, dan pasal 5).

Dalam konteks poligami, usulan merevisi Undang-undang Perkawinan memang

bukan tanpa dasar. Masalah poligami memang memang menimbulkan pro dan

kontra dan menjadi salah satu titik sentral kritik kaum feminis terhadap Undang-

undang Perkawianan. Nursyahbani Katjasungkana, Kooordinator Kaulan

Perempuan, berpendapat bahwa poligami adalah tindak kekerasan dan

mengakibatkan ketidakadilan tidak saja bagi perempuan, namun juga bagi anak-

anak. Fakta yang disajikan oleh LBH-APIK terkait dengan praktek poligami

menunjukan bahwa dari 58 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama

kurun 2001 sampai Juli 2003 memperlihatkan bentuk- bentuk kekerasan terhadap

istri-istri dan anak-anak, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik,

penelantaran istri dan anak-anak, ancaman dan teror dan lain sebagainya, selain

itu praktek poligami yang dilakukan tanpa alasan yang jelas sebanyak 35 kasus.

Pasal-pasal yang dianggap krusial dan diajukan untuk dilakukan perubahan oleh

LBH-APIK, Kowani, dan Kementerian Pendayaaan Perempuan. Selanjutnya

menurut Rifka Kurnia, dampak dari hukum yang timbul dari sebuah pernikahan

siri akan terjadi kalau ada perceraian, sering dijumpai hak-hak anak-anak di

keluarga yang melakukan nikah siri terabaikan.

10
Karena pria yang melakukan nikah siri tidak mau bertanggungjawab atas

biaya pendidikan dan kebutuhan si anak. Anak-anak yang lahir dari pernikahan

siri biasanya juga kesulitan mendapatkan Akte Kelahiran, sebab orang tuanya

tidak memiliki Akta Nikah. Dan yang paling pokok, nikah siri tidak dapat

disahkan oleh Negara kecuali jika akan dilakukan penetapan atau pengesahan

(Itsbat nikah)

Sebaliknya, ahli fikih lulusan Universitas Al-Azhar Prof. Huzaemah

Tahido Yanggo menyatakan bahwa poligami sesuai syariat Islam. Menurutnya,

hak poligami bagi suami telah dikompensasi dengan hak istri untuk menuntut

pembatalan akad nikah dengan jalan khulu’ yaitu ketika sang suami berbuat

semena- mena terhadap istri. Islam memang mengijinkan adanya berpoligami 4

namun dengan memenuhi persayaratan yang merupakan suatu penghormatan

kepada wanita yang bila tidak dipenuhi akan mendatang dosa bagi suami yang

tidak berlaku adil sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran Surat An-

Nisa ayat 19, tulis Huzaemah dalam “Poligami Dalam Hukum Islam”

2. Kerangka Konsep

Hukum perkawinan didalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat

penting. Arti pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia, khusus bagi orang

Islam adalah:pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia, khusus bagi orang

Islam adalah :

1. 1.Dengan melakukan perkawinan yang sah dan dapat terlaksana pergaulan

hidup manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan

4
Lihat pasal 4 dan 5 undang-undang Nomor 1 Th. 174 tentang Perkawianan

11
wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia

sebagai mahluk yang terhormat diantara mahluk-mahluk Tuhan lainnya;

2. 2.Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk suatu rumah tangga

dimana dalam kehidupan rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan

tentram suami isteri ;

3. Dengan melaksanakan perkawinan yang sah, dapat diharapkan

memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan

hidup dalam keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus, jelas dan

bersih ;

4. Dengan terjadinya perkawinan, maka timbulah sebuah keluarga yang

merupakan inti dari pada hidup bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan

timbul suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam suasana

damai ;

5. Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang

telah diatur dalam Al- Qur’an dan Sunnah Rasul, adalah merupakan salah

satu ibadah bagi umat islam. Maka dengan demikian, Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ini dapat dipakai sebagai

dasarhukum perkawinan Islam di Indonesia sebagai peraturan-peraturan

khusus disamping peraturan peraturan umum yang telah diatur dalam

Undang-undang perkawinan, untuk warga Negara Indonesia yang

beragama islam5.

5
http://www.pa-tigaraksa.net/index.php?option=com_content&view=article&id=67:azas-dan-
prinsip-prinsip-perkawinan-menurut-hukum-islam-dan-undang-undang- perkawinan&catid=39:
artikel&Itemid=113, diunduh, selasa 24 Juli 2012

12
6. Hukum Islam mengatur kehidupan umat Islam di dunia maupun akherat,

mempunyai hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dari

iman atau akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam. Sumber-sumber

hukum Islam adalah Al-Quran, Sunnah (Hadist) dan akal pikiran.

Perkawinan yang merupakan sunnah nabi Muhammad saw diatur juga

dalam hukum Islam yang secara syari’i telah diatur dalam nash al-Qur’an

dan hadist. Menurut hukum Islam, nikah itu pada hakekatnya ialah “Aqad”

antara calon suami-istri untuk memperbolehkan bergaul sebagai suami-

istri. Jadi aqad nikah artinya perjanjian antara seorang wanita dan seorang

laki-laki untuk mengikatkan diri dalam perkawinan.

7. Pemberitaan tentang kekerasan terhadap anak yang kerap kali dialami oleh

anak-anak seperti kekerasan dalam rumah tangga sampai dengan

pelecehan sexual yang nota bene dilakukan ayah kandungnya sendiri

membuat kita sangat prihatin dengan kondisi mental bangsa, oleh karena

itu Negara berkewajiban untuk :

a. Menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk

perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi

manusia ;

b. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia

seutuhnya;

c. Anak adalah tunas bangsa, yang berpotensi, dan generasi muda

penerus ciat-cita perjuangan bangs, memiliki peran strategis dan

13
mempunyai cirri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan

eksistensi bangsa dan Negara pada masa depan;

d. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut,

maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk

tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun

sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan

serta untuk mewujudkan kesejateraan anak, dengan memberikan

jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan

tanpa diskriminasi;

e. Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak

diperlukan peraturan perundang- undangan atau keputusan

keputusan khusus yang menjamin pelaksanaannya, dan serta

dukungan dari kelembagaannya.

F. Metode Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, penulis

menggunakan metode yuridis normatif, jenis penulisan hukum yang

mempergunakan data sekunder berupa penelitian kepustakaan, dengan cara

menginventarisir dan mempelajari bahan hukum primer, sekunder dan tertier

sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat,

terdiri dari :

 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

 Hukum Islam (Hukum Perkawinan Islam)

14
 Hukum Dan Peraturan Perundangan Tentang Perkawinan

 Kompilasi Hukum Islam

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hokum primer, dengan cara :

 Studi kepustakaan hasil karya para ahli hokum

 Mempelajari hasil-hasil penelitian yang ada hubungannya dengan

penelitian ini.

 Data sekunder yang bersifat publik yakni ; data arsip, data resmi instansi

pemerintah, data lain

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder dengan

mempelajari kasus hokum, ensiklopedi dan lain lain sebagai penunjang

15
DAPTAR PUSTAKA

http://infoting.blogspot.com/2011/10/isi-undang-undang-uu-perkawinan-

no-1.html, diunduh, Selasa 2 agustus 2022

http://lucerahma.blogdetik.com/indek.php/2012/02/anak-di-luar-nikah-

kini-bisa-urus-akte-kelahiran, diunduh Selasa, 2 agustus 2022

http://www.patigaraksa.net/index.php?

option=com_content&view=article&id=67:azas-dan-prinsip-prinsip-perkawinan-

menurut-hukum-islam-dan-undang-undang- perkawinan&catid=39:

artikel&Itemid=113, diunduh, selasa 24 Juli 2012

Lihat Bab I Pasal 1 Undang Undang Nomor 1 Th.1974 Tentang

Perkawinan

Lihat Bab I pasal 1 UU No,1 Th. 1974 Tentang Perkawinan

Lihat Bab II Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

Lihat Bab II pasal 6 UUP Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Lihat pasal 4 dan 5 undang-undang Nomor 1 Th. 174 tentang Perkawianan

Paralegal Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI) dalam Penelitian

Dampak Negatif Nikah Siri Bagi Perempuan dan Anak.

www.idlo.int/bandaacehawareness, diunduh, Selasa 2 agustus 2022

Soerjono Soekanto, Sri mamuji, Penelitian Hukum Normatif,

(RajaGrafindo Persada, 2009)

16

Anda mungkin juga menyukai