Kompilasi Hukum Islam hanya diatur dengan Instruksi Presiden atau Inpres.
Sedangkan Inpres dalam hierarrki tata hukum Indonesia tidak termasuk ke dalam
bagian dari sumber hukum formal tersebut. Oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam
tidak harus ditaati atau dilaksanakan, Kompilasi Hukum Islam hanya bersifat
persuasif. Jadi, apabila kita melihat dari sudut pandang yuridis meskipun Kompilasi
Hukum Islam telah jelas melarang perkawin beda agama bagi masyarakat Islam,
namun hal tersebut tidak harus dipandang sebagai suatu aturan yang mengharuskan
untuk ditaati, melainkan hanya dipandang sebagai sebuah anjuran. Oleh sebab itu
hubungan hukum kepada Kompilasi Hukum Islam hanya merupakan seruan moral,
dan tidak mengandung konsekuensi yuridis yang kuat. Berbeda dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang secara jelas mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat, karena undang-undang termasuk dalam hierarrti tata hukum formal di
Indonesia. Ditinjau dari materi muatan Kompilasi Hukum Islam, khususnya mengenai
hukum perkawinan, dapat dilihat banyaknya terjadi duplikasi dengan apa yang diatur
dalam Undangundang No. 1 Tahun 1974 19 dan/atau Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 mengingat Kompilasi Hukum Islam ini juga mengatur ketentuan-
ketentuan yang bersifat prosedural, namun tidak menutup mata banyak hal-hal baru
yang ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam.
Kedudukan KHI dalam sistem adalah merupakan hukum positif Islam untuk
melaksanakan peraturan perundangundangan yang kedudukannya lebih tinggi dan
dijadikan rujukan. Dalam hubungan dengan unsur peradilan, KHI dijadikan pedomam
dalam penyelesaian perkara yang diajukan ke pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama. Hal ini dilatarbelakangi penyusunan KHI dilakukan untuk mengisi
kekosongan hukum subtansial yang dijadikan rujukan dalam penyelesaian perkara
yang diajukan.
Selain itu di dalamnya terdapat penegasan dan pemasyarakatan simbol Islam berupa
pernyataan ikatan perkawinan bersifat mitsaqan ghalidzan. Simbol landasan filosofis
ini sengaja ditampilkan untuk mengantisipasi pendapat dan praktek yang memilukan
selama ini, seolah-olah ikatan perkawinan Islam rapuh dan boleh dipecah setiap
waktu. Dengan penegasan yang menyatakan bahwa perkawinan sebagai ikatan yang
kokoh diharapkan akan memberi kesadaran dan pengertian kepada masyarakat bahwa
perkawinan mentaati perintah Allah dan sekaligus merupakan ibadah serta harus
dipertahankan keberadaan, keberlangsungan dan kelestariannya. Landasan ideal dan
konstitusional KHI adalah Pancasila dan UUD 1945. Hal itu dimuat dalam konsideran
Instruksi Presiden dan dalam penjelasan umum KHI. Ia disusun sebagai bagian dari
sistem hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum
masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UUD 1945.
38 UUD 1945 hasil amandemen terakhir sangat tegas mengatur perlunya
perlindungan hak asasi manusia (pasal 28 huruf a s/d 28 huruf j) termasuk di
dalamnya hak asasi perempuan. Musdah Mulia menyatakan bahwa sayangnya
sosialisasi terhadap UUD amandemen ini tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Sejumlah pasal dalam KHI berseberangan dengan UU baru seperti UUD 1945 yang
telah diamandemen (pasal 28 c, h, dan i), UU No 7 tentang Ratifikasi CEDAW dan
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semua UU tersebut sangat
menekankan upaya perlindungan dan penguatan hak-hak perempuan menuju
terwujudnya kondisi kesetaraan dan keadilan jender dalam seluruh aspek kehidupan
masyarakat.
Kompilasi hukum Islam disusun atas prakarsa penguasa negara, dalam hal ini ketua
Mahkamaah Agung dan Menteri Agama melalui Surat Keputusan Bersama) dan
mendapat pengakuan ulama dan unsur. Secara resmi KHI merupan hasil konsensus
(ijma) ulama dari berbagai golongan melalui media loka karya yang dilaksanakan
secara nasional yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan negara. KHI yang
tertuang dalam instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991, dilaksanakan dengan
keputusan Menteri Agama 154 tahun 1991. Penyusunan KHI mengenai perkawinan
didasarkan pada undang-undang Nomor 32 tahun 1954 dan undang-undang Nomor I
Tahun I974. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. Sedangkan yang
berhubungan bidang kewarisan tidak ditemukan peraturan perundangundangan yang
dijadikan rujukannya. Namun demikian dapat ditemukan dalam Yurisprudensi yang
memuat halhal tertentu dari hukum kewarisan. Hal itu menunjukkan bahwa KHI
merupakan hukum positif Islam untuk melaksanakan peraturan perundangundangan
yang berlaku. Ia memiliki konsistensi dengan peraturan perundangungdangan yang
kedudukannya lebih tinggi dan dijadikan rujukan.
Sumber: http://repo.iain-tulungagung.ac.id/6917/7/BAB%20IV.pdf
Dalam pertimbangan yang sama juga disebutkan Pengaturan batas usia minimal
perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi
dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin
dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi
terhadap pelindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal
28B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi wanita
lebih rendah dibandingkan pria, maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk
membentuk keluarga.
a. bahwa negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, menjamin hak anak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dasar hukum UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Berdasarkan definisi tersebut, ketentuan pasal 1 UUP , yang menjadi inti pengertian
dalam perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai suami
isteri untuk hidup bersama membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia,
sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Begitu pula
mengenai tujuan perkawinan yang juga tercantum pada bunyi Pasal 1 UUP, yaitu
“Dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Didalam penjelasan umum UUP disebutkan
bahwa karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal maka untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam memncapai
kesejahteraan materiil dan spiritual. Sahnya perkawinan menurut UUP diatur dalam
Pasal 2 ayat 1 menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata
tertib aturan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. ”Hal ini berarti
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang
berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata “hukum
masing-masing agamanya” berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing
bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut
kedua mempelai atau keluarganya. Jadi perkawinan yang sah apabila terjadi
perkawinan antar agama adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib
aturan salah satu agama calon suami isteri atau agama calon suami atau agama calon
isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua
calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut
hukum agama Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan
atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah. Keabsahan perkawianan dalam
pasal 2 ayat 1 dipertegas lagi dalam penjelasan pasal 2 UUP yang menyatakan
“Dengan perumusan pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum
masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang
Dasar 1945 Yang dimaksud dengan hukum masingmasing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundangundangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam undang-undang ini. Dengan demikian, bagi penganut agama
atau kepercayaan suatu agama maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-
undang Perkawinan ini telah diserahkan kepada hukum agamanya dan
kepercayaannya itu. Artinya bagi orang-orang yang menganut agama dan kepercayaan
suatu agama, tidak dapat melakukan perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut
hukum agama dan kepercayaannya itu.
3) Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 KHI, perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau
mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Pasal 3 KHI, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Pasal 4 KHI,
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan
pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam
ajaran Islam ada beberapa prinsipprinsip dalam perkawinan, yaitu: