Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Volume 2, Nomor 1 April 2020

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN


1974 TENTANG PERKAWINAN

Bing Waluyo
Faculty of Law, Universitas Wijayakusuma, Purwokerto – Indonesia

Abstract
The formation of Law Number 1 of 1974 is an effort to create legal unification in the field
of marriage because before, namely before 1975 in Indonesia there were a variety of
marriage laws that applied to each population group. The purpose of marriage is to form
a happy and everlasting family (home) based on a Godhead. For this reason the Marriage
Law lays out the conditions regarding whether someone is allowed to have a marriage.
Therefore, if the marriage of the parties concerned according to the law is considered
valid, then the consequences of the marriage will also be considered valid by law.
Although the registration is not a factor that determines the validity of the marriage, but
the conditions for recording this must also be done or fulfilled by the parties, because the
registration of this marriage is a proof that the state has recognized the marriage made
by the parties.

Keywords: Marriage Law, Marriage Terms, Legitimate Marriage.

Abstrak
Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai upaya menciptakan
unifikasi hukum di bidang perkawinan karena sebelumnya, yaitu sebelum Tahun 1975 di
Indonesia terdapat bermacam-macam hukum perkawinan yang berlaku bagi masing-
masing golongan penduduk. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Untuk
inilah UU Perkawinan meletakkan syarat-syarat tentang diperbolehkannya seseorang
melangsungkan perkawinan. Oleh karenanya apabila perkawinan para pihak yang
bersangkutan menurut hukum dianggap sah, maka akibat dari perkawinan itu pun akan
dianggap sah pula oleh hukum. Walaupun pencatatan bukan merupakan faktor yang
menentukan sahnya perkawinan, tetapi syarat pencatatan ini juga harus dilakukan atau
dipenuhi oleh para pihak, sebab pencatatan perkawinan ini merupakan suatu bukti bahwa
negara telah mengakui adanya perkawinan yang dilakukan oleh para pihak.

Kata kunci: Undang-Undang Perkawinan, Syarat Perkawinan, Sahnya Perkawinan.

Pendahuluan dan karakteristik masyarakatnya, baik di


Dengan diproklamirkannya bidang phisik maupun non phisik.
kemerdekaan Republik Indonesia pada Salah satu pembangunan yang
tanggal 17 Agustus 1945, maka perlu diperhatikan adalah pembangunan
berakibat pula terjadi peralihan dari di bidang hukum, hal ini karena adanya
tertib hukum kolonial kepada tertib usaha pembentukan hukum nasional
hukum nasional. Hal ini membuktikan untuk mengganti tata hukum lama yang
bahwa bangsa Indonesia mempunyai hak berasal dari masa penjajahan yang tidak
dan berdaulat untuk mengisi relevan lagi bagi kebutuhan hukum
kemerdekaannya dengan pembangunan bangsa Indonesia. Selain masih
disegala bidang yang sesuai dengan sifat mempertahankan hukum yang telah ada

P-ISSN : 2656-9639 193


E-ISSN : 2684-9046
Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Volume 2, Nomor 1 April 2020

(yaitu hukum kolonial yang masih Talak dan Rujuk (Lembaran Negara
relevan), juga masih terdapat sumber 1954 Nomor 98);
hukum lainnya yang sesuai dengan sifat 5. Hukum Adat.
atau watak bangsa Indonesia, yaitu Dengan berlakunya Undang-
hukum adat dan hukum agama Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
(khususnya hukum Islam). Ketiga sistem mengatur tentang perkawinan
hukum itu pada gilirannya menjadi (selanjutnya disingkat UU Perkawinan),
falsafah pembangunan hukum di maka bagi seluruh warga negara
Indonesia. Salah satu bentuk Indonesia, sepanjang mengenai
pertimbangan dasar pembangunan perkawinan berlaku UU Perkawinan
hukum yang menempati ketiga sistem tersebut.2
hukum tersebut adalah masalah Di dalam Pasal 1 UU Perkawinan
perkawinan yang berkembang dengan dirumuskan bahwa perkawinan adalah
pemahaman yang sangat variatif. Hal ini ikatan lahir bathin antara seorang pria
dapat dibuktikan antara lain dengan dengan seorang wanita sebagai suami
diundangkannya Undang-Undang istri dengan tujuan membentuk keluarga
Nomor 1 Tahun 1974 tentang (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
Perkawinan, yang mulai berlaku secara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975, Bunyi rumusan tersebut, menyatakan arti
dengan Peraturan Pelaksanaannya yaitu dan tujuan perkawinan. Arti perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun adalah ikatan lahir bathin antara seorang
1975 Tentang Pelaksanaan Undang- pria dengan seorang wanita sebagai
Undang Nomor 1 Tahun 1974.1 suami istri, sedang tujuan perkawinan
Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 adalah membentuk keluarga (rumah
Tahun 1974 adalah sebagai upaya tangga) yang bahagia dan kekal
menciptakan unifikasi hukum di bidang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
perkawinan karena sebelumnya, yaitu Ikatan lahir adalah ikatan yang
sebelum Tahun 1975 di Indonesia dapat dilihat, yang mengungkapkan
terdapat bermacam-macam hukum adanya hubungan hukum antara seorang
perkawinan yang berlaku bagi masing- pria dengan seorang wanita untuk hidup
masing golongan penduduk. Hukum bersama sebagai suami istri, atau dengan
perkawinan yang dimaksud adalah: kata lain dapat disebut sebagai hubungan
1. Kitab Undang-Undang Hukum formal. Ikatan bathin merupakan
Perdata; hubungan yang tidak formal yaitu suatu
2. Ordonansi Perkawinan Indonesia ikatan yang tidak dapat dilihat, dan
Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon ikatan ini harus ada dalam suatu
yang diatur dalam Stb. 1933 Nomor perkawinan karena tanpa adanya ikatan
74 jo Stb. 1936 Nomor 607 jo bathin, ikatan lahirakan menjadi rapuh.
Lembaran Negara 1946 Nomor 136; Oleh karena itulah terjalinnya ikatan
3. Peraturan Perkawinan Campuran Stb. lahir dengan ikatan bathin merupakan
1898 Nomor 158; pondasi dalam membentuk dan membina
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun keluarga yang bahagia dan kekal
1954 Tentang Pencatatan Nikah, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.3

1 2
Baharuddin Ahmad, 2008, Hukum Lihat Pasal 66 UU Perkawinan
3
Perkawinan di Indonesia, Studi Historis K. Wantjik Saleh, 1982, Hukum Perkawinan
Metodologis, Syari’ah Press IAIN STS Indonesia, Ghalia Indonesia, halaman 14 dan
Jambi, halaman 1. 15.

P-ISSN : 2656-9639 194


E-ISSN : 2684-9046
Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Volume 2, Nomor 1 April 2020

Dengan melihat uraian tersebut di Disamping itu, syarat-syarat perkawinan


atas, maka dapat diketahui bahwa ini diperlukan untuk adanya kepastian
perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, mengingat perkawinan ini
hukum yang mempunyai akibat hukum. mempunyai akibat yang luas yaitu akan
Apabila perkawinan para pihak yang membawa akibat terhadap para pihak
bersangkutan menurut hukum dianggap yang bersangkutan, keluarga para pihak,
sah, maka akibat dari perkawinan itu pun masyarakat, dan negara.
akan dianggap sah menurut hukum. Atas Syarat-syarat perkawinan
dasar inilah, maka penulisan ini akan sebagaimana diatur dalam Pasal 6
membahas tentang sahnya perkawinan sampai dengan Pasal 12 UU Perkawinan,
menurut UU Perkawinan. menurut Marthalena Pohan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu4 :
Rumusan Masalah 1. Syarat-syarat Materiil
Berdasarkan latar belakang Syarat-syarat materiil adalah syarat–
masalah sebagaimana yang telah syarat terhadap para pihak terutama
diuraikan diatas maka dapat dirumuskan terutama mengenai kehendak,
sebagai berikut : ”Bagaimana sahnya wewenang, dan persetujuan orang
perkawinan menurut Undang-Undang lain yang diperlukan oleh para pihak
Nomor 1 Tahun 1974 tentang untuk melangsungkan perkawinan.
Perkawinan?”. Syarat-syarat ini dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
Metodologi Penelitian a. Syarat materiil yang absolut
Metode penelitian yang digunakan (mutlak).
adalah metode penelitian hukum Merupakan syarat-syarat yang
normative. Data diperoleh melalui studi berakibat pada umumnya orang
dokumen atau kepustakaan yang tidak lagi berwenang
dilakukan dengan cara meneliti bahan- melangsungkan perkawinan, jika
bahan kepustakaan seperti buku, syarat-syarat ini tidak dipenuhi oleh
majalah, makalah-makalah, jurnal, para pihak. Syarat-syarat ini
artikel-arikel, surat kabar serta situs-situs meliputi 5 hal, yaitu :
internet yang berkaitan dengan objek a.1. Kedua belah pihak masing-masing
yang ditulis. Analisis dilakukan harus tidak terikat dalam
menggunakan metode penerapan hukum perkawinan, hal ini dapat dilihat di
mengenai sahnya perkawinan menurut dalam Pasal 3 ayai 1 UU
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan, yaitu pada asasnya
tentang perkawinan. dalam suatu perkawinan seorang
pria hanya boleh mempunyai
Hasil Dan Pembahasan seorang istri. Seorang wanita hanya
A. Syarat – Syarat Perkawinan boleh mempunyai seorang suami.
Tujuan perkawinan adalah untuk Pengecualian terhadap asas ini
membentuk keluarga (rumah tangga) diatur dalam ayat 2 Pasal 3 UU
yang bahagia dan kekal berdasarkan Perkawinan, yaitu Pengadilan dapat
Ketuhanan yang Maha Esa. Untuk inilah memberikan ijin kepada seorang
UU Perkawinan meletakkan syarat- suami untuk beristri dari seorang,
syarat tentang diperbolehkannya apabila dikehendaki oleh para pihak
seseorang melangsungkan perkawinan. yang bersangkutan. Di dalam
4
Marthalena Pohan, 1986, Hukum Orang dan
Keluarga, tidak diterbitkan, halaman 11.

P-ISSN : 2656-9639 195


E-ISSN : 2684-9046
Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Volume 2, Nomor 1 April 2020

penjelasan umum disebutkan bahwa tungu sesudah pemutusan


perkecualian terhadap asas perkawinan sebelumnya.
monogami apabila dikehendaki oleh Di dalam Pasal 11 UU Perkawinan
yang bersangkutan, karena hukum ditentukan bahwa bagi seorang
dan agama dari yang bersangkutan wanita yang putus perkawinannya
mengijinkan. Di samping itu harus berlaku jangka waktu tunggu yang
pula dipenuhi syarat-syarat diatur lebih lanjut dalam Peraturan
sebagaimana yang diatur dalam Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Pasal 4 dan Pasal 5 UU Perkawinan. a.5. Harus ada persetujuan dari pihak
a.2. Adanya persetujuan sukarela atau ketiga.
bebas antara calon suami istri. Ketentuan tersebut di atas, diatur
Di dalam Pasal 6 ayat 1 UU dalam Pasal 6 ayat 1 UU
Perkawinan ditentukan bahwa Perkawinan, sedang di dalam ayat 2
perkawinan harus didasarkan atas nya ditentukan bahwa untuk
persetujuan kedua calon mempelai. melangsungkan perkawinan seorang
Di dalam penjelasan Pasal 6 ayat 1 yang belum mencapai 21 tahun
UU Perkawinan disebutkan bahwa harus mendapat ijin dari kedua
oleh karena perkawinan mempunyai orang tuanya. Dalam Pasal 6 ayat 6
tujuan agar suami dan istri dapat UU Perkawinan ditentukan bahwa
membentuk keluarga yang kekal ketentuan-ketentuan mengenai
dan bahagia, dan sesuai pula dengan persetujuan dari pihak ketiga
hak asasi manusia, maka tersebut berlaku sepanjang hukum
perkawinan harus disetujui oleh masing-masing agama dan
kedua belah pihak yang kepercayaan dari yang bersangkutan
melangsungkan perkawinan tidak menentukan lain.
tersebut, tanpa adanya paksaan dari b. Syarat-syarat materiil yang relatif
siapa pun. Persetujuan ini harus Syarat-syarat ini adalah syarat-
diberikan dan dikemukakan dengan syarat yang mengandung larangan
sukarela pada saat perkawinan perkawinan tertentu, yaitu:
tersebut dilangsungkan. b.1. Larangan perkawinan antara orang-
a.3. Calon suami istri harus mempunyai orang yang ada hubungan
batas umur minimum tertentu. kekeluargaan dan antara dua orang
Di dalam Pasal 7 UU Perkawinan yang mempunyai hubungan yang
ditentukan bahwa calon suami harus oleh agamanya atau peraturan lain
sudah mencapai umur 19 tahun dan yang berlaku dilarang kawin
calon istri harus sudah mencapai sebagaimana diatur dalam Pasal 8
umur 16 tahun. Ketentuan ini telah UU Perkawinan.
dirubah dengan diterbitkannya b.2. Larangan perkawinan antara mereka
Undang-Undang Nomor 16 Tahun yang dengan putusan hakim terbukti
2019 Tentang Perubahan atas melakukan perzinahan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun Seorang yang dengan putusan
1974, yang dalam Undang-Undang hakim telah dinyatakan salah karena
Nomor 16 Tahun 2019 ditentukan perzinahan, tidak boleh kawin
bahwa perkawinan hanya diijinkan dengan kawan zinah tersebut. Hal
apabila pria dan wanita sudah ini walaupun suami atau istrinya
mencapai umur 19 tahun. sudah meninggal, ia tetap tidak
a.4. Seorang wanita tidak boleh/dapat boleh kawin dengan kawan zinah
kawin lagi sebelum lampau waktu tersebut.

P-ISSN : 2656-9639 196


E-ISSN : 2684-9046
Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Volume 2, Nomor 1 April 2020

b.3. Larangan perkawinan karena tempat yang sudah ditentukan dan


perkawinan terdahulu, sebagaimana mudah dibaca oleh umum.
diatur dalam Pasal 10 UU c. Tahap Pelaksanaan Perkawinan.
Perkawinan. Didalam Pasal 10 Peraturan
2. Syarat-syarat Formil. Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Syarat-syarat formil adalah syarat- Tentang Pelaksanaan UU
syarat yang berhubungan dengan Perkawinan ditentukan bahwa
tatacara atau formalitas-formalitas perkawinan dilangsungkan setelah
pelangsungan perkawinan. Syarat- hari kesepuluh sejak pengumuman
syarat ini dapat dibagi menjadi 4 kehendak perkawinan oleh Pegawai
tahap, yaitu: Pencatat seperti yang dimaksud
a. Tahap Pemberitahuan kehendak dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah
untuk melangsungkan perkawinan ini. Tatacara perkawinan dilakukan
oleh kedua calon mempelai kepada menurut hukum masing-masing
Pegawai Pencatat Perkawinan di agama dan kepercayaannya
tempat perkawinan akan dihadapan Pegawai Pencatat
dilangsungkan. Perkawinan dengan dihadiri oleh
Ketentuan tersebut di atas diatur dua orang saksi.
dalam Pasal 3 ayat 1 Peraturan d. Tahap Penandatanganan Akta
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Perkawinan.
Tentang Pelaksanaan UU Di dalam Pasal 13 Peraturan
Perkawinan dengan menyertakan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
bukti syarat-syarat materiil. Tentang Pelaksanaan UU
Kemudian di dalam ayat 2 nya Perkawinan, ditentukan bahwa
ditentukan bahwa pemberitahuan sesaat setelah perkawinan
tersebut dalam ayat 1 sekurang- dilangsungkan sesuai dengan
kurangnya harus dilakukan 10 hari ketentuan Pasal 10 Peraturan
kerja sebelum perkawinan Pemerintah tersebut, kedua
dilangsungkan. mempelai menandatangani akta
b. Tahap Pengumuman kehendak perkawinan yang telah disiapkan
untuk melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. ketentuan yang berlaku. Akta
perkawinan yang telah
Di dalam Pasal 8 Peraturan ditandatangani oleh mempelai
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut, selanjutnya ditandatangani
Tentang Pelaksanaan UU pula oleh kedua saksi dan Pegawai
Perkawinan ditentukan bahwa Pencatat yang menhadiri
setelah dipenuhinya tatacara dan perkawinan dan bagi yang
syarat-syarat pemberitahuan serta melangsungkan perkawinan
tidak ada sesuatu halangan menurut agama Islam,
perkawinan, Pegawai Pencatat ditandatangani pula oleh wali nikah
menyelenggarakan pengumuman atau yang mewakili. Dengan
tentang pemberitahuan kehendak penandatangan akta perkawinan,
melangsungkan perkawinan dengan maka perkawinan telah tercatat
cara menempelkan surat secara resmi.
pengumuman menurut formulir B. Sahnya Perkawinan
yang ditetapkan pada kantor Sebagaimana telah dikemukakan
Pencatat Perkawinan pada suatu di depan, bahwa perkawinan merupakan

P-ISSN : 2656-9639 197


E-ISSN : 2684-9046
Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Volume 2, Nomor 1 April 2020

suatu perbuatan hukum yang Kemudian dalam Pasal 2 ayat 2


mempunyai akibat hukum. Oleh UU Perkawinan disebutkan bahwa,
karenanya apabila perkawinan para setiap perkawinan dicatat menurut
pihak yang bersangkutan menurut peraturan perundang-undangan yang
hukum dianggap sah, maka akibat dari berlaku. Ketentuan tersebut tidak
perkawinan itu pun akan dianggap sah menentukan sahnya perkawinan, tetapi
pula oleh hukum. memberikan sarana pembuktian bahwa
Dalam Pasal 2 ayat 1 UU perkawinan tersebut memang benar-
Perkawinan ditentukan bahwa benar ada dan terjadi. Dengan demikian
perkawinan adalah sah, apabila perbuatan pencatatan hanyalah
dilakukan menurut hukum masing- merupakan suatu tindakan yang bersifat
masing agama dan kepercayaannya itu. administratif. Pencatatan perkawinan
Kata “masing-masing agamanya” ini bertujuan agar peristiwa perkawinan
untuk membedakan agama-agama yang tersebut menjadi jelas baik bagi yang
dipeluk oleh masyarakat di Indonesia, bersangkutan maupun bagi pihak yang
sedangkan “dan kepercayaannya itu” lain. Hal tersebut disebabkan pencatatan
menunjukkan bahwa dalam keseluruhan perkawinan dituangkan dalam suatu
Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan surat yang bersifat resmi dan termuat
dimaksudkan semua pelaksanaan dalam daftar yang khusus disediakan
perkawinan harus dilakukan menurut untuk itu, sehingga dapat dibaca oleh
hukum agamanya, atau dengan kata lain, yang berkepentingan dan sewaktu-waktu
tidak akan ada pelaksanaan perkawinan dapat dipakai sebagai alat bukti yang
di luar hukum agamanya atau yang otentik. Dengan surat tersebut dapat
bertentangan dengan hukum agamanya. dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan
Hal ini juga dapat dilihat dalam Pasal 2 lain.8 Di dalam penjelasan umum UU
ayat 1 UU Perkawinan beserta dengan Perkawinan angka 4 huruf b dinyatakan
penjelasannya, bahwa perkawinan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan
mutlak harus dilaksanakan menurut adalah sama halnya dengan pencatatan
hukum masing-masing agama dan peristiwa-peristiwa penting dalam
kepercayaannya, kalau tidak, maka kehidupan seseorang, misalnya
perkawinan tersebut tidak sah.5 Dengan kelahiran, kematian yang dinyatakan
demikian, bagi orang Islam tidak ada dalam surat-surat keterangan, suatu akte
kemungkinan untuk melangsungkan resmi yang juga dimuat dalam daftar
perkawinan dengan melanggar hukum pencatatan. Hal ini membuktikan bahwa
agamanya sendiri, demikian pula bagi perbuatan pencatatan perkawinan tidak
orang Kristen, Hindu atau pun Budha.6 menentukan sah perkawinan, tetapi
Adapun yang dimaksud dengan hanya bersifat administratif, karena jika
masing-masing hukum agama dan syarat pencatatan itu menjadi faktor yang
kepercayaannya itu termasuk ketentuan menentukan sahnya perkawinan, maka
perundang-undangan yang berlaku bagi Pasal 2 tersebut tidak dipecah menjadi
golongan agama dan kepercayaannya itu dua ayat, sehingga perkataan sah disitu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak meliputi pula unsur pencatatan.
ditentukan lain oleh UU Perkawinan Perlu diketahui bahwa di dalam
tersebut.7 Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9

5 7
K. Wantjik Saleh, 1982, Op Cit, halaman 16. K. Wantjik Saleh, 1982, Loc. Cit.
6 8
Hazairin, 1986, Tinjauan Mengenai Undang- K. Wantjik Saleh, 1982, Op Cit, halaman 17.
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Tinta Mas, halaman 8.

P-ISSN : 2656-9639 198


E-ISSN : 2684-9046
Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Volume 2, Nomor 1 April 2020

Tahun 1975 memuat ancaman pidana Kesimpulan


bagi mempelai dan Pegawai Pencatat Menurut UU Perkawinan, sahnya
Perkawinan yang melakukan perkawinan adalah pada saat perkawinan
pelanggaran ketentuan-ketentuan itu dilangsungkan meurut hukum
pencatatan, yaitu: masing-masing agamanya, sedangkan
a. Bagi mempelai diancam dengan pencatatan perkawinan hanya
pidana denda setinggi-tingginya Rp merupakan tindakan administratif, yang
7.500, 00., apabila : memberikan sarana sebagai alat bukti
1. Tidak melakukan pemberitahuan bahwa perkawinan para pihak memang
kehendak melangsungkan ada dan telah terjadi.
perkawinan; Walaupun pencatatan bukan
2. Perkawinan tidak dilaksanakan merupakan faktor yang menentukan
dihadapan Pegawai Pencatat. sahnya perkawinan, tetapi syarat
b. Bagi Pegawai Pencatat diancam pencatatan ini juga harus dilakukan atau
dengan pidana kurungan selama- dipenuhi oleh para pihak, sebab
lamanya 3 bulan atau denda pencatatan perkawinan ini merupakan
setinggi-tingginya Rp 7.500,00., suatu bukti bahwa negara telah
apabila : mengakui adanya perkawinan yang
1. Tidak melakukan penelitian, atau dilakukan oleh para pihak. Dengan
2. Tidak memberitahukan adanya pencatatan perkawinan berarti bahwa
halangan perkawinan, atau negara telah mengakui secara resmi
3. Tidak menyelenggarakan adanya kekuatan hukum sipil kepada
pengumuman, atau para pihak di dalam perkawinan. Hal ini
4. Tidak menandatangani karena pada prinsipnya di dalam UU
pengumuman, atau Perkawinan ditentukan harus adanya
5. Melaksanakan perkawinan sebelum keseimbangan antara hukum agama dan
hari kesepuluh dari pengumuman, hukum negara sesuai hukum formal yang
atau harus dipenuhi.
6. Tidak menyiapkan dan
menandatangani akta perkawinan, Daftar Pustaka
atau Ahmad, Baharuddin, 2008, Hukum
7. Tidak menyimpan helai pertama, Perkawinan di Indonesia, Studi
tidak memberikan helai kedua Historis Metodologis, Syari’ah
kepada panitera pengadilan dan Press IAIN STS Jambi.
kutipan akta perkawinan kepada Hazairin, 1986, Tinjauan Mengenai
mempelai. Undang-Undang Nomor 1 Tahun
Pelanggaran-pelanggaran yang 1974 Tentang Perkawinan, Tinta
dilakukan, baik oleh mempelai maupun Mas Indonesia, Jakarta.
oleh Pegawai Pencatat atas ketentuan- Lis Sulistiani, Siska, 2015, Kedudukan
ketentuan tersebut, tidak mengakibatkan Hukum Anak Hasil Perkawinan
tidak sahnya perkawinan. Hal ini dapat Beda Agama Menurut Hukum
disimpulkan dari ketentuan-ketentuan Positif dan Hukum Islam, Refika
tersebut bahwa pelanggaran tersebut Aditama, Bandung.
adalah pelanggaran yang tidak Pohan, Marthalena, 1986, Hukum Orang
menyangkut syarat sahnya perkawinan. dan Keluarga, tidak diterbitkan,
Wantjik Saleh.K., 1982, Hukum
Perkawinan Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta.

P-ISSN : 2656-9639 199


E-ISSN : 2684-9046

Anda mungkin juga menyukai