Anda di halaman 1dari 47

HUKUM KELUARGA

Sri Suwarni, S.H., M.Hum.


Hukum Keluarga/Perkawinan
• Dasar hukum :
Sebelum adanya UU No. 1 Tahun 1974 :
– KUH Perdata (Bk. I : Hukum Tentang Orang/Badan Pribadi)
– Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Stb. 1933 No. 74)
– Peraturan Perkawinan Campuran (Stb. 1898 No. 158)
– Bagi Umat Islam berlaku Ordonansi Perkawinan (Stb. 1929
No. 348 jo. Stb. 1931 No. 467 dan Ordonansi untuk
Perkawinan luar Jawa dan Madura (Stb. 1933 No. 98).
Peraturan-peraturan ini dicabut dengan diberlakukannya UU
No. 32 Tahun 1954 untuk seluruh Indonesia tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 :
• UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
• PP No. 9 Tahun 1975 (Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun
1974)
• PP No. 10 Tahun 1983 (Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi
PNS)
• PP No. 45 Tahun 1990 (Penyempurnaan PP No. 10 Tahun 1983)
• Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
(berlaku khusus bagi yang beragama Islam.
Psl. 66 UU No. 1 Tahun 1974 : “Dengan diundangkannya UU ini,
maka peraturan perkawinan yang ada sebelum UU ini
dinyatakan tidak berlaku.
UU Nomor : 16 Tahun 2019 Perubahan UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
Definisi Hukum Keluarga :
Menurut Prof Ali Afandi : Hukum Keluarga adalah
“Keseluruhan ketentuan tentang hubungan hukum yang
bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan
kekeluargaan karena perkawinan.
• Kekeluargaan sedarah yaitu : pertalian keluarga yang
terdapat antara beberapa orang yang mempunyai leluhur
yang sama
• Kekeluargaan karena perkawinan yaitu : pertalian keluarga
yang terdapat karena perkawinan seseorang dengan
keluarga sedarah dari isteri/suaminya.
Hukum Keluarga sangat penting karena bersangkutan
dengan Hukum Waris, Kekuasaan Orang Tua, Perwalian,
Pengampuan dsb.
Bagian yang terpenting dari Hukum Keluarga yaitu : Hukum
Perkawinan.
• Sejak diberlakukannya Undang Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun
1974) yang sekarang diubah dengan Undang Undang Nomor 16 Tahun
2019 dan Peraturan Pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 pada tanggal 1 Oktober 1975, secara yuridis
formal berlakulah suatu hukum nasional yang mengatur masalah
perkawinan di Indonesia.
• Undang Undang Perkawinan tersebut mempunyai beberapa
kekhususan, yaitu bahwa undang-undang tersebut merupakan produk
Legeslatif yang pertama yang memberikan gambaran nyata tentang
kebenaran dasar Bhinika Tunggal Ika. Undang-Undang tersebut juga
merupakan unifikasi unik, oleh karena menghormati adanya kenyataan
variasi berdasarkan agama dan kepercayaan, dan tujuannya adalah
untuk melengkapi hal-hal yang tidak diatur hukumnya di dalam agama
atau kepercayaan, dimana negaralah yang berhak mengaturnya.
Di dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut dapat ditemukan asas-
asas dari hukum perkawinan nasional, yang antara lain mencakup hal-
hal sebagai berikut :
1. Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir-bathin yang harus didasarkan
pada persetujuan kedua belah pihak, yang bertujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal atas dasar Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
2. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing.
3. Setiap perkawinan harus dicatatkan.
4. Suami dan isteri mempunyai kedudukan yang seimbang, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat, masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan
hukum dengan pembagian tugas suami sebagai kepala keluarga dan isteri
sebagai ibu rumah tangga.
5. Seorang pria dan seorang wanita masing-masing hanya boleh memiliki
seorang isteri dan seorang suami, walaupun seorang pria atas dasar
alasan dan syarat-syarat tertentu boleh beristeri lebih dari seorang.
6. Bahwa usia minimal untuk melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun untuk pria dan
19 tahun untuk wanita, dan ijin orang tua masih tetap diperlukan apabila yang
bersangkutan belum mencapai usia 21 tahun.
7. Di dalam hubungan-hubungan dan keadaan-keadaan tertentu (hubungan darah,
semenda, susuan, agama/peraturan, telah bercerai kedua kalinya, belum habis waktu
tunggu), dilarang orang untuk melangsungkan perkawinan, dan dalam hal-hal tertentu
pula perkawinan dapat dicegah dan dibatalkan.
8. Perceraian hanya dapat dilangsungkan atas dasar alasan-alasan yang telah ditentukan,
dan setelah perceraian kewajiban orang tua terhadap anak masih tetap ada.
9. Perjanjian kawin dapat diadakan sebelum atau pada waktu perkawinan dilangsungkan.
10. Semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dari
suami isteri, kecuali ditentukan lain menurut perjanjian perkawinan.
11. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang warga negara Indonesia
dengan seorang warga negara asing. Perkawinan ini dapat dilangsungkan di luar negri.
12. Seorang anak dianggap anak sah apabila dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang
sah, sedangkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dianggap hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
13. Dalam hubungan dengan peradilan, yang melakukan peradilan adalah peradilan dalam
lingkungan Peradilan Agama bagi yang beragama Islam dan peradilan dalam lingkungan
Peradilan Umum bagi yang lainnya.
Pengertian Perkawinan :
1. Pengertian perkawinan menurut KUHPerdata, tidak
diuraikan secara ekplisit dalam pasal-pasalnya, tetapi dapat
disimpulkan dari pasal-pasalnya yaitu bahwa perkawinan
adalah “persatuan antara pria dan wanita secara hukum
untuk hidup bersama-sama”. (KUHPerdata memandangnya
sebagai suatu persetujuan).
a. Psl. 26 KUHPerdata mempertegas tentang perkawinan
yaitu : UU memandang soal perkawinan hanya dalam
hubungan-hubungan perdata.
b. Tujuan perkawinan menurut KUHPerdata tidak semata-
mata untuk mendapatkan keturunan.
c. Dimungkinkan adanya perkawinan in extremis (detik-detik
terakhir) yaitu perkawinan yang dilakukan dengan orang
yang hampir meninggal dunia.
2. Pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan diatur secara
tegas dalam Psl 1 yaitu : “Perkawinan adalah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-
Tuhanan Yang Maha Esa”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan tersebut, dapat
dipahami :
a. Bahwa perkawinan tidak hanya persetujuan saja, tetapi
adanya ikatan lahir dan bathin, berdasarkan ke-Tuhanan Yang
Maha Esa.
b. Perkawinan menurut UUP Ini berdasarkan Agama.
c. Tujuan perkawinan menurut UUP yaitu untuk mendapatkan
keturunan, karena :
1) Adanya ketentuan bahwa untuk membentuk keluarga bahagia
dan kekal berarti ada seorang anak.
2) Adanya ketentuan yang membolehkan suami mempunyai
isteri lebih dari satu, apabila isterinya tidak bisa memberikan
keturunan (ditegaskan dengan Psl 4 ayat (2c) UUP dan Psl. 41
a PP No. 9 Tahun 1975).
3) Adanya ketentuan apabila salah satu pihak cacat/berpenyakit
yang tidak dapat disembuhkan sehingga tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami /isteri dapat
dijadikan alasan untuk bercerai (Psl. 19 c PP No. 9 Tahun
1975).
Apakah persetujuan perkawinan menurut KUHPerdata dan UUP sama
dengan persetujuan menurut Buku III KUHPerdata ?
• Ada persamaannya yaitu adanya kata sepakat antara para pihak yang
diadakan secara bebas dan tanpa paksaan.
• Perbedaanya yaitu :
Buku III KUHPerdata KUHPerdata Buku 1 dan UU Perkawinan
• Hanya berlaku antara para pihak * Berlaku untuk umum (masyarakat
harus menghormati janji perkawinan)
• Bentuk bebas * Bentuk terikat : Otentik, disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan
• Isi bebas * Isi terikat dengan UU
• Yang membuat para pihak * Harus disahkan oleh pemerintah
• Dapat diakhiri atas persetujuan para pihak * Dapat bubar menurut ketentuan UU ; karena
kematian, perceraian, putusan hakim.
Syarat-syarat Perkawinan : (Psl. 27 s/d 49
KUHPerdata dan Psl. 6 s/d 11 UUP)
1. Syarat Materiil Absolut (syarat yang harus
dipenuhi/diperhatikan oleh setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan) :
a. Kedua belah pihak tidak dalam status perkawinan dengan
orang lain.
b. Harus ada persetujuan kedua calon mempelai
c. Memenuhi batas umur minimal untuk melangsungkan
perkawinan
d. Bagi janda sudah lewat waktu tunggu
e. Izin orang tua/orang tertentu
f. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami/isteri yang
sama
Ad.a. Diatur dalam Psl. 27 KUHPerdata :”Dalam waktu yang sama seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang wanita sebagai isterinya dan seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang pria sebagai suaminya”. Disebut sebagi “Asas Monogami”
• Asas monogami dalam KUHPerdata sifatnya mutlak, tidak boleh disimpangi, jika
disimpangi maka akibatnya batal/diancam pidana maximal 25 tahun (Psl. 279
KUHPerdata).
• Dalam UUP, asas monogami dapat disimpangi Psl. 3 ayat (2)  dimana pengadilan
mengajukan syarat-syarat alternatif Psl. 4 ayat (2) UUP dan Psl. 41 a PP No. 9 Tahun
1975 yaitu :
1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Syarat komulatif (harus dipenuhi ketiga-tiganya) :
1) Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isterinya
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri dan
anak-anaknya (Persetujuan secara lisan dan tertulis dengan memberi surat
jaminan keterangan penghasilan)
3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-
anaknya.
Ad b. Diatur dalam Psl 28 KUHPerdata dan Psl. 6 UUP.
1) Asas perkawinan yang menghendaki kebebasan kata sepakat antara kedua
calon mempelai sebagai suami-isteri.
2) Kehendak bebas tidak terjadi apabila ada paksaan, salah satu pihak sakit
ingatan.
3) Kehendak bebas yang dimaksud adalah kehendak pada saat dilangsungkannya
perkawinan.
4) Dalam Psl 6 UUP diatur :
a) Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan calon mempelai
b) Harus ada kehendak bebas dari kedua calon mempelai
c) Kehendak bebas tidak terjadi apabila ada ancaman yang melanggar
hukum dan adanya kekilafan, sehingga hal itu dapat dibatalkan.
d) Psl. 23 ayat (3) , apabila ancaman telah berhenti dan salah sangka
disadari, tetapi 6 bulan setelah itu masih hidup bersama-sama sebagai
suami isteri dan tidak menggunakan haknya, maka hak itu dianggap tidak
ada/gugur. (dalam KUHPerdata jangka waktunya 3 bulan)
e) Maksud syarat persetujuan, supaya perkawinannya kokoh.
• Ad. c. Berdasar KUHPerdata (Psl. 29) :
1) Usia wanita 15 tahun, pria 18 tahun
2) Batas usia minimal tersebut dapat disimpangi jika ada
dispensasi dari Presiden.
Berdasar UUP (Psl. 7 ayat (2) ;
1) Usia wanita 19 tahun, pria 19 tahun
2) Batas usia minimal tersebut dapat disimpangi jika ada
dispensasi dari pengadilan/pejabat lain yang ditunjuk oleh
orang tua mempelai.
Ad. d. Berdasar KUHPerdata :
1) Seorang janda yang ingin kawin lagi harus menunggu waktu tertentu yaitu
300 hari.
2) Maksud harus menunggu selama 300 hari yaitu karena 300 hari adalah
umur yang panjang bagi bayi dalam kandungan wanita dan untuk
menentukan siapa ayah dari si bayi (Psl 250 KUHPerdata).
3) Maksud adanya waktu tunggu yaitu untuk menghindari adanya
percampuran darah (confucio sanguinis).
Berdasarkan UUP (Psl. 11 dan PP No. 9 Tahun 1975 Psl. 39), ada syarat
alternatif yaitu :
1) Waktu tunggu 130 hari, bila perkawinan putus karena kematian
2) Waktu Tunggu 90 hari, bila perkawinan putus karena perceraian
3) Waktu tunggu s/d bayi lahir, bila wanita tersebut dalam keadaan
mengandung.
4) Tidak ada waktu tunggu, bila yang bersangkutan tidak berhubungan.
5) Waktu tunggu dihitung sejak keputusan hakim (tentang perceraian)
mempunyai kekuatan hukum yang tetap/sejak kematian suami.
Ad. e. Ada izin orang tua/orang tertentu
UU memandang perkawinan bukan hanya untuk pihak yang mau kawin
saja, tetapi juga masalah keluarga.
• Berdasar UUP Psl 6, izin kawin hanya untuk yang belum berusia 21
tahun.
• Berdasar KUHPerdata :
1) Dibedakan antara orang yang sudah dewasa dan yang belum dewasa
2) Psl 35-36 KUHPerdata ; tentang orang yang belum dewasa yaitu yang
belum berusia 21 tahun/belum kawin
3) Psl 42-46 KUHPerdata ; tentang orang dewasa tapi belum berumur 30
tahun.
4) Untuk anak yang sah :
a) Bagi anak yang belum dewasa, izin orang tua adalah mutlak (Psl 35-
38)
b) Bagi orang yang sudah dewasa tapi belum 30 tahun ada izin orang tua
tapi tidak mutlak, karena bisa ada perantara (Psl. 42-46)
5) Untuk anak luar kawin yang diakui :
* Bagi yang belum dewasa (Psl. 39) harus ada izin dari
orang tua/walinya, jika tidak ada izin, atas permintaan si
anak maka pengadilan dalam mana anak tersebut
tinggal, berkuasa memberikan izin kawin, setelah
mendengar/memanggil dengan sah akan mereka yang
izinnya diperlukan.
* Bagi orang yang sudah dewasa (Psl. 47) tapi belum
berumus 30 tahun, untuk kawin harus ada izin dari
orang tua.
6) Untuk anak luar kawin ang tidak diakui :
• Anak yang belum dewasa (psl. 40) tidak boleh kawin
tanpa izin dari wali/wali pengawas mereka.
• Orang yang sudah dewasa, tidak perlu izin.
Ad. f. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami/isteri
yang sama
• Perkawinan untuk kedua kalinya untuk orang yang sama
dilarang (Psl. 33 ayat (2) KUHPerdata)
• Perkawinan ketiga kalinya untuk orang yang sama tidak
boleh, kecuali hukum agamanya mengatur lain (Psl. 10
UUP).
• Jika terjadi permasalahan harus diselesaikan dengan
baik, tapi jika tidak bisa, diselesaikan dengan perceraian
• Untuk memutus terjadinya perceraian harus melalui
prosedur yang sangat banyak
• Untuk menghindari adanya perceraian yang berulang-
ulang maka perkawinan harus dipandang sebagai suatu
yang sakral.
Syarat Materiil Relatif
Syarat materiil relative yaitu ketentuan yang
merupakan larangan bagi seseorang untuk
kawin dengan orang tertentu.
Syarat materiil relative di dalam KUHPerdata
diatur pada Pasal 30 s/d 35, yaitu :
– Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat
dekat dalam kekeluargaan sedarah dan semenda;
– Larangan untuk kawin dengan orang yang diajak
melakukan perbuatan zinah;
– Larangan untuk memperbaharui perkawinan (rujuk)
setelah perceraian jika belum lewat 1 (satu) tahun.
Syarat materiil relatif menurut UUP diatur dalam Pasal 8, yaitu :
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
• Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
ataupun ke atas;
• Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seoarang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara neneknya;
• Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri;
• Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,
saudara susuan, dan bibi/paman susuan.
• Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih
dari seorang;
• Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin.
3. Syarat Formal
Syarat formal yaitu syarat yang menyangkut formalitas, yaitu syarat
yang harus dipenuhi :
a. Sebelum perkawinan dilangsungkan, yang meliputi pemberitahuan
calon mempelai kepada Pegawai Pencatat Perkawinan dan
pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan bahwa akan
dilangsungkannya perkawinan.
b. Pada waktu perkawinan dilangsungkan , calon suami isteri harus
menyerahkan surat-surat atau akta-akta, antara lain:
• Akta Kelahiran atau akta kenal lahir;
• Akta tentang ijin kawin;
• Dispensasi untuk kawin apabila diperlukan;
• Bukti bahwa pengumuman kawin telah dilangsungkan atau bukti bahwa pencegahan
telah digugurkan, dan lain-lain.
c. Perkawinan sah apabila telah memenuhi persyaratan materiil dan
formal, perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu yang kemudian dicatat oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan.
Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
• Persamaan antara pencegahan dan pembatalan
perkawinan yaitu : bahwa keduanya tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Sedangan perbedaannya adalah bahwa pada
pencegahan, perkawinan belum dilangsungkan,
pada pembatalan perkawinan sudah dilangsungkan.
• Tidak setiap orang dapat mengajukan pencegahan
dan pembatalan perkawinan. Undang-Undang
menentukan pihak-pihak yang dapat mengajukan
pencegahan dan pembatalan perkawinan. Hal
tersebut untuk menghindari timbulnya pemfitnahan.
• Menurut ketentuan Pasal 14 UUP pihak yang dapat mengajukan
pencegahan perkawinan adalah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali,
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk orang yang masih terikat perkawinan
dengan salah satu calon mempelai.
• Dalam ketentuan Pasal 23 UUP diatur bahwa yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan adalah :
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau
isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 UU ini dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu
diputus.
Akibat Perkawinan
Suatu perkawinan yang sah mempunyai akibat
hukum terhadap :
1. Hubungan Suami Isteri.
Suatu perkawinan yang sah akan
menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami –
isteri.
Di dalam KUHPerdata, hak dan kewajiban
suami isteri diatur dalam Pasal 103 s/d 118
yang menyiratkan bahwa kekuasaan suami
lebih menonjol dari pada isteri.
Pasal 105 KUHPerdata mengatur bahwa :
a. Suami adalah kepala persatuan suami isteri;
b. Suami harus memberi bantuan pada isteri jika melakukan perbuatan hukum dan
menghadap ke pengadilan;
c. Suami harus mengemudikan harta kekayaan milik isteri;
d. Suami harus mengurus harta kekayaan itu sebagai bapak rumah tangga yang baik;
e. Suami tidak boleh memindahtangankan benda tak bergerak milik isteri tanpa
persetujuannya.
• Kekuasaan suami terhadap pribadi di isteri tersebut disebut “kekuasaan marital”
(maritale macht), dimana kekuasaan di dasarkan pada pikiran bahwa dalam satu
keluarga harus dipusatkan pada satu tangan yaitu suami.
Pasal 106 KUHPerdata mengatur bahwa :
a. Tiap isteri harus tunduk patuh pada suami;
b. Ia wajib tinggal dengan suami dalam rumah dan wajib mengikutinya dimana
memilih tempat tinggalnya.
• Diantara pasal-pasal yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami-isteri, ada
yang masuk dalam bidang social karena dalam pelaksanaannya tidak dapat dituntut
ke pengadilan. Pasal 103 KUHPerdata : suami isteri harus setia mensetiai, tolong
menolong, saling membantu.
Didalam Undang Undang Perkawinan hak dan kewajiban suami isteri
diatur di dalam Bab VI yaitu Psl. 30 s/d 34. Isi pasal tersebut adalah :
a. Suami wajib melindungi isteri dan memberi segala kebutuhan hidup
rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
b. Suami – isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin.
c. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
d. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
e. Jika suami isteri melalaikan kewajiban masing-masing dapat
mengajukan gugat ke Pengadilan.
• Pasal 31 UU Perkawinan menyatakan bahwa ; Hak dan kewajiban isteri
adalah seimbang dengan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, dan masing-masing pihak
berhak melakukan perbuatan hukum.
• Kesimpulannya bahwa isteri cakap melakukan perbuaran hukum, hal
tersebut juga dinyatakan dalam SEMA No. 3 Tahun 1963.
2. Anak-anak yang dilahirkan.
Suatu perkawinan yang sah menimbulkan hak dan kewajiban terhadap anak
(kewajiban alimentasi). Di dalam KUHPerdata diatur dalam ketentuan Pasal
298 s/d 319.
• Kewajiban alimentasi antara lain sebagai berikut :
a. Tiap anak dalam umur berapapun, wajib menaruh hormat dan segan
terhadap bapak ibunya;
b. Bapak ibu wajib mendidik, sekalian mereka yang belum dewasa.
• Perikatan dalam kewajiban alimentasi, ditentukan/timbul karena UU, bukan
karena diperjanjikan.
• Di dalam Undang Undang Perkawinan, diatur dalam Bab X yaitu Psl. 45 s/d
49 isinya antara lain ;
a. Anak wajib mentaati kehendak orang tua yang baik dan wajib membantu.
b. Jika anak dewasa, wajib memelihara orang tuanya menurut
kemampuannya, jika mereka memerlukan bantuan.
c. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sebaik-
baiknya sampai dengan dewasa atau berdikari, meskipun perkawinan
mereka putus.
3. Harta benda (Harta Kekayaan)
Sebagai akibat terjadinya perkawinan yang sah, timbulah berbagai harta.
Oleh karena itu mungkin akan timbul berbagai masalah yang berkaitan
dengan harta tersebut diantara suami isteri ataupun dengan pihak ke –
tiga, maka munculah kebutuhan akan suatu peraturan tentang Harta
Kekayaan dalam Perkawinan.
Macam harta perkawinan :
a. Harta bawaan
b. Harta yang didapat pada waktu dan sepanjang perkawinan
c. Hadiah/warisan dsb.
Masalah yang berkaitan dengan harta perkawinan timbul antara ;
a. Suami – isteri
b. Suami/isteri – pihak ke- tiga.
Tempat pengaturannya:
• Dalam KUHPerdata diatur dalam Buku I Pasal 119 s/d 198.
• Dalam Undang Undang Perkawinan diatur dalam Bab V s/d VII Psl. 29, 35
s/d 37.
Sifat Hukum Harta Perkawinan ;
Hukum Harta Perkawinan menurut KUHPerdata sebagai hukum pelengkap.
Sebagai hukum pelengkap artinya hanya melengkapi. Apabila mereka tidak
membuat ketentuan sendiri, maka yang dipakai adalah ketentuan UU yaitu
adanya persatuan bulat, sedangkan jika mereka membuat perjanjian, maka yang
berlaku adalah yang diperjanjikan.
Hal ini sesuai ketentuan Pasal 119 KUHPerdata yaitu :
a. Jika sejak perkawinan tidak dibuat ketentuan sendiri, maka yang berlaku adalah
ketentuan UU.
b. Jika dalam perkawinan dibuat perjanjian, maka yang berlaku perjanjian tersebut.
Hukum Harta Perkawinan menurut Undang Undang Perkawinan sebagai Hukum
Pelengkap.
Psl. 35 ayat (1 & 2) UUP
• Jika mereka tidak mengadakan perjanjian perkawinan maka ada tiga harta yaitu ;
– Harta bersama yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan.
– Harta pribadi suami.
– Harta pribadi isteri.
• Jika diperjanjikan tergantung pada hal yang diperjanjikan.
Terbentuknya Harta Kekayaan Perkawinan ;
a. Menurut KUHPerdata.
Dengan sifatnya sebagai hukum pelengkap, maka terjadinya harta kekayaan
dapat karena diperjanjikan terlebih dahulu atau tidak diperjanjikan.
1) Apabila tidak diperjanjikan, maka di dalam perkawinan tersebut akan
timbul persatuan harta secara bulat.
2) Apabila diperjanjikan, maka macam harta kekayaan yang diperjanjikan
adalah :
a) Apabila diperjanjikan secara ekstrim, maka tidak ada persatuan harta
(harta terpisah antara suami isteri).
b) Apabila diperjanjikan tidak secara ekstrim, maka terdapat persatuan
harta kekayaan (ada harta bersama) yaitu :
(1) Persatuan terbatas untung rugi
(2) Persatuan terbatas hasil dan pendapatan.
b. Menurut UUP, terjadinya harta kekayaan karena diperjanjikan dulu atau
tidak.
• Diatur dalam Psl. 35 ayat (1&2).
Pengaturan persatuan bulat harta kekayaan :
Diatur dalam Bab VI Pasal 119 s/d 138 KUHPerdata.
• Pasal 119 KUHPeradata, disamping ada istilah
persatuan bulat, juga merupakan pasal sebagai
dasar hukum terjadinya persatuan bulat, dan ini
merupakan hukum pelengkap.
• Apabila sudah ada persatuan bulat harta suami
isteri, apakah suatu saat dapat diubah ?
• Jawab : tidak bisa diubah sepanjang perkawinan
meskipun dengan persetujuan suami isteri,
dasarnya Pasal 119 ayat (2) KUHPerdata.
Pasal 120 dan Pasal 121 KUHPerdata, mengatur tentang rincian
harta persatuan bulat yaitu ada 4 hal yang terdiri dari 3 aktiva
dan 1 pasiva harta perkawinan yaitu :
1. Segala harta kekayaan dari suami isteri, baik bergerak atau tidak
bergerak, sebelum dan pada waktu perkawinan dilangsungkan;
2. Segala harta kekayaan suami isteri baik bergerak atau tidak
bergerak yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;
3. Segala harta kekayaan suami isteri baik bergerak atau tidak
bergerak yang diperoleh secara Cuma-Cuma, kecuali pemberi
melarang bahwa benda yang diberikan tersebut tidak boleh masuk
dalam persatuan.
1 s/d 3 ini merupakan aktiva yang diatur dalam Pasal 120
KUHPerdata.
4. Segala beban yang dapat berupa kerugian dan hutang dari suami
isteri, sebelum dan sesudah perkawinan dilangsungkan. Ini
merupakan pasiva yang diatur dalam Pasal 121 KUHPerdata.
• Apakah dalam persatuan bulat ada harta pribad i ?
Jawab : ada (lihat angka 3).
• Apakah dalam persatuan bulat ada hutang pribadi ?
Jawab : Ada, yaitu hutang-hutang yang melekat pada
suatu benda. Misal : A memberi warisan sebidang
tanah pada B, tanah tersebut dibeli secara kredit dan
belum lunas, sehingga pelunasan harga tanah
tersebut merupakan hutang pribadi.
• Hutang pribadi terjadi karena :
1. Pemberi melarang bahwa benda yang diberikan
tersebut tidak boleh masuk dalam harta persatuan;
2. Harta yang diberikan tersebut dibebani hutang.
• Tentang hutang persatuan dan hutang pribadi,
siapa yang harus membayar ?
Hutang persatuan dibayar :
1. Dari harta persatuan, jika tidak cukup
2. Dibayar dari harta pribadi yang membuat
hutang.
• Hutang pribadi dibayar :
1. Harta pribadi
2. Harta persatuan
(suami-isteri mempunyai setengah dari
harta persatuan).
• Apakah hutang persatuan dapat dibayar
dengan harta pribadi dari orang yang tidak
membuat hutang ?.
Jawab : Menurut Prof. Subekti : suami selalu
dapat dipertanggungjawabkan terhadap
hutang-hutang persatuan yang dibuat isteri,
sesuai dengan kedudukan suami sebagai
kepala persatuan. Tetapi isteri tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap hutang yang
dibuat suami.
• Di dalam UUP Pasal 36 menentukan
bahwa :
1. Harta bersama : suami isteri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Terhadap harta bawaan, suami isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk
melaksanakan perbuatan hukum terhadap
benda tersebut.
Pengurusan Terhadap Harta bersama/persatuan
Dapat terjadi dalam : harta persatuan bulat, dan harta
persatuan terbatas.
• Yang berhak melakukan pengurusan menurut KUHPeradata
adalah :
1. Diatur dalam Pasal 124 ayat (1) : suami harus mengurus
sendiri harta kekayaan tersebut dan isteri tidak boleh campur
tangan.
2. Pasal 124 ayat (1) merupakan akibat dari Pasal 105 ayat (1)
yang menentukan bahwa suami adalah kepala persatuan
suami isteri.
Mengurus adalah meliputi : menjual,memindahtangankan, dan
membebani harta kekayaan persatuan tanpa campur tangan
isteri, Pasal 124 ayat (2).
• Pembatasan hak mengurus suami terdapat : dalam Pasal 140
ayat (3), Pasal 124 ayat (3 dan $), dan Pasal 125 KUHPerdata.
Upaya hukum isteri untuk menghadapi perbuatan suami
yang kurang bertanggung jawab :
1. Upaya hukum isteri saat isteri masih dalam status
perkawinan;
2. Upaya hukum isteri setelah tidak terikat dalam perkawinan.
• Lihat ketentuan Pasal 186, Pasal 243, Pasal 434 ayat (3)
KUHPerdata.
• Di dalam UUP Psl. 36 ayat (1 & 2) menentukan bahwa ;
1. Harta bersama ; suami- isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
2. Terhadap harta bawaan, suami-isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melaksanakan perbuatan hukum terhadap
benda tersebut.
Bubarnya persatuan harta :
• Diatur dalam Pasal 126 KUHPerdata :
1. Karena kematian
2. Karena perceraian
3. Karena perpisahan meja dan ranjang, dsb.
• Akibat bubarnya persatuan harta :
1. Apabila ada anak yang belum dewasa
2. Bagi harta persatuan
3. Terhadap hutang persatuan.
Contoh Kasus :
• Suami-isteri yang bernama Gandi dan Atik pada waktu
kawin tanpa mengadakan perjanjian kawin.
Pada waktu kawin Gandi membawa sebidang tanah
pekarangan seharga Rp. 15.000.000,-, Atik tidak membawa
apa-apa, tetapi pada waktu ayahnya meninggal Atik
mendapat warisan sebesar Rp. 15.000.000,-, disamping itu
Atik juga diberi warisan dari ibunya sebuah perhiasan
seharga Rp. 9.000.000 (tdk boleh masuk harta persatuan).
Selama berusaha mendapat keuntungan sebesar Rp.
25.000.000,- dan untuk biaya rumah tangga dikeluarkan Rp.
15.000.000,-.
Perkawinan antara Gandi dan Atik tidak dapat berlangsung
terus dan putus dengan perceraian.
• Pertanyaan : Berapa besar harta kekayaan Gandi dan Anik
menurut KUHPerdata dan Undang Undang Perkawinan ?
Jawab :
Menurut KUHPerdata : dasar hukum Pasal 120 KUHPerdata.
• Harta bawaan Gandi = RP. 15.000.000,-
• Harta Atik warisan dari ayahnya = Rp. 15.000.000,-, dan perhiasan
dari ibunya seharga Rp. 9.000.000,- (tidak masuk persatuan bulat).
• Harta selama perkawinan Rp. 25.000.000,- - Rp. 15.000.000,- = Rp.
10.000.000,-
Harta kekayaan Gandi dan Atik :
• Harta Gandi = Rp. 15.000.000,-
• Harta Atik (warisan dari ayahnya) = Rp. 15.000.000,-
• Harta gono-gini= Rp. 10.000.000,-
• Jumlah = Rp. 40.000.000,-
Setelah terjadi perceraian :
• Harta kekayaan Gandi = Rp. 40.000.000,- : 2 = Rp. 20.000.000,-
• Harta kekayaan Atik = Rp. 40.000.000,- : 2 = Rp. 20.000.000,- + Rp.
9.000.000 = Rp. 29.000.000,-
Menurut Undang Undang Perkawinan ; Dasar hukumnya Pasal
35 ayat (1 & 2).
Jika tidak diadakan perjanjian kawin, maka ada tiga macam harta ;
1. Harta bersama atau harta yang diperoleh selama perkawinan, Rp.
25.000.000,- - Rp. 15.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
2. Harta pribadi Gandi = Rp. 15.000.000,-
3. Harta Pribadi Atik = Rp. 15.000.000,- + Rp. 9.000.000 = Rp. 24.000.000,-
Setelah terjadi perceraian, dasar hukum Pasal 36 ayat (1 & 2).
* Ayat (1),Harta bersama dibagi 2 yaitu Rp. 10.000.000,- : 2 = Rp.
5.000.000,-
* Ayat (2), Harta pribadi Gandi = Rp. 15.000.000,-
* Harta pribadi Atik = Rp. 24.000.000,-
Jadi :
• Keseluruhan harta Gandi adalah Rp. 15.000.000,- + Rp.
5.000.000,- = Rp. 20.000.000,-
• Keseluruhan harta Atik adalah Rp. 24.000.000,- + Rp.
5.000.000,- = Rp. 29.000.000,-
Putusnya Perkawinan :
• Putusnya perkawinan dapat disebabkan
karena kematian, perceraian, dan keputusan
pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 38 s/d
Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan dan
Pasal 14 s/d Pasal 35 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975.
• Peraturan tersebut secara materiil dan
proseduril mengatur tentang masalah
perceraian yang sangat dipersukar, demikian
juga akibatnya tidaklah ringan bagi para
pihak.
Perceraian hanya dapat terjadi atas dasar
alasan-alasan sebagai berikut :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa ijin pihak yang lain, tanpa alasan yang sah
atau hal lain diluar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat catat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami isteri.
6. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran, dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
runah tangga.
Sebagai akibat putusnya perkawinan karena perceraian
adalah:
* bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, dan apabila ada
perselisihan mengenai pengurusan anak, pengadilan
memberikan keputusannya.
• Bapak bertanggungjawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak,
dan apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
• Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami
untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan kewajiban bagi mantan isterinya.
• Bagi Pegawai Negri Sipil disamping
ketentuan Undang Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, masih ada
ketentuan tentang ijin perkawinan dan
perceraian yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 yang
kemudian disempurnakan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun
1990.

Anda mungkin juga menyukai