Hukum Keluarga/Perkawinan • Dasar hukum : Sebelum adanya UU No. 1 Tahun 1974 : – KUH Perdata (Bk. I : Hukum Tentang Orang/Badan Pribadi) – Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Stb. 1933 No. 74) – Peraturan Perkawinan Campuran (Stb. 1898 No. 158) – Bagi Umat Islam berlaku Ordonansi Perkawinan (Stb. 1929 No. 348 jo. Stb. 1931 No. 467 dan Ordonansi untuk Perkawinan luar Jawa dan Madura (Stb. 1933 No. 98). Peraturan-peraturan ini dicabut dengan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 1954 untuk seluruh Indonesia tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 : • UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan • PP No. 9 Tahun 1975 (Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974) • PP No. 10 Tahun 1983 (Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS) • PP No. 45 Tahun 1990 (Penyempurnaan PP No. 10 Tahun 1983) • Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (berlaku khusus bagi yang beragama Islam. Psl. 66 UU No. 1 Tahun 1974 : “Dengan diundangkannya UU ini, maka peraturan perkawinan yang ada sebelum UU ini dinyatakan tidak berlaku. UU Nomor : 16 Tahun 2019 Perubahan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Definisi Hukum Keluarga : Menurut Prof Ali Afandi : Hukum Keluarga adalah “Keseluruhan ketentuan tentang hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan. • Kekeluargaan sedarah yaitu : pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai leluhur yang sama • Kekeluargaan karena perkawinan yaitu : pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan seseorang dengan keluarga sedarah dari isteri/suaminya. Hukum Keluarga sangat penting karena bersangkutan dengan Hukum Waris, Kekuasaan Orang Tua, Perwalian, Pengampuan dsb. Bagian yang terpenting dari Hukum Keluarga yaitu : Hukum Perkawinan. • Sejak diberlakukannya Undang Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) yang sekarang diubah dengan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pada tanggal 1 Oktober 1975, secara yuridis formal berlakulah suatu hukum nasional yang mengatur masalah perkawinan di Indonesia. • Undang Undang Perkawinan tersebut mempunyai beberapa kekhususan, yaitu bahwa undang-undang tersebut merupakan produk Legeslatif yang pertama yang memberikan gambaran nyata tentang kebenaran dasar Bhinika Tunggal Ika. Undang-Undang tersebut juga merupakan unifikasi unik, oleh karena menghormati adanya kenyataan variasi berdasarkan agama dan kepercayaan, dan tujuannya adalah untuk melengkapi hal-hal yang tidak diatur hukumnya di dalam agama atau kepercayaan, dimana negaralah yang berhak mengaturnya. Di dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut dapat ditemukan asas- asas dari hukum perkawinan nasional, yang antara lain mencakup hal- hal sebagai berikut : 1. Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir-bathin yang harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal atas dasar Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. 2. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. 3. Setiap perkawinan harus dicatatkan. 4. Suami dan isteri mempunyai kedudukan yang seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum dengan pembagian tugas suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. 5. Seorang pria dan seorang wanita masing-masing hanya boleh memiliki seorang isteri dan seorang suami, walaupun seorang pria atas dasar alasan dan syarat-syarat tertentu boleh beristeri lebih dari seorang. 6. Bahwa usia minimal untuk melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun untuk pria dan 19 tahun untuk wanita, dan ijin orang tua masih tetap diperlukan apabila yang bersangkutan belum mencapai usia 21 tahun. 7. Di dalam hubungan-hubungan dan keadaan-keadaan tertentu (hubungan darah, semenda, susuan, agama/peraturan, telah bercerai kedua kalinya, belum habis waktu tunggu), dilarang orang untuk melangsungkan perkawinan, dan dalam hal-hal tertentu pula perkawinan dapat dicegah dan dibatalkan. 8. Perceraian hanya dapat dilangsungkan atas dasar alasan-alasan yang telah ditentukan, dan setelah perceraian kewajiban orang tua terhadap anak masih tetap ada. 9. Perjanjian kawin dapat diadakan sebelum atau pada waktu perkawinan dilangsungkan. 10. Semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dari suami isteri, kecuali ditentukan lain menurut perjanjian perkawinan. 11. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang warga negara Indonesia dengan seorang warga negara asing. Perkawinan ini dapat dilangsungkan di luar negri. 12. Seorang anak dianggap anak sah apabila dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah, sedangkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dianggap hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 13. Dalam hubungan dengan peradilan, yang melakukan peradilan adalah peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama bagi yang beragama Islam dan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum bagi yang lainnya. Pengertian Perkawinan : 1. Pengertian perkawinan menurut KUHPerdata, tidak diuraikan secara ekplisit dalam pasal-pasalnya, tetapi dapat disimpulkan dari pasal-pasalnya yaitu bahwa perkawinan adalah “persatuan antara pria dan wanita secara hukum untuk hidup bersama-sama”. (KUHPerdata memandangnya sebagai suatu persetujuan). a. Psl. 26 KUHPerdata mempertegas tentang perkawinan yaitu : UU memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. b. Tujuan perkawinan menurut KUHPerdata tidak semata- mata untuk mendapatkan keturunan. c. Dimungkinkan adanya perkawinan in extremis (detik-detik terakhir) yaitu perkawinan yang dilakukan dengan orang yang hampir meninggal dunia. 2. Pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan diatur secara tegas dalam Psl 1 yaitu : “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke- Tuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan tersebut, dapat dipahami : a. Bahwa perkawinan tidak hanya persetujuan saja, tetapi adanya ikatan lahir dan bathin, berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. b. Perkawinan menurut UUP Ini berdasarkan Agama. c. Tujuan perkawinan menurut UUP yaitu untuk mendapatkan keturunan, karena : 1) Adanya ketentuan bahwa untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berarti ada seorang anak. 2) Adanya ketentuan yang membolehkan suami mempunyai isteri lebih dari satu, apabila isterinya tidak bisa memberikan keturunan (ditegaskan dengan Psl 4 ayat (2c) UUP dan Psl. 41 a PP No. 9 Tahun 1975). 3) Adanya ketentuan apabila salah satu pihak cacat/berpenyakit yang tidak dapat disembuhkan sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami /isteri dapat dijadikan alasan untuk bercerai (Psl. 19 c PP No. 9 Tahun 1975). Apakah persetujuan perkawinan menurut KUHPerdata dan UUP sama dengan persetujuan menurut Buku III KUHPerdata ? • Ada persamaannya yaitu adanya kata sepakat antara para pihak yang diadakan secara bebas dan tanpa paksaan. • Perbedaanya yaitu : Buku III KUHPerdata KUHPerdata Buku 1 dan UU Perkawinan • Hanya berlaku antara para pihak * Berlaku untuk umum (masyarakat harus menghormati janji perkawinan) • Bentuk bebas * Bentuk terikat : Otentik, disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan • Isi bebas * Isi terikat dengan UU • Yang membuat para pihak * Harus disahkan oleh pemerintah • Dapat diakhiri atas persetujuan para pihak * Dapat bubar menurut ketentuan UU ; karena kematian, perceraian, putusan hakim. Syarat-syarat Perkawinan : (Psl. 27 s/d 49 KUHPerdata dan Psl. 6 s/d 11 UUP) 1. Syarat Materiil Absolut (syarat yang harus dipenuhi/diperhatikan oleh setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan) : a. Kedua belah pihak tidak dalam status perkawinan dengan orang lain. b. Harus ada persetujuan kedua calon mempelai c. Memenuhi batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan d. Bagi janda sudah lewat waktu tunggu e. Izin orang tua/orang tertentu f. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami/isteri yang sama Ad.a. Diatur dalam Psl. 27 KUHPerdata :”Dalam waktu yang sama seorang pria hanya boleh mempunyai seorang wanita sebagai isterinya dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang pria sebagai suaminya”. Disebut sebagi “Asas Monogami” • Asas monogami dalam KUHPerdata sifatnya mutlak, tidak boleh disimpangi, jika disimpangi maka akibatnya batal/diancam pidana maximal 25 tahun (Psl. 279 KUHPerdata). • Dalam UUP, asas monogami dapat disimpangi Psl. 3 ayat (2) dimana pengadilan mengajukan syarat-syarat alternatif Psl. 4 ayat (2) UUP dan Psl. 41 a PP No. 9 Tahun 1975 yaitu : 1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri 2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan 3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan Syarat komulatif (harus dipenuhi ketiga-tiganya) : 1) Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isterinya 2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri dan anak-anaknya (Persetujuan secara lisan dan tertulis dengan memberi surat jaminan keterangan penghasilan) 3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak- anaknya. Ad b. Diatur dalam Psl 28 KUHPerdata dan Psl. 6 UUP. 1) Asas perkawinan yang menghendaki kebebasan kata sepakat antara kedua calon mempelai sebagai suami-isteri. 2) Kehendak bebas tidak terjadi apabila ada paksaan, salah satu pihak sakit ingatan. 3) Kehendak bebas yang dimaksud adalah kehendak pada saat dilangsungkannya perkawinan. 4) Dalam Psl 6 UUP diatur : a) Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan calon mempelai b) Harus ada kehendak bebas dari kedua calon mempelai c) Kehendak bebas tidak terjadi apabila ada ancaman yang melanggar hukum dan adanya kekilafan, sehingga hal itu dapat dibatalkan. d) Psl. 23 ayat (3) , apabila ancaman telah berhenti dan salah sangka disadari, tetapi 6 bulan setelah itu masih hidup bersama-sama sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya, maka hak itu dianggap tidak ada/gugur. (dalam KUHPerdata jangka waktunya 3 bulan) e) Maksud syarat persetujuan, supaya perkawinannya kokoh. • Ad. c. Berdasar KUHPerdata (Psl. 29) : 1) Usia wanita 15 tahun, pria 18 tahun 2) Batas usia minimal tersebut dapat disimpangi jika ada dispensasi dari Presiden. Berdasar UUP (Psl. 7 ayat (2) ; 1) Usia wanita 19 tahun, pria 19 tahun 2) Batas usia minimal tersebut dapat disimpangi jika ada dispensasi dari pengadilan/pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua mempelai. Ad. d. Berdasar KUHPerdata : 1) Seorang janda yang ingin kawin lagi harus menunggu waktu tertentu yaitu 300 hari. 2) Maksud harus menunggu selama 300 hari yaitu karena 300 hari adalah umur yang panjang bagi bayi dalam kandungan wanita dan untuk menentukan siapa ayah dari si bayi (Psl 250 KUHPerdata). 3) Maksud adanya waktu tunggu yaitu untuk menghindari adanya percampuran darah (confucio sanguinis). Berdasarkan UUP (Psl. 11 dan PP No. 9 Tahun 1975 Psl. 39), ada syarat alternatif yaitu : 1) Waktu tunggu 130 hari, bila perkawinan putus karena kematian 2) Waktu Tunggu 90 hari, bila perkawinan putus karena perceraian 3) Waktu tunggu s/d bayi lahir, bila wanita tersebut dalam keadaan mengandung. 4) Tidak ada waktu tunggu, bila yang bersangkutan tidak berhubungan. 5) Waktu tunggu dihitung sejak keputusan hakim (tentang perceraian) mempunyai kekuatan hukum yang tetap/sejak kematian suami. Ad. e. Ada izin orang tua/orang tertentu UU memandang perkawinan bukan hanya untuk pihak yang mau kawin saja, tetapi juga masalah keluarga. • Berdasar UUP Psl 6, izin kawin hanya untuk yang belum berusia 21 tahun. • Berdasar KUHPerdata : 1) Dibedakan antara orang yang sudah dewasa dan yang belum dewasa 2) Psl 35-36 KUHPerdata ; tentang orang yang belum dewasa yaitu yang belum berusia 21 tahun/belum kawin 3) Psl 42-46 KUHPerdata ; tentang orang dewasa tapi belum berumur 30 tahun. 4) Untuk anak yang sah : a) Bagi anak yang belum dewasa, izin orang tua adalah mutlak (Psl 35- 38) b) Bagi orang yang sudah dewasa tapi belum 30 tahun ada izin orang tua tapi tidak mutlak, karena bisa ada perantara (Psl. 42-46) 5) Untuk anak luar kawin yang diakui : * Bagi yang belum dewasa (Psl. 39) harus ada izin dari orang tua/walinya, jika tidak ada izin, atas permintaan si anak maka pengadilan dalam mana anak tersebut tinggal, berkuasa memberikan izin kawin, setelah mendengar/memanggil dengan sah akan mereka yang izinnya diperlukan. * Bagi orang yang sudah dewasa (Psl. 47) tapi belum berumus 30 tahun, untuk kawin harus ada izin dari orang tua. 6) Untuk anak luar kawin ang tidak diakui : • Anak yang belum dewasa (psl. 40) tidak boleh kawin tanpa izin dari wali/wali pengawas mereka. • Orang yang sudah dewasa, tidak perlu izin. Ad. f. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami/isteri yang sama • Perkawinan untuk kedua kalinya untuk orang yang sama dilarang (Psl. 33 ayat (2) KUHPerdata) • Perkawinan ketiga kalinya untuk orang yang sama tidak boleh, kecuali hukum agamanya mengatur lain (Psl. 10 UUP). • Jika terjadi permasalahan harus diselesaikan dengan baik, tapi jika tidak bisa, diselesaikan dengan perceraian • Untuk memutus terjadinya perceraian harus melalui prosedur yang sangat banyak • Untuk menghindari adanya perceraian yang berulang- ulang maka perkawinan harus dipandang sebagai suatu yang sakral. Syarat Materiil Relatif Syarat materiil relative yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Syarat materiil relative di dalam KUHPerdata diatur pada Pasal 30 s/d 35, yaitu : – Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dan semenda; – Larangan untuk kawin dengan orang yang diajak melakukan perbuatan zinah; – Larangan untuk memperbaharui perkawinan (rujuk) setelah perceraian jika belum lewat 1 (satu) tahun. Syarat materiil relatif menurut UUP diatur dalam Pasal 8, yaitu : Perkawinan dilarang antara dua orang yang : • Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; • Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seoarang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; • Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; • Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan. • Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; • Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. 3. Syarat Formal Syarat formal yaitu syarat yang menyangkut formalitas, yaitu syarat yang harus dipenuhi : a. Sebelum perkawinan dilangsungkan, yang meliputi pemberitahuan calon mempelai kepada Pegawai Pencatat Perkawinan dan pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan bahwa akan dilangsungkannya perkawinan. b. Pada waktu perkawinan dilangsungkan , calon suami isteri harus menyerahkan surat-surat atau akta-akta, antara lain: • Akta Kelahiran atau akta kenal lahir; • Akta tentang ijin kawin; • Dispensasi untuk kawin apabila diperlukan; • Bukti bahwa pengumuman kawin telah dilangsungkan atau bukti bahwa pencegahan telah digugurkan, dan lain-lain. c. Perkawinan sah apabila telah memenuhi persyaratan materiil dan formal, perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu yang kemudian dicatat oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan • Persamaan antara pencegahan dan pembatalan perkawinan yaitu : bahwa keduanya tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Sedangan perbedaannya adalah bahwa pada pencegahan, perkawinan belum dilangsungkan, pada pembatalan perkawinan sudah dilangsungkan. • Tidak setiap orang dapat mengajukan pencegahan dan pembatalan perkawinan. Undang-Undang menentukan pihak-pihak yang dapat mengajukan pencegahan dan pembatalan perkawinan. Hal tersebut untuk menghindari timbulnya pemfitnahan. • Menurut ketentuan Pasal 14 UUP pihak yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan termasuk orang yang masih terikat perkawinan dengan salah satu calon mempelai. • Dalam ketentuan Pasal 23 UUP diatur bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah : a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 UU ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu diputus. Akibat Perkawinan Suatu perkawinan yang sah mempunyai akibat hukum terhadap : 1. Hubungan Suami Isteri. Suatu perkawinan yang sah akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami – isteri. Di dalam KUHPerdata, hak dan kewajiban suami isteri diatur dalam Pasal 103 s/d 118 yang menyiratkan bahwa kekuasaan suami lebih menonjol dari pada isteri. Pasal 105 KUHPerdata mengatur bahwa : a. Suami adalah kepala persatuan suami isteri; b. Suami harus memberi bantuan pada isteri jika melakukan perbuatan hukum dan menghadap ke pengadilan; c. Suami harus mengemudikan harta kekayaan milik isteri; d. Suami harus mengurus harta kekayaan itu sebagai bapak rumah tangga yang baik; e. Suami tidak boleh memindahtangankan benda tak bergerak milik isteri tanpa persetujuannya. • Kekuasaan suami terhadap pribadi di isteri tersebut disebut “kekuasaan marital” (maritale macht), dimana kekuasaan di dasarkan pada pikiran bahwa dalam satu keluarga harus dipusatkan pada satu tangan yaitu suami. Pasal 106 KUHPerdata mengatur bahwa : a. Tiap isteri harus tunduk patuh pada suami; b. Ia wajib tinggal dengan suami dalam rumah dan wajib mengikutinya dimana memilih tempat tinggalnya. • Diantara pasal-pasal yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami-isteri, ada yang masuk dalam bidang social karena dalam pelaksanaannya tidak dapat dituntut ke pengadilan. Pasal 103 KUHPerdata : suami isteri harus setia mensetiai, tolong menolong, saling membantu. Didalam Undang Undang Perkawinan hak dan kewajiban suami isteri diatur di dalam Bab VI yaitu Psl. 30 s/d 34. Isi pasal tersebut adalah : a. Suami wajib melindungi isteri dan memberi segala kebutuhan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. b. Suami – isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin. c. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga. d. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. e. Jika suami isteri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugat ke Pengadilan. • Pasal 31 UU Perkawinan menyatakan bahwa ; Hak dan kewajiban isteri adalah seimbang dengan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. • Kesimpulannya bahwa isteri cakap melakukan perbuaran hukum, hal tersebut juga dinyatakan dalam SEMA No. 3 Tahun 1963. 2. Anak-anak yang dilahirkan. Suatu perkawinan yang sah menimbulkan hak dan kewajiban terhadap anak (kewajiban alimentasi). Di dalam KUHPerdata diatur dalam ketentuan Pasal 298 s/d 319. • Kewajiban alimentasi antara lain sebagai berikut : a. Tiap anak dalam umur berapapun, wajib menaruh hormat dan segan terhadap bapak ibunya; b. Bapak ibu wajib mendidik, sekalian mereka yang belum dewasa. • Perikatan dalam kewajiban alimentasi, ditentukan/timbul karena UU, bukan karena diperjanjikan. • Di dalam Undang Undang Perkawinan, diatur dalam Bab X yaitu Psl. 45 s/d 49 isinya antara lain ; a. Anak wajib mentaati kehendak orang tua yang baik dan wajib membantu. b. Jika anak dewasa, wajib memelihara orang tuanya menurut kemampuannya, jika mereka memerlukan bantuan. c. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sebaik- baiknya sampai dengan dewasa atau berdikari, meskipun perkawinan mereka putus. 3. Harta benda (Harta Kekayaan) Sebagai akibat terjadinya perkawinan yang sah, timbulah berbagai harta. Oleh karena itu mungkin akan timbul berbagai masalah yang berkaitan dengan harta tersebut diantara suami isteri ataupun dengan pihak ke – tiga, maka munculah kebutuhan akan suatu peraturan tentang Harta Kekayaan dalam Perkawinan. Macam harta perkawinan : a. Harta bawaan b. Harta yang didapat pada waktu dan sepanjang perkawinan c. Hadiah/warisan dsb. Masalah yang berkaitan dengan harta perkawinan timbul antara ; a. Suami – isteri b. Suami/isteri – pihak ke- tiga. Tempat pengaturannya: • Dalam KUHPerdata diatur dalam Buku I Pasal 119 s/d 198. • Dalam Undang Undang Perkawinan diatur dalam Bab V s/d VII Psl. 29, 35 s/d 37. Sifat Hukum Harta Perkawinan ; Hukum Harta Perkawinan menurut KUHPerdata sebagai hukum pelengkap. Sebagai hukum pelengkap artinya hanya melengkapi. Apabila mereka tidak membuat ketentuan sendiri, maka yang dipakai adalah ketentuan UU yaitu adanya persatuan bulat, sedangkan jika mereka membuat perjanjian, maka yang berlaku adalah yang diperjanjikan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 119 KUHPerdata yaitu : a. Jika sejak perkawinan tidak dibuat ketentuan sendiri, maka yang berlaku adalah ketentuan UU. b. Jika dalam perkawinan dibuat perjanjian, maka yang berlaku perjanjian tersebut. Hukum Harta Perkawinan menurut Undang Undang Perkawinan sebagai Hukum Pelengkap. Psl. 35 ayat (1 & 2) UUP • Jika mereka tidak mengadakan perjanjian perkawinan maka ada tiga harta yaitu ; – Harta bersama yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan. – Harta pribadi suami. – Harta pribadi isteri. • Jika diperjanjikan tergantung pada hal yang diperjanjikan. Terbentuknya Harta Kekayaan Perkawinan ; a. Menurut KUHPerdata. Dengan sifatnya sebagai hukum pelengkap, maka terjadinya harta kekayaan dapat karena diperjanjikan terlebih dahulu atau tidak diperjanjikan. 1) Apabila tidak diperjanjikan, maka di dalam perkawinan tersebut akan timbul persatuan harta secara bulat. 2) Apabila diperjanjikan, maka macam harta kekayaan yang diperjanjikan adalah : a) Apabila diperjanjikan secara ekstrim, maka tidak ada persatuan harta (harta terpisah antara suami isteri). b) Apabila diperjanjikan tidak secara ekstrim, maka terdapat persatuan harta kekayaan (ada harta bersama) yaitu : (1) Persatuan terbatas untung rugi (2) Persatuan terbatas hasil dan pendapatan. b. Menurut UUP, terjadinya harta kekayaan karena diperjanjikan dulu atau tidak. • Diatur dalam Psl. 35 ayat (1&2). Pengaturan persatuan bulat harta kekayaan : Diatur dalam Bab VI Pasal 119 s/d 138 KUHPerdata. • Pasal 119 KUHPeradata, disamping ada istilah persatuan bulat, juga merupakan pasal sebagai dasar hukum terjadinya persatuan bulat, dan ini merupakan hukum pelengkap. • Apabila sudah ada persatuan bulat harta suami isteri, apakah suatu saat dapat diubah ? • Jawab : tidak bisa diubah sepanjang perkawinan meskipun dengan persetujuan suami isteri, dasarnya Pasal 119 ayat (2) KUHPerdata. Pasal 120 dan Pasal 121 KUHPerdata, mengatur tentang rincian harta persatuan bulat yaitu ada 4 hal yang terdiri dari 3 aktiva dan 1 pasiva harta perkawinan yaitu : 1. Segala harta kekayaan dari suami isteri, baik bergerak atau tidak bergerak, sebelum dan pada waktu perkawinan dilangsungkan; 2. Segala harta kekayaan suami isteri baik bergerak atau tidak bergerak yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung; 3. Segala harta kekayaan suami isteri baik bergerak atau tidak bergerak yang diperoleh secara Cuma-Cuma, kecuali pemberi melarang bahwa benda yang diberikan tersebut tidak boleh masuk dalam persatuan. 1 s/d 3 ini merupakan aktiva yang diatur dalam Pasal 120 KUHPerdata. 4. Segala beban yang dapat berupa kerugian dan hutang dari suami isteri, sebelum dan sesudah perkawinan dilangsungkan. Ini merupakan pasiva yang diatur dalam Pasal 121 KUHPerdata. • Apakah dalam persatuan bulat ada harta pribad i ? Jawab : ada (lihat angka 3). • Apakah dalam persatuan bulat ada hutang pribadi ? Jawab : Ada, yaitu hutang-hutang yang melekat pada suatu benda. Misal : A memberi warisan sebidang tanah pada B, tanah tersebut dibeli secara kredit dan belum lunas, sehingga pelunasan harga tanah tersebut merupakan hutang pribadi. • Hutang pribadi terjadi karena : 1. Pemberi melarang bahwa benda yang diberikan tersebut tidak boleh masuk dalam harta persatuan; 2. Harta yang diberikan tersebut dibebani hutang. • Tentang hutang persatuan dan hutang pribadi, siapa yang harus membayar ? Hutang persatuan dibayar : 1. Dari harta persatuan, jika tidak cukup 2. Dibayar dari harta pribadi yang membuat hutang. • Hutang pribadi dibayar : 1. Harta pribadi 2. Harta persatuan (suami-isteri mempunyai setengah dari harta persatuan). • Apakah hutang persatuan dapat dibayar dengan harta pribadi dari orang yang tidak membuat hutang ?. Jawab : Menurut Prof. Subekti : suami selalu dapat dipertanggungjawabkan terhadap hutang-hutang persatuan yang dibuat isteri, sesuai dengan kedudukan suami sebagai kepala persatuan. Tetapi isteri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap hutang yang dibuat suami. • Di dalam UUP Pasal 36 menentukan bahwa : 1. Harta bersama : suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Terhadap harta bawaan, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melaksanakan perbuatan hukum terhadap benda tersebut. Pengurusan Terhadap Harta bersama/persatuan Dapat terjadi dalam : harta persatuan bulat, dan harta persatuan terbatas. • Yang berhak melakukan pengurusan menurut KUHPeradata adalah : 1. Diatur dalam Pasal 124 ayat (1) : suami harus mengurus sendiri harta kekayaan tersebut dan isteri tidak boleh campur tangan. 2. Pasal 124 ayat (1) merupakan akibat dari Pasal 105 ayat (1) yang menentukan bahwa suami adalah kepala persatuan suami isteri. Mengurus adalah meliputi : menjual,memindahtangankan, dan membebani harta kekayaan persatuan tanpa campur tangan isteri, Pasal 124 ayat (2). • Pembatasan hak mengurus suami terdapat : dalam Pasal 140 ayat (3), Pasal 124 ayat (3 dan $), dan Pasal 125 KUHPerdata. Upaya hukum isteri untuk menghadapi perbuatan suami yang kurang bertanggung jawab : 1. Upaya hukum isteri saat isteri masih dalam status perkawinan; 2. Upaya hukum isteri setelah tidak terikat dalam perkawinan. • Lihat ketentuan Pasal 186, Pasal 243, Pasal 434 ayat (3) KUHPerdata. • Di dalam UUP Psl. 36 ayat (1 & 2) menentukan bahwa ; 1. Harta bersama ; suami- isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Terhadap harta bawaan, suami-isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melaksanakan perbuatan hukum terhadap benda tersebut. Bubarnya persatuan harta : • Diatur dalam Pasal 126 KUHPerdata : 1. Karena kematian 2. Karena perceraian 3. Karena perpisahan meja dan ranjang, dsb. • Akibat bubarnya persatuan harta : 1. Apabila ada anak yang belum dewasa 2. Bagi harta persatuan 3. Terhadap hutang persatuan. Contoh Kasus : • Suami-isteri yang bernama Gandi dan Atik pada waktu kawin tanpa mengadakan perjanjian kawin. Pada waktu kawin Gandi membawa sebidang tanah pekarangan seharga Rp. 15.000.000,-, Atik tidak membawa apa-apa, tetapi pada waktu ayahnya meninggal Atik mendapat warisan sebesar Rp. 15.000.000,-, disamping itu Atik juga diberi warisan dari ibunya sebuah perhiasan seharga Rp. 9.000.000 (tdk boleh masuk harta persatuan). Selama berusaha mendapat keuntungan sebesar Rp. 25.000.000,- dan untuk biaya rumah tangga dikeluarkan Rp. 15.000.000,-. Perkawinan antara Gandi dan Atik tidak dapat berlangsung terus dan putus dengan perceraian. • Pertanyaan : Berapa besar harta kekayaan Gandi dan Anik menurut KUHPerdata dan Undang Undang Perkawinan ? Jawab : Menurut KUHPerdata : dasar hukum Pasal 120 KUHPerdata. • Harta bawaan Gandi = RP. 15.000.000,- • Harta Atik warisan dari ayahnya = Rp. 15.000.000,-, dan perhiasan dari ibunya seharga Rp. 9.000.000,- (tidak masuk persatuan bulat). • Harta selama perkawinan Rp. 25.000.000,- - Rp. 15.000.000,- = Rp. 10.000.000,- Harta kekayaan Gandi dan Atik : • Harta Gandi = Rp. 15.000.000,- • Harta Atik (warisan dari ayahnya) = Rp. 15.000.000,- • Harta gono-gini= Rp. 10.000.000,- • Jumlah = Rp. 40.000.000,- Setelah terjadi perceraian : • Harta kekayaan Gandi = Rp. 40.000.000,- : 2 = Rp. 20.000.000,- • Harta kekayaan Atik = Rp. 40.000.000,- : 2 = Rp. 20.000.000,- + Rp. 9.000.000 = Rp. 29.000.000,- Menurut Undang Undang Perkawinan ; Dasar hukumnya Pasal 35 ayat (1 & 2). Jika tidak diadakan perjanjian kawin, maka ada tiga macam harta ; 1. Harta bersama atau harta yang diperoleh selama perkawinan, Rp. 25.000.000,- - Rp. 15.000.000,- = Rp. 10.000.000,- 2. Harta pribadi Gandi = Rp. 15.000.000,- 3. Harta Pribadi Atik = Rp. 15.000.000,- + Rp. 9.000.000 = Rp. 24.000.000,- Setelah terjadi perceraian, dasar hukum Pasal 36 ayat (1 & 2). * Ayat (1),Harta bersama dibagi 2 yaitu Rp. 10.000.000,- : 2 = Rp. 5.000.000,- * Ayat (2), Harta pribadi Gandi = Rp. 15.000.000,- * Harta pribadi Atik = Rp. 24.000.000,- Jadi : • Keseluruhan harta Gandi adalah Rp. 15.000.000,- + Rp. 5.000.000,- = Rp. 20.000.000,- • Keseluruhan harta Atik adalah Rp. 24.000.000,- + Rp. 5.000.000,- = Rp. 29.000.000,- Putusnya Perkawinan : • Putusnya perkawinan dapat disebabkan karena kematian, perceraian, dan keputusan pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 38 s/d Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 14 s/d Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. • Peraturan tersebut secara materiil dan proseduril mengatur tentang masalah perceraian yang sangat dipersukar, demikian juga akibatnya tidaklah ringan bagi para pihak. Perceraian hanya dapat terjadi atas dasar alasan-alasan sebagai berikut : 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin pihak yang lain, tanpa alasan yang sah atau hal lain diluar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat catat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri. 6. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam runah tangga. Sebagai akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah: * bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, dan apabila ada perselisihan mengenai pengurusan anak, pengadilan memberikan keputusannya. • Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, dan apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. • Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan kewajiban bagi mantan isterinya. • Bagi Pegawai Negri Sipil disamping ketentuan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, masih ada ketentuan tentang ijin perkawinan dan perceraian yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 yang kemudian disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990.