Anda di halaman 1dari 11

“RANGKUMAN HUKUM KELUARGA DAN HUKUM PERKAWINAN

MATA KULIAH HUKUM PERDATA

Disusun Oleh :

Hanan Elbar
NIT. 21303881 / Kelas F

Dosen Pengampu :

Alfons, A.Ptnh., M.H.


NIP. 19690222 199103 1 002

KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/


BADAN PERTANAHAN NASIONAL
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
YOGYAKARTA
2023
Pengertian Hukum Keluarga
Hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan yang mengatur
mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan keluarga sedarah dan keluarga akibat
perkawinan. Oleh karena itu, hubungan kekeluargaan timbul didasarkan pada hubungan darah
maupun hubungan perkawinan. Hukum perkawinan telah diatur dalam ketentuan Hukum
Nasional, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Keluarga sedarah
adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai hubungan
darah. Sedangkan kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat
karena adanya perkawinan. Hubungan kekeluargaan ini sangat penting karena ada hak dan
kewajiban yang menyertainya, seperti hubungan kewarisan dan harta benda perkawinan.
Hukum Keluarga berasal dari hukum perkawinan. Menurut Prof. Subekti, perkawinan
adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang
lama. Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974, pada Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang proa denagn seorang Wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan dapat diartikan sebagai ikatan, tetapi bukanlah suatu perjanjian.
Perkawinan lebih merupakan suatu Lembaga yang memberikan kepada seseorang suatu status
tertentu. Putusnya perkawinan dapat terjadi karena kematian, perceraian, maupun putusan
pengadilan. Sedangkan perwalian terjadi dalam hal seorang anak yang belum dewasa tidak lagi
berada dalam kekuasaan orang tua maka berada dibawah ekkuasaan wali.
Asas Hukum Keluarga
1. Asas monogami, mengandung makna bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri, demikian juga sebaliknya. (Pasal 27 KUHPerdata dan Pasal 3 UU
Nomor 1 Tahun 1974)
2. Asas konsensual, suatu asas bahwa perkawinan atau perwalian dikatakan sah
apabila terdapat persetujuan atau konsensus antara calon suami-istri yang akan
melangsungkan perkawinan atau keluarga (Pasal 28 KUHPerdata dan Pasal 6 UU
Nomor 1 Tahun 1974)
3. Asas Proporsional, suatu asas dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam
pergaulan masyarakat. (Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974)
4. Asas persatuan bulat, suatu asas dimana antara suami istri terjadi persatuan harta
benda yang dimilikinya (Pasal 119 KUH Perdata)
5. Asas Perkawinan agama, artinya perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan
sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing (Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974)
6. Asas Poligami Terbatas, artinya apabila seorang pria diperbolehkan memiliki istri
lebih dari satu atas izin dari pengadilan setelah mendapat izin dari istri pertamanya
dengan memenuhi syarat-syarat yang ketat.
7. Asas tidak dapat dibagi-bagi, artinya setiap perwalian hanya terdapat seorang wali
8. Asas kematangan, artinya calon suami istri telah mencapai kematangan jiwa (Pasal
7 UU No. 1 Tahun 1974)
9. Asas perkawinan sipil, artinya perkawinan dianggap sah (menurut negara) apabila
dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pencatatan sipil.
Sumber Hukum Keluarga
Sumber Hukum Keluarga terpetakan menjadi 2, yaitu sumber hukum yang tertulis dan sumber
hukum yang tidak tertulis. Sumber hukum yang tertulis adalah seperangkat aturan yang berasal
dari berbagai peraturan perundang-undangan, jurisprudensi, dan traktat.
Sumber hukum yang tertulis diantaranya
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
2. Peraturan perkawinan campuran (Stb. 1898 No. 158)
3. Ordonasi perkawinan Indonesia, Kristen, Jawa, Minahasa, dan Ambon (Stb. 1933
No. 74)
4. UU No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk (beragama islam)
5. UU No. 1 Tahun 1974 tentang pekawinan
6. PP No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan
7. PP No. 10 Tahun 1983
8. PP No. 45 Tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negri
SIpil
9. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang Undang No 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama
10. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
(Pasal 1-170 KHI)
Sedangkan sumber hukum yang tidak tertulis adalah aturan yang hidup dan berkembang
ditengah masyarakat (adat).
Hal Yang Diatur Dalam Hukum Keluarga
1. Keturunan
2. Kekuasaan Orang tua
3. Perwalian
4. Pendewasaan
5. Pengampuan
Perkawinan

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang Bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

Syarat Sahnya sebuah perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 :

1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.


2. Adanya izin kedua orang tua atau wali.
3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah berumur 16
tahun.
4. Antara calon mempelai pria dan wanita tidak ada hubungan darah.
5. Tidak ada dalam ikatan perkawinan.
6. Tidak melarang ketiga kalinya untuk menikah.
7. Tidak dalam masa idah bagi calaon mempelai wanita.

Unsur yang ada dalam Perkawinan :

1. Perkawinan sebagai ikatan lahir btin antara seorang pria dan seorang wanita.
2. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dari kekal
berdasarkan Ketuhanan yang maha esa.
3. Perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan masing-masing.

Perkawinan menurut hukum perdata :

Definisi perkawinan dalam hukum perdata tidak secara tegas diatur, perkawinan hanya
mengatur tentang hubungan perdata Pasal 26, perkawinan menganut sistim monogami Pasal
27 dan hubungan saling tolong menolong dan setia Pasal 103. olehnya dalam hukum perdata
perkawinan harus dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku, mengandung azas monogami dan
perkawinan harus kekal dan abadi.

Ketentuan Penutup UU No. 1 Tahun 1974.

Pasal 66

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas
Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan ketentuan yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-
peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang
ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67

1. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaanya


secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. (2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan,
diatur lebuh lanjut oleh Peraturan Pemerintah. Agar supaya setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Penyebab mengapa Hukum Perkawinan dalam Perdata dirubah dengan UU No. 1


tahun 1974 adalah :

1. Perkawinan sah bila dipenuhi syarat-syarat dan dilaksanakan sesuai Undang-undang.


2. KUH Pdt tidak memandang factor hukum agama sebagai sah syaratnya sebuah
perkawinan.

Sebab menurut hukum perdata perkawinan adalah peraturan hukum yang mengatur perubahan-
perubahan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seoang
perempuan dengan maksud hidup Bersama untuk waktu yang lama.

Bahwa hukum perkawinan tidak masuk dalam hukum perjanjian namun masuk dalam hukum
keluarga

Akibat dari Sebuah Perkawinan melahirkan hak dan kewajiban yang berlaku terhadap suami
isteri yang meliputi hubungan suami isteri, tanggung jawab sebagai orang tua dan menyangkut
harta kekayaan

Menurut Hukum Perdata

• Akibat yang timbl akibat hubungan suami isteri :

1. Menimbulkan kewajiban kepada suami isteri untuk saling setia, tolong menolong, bantu
membantu, dan apabila dilanggar dapat menimbulkan pisah temat tidur, dan dapat
mengajukan cerai. Psl 103
2. Suami isteri wajib tinggal Bersama dalam arti suami harus menerima isteri, isteri tidak
harus ikut ditempat suami kalua keadaannya tidak memungkinkan dan suami harus
memenuhi kebutuhan isteri. Psl 104

• Akibat yang timbul dari kekuasaan suami dari perkawinan :

a. Suami adalah kepala rumah tangga, sehingga isteri bila akan melakukan perbuatan
hukum harus izin atau diwakli suami.

b. Isteri harus patuh kepada suami, harus ikut kewarganegaraan suami, dan tunduk pada
hukum privat dan public suami. Psl 106.

c. Suami bertugas mengurus harta kekayaan Bersama, Sebagian besar kekayaan isteri,
menetukan tempat tinggal, menentukan persoalan kekuasaan orang tua.

d. Suami wajib memberikan segala sesuatu yang diperlukan isteri serta memberikan
nafkah sesuai kemampuanya. Psl. 107.

Menurut UU No. 1 tahun 1974

Akibat yang Timbul dari Hubungan Suami Isteri ;

1. Menegakkan ruma tangga dan menciptakan rumah tangga yang utuh.


2. Suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
3. Kedudukan suami isteri seimbang mempunyai hak dan kewajiban yang masing-
masing sama.
4. Suami dan isteri merupakan dua komponen yang sama pentingnya dalam
melaksanakan fungsi keluarg, tidak ada dominasi dan supremasi diantara keduanya.
5. Suami isteri harus memilki tempat tinggal (domisili) dan isteri harus ikut suami .
6. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan
bantuan lahir batin kepada satu sama lainnya.
7. Suami wajib melindungi isteri, memenuhi segala keperluan hidupnya dan kebutuhan
keluarganya.
Tinjauan Perjanjian Perkawinan

Pengertian Perjanjian :

• Sudikno Merto Kusomo :

Menyebutkan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kesepakatan untuk menimbulkan akibat hukum kedua pihak itu sepakat untuk
menetukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban, yang mengikat mereka untuk ditaati
dan dijelaskan.

• Soebekti :

Bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa seorang berjanji kepada orang lain atau lebih saling
berjanji untk melaksanakan sesuatu. (Hukum Perjanjian : Hal. 1)

Kesepakatan yang menimbulkan akibat hukum karena para pihak bersepakat untuk
melaksanakan hak dan kewajiban yang mereka buat dan sepakati dimana apabila dilanggar
akan berdampak akibat hukum bagi yang melanggarnya berupa sanksi yang mereka sepakati.

Pasal 1313 : suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu oraang atau lebih.

Pasal 1338 : Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dan persetujuan tidak dapat ditarik Kembali
selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alas an-alas an yang ditentukan oleh
undang-undang. Dan persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Pasal 1320 : Supaya terjadi persetujuan yang sah perlu dipenuhi empat syarat :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak dilarang

Azas Yang Terdapat Dalam Perjanjian

1. Azas kebebasan berkontrak yakni dapat melakukan perjanjian apa saja sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan yang berlaku, kesusilaan dan
ketertiban umum. Psl 1337
2. Azas Konsesualisme artinya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak.
Psl. 1320.
3. Azas kekuatan mengikat atau azas pacta suntservanda adalah isi nyang diperjanjikan
mengikat para pihak sebagai undang-undang.
4. Azas kepribadian yaitu untuk menetukan personalia dalam perjanjian sebagai sumber
perikatan.
5. Azas kepercayaan atau vertrouwensabeginsel artinya seseorang yang mengadakan
perjanjian dan menimbulkan perikatan dengan orang lain anatar pihak ada
kepercayaan bahwa akan saling memenuhi prestasi.
6. Azas itikad baik atau toegoeder trouw dalam melaksanakan perikatan didasari dengan
itikad baik.

Perjanjian Kawin

Definisi Perjanjian Kawin :

• Wirjono Projodikoro menyebutkan kata perjanjian kawin adalah sebagai suatu


perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, yang satu pihak
berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak
menuntut pelaksanaan perjanjian itu.
• R. Soetojo Prawirohamidjodo mengatakan bahwa perjanjian kawin adalah perjanjian
yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan
untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaaan mereka.
• Perjanjian kawin/pranikah (prenuptial agreement) adalah suatu perjanjian yang dibuat
sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin
yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan.
• Dalam arti formal perjanjian perkawinan adalah tiap perjanjian kawin yang
dilangsungkan sesuai ketentuan undang-undang antara calon suami isteri mengenai
perkawinannya, tidak dipersoalnkan isinya.
• Bahwa dalam hukum perdata rumusan perjanjian kawin tidak dijumpai, sehingga
doktrin untuk merumuskan dalam titik tolak yang berbeda.

Pada umunya perjanjian kawin ini dibuat karena hal-hal sebagai berikut :

• Apabila terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak
daripada pihak lainnya.
• Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst) yang cukup besar.
• Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri sehingga jika salah satu pihak jatuh
pailit, yang lain tidak tersangkut.
• Atas utang piutang yang dibuat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung
jawab.
• Sesungguhnya perjanjian kawin ada saatnya dibuat untuk mengadakan penyimpangan
hukum tehadap harta benda dalam perkawinan terutama Pasal 1338 KUH Pdt.

Berdasarkan Pasal 119 KUH Pdt akibat perkawinan terjadi penyatuan harta benda sepanjang
tidak diperjanjikan lain, hal pengecualian ini diatur dalam Pasal 140 ayat (3) yang pada
prisipnya bahwa mereka dapat melakukan perjanjian yang bermaksud mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan perolehan harta antara suami isteri untuk memasukan mana yang diperoleh
dapat dijadikan sebagai harta Bersama dan mana yang tidak boleh dijadikan harta Bersama.

Perjanjian Pra Nikah ini berlaku setelah dilakukan perkawinan, jika tidak ada perkawinan maka
perjanjian yang dibuat juga dianggap batal atau tidak pernah ada hal ini diatur dalam Pasal 154
KUH Pdt.

Unsur-unsur dalam Perjanjian Perkawinan :

a. Di buat sebelum dilakukan Perkawinan oleh kedua calon suami dan isteri ; Lihat
Pasal 147 KUH Pdt.
b. Perjanjian dimaksud dibuat secara tertulis, menurut subekti bahwa akta yang
dibuat dibawah tangan ini dianggap alat bukti sempurna bila diakui oleh para
pihak menyangkut kebenaran surat dan tanda tangan namun menurut Nurnazly
Sutarno bahwa walaupun kesempurnaan akta dibawah tangan ini diakui oleh
para pihak namun tidak diakui oleh khalayak ramai maka dianggap tidak
sempurna olehnya itu sebaiknya perjanjian itu dibuat dihadapan pejabat yang
berwenang.(Pasao 1785 KUH Pdt)
c. Tidak boleh melanggar unsur Kesusilaan dan ketertiban umum. (Pasal 139
KUH Pdt Jo Pasal 2 UU No. 1 tahun 1974)
d. Bahwa Perjanjian kawin tidak boleh dirubah sampai kapanpun (selama suami
dan isteri terikat Perkawinan) dan pemberlakuannya sejak dibuat dan ditanda
tangani oleh para pihak (Suami isteri)
Menurut Abdul Kadir, syarat yang harus dipenuhi dalam Perjanjian Perkawinan adalah
sebagai berikut :

a. Dibuat sebelum dilakukan perkawinan.


b. Dibuat dalam bentuk tertulis,
c. Bahwa isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan agama, kesusilaan
dan batas-batas hukum,
d. Berlaku setelah perkawinan dilakukan,
e. Selama perkawinan suami iszteri perjanjian dimaksud tidak boleh diubah,
f. Perjanjian harus dimuat dalam akta perkawinan.(Pasal 12 PP No. 9 Tahun 1975
tentang Tata cara perceraian)

Putusnya Perkawinan

• Putusnya perkawinan adalah berpisahnya hubungan suami isteri yang terikat dalam
perkawinan yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak bisa dielakan,

• Menurut UU No. 1 tahun 1974 Pasal 38 putusnya perkawinan disebabkan oleh :

a. Karena kematian ;

b. Perceraian

c. Atas Keputusan Pengadilan.

• Menurut KUH Pdt Putusnya Perkawinan yang diatur pada Pasal 199, 200, -206b, 207-
232a, dan 233-249 :

Pasal 199 menyatakan sebab Putusnya Perkawinan :

(1) Karena meninggal dunia :

(2) Karena tidak hadirnya salah seorang suami-isteri selama 10 Tahun diikuti dengan
perkawinan baru sesudah itu suami atau isterinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dalam bagian kelima bab delapan belas.

(3) Krena Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan nttempat tidur dan
pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil sesuai dengan
ketentuan-ketentuan bagian ke dua bab. Ini.
(4) Karena perceraian sesuai dengan ketentuan–ketentuan dalam bagian ketiga bab ini.

• Putusnya Perkawinan karena kematian adalah terputusnya hubungan suami isteri dalam
suatu perkawinan karena salah satunya suami atau isteri karena ketentuan alam harus
meninggalkan dunia, sehingga perkawinan tidak dapat dilanjutkan, dimana akibat
terjadinya peristiwa ini meninggalkan harta warisan yang diperoleh karena hasil
perkawinan atau juga karena bawaan, sebab dari peristiwa kematian ini akan membuka
proses waris kepada ahli waris. Harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh
orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris.

• Putusnya Perkawinan karena perceraian adalah terputusnya hubungan ikatan


perkawinan suami isteri karena munculnya ketidakharmonisan akibat berbagai hal yang
dianggap suami isteri tidak memenuhi hak dan kewajiban yang membuat ketidak
nyamanan sehingga bersepakat untuk berpisah.

Sebab-sebab yang menjadi dasar perceraianyang dimaksud dalam Pasal 39 UU No 1


Tahun 1974 adalah :

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, peadat, penjudi dan lain sebaginya
yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan lainnya selam dua tahun berturut-turut tanpa alasan
yang sah atau diluar hal lain yang lain diluar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapatb hukuman lima tahun penjara atau lebih berat selama
perkawinan.

4. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

5. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyayaan yang berat sehingga
membahayakan jiwa pihak lain.

6. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan lagi akan hidup rukun dalam rumah tangga.

Bahwa putusnya sebuah perkawinan kepada suami dan isteri yang bercerai tersebut akan
diberikan akta percearain yang akan menjadi bukti putusnya hubungan perkawinan dari suami
isteri, berdasarkan akta tersebut selanjutnya didaftarkan pada kantor Catatan Sipil.

Anda mungkin juga menyukai