Anda di halaman 1dari 5

HUKUM KELUARGA TAKE HOME

Hukum keluarga merupakan bagian dari hukum perorangan, sedangkan hukum keluarga diartikan
sebagai seperangkat peraturan tentang kekerabatan dan kekerabatan karena perkawinan (perkawinan,
pengasuhan orang tua, perwalian, pengampuan, ketidakhadiran).

Sumber hukum keluarga tertulis yang dimaksud di Indonesia antara lain:

 Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);


 Hukum Perkawinan Campuran ( Mogelijk op de Gemengde Huwelijk ), Stb.
1898-158;
 Ordo Pernikahan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon (Huwelijke
Ordonnantie Christen Indonesiers), Stb. 1933-74;
 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pendaftaran Perkawinan,
Perceraian dan Rukun (Umat Islam menurut Agama);
 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974;
 Keputusan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan
1974;
 Sudah ada Keputusan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Keputusan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 tentang Akte Nikah dan Cerai Bagi Pegawai Negeri Sipil;
dan
 Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Indonesia yang berlaku bagi umat Islam.

Pada akhirnya antara pernikahan dan keluarga harus senatiasa untuk saling menghargai dan
senantiasa menjaga komunikasi yang baik. Untuk mencapai keluarga yang harmonis dan bahagia
komunikasi amatlah penting, jika sudah diawali dengan komunikasi yang buruk maka akan sulit untuk
saling menghargai didalam sebuah pernikahan dan keluarga.

Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial.
Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat
oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan
darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti.
Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial
yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi
antara satu dengan lainnya, walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah.

1. Harta waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila
terjadi suatu kematian
2. Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk
suami atau istri PEWARIS.

Pada prinsip pewarisan yang kedua, jelas Irma Devita, antara pewaris dan
ahli waris harus memiliki “hubungan darah” kecuali suami/istri pewaris
dalam hal mereka masih terikat dalam perkawinan saat pewaris meninggal
dunia. Berdasarkan prinsip tersebut, yang berhak menjadi ahli waris
(mewarisi) hanyalah orang-orang yang mewakili hubungan darah dengan
pewaris, baik itu keturunan langsung maupun orangtua, saudara,
nenek/kakek, atau keturunan dari saudara-saudaranya. Dengan demikian,
ada empat golongan besar yang berhak mewarisi, yaitu (hal. 3):

1. Golongan I: suami/istri yang hidup terlama dan anak/keturunannya


(Pasal 852 KUH Perdata)

2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung pewaris

3. Golongan III: keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan
ibu pewaris

4. Golongan IV: paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun
dari pihak ibu, yaitu:

- keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris

- saudara
kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat
keenam dihitung dari pewaris

PERWALIAN
Telah dipahami pada artikel 4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW) sebelumnya,
bahwa yang dimaksud dengan Perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 331 KUHPerdata dan
seterusnya, adalah tentang anak yatim piatu atau anak-anak yang belum cukup umur namun tidak
dalam kekuasaan orang tua secara hukum tetap memerlukan pemeliharaan dan bimbingan, oleh
karenanya harus ditunjuk wali, yaitu orang atau perkumpulan yang akan menyelenggarakan
keperluan hidup anak tersebut.

1. Asas Hukum Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Setiap perangkat hukum mempunyai asas atau prinsip masing-masing, tidak terkecuali dalam
hukum perkawinan. Di bawah ini terdapat asas dan prinsip hukum perkawinan antara lain :
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
suami istri perlu saling membantu melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
materil.
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundangundangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu
akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan karena hukum dari agama yang bersangkutan mengizinkannya, seorang
suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami
dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu
dan diputuskan oleh pengadilan.
4. Undang-Undang ini mengatur prinsip, bahwa calon suami istri itu harus masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat
keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara
calon suami istri yang masih di bawah umur, karena perkawinan itu mempunyai
hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran
yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang
masih di bawah umur. Sebab batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk
kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan
batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka UndangUdang
Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi
wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu
(pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan
sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar
Islam.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga
dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama suami istri.

2. Asas Hukum Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Asas hukum menurut Kompilasi Hukum Islam :

1. Asas persetujuan Tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Asas
persetujuan terdapat dipasal 16-17 KHI: Perkawinan atas persetujuan calon mempelai.
Dapat berupa: pernyataan tegas dan nyata. dgn tulisan, lisan atau isyarat yg mudah
dimengerti atau diam. Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah
menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
Bila tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak
dapat dilangsungkan.
2. Asas kebebasan Asas kebebasan memilih pasangan dengan tetap memperhatikan
larangan perkawinan. Pasal 18 (tidak terdapat halangan perkawinan), 39-44 KHI
(larangan perkawinan).
3. Asas kemitraan suami-isteri Merupakan asas kekeluargaan atau kebersamaan yang
sederajat, hak dan kewajiban Suami Isteri: (Pasal 77 KHI). Suami menjadi kepala
keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga.
(Pasal 79 KHI).
4. Asas untuk selama-lamanya. Pasal 2 KHI akad yang sangat kuat untuk menaati
perintah Allah dan menjalankan ibadah.
5. Asas kemaslahatan hidup Pasal 3 KHI: Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
6. Asas Kepastian Hukum Pasal 5-10 KHI Perkawinan harus dicatat dan dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah. Isbath Nikah di Pengadilan Agama. Rujuk dibuktikan dgn
kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dari Pegawai Pencatat Nikah. Putusnya perkawinan
karena perceraian dibuktikan dengan putusan Pengadilan.

1. perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak


(Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan).
2. harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana masing-
masing calon belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6 ayat (2) UU
Perkawinan).
3. bagi pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita 16
tahun, kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak
(Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan).
4. bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali
bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami
(Pasal 9 Jo. Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan).
5. bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk
kedua kali dan seterusnya, udang-undang mensyaratkan setelah
lewatnya masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi
yang putus perkawinannya karena perceraian, 130 hari bagi
mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya
(Pasal 10 dan 11 UU Perkawinan).

A. oligami[1] atau permaduan[2] adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari
satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan). Hal ini berlawanan
dengan praktik monogami yang hanya memiliki satu suami atau istri.

B. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah kekerasan yang terjadi dalam kehidupan
rumah tangga, entah berada dalam keadaan sudah kawin maupun hanya sebatas kumpul
kebo. KDRT umumnya dilakukan di antara orang yang sudah memiliki hubungan
kekeluargaan dan umumnya terjadi pada suami-istri sah atau pasangan serumah.
Kekerasan ini juga dapat menimpa anak, orang tua, atau lanjut usia, dapat
berupa kekerasan fisik maupun verbal serta dilatarbelakangi oleh emosi, masalah ekonomi,
pertentangan agama, atau seks.

C. Perceraian adalah kebalikan dari pernikahan dan berakhirnya suatu perkawinan.


Perceraian merupakan terputusnya hubungan antara suami istri oleh suami atau hakim yang
mencerai, keputusan hakim tersebut dengan menjalankan prosedur proses alur persidangan
berawal dari tahapan Majelis Hakim Pembacaan gugatan, Jawaban tergugat, Pembuktian
dari penggugat dan tergugat hingga putusan hakim sampai Mahkamah Syar'iy (MS)
memberikan dokumen keputusan perceraian. Seperti disebabkan oleh kegagalan suami
atau istri dalam menjalankan obligasi peran masing-masing. Perceraian dipahami sebagai
akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami istri yang kemudian hidup terpisah dan
diakui secara sah berdasarkan hukum yang berlaku

D. Pengertian pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh seseorang, baik laki-laki atau
perempuan disaaat usianya belum mencapai kematangan yang sebenarnya (yakni diatas 16
tahun untuk wanita, dan 19 tahun untuk pria). Usia ini seringkali pula dikenal dengam
usia remaja.

Anda mungkin juga menyukai