Anda di halaman 1dari 41

BAB II

PERKAWINAN PADA GELAHANG, PASOBAYA MEWARANG DAN

PERJANJIAN PERKAWINAN

2.1 Perkawinan Pada Gelahang

2.1.1 Pengertian Perkawinan Pada Gelahang

Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau

pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana

masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia dipengaruhi oleh

pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat

bersangkutan, seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja

dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi ajaran

agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen, bahkan dipengaruhi budaya perkawinan

barat. Hal mana berakibat, lain masyarakat lain aturan perkawinanannya. Jadi,

walaupun bangsa Indonesia kini telah memiliki hukum perkawinan nasional

sebagai aturan pokok, namun adalah kenyataan bahwa dikalangan masyarakat

Indonesia masih tetap berlaku adat dan tata cara perkawinan yang berbeda-beda. 1

Perkawinan dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah ‘Huwelijk’ atau

bahasa Inggrisnya disebut ‘marriage’, didefinisikan sebagai: “The Legal union of

a couple as husband and wife”2, yang berarti perkawinan itu dapat dikatakan

sebagai suatu perbuatan serikat hukum pasangan sebagai suami isteri. Dikatakan

perbuatan hukum karena dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat

1
H. Hilman Hadikusuma, op.cit, hlm. 1.
2
Henry Campbell Black, 2004, Black’s law Dictionary,Edisi ke-8, St. Paul minn: West
Publishing Co., hlm. 992.

45
46

hukum bagi hubungan antara suami isteri, harta benda dalam perkawinan dan

hubungan antara orangtua dan anaknya.

Adapun telah dijelaskan pengertian perkawinan di dalam Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah “ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuannya pun dapat dilihat di dalam isi pasal

tersebut yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal tersebut

memberikan pengertian perkawinan yang perlu dipahami oleh masyarakat karena

Undang-Undang Perkawinan ini merupakan landasan pokok dari suatu aturan

hukum perkawinan.

Pengertian dari arti perkawinan yang dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-

Undang Perkawinan tersebut seperti arti kata membentuk keluarga yaitu

membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami sebagai ayah,

istri sebagai ibu dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Membentuk

rumah tangga yang artinya membentuk satu kesatuan hubungan antara suami istri

dalam satu wadah yaitu rumah atau tempat tinggal sebagai tempat kediaman

bersama-sama. Bahagia dalam pengertian tersebut berarti adanya kerukunan dan

keharmonisan antara suami istri dengan anak-anaknya. Kata kekal yang artinya

berlangsung secara terus menerus seumur hidup dan tidak dapat diputuskan atau

dipisahkan begitu saja. Kemudian, yang terakhir yaitu kalimat perkawinan

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang berarti bahwa perkawinan tersebut

memiliki hubungan yang erat dengan keagamaan atau kerohanian sehingga tidak
47

hanya ada unsur jasmani saja tetapi juga penting adanya unsur batin dalam sebuah

keluarga. 3

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan telah diatur tentang pengertian

perkawinan, syarat dan larangan perkawinan, perjanjian perkawinan, harta benda

perkawinan, putusnya perkawinan dan beberapa ketentuan-ketentuan lainnya.

Menurut Hilman Hadikusuma, Undang-Undang Perkawinan menganut asas-asas

atau prinsip-prinsip sebagai berikut:4

a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal;


b. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya itu;
c. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan;
d. Perkawinan berasas monogami terbuka;
e. Calon suami istri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan
perkawinan;
f. Batas umur perkawinan adalah untuk laki-laki 19 tahun dan untuk
perempuan 16 tahun;
g. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan;
h. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya suatu perkawinan.

Apabila syarat-syarat yang ditentukan telah terpenuhi, maka perkawinan dapat

dilangsungkan secara sah dan menimbulkan hak dan kewajiban bagi pasangan

suami istri tersebut. Syarat-syarat perkawinan terdapat di dalam Pasal 6 dan Pasal

7 Undang-Undang Perkawinan. Ketentuan Pasal 6 menentukan bahwa:

1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai.


2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyakan kehendaknnya, maka izin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

3
Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Ketiga, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 75.
4
Ibid, hlm. 6
48

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Ketentuan Pasal 7 menentukan bahwa:

1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19


(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun.
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang
tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku
juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan
tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Perkawinan tidak hanya merupakan ikatan perdata antara suami istri

tersebut melainkan juga mempunyai ikatan keagamaan. Pasangan yang telah

melangsungkan perkawinan haruslah mempunyai tujuan untuk mewujudkan

sebuah keluarga yang bahagia materiil dan spiritual guna mewujudkan

perkawinan yang kekal dan abadi. Sejalan dengan hal itu, dikatakan bahwa

perkawinan yang berhasil adalah perkawinan yang mampu memberikan dan

meletakkan dasar-dasar kebahagiaan bagi anggota keluarganya. 5

5
Dominikus Rato, 2011, Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan,
Bentuk Perkawinandan Pola Pewarisan Adat di Indonesia), Laksbang Yustitia, Surabaya, hlm. 65.
49

Perkawinan dalam arti adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat

hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Adanya ikatan perkawinan inilah yang menimbulkan terjadinya hak dan

kewajiban terhadap hukum adat setempat seperti pelaksanaan upacara adat serta

adanya peran serta untuk membina dan memelihara kerukunan, keutuhan,

kelanggengan hidup antar orang tua dan keluarga. Semakin perkembangan jaman

dan mengikuti situasi kehidupan masyarakat pada saat sekarang, masyarakat

hukum adat Bali mulai mengenal satu bentuk perkawinan yang lain yaitu

perkawinan pada gelahang.

Perkawinan pada gelahang merupakan sebuah konsep perkawinan yang

mulai banyak dibicarakan oleh masyarakat hukum adat Bali. Adapun pengertian

dari perkawinan pada gelahang ini yaitu:6

“Perkawinan yang dilangsungkan oleh umat Hindu, sesuai ajaran agama


Hindu dan hukum adat Bali, yang tidak termasuk perkawinan biasa (dikenal
pula dengan sebutan ‘kawin ke luar’) dan juga tidak termasuk perkawinan
nyentana (dikenal pula dengan sebutan kawin kaceburin atau ‘kawin ke
dalam’), melainkan suami dan istri tetap berstatus kapurusa di rumahnya
masing-masing, sehingga harus mengemban dua tanggung jawab dan
kewajiban (swadharma), yaitu meneruskan tanggung jawab keluarga istri
dan juga meneruskan tanggung jawab keluarga suami, sekala maupun
niskala, secara terus menerus atau dalam jangka waktu tertentu, tergantung
dari kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya.

Pendapat lainnya mengenai perkawinan pada gelahang juga dikemukakan

oleh Ida Bagus Sudarsana, yang mengemukakan bahwa: 7

“Perkawinan pada gelahang disebut juga perkawinan dengan sistem makaro


lemah atau madua umah ini sangat didasarkan oleh kekerabatan yang sama,
karena waris pewaris dikemudian hari. Perkawinan ini terjadi karena dari

6
Wayan P. Windia dkk, 2014, Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Udayana University
Press, Denpasar, hlm. 24.
7
Ida Bagus Putu Sudarsana, 2003, Ajaran Agama Hindu (Makna yang Terkandung Dalam
Upacara Perkawinan Hindu), Yayasan Dharma Acarya, Denpasar, hlm. 25.
50

kedua pihak keluarga sama-sama tidak memiliki keluarga pewaris yang lain
yang berhak serta berkewajiban pada masing-masing keluarga tersebut.
Pada pewarisan nanti diharapkan dari keturunan sang pengantin diberikan
hak dan kewajiban masing-masing. Perkawinan ini juga berdasarkan cinta
sama cinta, suka sama suka dan mendapat persetujuan dari kedua keluarga.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa perkawinan pada gelahang, atau apapun istilah yang

digunakan, ini adalah bentuk perkawinan yang tidak termasuk perkawinan biasa

dan perkawinan nyeburin, melainkan suami istri tetap berstatus purusa di

rumahnya masing- masing, sehingga harus mengemban dua tanggung jawab dan

kewajiban (swadarma) terhadap dua keluarga dan masyarakat adatnya.

Adapun syarat formil pada perkawinan pada gelahang yaitu pencatatan

perkawinan secara adat dilakukan oleh pejabat pencatat perkawinan adat di daerah

tempat perkawinan itu dilangsungkan yang sering disebut dengan kelian adat.

Dalam pencatatan perkawinan tersebut dapat dilihat apakah pasangan tersebut

melangsungkan perkawinan biasa, perkawinan nyentana atau perkawinan pada

gelahang. Selanjutnya, syarat materiil pada perkawinan pada gelahang meliputi 4

(empat) macam, yaitu:

a. Adanya kesepakatan yang terjadi antara pihak laki-laki dan pihak


perempuan yang tertuang dalam perjanjian yang mereka buat.
Perjanjian yang dibuat oleh pasangan tersebut dilakukan sebelum
dilaksanakannya prosesi upacara perkawinan.
b. Pada perkawinan pada gelahang ini pihak laki-laki dan pihak
perempuan sama-sama tidak melakukan upacara mepamit di sanggah
(merajan) mereka masing-masing, sehingga para pihak tidak
melepaskan hubungan mereka terhadap leluhur dan hubungan
kekeluargaan terhadap keluarga asal dari kedua pihak sama-sama
berstatus sebagai purusa.
c. Pada perkawinan pada gelahang juga dilakukan upacara mebyakaon
dan natab di bale adat yang dimana upacara tersebut dilakukan di
masing-masing kediaman kedua belah pihak.
51

d. Upacara mepekeling di sanggah (merajan) juga dilakukan pada


perkawinan pada gelahang. Upacara tersebut juga dilakukan di masing-
masing kediaman kedua belah pihak karena kedua belah pihak sama-
sama berstatus sebagai purusa.

Perkawinan pada gelahang yang pada hakikatnya mempunyai sebuah

landasan filosofis yang jelas apabila jika dikaitkan dengan tujuan dari perkawinan

itu sendiri yaitu untuk memperoleh keturunan serta menjunjung kehormatan

terhadap wanita baik di dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Salah satu

landasan filosofis perkawinan pada gelahang dapat dilihat dalam kitab Manawa

Dharmasastra III.56 dan pada Bhagawad Gita XIII.23, sebagai berikut:

Manawa Dharmasastra III.56

Dimana wanita dihormati disanalah para dewa merasa senang. Tetapi

dimana mereka tidak dihormati, maka tidak ada upacara suci apapun

yang akan berpahala.8

Bhagawad Gita XIII.23

Ia yang memahami dan menyeimbangkan dinamika purusa dan pradana

serta guna secara bersama-sama, apapun yang dilakukan akan

memberikan kehidupan yang bahagia di dunia dan mencapai persatuan

dengan Tuhan.9

Berdasarkan dari apa yang telah dipaparkan oleh kedua sloka di atas, maka

diketahui bahwa seorang wanita juga mempunyai kedudukan yang seimbang di

dalam keluarganya. Hal ini berarti antara suami dan istri dalam sebuah kehidupan

berumah tangga harus saling menjaga hubungan baik, saling menghormati dan

8
Gde Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta, 2012, Manawa Dharmasastra (Manu
Dharmasastra), Widya Dharma, Denpasar, hlm. 147.
9
Gde Pudja, 2003, Bhagawad Gita (Pancama Weda), Pustika Mitra Jaya, Jakarta, hlm.
208.
52

menghargai, saling melengkapi, terutama dalam mengatur kewajiban, hak dan

tanggung jawabnya. Seorang wanita pun harus diperlakukan sama seperti halnya

atas apa yang dipaparkan di dalam kedua sloka di atas.

Perkawinan pada gelahang merupakan bentuk perkawinan yang mana

pihak suami dan pihak istri sama-sama memikul dua tanggung jawab secara

bersama. Konsekuensi seperti itulah yang harus ditanggung oleh para pihak yang

melangsungkan perkawinan pada gelahang. Pihak suami dan pihak istri sama-

sama berstatus sebagai purusa dirumah mereka masing-masing sehingga suami

istri tersebut menjadi warga atau krama di banjar atau desa pakraman tempat

mereka berasal. Para pihak tersebut juga mempunyai hak dan kewajiban penuh

dalam adat dilingkungan mareka berasal, baik dalam hal ayah-ayahan maupun

dalam hal pepeson (iuran).

Alternatif lain yang tetap sebagai konsekuensi lainnya dari

melangsungkannya perkawinan pada gelahang yaitu pihak suami dan pihak istri

dapat memilih salah satu banjar atau desa pakraman, bisa dari tempat asal pihak

suami ataupun dari tempat asal pihak istri. Apabila dipilihnya salah satu dari

tempat asal para pihak tersebut maka para pihak mempunyai hak dan kewajiban

yang penuh ditempat yang mereka pilih, misalnya jika para pihak memilih

mebanjar di tempat asal suami, maka di tempat asal pihak istri mereka cukup

mapanauran ayah (mengganti kewajiban ayah-ayahan dengan uang) serta tetap

membayar pepeson (iuran). Jadi apapun jalan keluar yang dipilih oleh para pihak

untuk menanggungkonsekuensi dari melaksanakan perkawinan pada gelahang,


53

maka para pihak harus tetap memikul hak dan kewajiban adatnya pada dua

tempat.

Berdasarkan dari kedua pilihan untuk mempertanggungjawabkan

konsekuensi dari perkawinan pada gelahang, kedua pilihan tersebut sama-sama

dinilai berat. Pilihan pertama dinilai berat karena dengan menjadi warga (krama)

di banjar dan desa pakraman, para pihak harus meemenuh kewajiban dalam hal

ayah-ayahan dan pepeson secara penuh. Dari segi waktu dan biaya, pilihan ini

membutuhkan perhatian yang khusus dari para pihak terutama jika ada ayah-

ayahan yang dilangsungkan secara bersamaan melihat aktifitas adat disuatu

banjar atau desa pakraman di Bali sangat sering dilakukan. Untuk pilihan kedua,

lebih berat dari segi biaya dibandingkan dari segi waktu karena para pihak hanya

melaksanakan satu kewajiban di satu banjar atau desa pakraman tetapi tetap

membayar ayah-ayahan dan pepeson di dua banjar atau desa pakraman.

Seberat apapun hak dan kewajiban yang harus dipikul oleh kedua belah

pihak, kedua belah pihak tidak boleh melalaikan hal tersebut karena itu berkaitan

dengan sistem adat tempat mereka berasal seperti yang diketahui, di Bali bagi

yang telah melangsungkan perkawinan sangat mempunyai hubungan yang erat

dengan sistem adat tempat mereka berasal.

2.1.2 Perkawinan Pada Gelahang sebagai Perkawinan Alternatif

Perkawinan termasuk dalam hukum keluarga. Hukum keluarga adalah

keseluruhan norma-norma hukum tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur

hubungan kekeluargaan, baik yang diakibatkan oleh hubungan darah maupun

perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum yang dimaksud yaitu seperti


54

perkawinan. Norma-norma hukum tidak tertulis dalam aturan perundang-

undangan yang mengatur hubungan kekeluargaan disebut hukum adat keluarga.

Eksistensi hukum adat keluarga dalam masyarakat hukum adat Bali masih sangat

kuat. Hal ini berarti masih diakui dan diikuti oleh masyarakat hukum adat Bali di

luar yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.10 Perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi ketentuan Pasal

2 Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa:

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Berdasarkan penjelasan dari pasal tersebut yang dimana perkawinan yang

dianggap sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang

dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku, baik dalam hukum

agama Islam, agama Kristen/Katolik, agama Hindu dan agama Budha. Arti kata

“hukum masing-masing agama” dalam pasal tersebut yaitu hukum agama atau

kepercayaan yang dianut oleh para pihak dan keluarga yang bersangkutan.

Terjadinya suatu perkawinan yang sah apabila perkawinan itu merupakan

perkawinan antar agama yang berarti perkawinan yang dilangsungkan menurut

tata tertib aturan dari salah satu agama para pihak, agama dari calon suami

ataupun agama dari calon istri, bukan perkawinan yang dilangsungkan oleh setiap

agama yang dianut kedua belah pihak apabila agama atau kepercayaan mereka

10
Wayan P. Windia dkk, 2014, op.cit, hlm. 13.
55

berbeda. Dengan adanya pasal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya

permasalahan yang timbul dalam hukum adat, hukum agama dan hukum antar

golongan yang lainnya.

Perkawinan dalam masyarakat Bali dikenal dengan istilah pawiwahan.

Istilah mengenai pawiwahan itu sendiri biasanya dimuat di dalam peraturan desa

adat yang disebut dengan awig-awig. Pengertian awig-awig adalah peraturan-

peraturan hidup bersama bagi krama desa di desa adatnya untuk mewujudkan

kehidupan yang aman, tentram, tertib dan sejahtera di desa adat tersebut. Desa

adat itu sendiri merupakan suatu lembaga tradisional yang bersifat otonom yang

dilandasi oleh nilai-nilai asli bangsa Indonesia dan bercorak sosial religius. 11

Perkawinan menurut agama Hindu di Bali dipandang sebagai dharma yang

dimana merupakan sebuah upakara manusa yadnya yang dilakukan dengan tujuan

untuk membayar hutang kepada orang tua atau leluhurnya.”12 Keturunan yang

dimaksud dalam sistem kekeluargaan patrilinial dalam hukum adat di Bali adalah

seorang anak yang lahir akan ditarik berdasarkan garis keturunan laki-laki

“keluarga dari bapak (purusa) sehingga purusa tersebutlah yang utama dan harus

diperhatikan lebih dahulu dibandingkan dengan keluarga dari pihak ibu.” 13 adapun

tujuan perkawinan menurut hukum adat Bali adalah membentuk keluarga yang

kekal dan bahagia sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Undang-Undang

11
I Nyoman Sirtha, “Strategi dan Pemberdayaan Desa Adat Dengan Pembentukan Forum
Komunikasi Antar Desa Adat”, Makalah, Disampaikan dalam Seminar “Strategi Pemberdayaan
dan Model Desa Adat di Masa Depan”, yang diselenggarakan oleh Kerjasama Pusat Pengkajian
Pedesaan dan Kawasan (P3K) dengan DPD KNPI Propinsi Bali, Denpasar, hlm 1.
12
Ida Bagus Anom, 2010, Perkawinan Menurut Adat Agama Hindu, Kayumas Agung,
Denpasar, hlm. 4.
13
Gede Panetje, 2004, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas Agung,
Denpasar , hlm. 23.
56

Perkawinan serta menjaga keseimbangan antara skala dan niskala untuk mencapai

sebuah keluarga yang ideal dan diharapkan bisa mendapatkan keturunan terutama

anak laki-laki sebagai pelanjut keturunannya.

Hukum adat Bali yang mengatur mengenai perkawinan sama dengan

hukum nasional pada umumnya. Hukum tidak hanya tertulis dalam suatu aturan

ataupun dalam perundang-undangan, melainkan juga hukum tersebut hidup dalam

kehidupan masyarakat dan terus mengalami perkembangan mengikuti

perkembangan sosial masyarakat. Dari hal inilah dinilai hukum dapat berkembang

sesuai dengan tetap ditentukan kemanfaatannya bagi masyarakat sehingga hukum

itu seharusnya dapat menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang semakin

berkembang. Sama halnya dengan perkawinan pada gelahang, bentuk perkawinan

ini muncul karena adanya kebutuhan baru dari masyarakat tertentu.

Perkawinan untuk umat yang beragama Hindu harus diatur berdasarkan

hukum agama Hindu. Dalam kitab manawa dharmasastra III.21 menyebutkan

adanya delapan bentuk perkawinan, yang terdiri dari brahma wiwaha, daiwa

wiwaha, rsi wiwaha (arsa), prajapati wiwaha, asura wiwaha, gandharwa

wiwaha, raksasa wiwaha dan paisaca (picasa) wiwaha, yang penejelasannya

sebagai berikut:14

“Adapun pengertian dari kedelapan bentuk perkawinan tersebut yaitu


brahma wiwaha ialah pemberian anak perempuan kepada pendeta yang
diundang oleh ayah dari pihak wanita. Daiwa wiwaha ialah pemberian
anak perempuan pada pendeta yang melaksanakan upacara saat upacara
tersebut berlangsung. Arsa wiwaha ialah perkawinan yang dilaksanakan
setelah pihak perempuan menerima mas kawin dari pihak laki-laki.
Prajapati wiwaha ialah suatu perkawinan karena adanya pemberian anak
perempuan oleh ayahnya kepada pihak laki-laki dengan tujuan untuk

14
Gde Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta, op.cit, hlm. 136.
57

melaksanakan kewajiban dari grehasta asrama. Asura wiwaha ialah


perkawinan yang dilangsungkan setelah pengantin pria menerima
perempuan dengan memberikan mas kawin dengan didasari oleh
keinginannya sendiri dan keinginan keluarganya. Gandharwa wiwaha
ialah dilaksanakannya suatu perkawinan yang didasarkan atas dasar suka
sama suka antara pihak laki-laki dan pihak perempuan atas dorongan
nafsunya dan bermaksud untuk mengadakan hubungan kelamin. Raksasa
wiwaha ialah suatu perkawinan dengan melarikan seorang perempuan
secara paksa dan tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan tersebut
serta yang dimaksud dengan paisaca wiwaha ialah suatu perkawinan yang
dilangsungkan karena seorang laki-laki memperkosa perempuan yang
sedang tidur, sedang mabuk dan sedang bingung.

Akibat dari adanya perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang

terdiri dari bapak, ibu dan anak. Anak yang lahir dari perkawinan tersebut

mendapat sanak saudara dan mempunyai hubungan dengan sanak saudara dari

pihak bapak, sedangkan dengan sanak saudara dari pihak ibu, anak tersebut tidak

mempunyai hubungan hukum, walaupun demikian hubungan-hubungan sosial dan

moral antara anak dengan keluarga dari pihak ibu tetap ada bahkan berkaitan juga

dengan adanya larangan-larangan perkawinan yang harus tetap diperhatikan.

Masyarakat Bali biasanya menyebut saudara dari pihak ibu dengan sebutan saking

pradana, memisan atau memindon ulian meme (sepupu dari pihak ibu) dan lain-

lain.

Dalam hubungan dengan tata cara melangsungkan perkawinan, hukum

adat Bali mengenal dua cara, yaitu : (1) Perkawinan yang dilangsungkan dengan

cara memadik (meminang) dan (2) Perkawinan yang dilangsungkan dengan cara

ngerorod (lari bersama). Sedangkan bentuk perkawinan yang umum dilaksanakan,

yaitu (1) Perkawinan biasa dan (2) Perkawinan nyentana.15

15
Wayan P. Windia dkk, op.cit, hlm 1.
58

Sebagaimana diketahui bahwa setiap upacara perkawinan baik dalam

bentuk perkawinan apapun termasuk perkawinan pada gelahang, semuanya

dilaksanakan dengan upacara keagamaan. Upacar keagamaan yang dilakukan itu

tersebut bertujuan untuk menyucikan dan mengesahkan perkawinan yang akan

dilangsungkan serta disaksikan oleh prajuru (pengurus) adat ditempat akan

dilangsungkannya perkawinan itu. Jika semua rangkaian upacara tersebut telah

dilaksanakan dan segala sarana upakara yang digunakan sesuai dengan tata cara

perkawinan menurut agama Hindu, maka perkawinan itu dinyatakan sah dan

sakral menurut Hindu.

Perubahan dari waktu ke waktu selalu terjadi dalam kehidupan

bermasyarakat. Perubahan yang terjadi itu harus tetap dikendalikan sehingga tetap

terjaga keteraturan dan keseimbangan dari sistem adat itu sendiri. Sistem kapan

pun bisa berubah mengikuti kebutuhan hidup masyarakat dan harus tetap dijaga

agar tidak mengganggu keseimbangan sistem adat yang telah ada. Perubahan yang

dimaksud dalam hal ini yaitu munculnya bentuk perkawinan baru yang mengikuti

kebutuhan masyarakat yaitu bentuk perkawinan pada gelahang. Munculnya

bentuk perkawinan pada gelahang ini harus dilihat bagaimana penerapan dan

interaksinya dalam masyarakat.

Perkawinan pada gelahang seperti ini yang dianggap sebagai perkawinan

alternatif semakin lama semakin banyak dilakukan oleh masyarakat Bali.

Perkawinan pada gelahang ini menerapkan sistem kekeluargaan parental karena

pada sistem kekeluargaan ini menempatkan pihak laki-laki dan pihak perempuan

setara, yang dimana hal ini berarti terjadinya pergeseran dari sistem kekeluargaan
59

patrilineal ke sistem kekeluargaan parental. Konsekuensi logis dari adanya

perkawinan pada gelahang adalah munculnya perubahan status terhadap pasangan

suami istri tersebut menjadi kebapaan dan ibu secara bersama-sama, yang dimana

pada umumnya berstatus kekeluargaan kebapaan (purusa). Dalam hal ini sama

artinya bahwa pasangan suami istri itu mempunyai hak dan kewajiban yang sama,

baik pada keluarga pihak suami maupun pada keluarga pihak istri sehingga sering

disebut dengan tanggung bersama-sama (negen dadua).

Pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pada gelahang

memiliki beberapa faktor yang melatarbelakangi pasangan suami istri tersebut dan

masing-masing keluarganya memilih untuk melangsungkan perkawinan pada

gelahang, seperti:16

1. Adanya kekhawatiran terhadap warisan dan peninggalan-peninggalan


lainnya yang ditinggalkan oleh orang tua dan leluhurnya, baik yang
berwujud tanggung jawab atau kewajiban (swadharma), maupun hak
(swadikara), yang dimana khawatir jika hal-hal tersebut tidak ada yang
mengurus dan meneruskan.
2. Adanya kesepakatan diantara calon pengantin dan masing-masing
keluarganya untuk melangsungkan perkawinan pada gelahang.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, perkawinan pada gelahang yang

dianggap sebagai perkawinan alternatif ini dilakukan dengan berbagai alasan

tertentu yang dipilih oleh pasangan yang bersangkutan beserta masing-masing

keluarganya. Beberapa alasan dilangsungkannya perkawinan pada gelahang yaitu

dilakukan karena pasangan suami istri tersebut terlahir sebagai anak tunggal

dirumahnya masing-masing, dilakukan karena saudara kandungnya diyakini tidak

mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya,

16
Ibid, hlm. 52.
60

ada juga yang melangsungkan perkawinan pada gelahang karena di desanya tidak

mengenal bentuk perkawinan nyentana sehingga akhirnya harus memilih

melakukan perkawinan pada gelahang.

2.1.3 Akibat Hukum Perkawinan Pada Gelahang

Pengertian akibat hukum yaitu suatu akibat yang dapat ditimbulkan oleh

hukum terhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh subyek hukum. 17 Maka dari

itu, perkawinan yang merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek

hukum mempunyai akibat hukumnya tersendiri. Dalam suatu perkawinan,

khususnya dalam hal ini yaitu perkawinan pada gelahang tetap mengacu pada

Undang-Undang Perkawinan. Adanya perkawinan ini akan menimbulkan akibat

hukum terhadap pasangan suami istri tersebut, harta perkawinan serta anak-anak

yang lahir dalam perkawinan tersebut.

Apapun bentuk perkawinan yang akan dilangsungkan oleh para pihak,

perkawinan tersebut harus memenuhi syarat sahnya suatu perkawinan. Agar suatu

perkawinan sah secara hukum sehingga dalam perkawinan tersebut dapat

menimbulkan suatu akibat hukum maka perkawinan itu harus memenuhi syarat

sahnya perkawinan yang akan dijelaskan sebagai berikut:18

a. Kecuali ditentukan lain oleh undang-undang yang berlaku maka pada


prinsipnya seorang siapapun tidak boleh melangsungkan perkawinan
apabila agama atau kepercayaan yang dianutnya melarang perkawinan itu
terjadi.
b. Suatu perkawinan harusnya dilakukan atas dasar kesepakatan dan
persetujuan dari masing-masing calon pengantin. Jadi apabila
perkawinan yang dilakukan itu adalah perkawinan paksa maka dilarang
oleh hukum.

17
Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Edisi 2, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 192.
18
Munir Fuady, 2014, Konsep Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 15.
61

c. Perkawinan umumnya dilakukan setelah calon pasangan dewasa yaitu


berumur 19 tahun bagi pihak laki-lki dan berumur 16 bagi pihak
perempuan. apabila salah satu dari calon pasangan belum memenuhi
umur tersebut tetapi mereka memiliki cukup alasan untuk melaksanakan
perkawinan tersebut maka calon pasangan suami istri yang belum cukup
umur itu harus meminta dispensasi agar dapat melangsungkan
perkawinan. Dispensasi itu diminta ke pengadilan dan pejabat yang
berwenang yang ditunjuk oleh orang tua dari kedua belah pihak.
d. Jika salah satu pihak atau kedua belah pihak belum berumur 21 tahun
tetapi akan melangsungkan perkawinan maka perkawinan itu harus
mendapat izin dari orang tua masing-masing pihak. Apabila salah satu
orang tua atau kedua orang tua telah meninggal maka izin tersebut dapat
diperoleh dari walinya atau dari keluarga yang memiliki hubungan darah
dan masih mampu untuk menyatakan kehendaknya.
e. Satu orang laki-laki hanya dapat melangsungkan perkawinan dengan satu
orang perempuan saja, kecuali memenuhi syarat dan segala prosedur
untuk memiliki istri lebih dari satu (poligami).
f. Laki-laki hanya dapat melangsungkan suatu perkawinan dengan
perempuan saja. Hukum melarang terjadinya perkawinan sesama jenis.
g. Apabila ketentuan dari agama atau kepercayaannya menentukan lain,
maka seorang tidak boleh melangsungkan perkawinan untuk ketiga
kalinya dengan pasangan yang sama. Hal ini berarti, apabila ada
seseorang yang telah bercerai dan kemudian kawin lagi untuk kedua
kalinya dengan pasangan yang sama kemudian cerai lagi, maka mereka
tidak diperbolehkan untuk melangsungkan perkawinan untuk ketiga
kalinya dengan pasangan yang itu.
h. Seorang perempuan yang perkawinannya sudah putus maka dia tidak
boleh kawin lagi sebelum masa tunggunya selesai.
i. Suatu perkawinan tidak boleh dilangsungkan dengan pihak-pihak yang
dilarang oleh undang-undang. Menurut hukum ada beberapa pihak-pihak
yang tidak boleh dikawini, yaitu sebagai berikut:
1. Mereka yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus
ke atas maupun ke bawah.
2. Mereka yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan
kesamping yaitu antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya.
3. Mereka yang memiliki hubungan semenda seperti mertua, anak tiri,
menantu serta ibu atau bapak tiri.
4. Mereka yang memiliki hubungan sesusuan yaitu orang tua susuan,
anak susuan, saudara susuan, dan bibi atau paman susuan.
5. Mereka yang memiliki hubungan saudara dengan istri atau sebagai
bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih
dari satu orang.
6. Mereka yang memiliki hubungan yang oleh agama atau
kepercayaannya dan peraturan lainnya yang berlaku yang dilarang
untuk kawin.
62

Perkawinan merupakan dimana terjadinya suatu kesepakatan bersama

antara suami dan istri untuk melangsungkan hidup bersama-sama, dan tentu

mengakibatkan hak dan kewajiban terhadap kedua belah pihak. Setiap suami

mempunyai hak dalam keluarga, begitu juga seorang istri dalam suatu perkawinan

memiliki haknya. Adapun pengertian hak dalam hal ini adalah sesuatu yang

merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang bersangkutan yang

diperoleh dari hasil perkawinan. Hak ini dapat dihapus apabila yang berhak rela

haknya tidak dipenuhi atau dibayar oleh pihak lain 19 sedangkan yang dimaksud

dengan kewajiban adalah hal-hal yang wajib dilakukan oleh salah seorang dari

suami atau istri untuk memenuhi hak dari pihak lain. Mengenai hak dan

kewajiban suami istri dalam perkawinan telah diatur dalam Pasal 30 sampai

dengan Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan.

Suatu perkawinan dalam sistem hukum adat Bali, tidak hanya menyatukan

seorang laki-laki dengan seorang perempuan melainkan juga terjadinya

perkawinan itu menetapkan hak (swadikara) dan kewajiban (swadharma) kedua

belah pihak dalam sistem adat. Hak dan kewajiban yang harus ditanggung dalam

keluarga yaitu yang berhubungan dengan tanggung jawab anak-anaknya serta

orang tua dari kedua belah pihak, adanya hak dan kewajiban terhadap harta

warisan dalam keluarga, adanya tanggung jawab dari para pihak terhadap

pemeliharaan dari tempat suci di dalam rumah (sanggah atau merajan) dan lain

sebagainya. Tidak hanya hak dan kewajiban dalam keluarga, tetapi juga ada hak

19
Soemiyati, 2004, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, hlm. 87.
63

dan kewajiban dalam masyarakat. Tanggung jawab dalam masyarakat berkaitan

dengan tanggung jawab sebagai anggota masyarakat (krama) hukum adat

misalnya di banjar, desa pakraman, subak baik dalam bentuk ayahan (kewajiban

kerja) maupun pawedalan atau papeson (sumbangan berupa uang atau barang)

dan lain sebagainya.

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di dalam Undang-Undang

Perkawinan, kedudukan pasangan suami istri dalam rumah tangga dan kehidupan

dalam bermasyarakat adalah seimbang. Perkawinan pada gelahang ini

mempunyai konsep sebuah perkawinan yang memiliki hubungan yang sangat erat

dengan keluarga dari pihak suami maupun pihak istri. Hal ini juga semakin erat

karena adanya ketentuan-ketentuan di dalam awig-awig maupun kebiasaan yang

mengikat yang terdapat di dalam adatnya.

Perkawinan pada gelahang tidak melanggar ajaran manapun, perkawinan

pada gelahang ini sesuai dengan ajaran agama Hindu dan hukum adat Bali.

Perkawinan pada gelahang yang dimana suami dan istri tetap berstatus sebagai

purusa di rumah mereka masing-masing. Sah tidaknya perkawinan pada gelahang

dilihat apabila telah melakukan beberapa rangkaian proses upacara agama Hindu

dan adat Bali seperti sudah dilakukannya upacara pabiyakaonan, tidak

dilakukannya upacara mepamit dan perkawinan telah disepakati oleh kedua belah

pihak, orang tua dan keluarga. Adapun akibat yang timbul dari dilangsungkannya

perkawinan pada gelahang yaitu pihak perempuan berstatus sebagai purusa

sehingga tetap melanjutkan keturunan di rumah orang tuanya dan pihak laki-laki

pun tetap berstatus sebagai purusa untuk melanjutkan keturunan di rumah orang
64

tuanya. Anak yang lahir dari perkawinan pada gelahang ini yang kemudian

menimbulkan kewajiban dan hak serta hubungan-hubungan dengan masyarakat

setempat, akan ditentukan sesuai dengan apa yang telah kedua belah pihak

sepakati bersama. Berdasarkan uraian di atas maka bentuk perkawinan ini sering

diberi istilah duwenang sareng atau disebut juga miliki bersama.20

Mengingat kedudukan kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan

pada gelahang berstatus sebagai purusa, maka menurut sistem hukum adat Bali

kedua belah pihak harus memikul hak dan kewajiban terhadap kedua keluarga dan

lingkungan masyarakatnya. Kedua belah pihak sama-sama mempunyai hak untuk

mewarisi harta kekayaan dari orang tuanya, hak mendapatkan ayahan banjar

maupun hal apapun yang berkaitan dengan adat yang berlaku di daerah mereka

masing-masing serta kewajiban yang harus kedua belah pihak pikul yaitu

berkewajiban untuk merawat orang tua, anak-anaknya, berkewajiban

melaksanakan upacara keagamaan di sanggah atau merajan.

Akibat hukum perkawinan juga berpengaruh terhadap harta perkawinan

yang dimiliki oleh pasangan suami istri tersebut selama perkawinan berlangsung.

Akibat hukum dari perkawinan yang berkaitan dengan harta benda dalam

perkawinan diatur di dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang

Perkawinan. Secara singkat, di dalam undang-undang tersebut telah dijelaskan

bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

kecuali harta bawaan masing-masing yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan.

Untuk menentukan agar harta yang diperoleh selama perkawinan atau harta

20
Wayan P. Windia dkk, op. cit, hlm. 25.
65

bawaan suami istri menjadi atau tidak menjadi harta bersama, maka suami istri

tersebut dapat membuat suatu perjanjian perkawinan.

Akibat hukum lainnya yang ditimbulkan dari suatu perkawinan yaitu

terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Hal ini dapat dilihat di dalam

Pasal 42 sampai dengan Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan. Secara singkat, di

dalam pasal-pasal tersebut telah dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang

dilahirkan dari perkawinan yang sah dan kedua orang tuanya wajib memelihara

dan mendidik anak tersebut sebaik-baiknya. Hal ini disebabkan karena semakin

masyarakat itu berkembang maka tingkat pemahaman terhadap hak-hak sebagai

individu pun semakin meningkat.21

Mengenai kedudukan anak yang lahir dalam perkawinan pada gelahang

termasuk ke dalam kondisi yang tidak dapat diprediksikan. Hal tersebut terjadi

karena tidak dapat diprediksi pasangan suami istri tersebut akan mempunyai anak

berapa banyak atau bisa saja tidak memiliki anak, memiliki hanya seorang anak,

memiliki anak lebih dari satu orang dan bahkan jenis kelamin dari anak yang akan

dilahirkan pun juga tidak dapat diprediksi. Kehadiran anak dalam perkawinan ini

dinilai penting karena anak mempunyai kaitan terhadap pewarisan hak dan

kewajiban dari orang tuanya.

Pada umumnya, permasalahan mengenai anak yang dilahirkan dalam

perkawinan pada gelahang ini telah diatur dalam suatu perjanjian atau

kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak dan diketahui oleh keluarganya

masing-masing. Konsekuensi pada umumnya yang harus dipikul oleh anak

21
A. Suriyaman Mustari Pide, 2014, Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan Datang,
Kencana, Jakarta, hlm. 165.
66

tersebut yaitu secara otomatis memikul dua hak dan kewajiban sekaligus, kecuali

adanya kesepakatan tertentu yang telah dibuat oleh orang tuanya. Hal ini terjadi

sebagai suatu keberlanjutan tanggung jawab dari orang tua kepada anak-anak

mereka.

Memikul dua tetegenan (tanggung jawab) yang diwariskan oleh orang tua

kepada anak-anaknya tentu bukanlah hal yang mudah bagi anak-anak tersebut.

Apalagi tanggung jawab itu terus berlanjut kedepannya sampai anak-anak tersebut

dewasa dan akhirnya menikah. Waktu yang terus berlanjut ini tidak dapat

diprediksi bagaimana kondisi kedepannya. Tanggung jawab ini akan dirasa

semakin berat apabila anak ini melangsungkan perkawinan dengan anak yang juga

lahir dari perkawinan pada gelahang. Bagitu juga dengan kondisi ekonomi dari

orang tua maupun anak tersebut juga tidak dapat terprediksi karena tidak ada yang

bisa memastikan kondisi ekonomi seseorang, ibarat roda kehidupan yang terus

berputar.

Berdasarkan uraian di atas, hal-hal tersebutlah yang menjadi akibat hukum

dari dilaksanakannya suatu perkawinan. Akibat-akibat hukum tersebut tetap

mengacu pada Undang-Undang Perkawinan. Maka dari itu, dapat dilihat akibat

hukum yang timbul dari adanya perkawinan pada gelahang tidak berbeda jauh

dari apa yang telah dipaparkan di atas. Perbedaannya dapat dilihat dalam hal

status antara suami istri tersebut sama-sama masih sebagai purusa yang

mempunyai kedudukan masing-masing dirumahnya masing-masing. Dalam hal

harta perkawinan, tidak dimungkinkan adanya harta bawaan karena masing-

masing pihak tidak meninggalkan rumahnya. Untuk kedudukan anak dalam


67

perkawinan pada gelahang ini disesuaikan dengan kesepakatan yang telah dibuat

antara pihak suami dan pihak istri.

2.2 Pasobaya Mewarang

2.2.1 Pengertian Pasobaya Mewarang

Pasobaya mewarang merupakan semacam suatu perjanjian. Perjanjian

dalam hal ini yaitu adanya perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pihak-pihak

yang akan melangsungkan suatu perkawinan. Pasobaya mewarang dibuat dan

disaksikan oleh masing-masing orang tua dan masing-masing keluarga dari pihak

pertama dan pihak kedua yang sepakat akan melagsungkan perkawinan pada

gelahang. Bentuk perkawinan pada gelahang dipilih oleh kedua belah pihak yaitu

untuk mencegah kedua keluarga yang bersangkutan ada dalam keadaan tidak

memiliki penerus atau keturunan. Perkawinan pada gelahang tidak sama dengan

perkawinan pada umumnya yang dilakukan oleh masyarakat adat Bali yaitu

perkawinan biasa dan perkawinan nyentana. Perkawinan pada gelahang disertai

dengan adanya pasobaya mewarang yang mana pasobaya berarti kesepakatan dan

mewarang berarti sesama besan dan antar pasangan pengantin.

Pasobaya mewarang atau kesepakatan ini dibuat secara tertulis oleh

pasangan suami istri dan keluargany. Pasobaya mewarang tidak berbeda jauh

dengan perjanjian perkawinan yang biasa dibuat pada umumnya tetapi, walau

tidak jauh berbeda dengan perjanjian perkawinan pada umumnya, tetap ada

perbedaannya yaitu dapat dilihat pada isi yang ada dalam perjanjian tersebut.

Dalam pasobaya mewarang, isinya lebih terperinci yaitu seperti di dalamnya

dibuat persiapan dari rangkaian upacara perkawinan yang akan dilakukan,


68

kedudukan pihak pertama dan pihak kedua setelah perkawinan, tanggung jawab

dari para pihak yang harus mereka pikul, kedudukan anak yang lahir dalam

perkawinan tersebut serta hal-hal lainnya yang telah disepakati secara bersama-

sama dan diatur dalam perjanjian tersebut dan diketahui oleh masing-masing

orang tua dan keluarga dari masing-masing pihak. 22

Adanya perjanjian ini membuat pasangan suami istri harus bertanggung

jawab dengan apa yang menjadi kewajiban mereka dirumah masing-masing untuk

tetap menegakkan suatu rumah tangga yang tetap berdasarkan atas Ketuhanan

Yang Maha Esa. Adanya perkawinan pada gelahang membuat antara pihak suami

dan pihak istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dikeluarganya masing-

masing karena suami istri tersebut sama-sama berstatus sebagai purusa. Sekalipun

sama-sama bersatatus sebagai purusa, dalam perkawinan pada gelahang sama

dengan bentuk perkawinan lainnya yang mana status sebaga kepala keluarga tetap

dipegang oleh suami.

Mengenai tempat tinggal setelah dilangsungkannya perkawinan, pasobaya

mewarang tidak mengatur hal tersebut karena hal tersebut bergantung pada

kesepakatan bersama antara suami istri sepanjang tidak ada yang keberatan

dengan hal tersebut. Apapun dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang

melakukan perkawinan pada gelahang, hal tersebut sama seperti pasangan suami

istri yang melakukan bentyk perkawinan pada umumnya, hanya saja pasangan

suami istri yang melakukan perkawinan pada gelahang harus ingat dan wajib

melaksanakan dua kewajiban sekaligus yang harus mereka pertanggungjawabkan.

22
Putu Dyatmikawati, op. cit, hlm. 79.
69

Pasobaya mewarang dibuat secara tertulis, dibuat berdasarkan adanya

kesepakatan antara suami dan istri yang diketahui oleh masing-masing orang tua

dan keluarga serta diketahui oleh masing-masing prajuru tempat pasangan suami

istri tersebut berasal.

2.2.2 Alasan Dibuatnya Pasobaya Mewarang

Apabila perjanjian perkawinan jika ditinjau dari Undang-Undang

Perkawinan yang dimana perjanjian perkawinan itu bertujuan sebagai suatu

penegasan untuk mengatur mengenai harta perkawinan antara suami istri

sedangkan dalam pasobaya mewarang, tidak hanya harta saja yang diatur tetapi

mencakup hal-hal yang lebih terperinci seperti berbagai persiapan rangkaian

upacara perkawinan, kedudukan dan konsekuensi suami istri setelah melakukan

perkawinan, keberlanjutan hak dan kewajiban yang harus dilakukan untuk

keluarga dan masyarakat, kedudukan anak yang lahir dalam perkawinan tersebut

serta hal-hal lainnya yang telah pasangan suami istri tersebut sepakati bersama.

Tujuan kedua belah pihak memilih perkawinan pada gelahang yaitu untuk

lebih menjamin ada yang melanjutkan kewajiban (swadharma) dan hak-hak

(swadikara) dari orang tua ataupun leluhur dari masing-masing pihak, baik

terhadap keluarga maupun terhadap masyarakat serta untuk lebih menjamin

kepastian hukum dikemudian hari terkait dengan tanggung jawab yang harus

dipikul oleh pasangan suami istri yang bersangkutan dalam keluarganya masing-

masing. Dengan adanya alasan tersebutlah yang menyebabkan perkawinan pada


70

gelahang disertai dengan adanya suatu perjanjian yang dalam hal ini disebut

dengan pasobaya mewarang.23

Hakikat suatu perjanjian pada umumnya sama yang mana berisi kehendak

dari para pihak yang mengikatkan dirinya untuk melaksanakan sesuatu dari apa

yang telah mereka perjanjikan. Hal tersebut sama juga dengan dibuatnya

pasobaya mewarang. Dengan dibuatnya perjanjian tersebut maka para pihak

mempunyai hak dan kewajiban atas perjanjian tersebut. Pasobaya mewarang

sama saja dengan perjanjian seperti apa yang dijelaskan dalam Pasal 1313 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yaitu suatu perbuatan dengan mana salah satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Pasobaya mewarang dibuat dengan tujuan dapat digunakan sebagai acuan

jika dikemudian hari timbul suatu permasalahan. Sekalipun setiap pasangan suami

istri tidak menginginkan adanya permasalahan dalam rumah tangga mereka, tetapi

ketika permasalahan itu muncul, pasobaya mewarang yang telah dibuat dapat

dijadikan rujukan sehingga masing-masing pihak bisa mencari jalan tengahnya

secara kekeluargaan dan masing-masing pihak mengetahui dan sadar akan hak

dan kewajibannya masing-masing. Dalam pasobaya mewarang atau perjanjian ini

apapun kehendak yang dituangkan oleh kedua belah pihak isinya tidak boleh

bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama karena

dalam pasobaya mewarang mengatur mulai dari identitas para pihak, hak dan

kewajiban serta penyelesaian administrasi perkawinan tersebut.24

23
Putu Dyatmikawati, 2018, Perkawinan Pada Gelahang Perspektif Undang-Undang
Perkawinan, Swasta Nulus, Denpasar, hlm. 42.
24
Ibid, hlm. 43.
71

Adanya perjanjian atau kesepakatan yang dipilih oleh kedua belah pihak,

orang tua dan keluarganya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya.

Adanya perjanjian ini dapat dijadikan suatu dokumen yang memiliki kekuatan

hukum jika dikemudian hari dalam perkawinan tersebut terjadi permasalahan atau

sengketa. Perjanjian ini juga merupakan suatu bentuk negosiasi antara dua pihak

yang terlibat yaitu pihak laki-laki dan pihak perempuan sehingga apa yang

tertuang dalam perjanjian tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan, keinginan

dan kepentingan dari masing-masing pihak terkait.

2.3 Perjanjian Perkawinan

2.3.1 Pengertian Perjanjian Perkawinan

Mengenai perjanjian perkawinan dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan

hukum bersegi dua atau dengan katalain yaitu perbuatan hukum yang dilakukan

oleh dua pihak karena terjadinya perjanjian perkawinan tersebut akibat dari

adanya persetujuan atau kesepakatan dari kedua belah pihak. Dalam Pasal 29

Undang-Undang Perkawinan pun tidak mengatur secara jelas pengertian dari

perjanjian perkawinan tersebut. Beberapa ahli hukum memaparkan pendapatnya

mengenai pengertian dari perjanjian perkawinan, seperti menurut R. Subekti yang

berpendapat bahwa “perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai

harta benda suami dan istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari

asas-asas atau pola yang telah ditetapkan oleh undan-undang yang berlaku”. 25

Pendapat lainnya juga dikemukakan oleh Soetojo Prawirohaamidjojo dan

Asis Safioedin yang berpendapat bahwa “perjanjian perkawinan merupakan suatu

25
H. M. Anshary, 2014, Kedudukan Anak dalam Hukum Islam dan Nasional, CV. Mandar
Maju, Bandung, hlm. 190.
72

perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada

saat perkawinan tersebut dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan

terhadap harta kekayaan yang mereka miliki”.26 Dengan demikian, perjanjian

perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang tertulis antara calon

suami dan calon istri yang akan melangsungkan suatu perkawinan yang dimana isi

dari perjanjian tersebut dapat ditentukan sendiri oleh kedua belah pihak.

Perjanjian perkawinan yang dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan

tersebut dilangsungkan yang dalam hukum adat bukan saja kedua calon pasangan

suami istri yang terlibat melainkan juga termasuk keluarga dari masing-masing

pihak. Hal yang paling dasar ada dalam perjanjian perkawinan itu seperti

perjanjian mengenai status dan kedudukan suami istri setelah terjadi perkawinan,

apakah masuk dikerabat suami atau masuk di kerabat istri bahkan bisa saja

keduanya. Apapun isi dari perjanjia tersebut, perjanjian itu dibuat secara tertulis

dan diketahui serta disetujui oleh keluarga para pihak.

Perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang disebut dengan

Pasobaya Mewarang. Pasobaya mewarang ini dibuat oleh pasangan calon suami

dan calon istri sebelum atau pada waktu berlangsungnya perkawinan. Pasobaya

mewarang ini pun disetujui dan diketahui oleh pasangan suami istri, orang tua

masing-masing pihak dan prajuru dari masing-masing daerah asal para pihak.

Adapun tujuan dari dibuatnya pasobaya mewarang ini tidak jauh berbeda dengan

perjanjian perkawinan pada umumnya yaitu untuk lebih memastikan tanggung

jawab dari suami istri tersebut seperti bagaimana persiapan perkawinan, dimana

26
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1980, Hukum Orang dan Keluarga,
Alumni, Bandung, hlm. 57.
73

saja upacara perkawinan akan dilaksanakan, kedudukan masing-masing pihak

setelah perkawinan dan berbagai hal yang akan disepakati oleh kedua belah pihak

dan keluarganya.

Menurut hukum adat perkawinan tidak hanya merupakan ikatan perdata

saja, melainkan juga adanya ikatan adat dan ikatan kekeluargaan. Terjadinya suatu

perkawinan tidak hanya membawa akibat terhadap pasangan suami istri, harta

bersama dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu tetapi juga mempunyai

hubungan-hubungan adat kekeluargaan, kewarisan, kekerabatan dan ketetanggaan

serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan dilingkungannya. Tidak

hanya itu saja, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mentaati segala perintah

dan menjauhi segala larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan

Tuhan dan manusia dengan manusia dalam lingkungan hidup sehari-hari.

Khususnya dalam penelitian ini yaitu membahas tentang perkawinan pada

gelahang. Dalam perkawinan pada gelahang ini, kedua belah pihak bersama-

sama mempunyai dua tanggung jawab. Tanggung jawab tersebut yaitu berupa

kewajiban (swadharma) dan hak (swadikara) baik di dunia nyata (sekala) dan di

dunia tidak nyata (niskala). Apapun yang dilakukan oleh pasangan suami istri

yang melakukan perkawinan pada gelahang, untuk menghindari terjadinya suatu

permasalahan dikemudian hari, maka pasangan suami istri tersebut dapat

membuat suatu perjanjian perkawinan.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai perjanjian perkawinan, perlu

diketahui arti dari perjanjian itu sendiri. Istilah perjanjian yang ada dalam hukum

perjanjian merupakan kesepadanan dari kata “ovreenkomst” dalam bahasa


74

Belanda, sedangkan dalam bahasa Inggris yaitu “agreement”.27 Perjanjian

merupakan salah satu instrumen yang sangat penting untuk tetap menjaga hak dan

kewajiban dari para pihak yang bersangkutan, hal ini ditegaskan bahwa “In

general, a promise that performance of which his economic significant, gives rises

to right which will be protected by court action, where is a promise which has

only social significant does not give rise to such rights”.28 Ini berarti secara umum

perjanjian dengan makna ekonomi akan memberikan hak perlindungan hukum,

sedangkan suatu perjanjian yang dengan makna sosial tidak memberikan hak-hak

tersebut.

Mengenai perjanjian itu sendiri sudah dijelaskan di dalam Pasal 1313

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa “suatu perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih”. Hal ini berarti perjanjian pada umumnya

berisi kehendak dari para pihak yang mengikatkan dirinya untuk melaksanakan

suatu perjanjian. Sejak perjanjian itu dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak

maka para pihak yang bersangkutan telah mempunyai hak dan kewajiban terhadap

perjanjian tersebut. Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, menentukan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat

syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

27
Munir Fuady, op.cit, hlm. 13.
28
Harold F, Lusk, 1969, Bussines Law : Principle and Cases, Homewood, Richard D.
Irwin, Inc, Illinois, hlm. 82.
75

4. Sebab yang halal.

Perjanjian ini biasanya dibuat secara tertulis. Adapun tujuan dari perjanjian

yang dibuat secara tertulis ini yaitu untuk memberikan kepastian hukum bagi para

pihak yang bersangkutan dan sebagai alat bukti yang sempurna pada saat

timbulnya permasalahan dikemudian hari. Mengenai perjanjian perkawinan diatur

dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1)

Undang-Undang Perkawinan, pengaturan perjanjian perkawinan ini memiliki sifat

aanvullend recht (bersifat mengatur). Dalam Pasal 29 tersebut menentukan

bahwa:

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas


perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ke tiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubahnya
dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Sejak awal, perjanjian perkawinan tersebut dibuat oleh calon pasangan

suami istri yang akan melangsungkan perkawinan dimana keduanya berkehendak

untuk mengatur beberapa hal dalam perkawinan mereka yang berwujud dalam

suatu perjanjian. Dalam sebuah perjanjian juga berlaku beberapa asas yang dapat

diterapkan dalam pembuatan suatu perjanjian: 29

1. Asas kebebasan berkontrak yaitu dapat mengadakan perjanjian apa saja


asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum yang diatur dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Asas kebebasan berkontrak ini adalah suatu asas yang

29
Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 97.
76

memberikan kebebasan kepadda para pihak yang akan membuat perjanjian


untuk:30
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;
d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau tidak tertulis;
e. Menerima atau menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang
bersifat opsional.
Semua perjanjian dan seluruh isi dari perjanjian tersebut selama
pembuatannya memenuhi syarat maka perjanjian tersebut berlaku bagi
yang membuatnya dengan kekuatan yang sama seperti undang-undang.
2. Asas konsensualisme yaitu harus adanya kesepakatan dalam perjanjian
tersebut yang telah diatur dalam diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu
syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua
belah pihak. Kata konsensualisme berasal dari kata konsensus yang berarti
kesepakatan. Kesepakatan ini berarti bahwa diantara para pihak yang
bersangkutan dalam membuat perjanjian itu telah tercapai persesuaian
kehendak.
3. Asas kekuatan mengikat atau sering disebut dengan pacta sunt servanda
yaitu perjanjian tersebut mengikat sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya. Asas perjanjian yang satu ini berhubungan dengan akibat
perjanjian. Asas pacta sunt servanda diatur dalam Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Apa yang dijelskan di dalam pasal
tersebut mengandung arti bahwa para pihak yang terlibat dalam pembuatan
perjanjian itu wajib untuk mentaati dan melaksanakan isi dari perjanjian
tersebut. Hal ini berarti dimana pihak yang satu tidak dapat melepaskan
diri secara sepihak dengan pihak yang lainnya.
4. Asas itikad baik yaitu dalam melaksanakan suatu perjanjian harus
didasarkan adanya itikad yang baik, yang juga diatur dalam Pasal 1338
ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Itikad baik berarti bahwa
keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian itu
harus dengan sikap yang jujur, terbuka dan saling percaya. Keadaan batin
para pihak tidak boleh didasarkan atas unsur-unsur yang tidak baik seperti
keinginan untuk menipu atau menutupi keadaan yang sebenarnya. Dengan
dimikian, dimasukkannya itikad baik dalam membuat dan melaksanakan
suatu perjanjian berarti tidak lain harus ditafsirkannya perjanjian itu
berdasarkan keadilan dan kepatutan. Menafsirkan suatu perjanjian
merupakan sesuatu hal yang sama dengan menetapkan akibat-akibat yang
akan terjadi. 31
5. Asas kepribadian atau pesonality yaitu untuk menentukan personalia atau
pribadi seseorang dalam perjanjian. Asas ini mempunyai arti bahwa isi

30
BN Marbun, 2009, Membuat Perjanjian Yang Aman dan Sesuai Hukum, Puspa Swara,
Jakarta, hlm. 5.
31
Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir Dari
Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, Hlm. 67.
77

dari perjanjian yang dibuat hanya mengikat para pihak secara personal,
tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak terlibat atau tidak memberikan
kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dalam
membuat perjanjian dan tidak dapat mewakili orang lain untuk membuat
perjanjian. Asas kepribadian ini dapat dilihat pada Pasal 1340 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang mana ketentuan yang ada dalam
pasal tersebut dapat dikecualikan sebagaimana dengan apa yang dijelaskan
dalam Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
6. Asas kepercayaan yaitu seseorang yang membuat suatu perjanjian
sehingga menimbulkan sebuah perikatan dengan orang yang lainnya,
antara para pihak harus ada kepercayaan bahwa mereka akan bersama-
bersama saling memenuhi prestasi. Sikap saling percaya dalam membuat
dan melaksanakan suatu perjanjian sangat penting karena dengan sikap
saling percaya antara pihak yang satu dengan yang lainnya maka dapat
meminimalisir terjadinya suatu permasalahan yang berkaitan dengan
perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

Perjanjian perkawinan yang biasa dibuat di Indonesia, terutama pada

masyarakat yang tidak tunduk pada hukum barat tentunya tidaklah popular seperti

orang-orang yang memang tunduk pada hukum barat. Bagi masyarakat yang

memang tunduk terhadap hukum barat, memandang bahwa dengan adanya

pembuatan perjanjian perkawinan merupakan suatu hal yang biasa atau lumrah

untuk dilakukan. Bahkan hal tersebut dipandang perlu untuk mencegah

permasalahan atau sengketa yang bisa timbul dikemudian hari selama perkawinan

tersebut berlangsung. Seiring dengan perkembangan zaman, perjanjian

perkawinan tidak hanya dibuat oleh masyarakat yang tunduk pada hukum barat

melainkan perjanjian perkawinan sudah dapat dijadikan alternatif atau solusi bagi

pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dalam bentuk apapun untuk

memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul antara suami istri dalam

perkawinan mereka.

Berdasarkan penjelasan di atas, tidak ditemui adanya batasan-batasan apa

saja yang harus dibuat dalam pasobaya mewarang ini. Hal ini berarti para pihak
78

bebas menuangkan apapun yang mereka dan keluarga kehendaki selama tidak

melanggar atau bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan aturan yang

berlaku.

2.3.2 Tujuan Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan dibuat secara tertulis dan dibuat atas kesepakatan dari

para pihak. Isi dari perjanjian perkawinan tersebut diserahkan kepada para pihak

yang akan melangsungkan perkawinan yang isinya tidak boleh bertentangan

dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama. Perjanjian perkawinan

ini termasuk ke dalam hukum perjanjian Buku Ketiga tentang Perikatan dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian perkawinan juga biasanya

berisikan pengaturan segala penyelesaian dari setiap masalah yang dimungkinkan

akan muncul selama masa perkawinan.

Pada umumnya perjanjian perkawinan dibuat untuk kepentingan

perlindungan terhadap harta bawaan masing-masing suami istri meskipun undang-

undang tidak mengatur secara khusus mengenai tujuan dari perjanjian perkawinan

tersebut sedangkan dalam pasobaya mewarang ini juga bisa saja diatur mengenai

harta kekayaan tetapi bukan harta bawaan karena masing-masing pihak tidak

meninggalkan rumahnya tetapi tetap dirumah masing-masing dengan segala hak

dan kewajibannya yang harus dipertanggungjawabkan. Tujuan dalam perjanjian

perkawinan secara umum yaitu, sebagai berikut:32

1. Dibuat untuk melindungi secara hukum terhadap semua harta benda yang
dimiliki oleh suami istri, baik harta bawaan masing-masing pihak atupun
harta bersama yang mereka miliki.

32
Pugung Solahudin, 2011, Mendapat Hak Asuh Anak dan Harta Bersama di Pengadilan
Agama, Cetakan ke 1, Indonesian Legal Center Publishing, Jakarta, hlm. 18.
79

2. Dibuat sebagai pegangan yang mengatur hak dan kewajiban masing-


masing pihak tentang masa depan rumah tangga mereka, baik dalam hal
pendidikan anak, usaha, tempat tinggal dan lain-lainnya sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum yang berlaku, adat istiadat dan kesusilaan.
3. Dibuat untuk melindungi anggota keluarga dari ancaman tindak kekerasan
dalam rumah tangga.
Pendapat lainnya mengenai tujuan dari dibuatnya perjanjian perkawinan

yaitu menurut Husni Syawali maksud dari pembuatan perjanjian perkawinan

tersebut adalah untuk mengadakan sebuah penyimpangan terhadap ketentuan-

ketentuan tentang suatu persatuan harta kekayaan. 33 Perjanjian perkawinan

sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, tidak hanya memiliki tujuan

melainkan juga harus mempunyai manfaat-manfaat terhadap pasangan suami istri

tersebut. Adapun manfaat dari perjanjian perkawinan itu sebagai berikut:34

1. Perjanjian perkawinan dibuat untuk melindungi harta bawaan dari masing-


masing pihak (suami atau istri). Hal ini berarti perjanjian perkawinan dapat
berfungsi sebagai media hukum untuk menyelesaikan permasalahan yang
ada di dalam rumah tangga yang kemungkinan harus berakhir karena
perceraian atau kematian.
2. Perjanjian perkawinan juga mempunyai menfaat untuk memberikan
keamanan terhadap aset dan kondisi ekonomi keluarga. Ketika hendak
membuat perjanjian perkawinan, pasangan calon suami istri tersebut
biasanya memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya untuk membentuk
sebuah rumah tangga saja, tetapi juga mempunyai sisi lain yang harus
dimasukkan dalam inti-inti penting dalam perjanjian tersebut.
3. Perjanjian perkawinan juga mempunyai manfaat bagi kepentingan kaum
perempuan. Dengan dibuatnya perjanjian perkawinan ini, maka hak-hak
dan kewajiban kau perempuan (istri) dapat terlindungi. Perjanjian
perkawinan ini juga dapat dijadikan pegangan agar suami tidak
memonopoli harta gono gini dan harta kekayaan pribadi milik istri.

Pada perkawinan pada gelahang juga penting dibuatnya perjanjian

perkawinan atau yang disebut dengan pasobaya mewarang. Hal ini bertujuan

33
Husni Syawali, 2009, Pengurusan (Bestuur) Atas Harta Kekayaan Perkawina: Menurut
KUHPerdat, Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Islam, Graha
Ilmu, Bandung, hlm. 70.
34
Happy Susanto, op.cit, hlm. 87.
80

untuk mengatur secara jelas mengenai proses dari awal perkawinan termasuk

upacara-upacara apa saja yang akan dilakukan sampai terhadap pengaturan

mengenai anak yang lahir dalam perkawinan tersebut. Dibuatnya pasobaya

mewarang ini untuk meminimalisir terjadinya permasalahan yang akan ditemui

kelak dikemudian hari serta dibuatnya pasobaya mewarang ini agar salah satu

pihak tidak merasa ada yang dirugikan karena dalam hal ini pihak suami dan

pihak pihak istri adalah sama karena mereka sama-sama tidak meninggalkan

rumahnya masing-masing.

2.3.3 Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan

Perjanjian merupakan suatu perbuatan yang mempunyai akibat hukum.

Perjanjian juga merupakan suatu perbuatan yang dimana para pihak yang

bersangkutan bisa memperoleh hak dan kewajiban yang muncul dari akibat-akibat

hukum yang merupakan bagian konsekuensi dari timbulnya suatu perjanjian.

Dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menentukan bahwa

suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Terikatnya para pihak

yang ada di dalam perjanjian tersebut, tidak hanya sebatas dengan apa yang

diperjanjikan, tetapi juga terhadap beberapa unsur lainnya sepanjang apa yang

dikehendaki secara moral, sehingga asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang

mengikat para pihak. 35

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian merupakan suatu persetujuan

antara dua orang atau lebih yang saling megikatkan diri untuk melaksanakam

35
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 87.
81

suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 36 Menurut R. Setiawan, perjanjian

merupakan suatu perbuatan hukum yang dimana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya atau mereka saling mengikatkan diri terhadap satu orang atau

lebih. 37

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa perjanjian

berasal dari kata “janji” yang artinya persetujuan antara dua pihak (masing-

masing pihak menyatakan kediaannya dan kesanggupannya untuk berbuat atau

tidak berbuat sesuatu) dan arti dari kata perjanjian itu sendiri adalah persetujuan

(tertulis atau lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, yang mana masing-

masing pihak berjanji akan mentaati apa yang ada dalam persetujuan tersebut.

Dari beberapa pengertian mengenai perjanjian, Patrik Purwahid menyimpulkan

bahwa di dalam perjanjian terdapat beberapa unsur, sebagai berikut: 38

1. Adanya pihak-pihak. Pihak dalam hal ini adalah subyek perjanjian yang
sedikitnya ada dua orang dan harus mempunyai wewenang melakukan
perbuatan hukum yang sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh undang-
undang.
2. Adanya persetujuan antara pihak-pihak yang bersangkutan yang bersifat
tetap dan bukan merupakan suatu perundingan.
3. Adanya tujuan yang akan dicapai. Maksud dari hal ini yaitu adanya
tujuan dari para pihak yang hendaknya tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.
4. Adanya prestasi yang harus dilaksanakan. Maksud dari hal ini yaitu
adanya prestasi yang merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
kedua belah pihak sesuai dengan syarat-syarat yang telah mereka
perjanjikan.
5. Adanya suatu bentuk tertentu, baik lisan atau tulisan. Hal ini berarti
perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut dapat dituangkan secara
lisan atau tulisan. Hal ini sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
menentukan bahwa dengan suatu bentuk tertentu perjanjian itu
mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak terkait dan sebagai alat
bukti yang kuat.

36
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 78.
37
R. Setiawan, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hlm. 49.
38
Patrik Purwahid, 1991, Hukum Perdata II, Undip, Semarang, hlm. 23.
82

Dengan demikian, dari apa yang telah dipaparkan di ada hal yang

terkandung dari perjanjian itu yang mengartikan bahwa suatu perjanjian itu hanya

melahirkan kewajiban dan prestasi dari satu orang atau lebih kepada satu orang

atau lebih yang berhak atas prestasi yang ditimbulkan dari perjanjian tersebut.

Melaksanakan prestasi dalam hal ini bisa dalam hal harta kekayaan ataupun dalam

hal lainnya. Salah satu bentuk perjanjian tertulis yang sudah mulai banyak dikenal

oleh masyarakat yaitu perjanjian perkawinan.

Perjanjian perkawinan adalan perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh

calon pasangan suami istri untuk mengatur segala akibat-akibat yang terjadi dalam

perkawinan yang dikehendaki oleh pasangan tersebut. Perjanjian perkawinan

biasanya dibuat dengan alasan adanya kepentingan perlindungan hukum antara

kedua belah pihak yaitu pihak suami maupun pihak istri. Hal ini mempunyai

tujuan yang mana agar berlaku efektif untuk kedua belah pihak ketika perkawinan

berlangsung.

Perjanjian perkawinan tidak terbatas hanya untuk mengatur masalah harta

saja, tetapi juga bisa meliputi beberapa hal penting dalam perkawinan seperti hak

dan kewajiban suami istri selama perkawinan itu berlangsung, para pihak tidak

boleh melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), ketentuan-ketentuan

lain apabila terjadi perceraian atau kematian, mengenai warisan dan hibah,

tanggung jawab terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut

baik dari segi keuangan dan pendidikan, dan hal-hal lainnya. Perjanjian

perkawinan dalam istilah asing sering disebut dengan Prenuptial Agreement.

“Prenuptial agreement is an agreement entered by the parties to a marriage


83

before the marriage”39 yang berarti perjanjian perkawinan ini merupakan

perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang akan melangsungkan perkawinan

sebelum dilaksanakannya perkawinan.

Perjanjian perkawinan telah diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang

Perkawinan, yang menentukan bahwa:

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas


perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ke tiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubahnya dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Berdasarkan ketentuan Pasal 29 di atas, maka dapat dikatakan bahwa Pasal

29 Undang-Undang Perkawinan merupakan satu-satunya ketentuan yang

mengatur tentang perjanjian perkawinan. Isi dari Pasal 29 tersebut memang tidak

jelas menentukan apa saja yang menjadi syarat-syarat dari dibuatnya perjanjian

perkawinan. Namun, jika dilihat dari apa yang dipaparkan dapat dilihat adanya

syarat-syarat dari perjanjian perkawinan tersebut, yaitu: 40

1. Dibuat atas persetujuan bersama

2. Dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis

3. Disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, dan

4. Tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.

39
Charles P. Nemeth, 2008, The Paralegal Resource Manual, McGraw-Hill/Irwin, New
York, hlm. 486.
40
Martiman Prodjohamidjojo, 2011, Hukum Perkawinan Dalam Tanya Jawab, Cetakan
Keenam, Edisi Revisi, Indonesia Legal center Publishing, Jakarta, hlm. 22.
84

Berbicara mengenai akibat hukum, maka berarti membahas dampak dari

perbuatan hukum yang dilakukan seperti yang kita ketahui, perjanjian pada

umumnya menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang membuatnya maupun

terhadap pihak ketiga yang ikut berkepentingan dalam perjanjian tersebut. Hal

yang sama juga berlaku terhadap perjanjian perkawinan ini yang dimana juga

mempunyai akibat hukumnya tersendiri.

Akibat hukum dari perjanjian perkawinan apabila perjanjian tersebut

didaftarkan atau tidak didaftarkan jika dilihat dari Pasal 29 Undang-Undang

Perkawinan. Dari isi pasal tersebut terlihat bahwa perjanjian perkawinan harus

dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis, yang mana nantinya perjanjian tersebut

mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Apabila dilihat pada Pasal

1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdatayang menentukan bahwa “Semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya”. Dari kedua pasal tersebut, dapat dilihat bahwa perjanjian

perkawinan apabila tidak didaftarkan maka tetap berlaku bagi para pihak yang

membuatnya karena tidak ada satu pasal pun yang menentukan bahwa perjanjian

perkawinan baru berlaku jika telah didaftarkan. Bisa dilihat juga pada asas

perjanjian yaitu asas konsensualisme yang menentukan bahwa perjanjian tersebut

berlaku pada saat terjadinya kata sepakat antara para pihak yang membuatnya.

Dengan demikian, perjanjian perkawinan yang didaftarkan ataupun yang tidak

tetap mempunyai akibat hukum terhadap pasangan suami istri tersebut selama

mereka bersama-sama sepakat untuk membuatnya.


85

Berbeda halnya dengan akibat hukum terhadap pihak ketiga. Apabila

perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka dengan sendirinya perjanjian

perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.

Jadi apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka perjanjian perkawinan

tetap mengikat kedua belah pihak yang membuatnya, tetapi jika menyangkut

pihak ketiga, apabila perjanjia tersebut tidak didaftarkan maka akibat hukumnya

perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak

ketiga.

Berdasarkan pemaparan di atas mengenai perjanjian perkawinan secara

umum, dapat dilihat apa saja yang menjadi akibat hukumnya sedangkan dalam hal

ini yaitu perjanjian perkawinan pada perkawinan pada gelahang yang disebut

dengan pasobaya mewarang juga mempunyai akibat hukumnya tersendiri.

Adapun akibat hukumnya juga terhadap para pihak yang membuatnya. Mengenai

harta dalam perjanjian ini, harta yang masing-masing pihak miliki tetap menjadi

milik masing karena masing-masing pihak tetap berstatus kapurusa dirumah

mereka masing-masing. Biasanya pasobaya mewarang ini mempunyai akibat

terhadap anak-anak yang lahir dalam perkawinan itu dan kewajiban-kewajiban

apa saja yang harus dilakukan selama perkawinan itu berlangsung karena ada

kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan di masing-masing rumah para pihak

tersebut.

Anda mungkin juga menyukai