PERJANJIAN PERKAWINAN
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau
pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana
agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen, bahkan dipengaruhi budaya perkawinan
barat. Hal mana berakibat, lain masyarakat lain aturan perkawinanannya. Jadi,
Indonesia masih tetap berlaku adat dan tata cara perkawinan yang berbeda-beda. 1
a couple as husband and wife”2, yang berarti perkawinan itu dapat dikatakan
sebagai suatu perbuatan serikat hukum pasangan sebagai suami isteri. Dikatakan
1
H. Hilman Hadikusuma, op.cit, hlm. 1.
2
Henry Campbell Black, 2004, Black’s law Dictionary,Edisi ke-8, St. Paul minn: West
Publishing Co., hlm. 992.
45
46
hukum bagi hubungan antara suami isteri, harta benda dalam perkawinan dan
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah “ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuannya pun dapat dilihat di dalam isi pasal
tersebut yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal tersebut
hukum perkawinan.
membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami sebagai ayah,
istri sebagai ibu dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Membentuk
rumah tangga yang artinya membentuk satu kesatuan hubungan antara suami istri
dalam satu wadah yaitu rumah atau tempat tinggal sebagai tempat kediaman
keharmonisan antara suami istri dengan anak-anaknya. Kata kekal yang artinya
berlangsung secara terus menerus seumur hidup dan tidak dapat diputuskan atau
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang berarti bahwa perkawinan tersebut
memiliki hubungan yang erat dengan keagamaan atau kerohanian sehingga tidak
47
hanya ada unsur jasmani saja tetapi juga penting adanya unsur batin dalam sebuah
keluarga. 3
dilangsungkan secara sah dan menimbulkan hak dan kewajiban bagi pasangan
suami istri tersebut. Syarat-syarat perkawinan terdapat di dalam Pasal 6 dan Pasal
3
Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Ketiga, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 75.
4
Ibid, hlm. 6
48
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.
perkawinan yang kekal dan abadi. Sejalan dengan hal itu, dikatakan bahwa
5
Dominikus Rato, 2011, Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan,
Bentuk Perkawinandan Pola Pewarisan Adat di Indonesia), Laksbang Yustitia, Surabaya, hlm. 65.
49
hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
kewajiban terhadap hukum adat setempat seperti pelaksanaan upacara adat serta
kelanggengan hidup antar orang tua dan keluarga. Semakin perkembangan jaman
hukum adat Bali mulai mengenal satu bentuk perkawinan yang lain yaitu
mulai banyak dibicarakan oleh masyarakat hukum adat Bali. Adapun pengertian
6
Wayan P. Windia dkk, 2014, Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Udayana University
Press, Denpasar, hlm. 24.
7
Ida Bagus Putu Sudarsana, 2003, Ajaran Agama Hindu (Makna yang Terkandung Dalam
Upacara Perkawinan Hindu), Yayasan Dharma Acarya, Denpasar, hlm. 25.
50
kedua pihak keluarga sama-sama tidak memiliki keluarga pewaris yang lain
yang berhak serta berkewajiban pada masing-masing keluarga tersebut.
Pada pewarisan nanti diharapkan dari keturunan sang pengantin diberikan
hak dan kewajiban masing-masing. Perkawinan ini juga berdasarkan cinta
sama cinta, suka sama suka dan mendapat persetujuan dari kedua keluarga.
digunakan, ini adalah bentuk perkawinan yang tidak termasuk perkawinan biasa
rumahnya masing- masing, sehingga harus mengemban dua tanggung jawab dan
perkawinan secara adat dilakukan oleh pejabat pencatat perkawinan adat di daerah
tempat perkawinan itu dilangsungkan yang sering disebut dengan kelian adat.
landasan filosofis yang jelas apabila jika dikaitkan dengan tujuan dari perkawinan
terhadap wanita baik di dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Salah satu
landasan filosofis perkawinan pada gelahang dapat dilihat dalam kitab Manawa
dimana mereka tidak dihormati, maka tidak ada upacara suci apapun
dengan Tuhan.9
Berdasarkan dari apa yang telah dipaparkan oleh kedua sloka di atas, maka
dalam keluarganya. Hal ini berarti antara suami dan istri dalam sebuah kehidupan
berumah tangga harus saling menjaga hubungan baik, saling menghormati dan
8
Gde Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta, 2012, Manawa Dharmasastra (Manu
Dharmasastra), Widya Dharma, Denpasar, hlm. 147.
9
Gde Pudja, 2003, Bhagawad Gita (Pancama Weda), Pustika Mitra Jaya, Jakarta, hlm.
208.
52
tanggung jawabnya. Seorang wanita pun harus diperlakukan sama seperti halnya
pihak suami dan pihak istri sama-sama memikul dua tanggung jawab secara
bersama. Konsekuensi seperti itulah yang harus ditanggung oleh para pihak yang
melangsungkan perkawinan pada gelahang. Pihak suami dan pihak istri sama-
istri tersebut menjadi warga atau krama di banjar atau desa pakraman tempat
mereka berasal. Para pihak tersebut juga mempunyai hak dan kewajiban penuh
dalam adat dilingkungan mareka berasal, baik dalam hal ayah-ayahan maupun
melangsungkannya perkawinan pada gelahang yaitu pihak suami dan pihak istri
dapat memilih salah satu banjar atau desa pakraman, bisa dari tempat asal pihak
suami ataupun dari tempat asal pihak istri. Apabila dipilihnya salah satu dari
tempat asal para pihak tersebut maka para pihak mempunyai hak dan kewajiban
yang penuh ditempat yang mereka pilih, misalnya jika para pihak memilih
mebanjar di tempat asal suami, maka di tempat asal pihak istri mereka cukup
membayar pepeson (iuran). Jadi apapun jalan keluar yang dipilih oleh para pihak
maka para pihak harus tetap memikul hak dan kewajiban adatnya pada dua
tempat.
dinilai berat. Pilihan pertama dinilai berat karena dengan menjadi warga (krama)
di banjar dan desa pakraman, para pihak harus meemenuh kewajiban dalam hal
ayah-ayahan dan pepeson secara penuh. Dari segi waktu dan biaya, pilihan ini
membutuhkan perhatian yang khusus dari para pihak terutama jika ada ayah-
banjar atau desa pakraman di Bali sangat sering dilakukan. Untuk pilihan kedua,
lebih berat dari segi biaya dibandingkan dari segi waktu karena para pihak hanya
melaksanakan satu kewajiban di satu banjar atau desa pakraman tetapi tetap
Seberat apapun hak dan kewajiban yang harus dipikul oleh kedua belah
pihak, kedua belah pihak tidak boleh melalaikan hal tersebut karena itu berkaitan
dengan sistem adat tempat mereka berasal seperti yang diketahui, di Bali bagi
Eksistensi hukum adat keluarga dalam masyarakat hukum adat Bali masih sangat
kuat. Hal ini berarti masih diakui dan diikuti oleh masyarakat hukum adat Bali di
luar yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
yang berlaku.
dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku, baik dalam hukum
agama Islam, agama Kristen/Katolik, agama Hindu dan agama Budha. Arti kata
“hukum masing-masing agama” dalam pasal tersebut yaitu hukum agama atau
kepercayaan yang dianut oleh para pihak dan keluarga yang bersangkutan.
tata tertib aturan dari salah satu agama para pihak, agama dari calon suami
ataupun agama dari calon istri, bukan perkawinan yang dilangsungkan oleh setiap
agama yang dianut kedua belah pihak apabila agama atau kepercayaan mereka
10
Wayan P. Windia dkk, 2014, op.cit, hlm. 13.
55
permasalahan yang timbul dalam hukum adat, hukum agama dan hukum antar
Istilah mengenai pawiwahan itu sendiri biasanya dimuat di dalam peraturan desa
peraturan hidup bersama bagi krama desa di desa adatnya untuk mewujudkan
kehidupan yang aman, tentram, tertib dan sejahtera di desa adat tersebut. Desa
adat itu sendiri merupakan suatu lembaga tradisional yang bersifat otonom yang
dilandasi oleh nilai-nilai asli bangsa Indonesia dan bercorak sosial religius. 11
dimana merupakan sebuah upakara manusa yadnya yang dilakukan dengan tujuan
untuk membayar hutang kepada orang tua atau leluhurnya.”12 Keturunan yang
dimaksud dalam sistem kekeluargaan patrilinial dalam hukum adat di Bali adalah
seorang anak yang lahir akan ditarik berdasarkan garis keturunan laki-laki
“keluarga dari bapak (purusa) sehingga purusa tersebutlah yang utama dan harus
diperhatikan lebih dahulu dibandingkan dengan keluarga dari pihak ibu.” 13 adapun
tujuan perkawinan menurut hukum adat Bali adalah membentuk keluarga yang
kekal dan bahagia sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Undang-Undang
11
I Nyoman Sirtha, “Strategi dan Pemberdayaan Desa Adat Dengan Pembentukan Forum
Komunikasi Antar Desa Adat”, Makalah, Disampaikan dalam Seminar “Strategi Pemberdayaan
dan Model Desa Adat di Masa Depan”, yang diselenggarakan oleh Kerjasama Pusat Pengkajian
Pedesaan dan Kawasan (P3K) dengan DPD KNPI Propinsi Bali, Denpasar, hlm 1.
12
Ida Bagus Anom, 2010, Perkawinan Menurut Adat Agama Hindu, Kayumas Agung,
Denpasar, hlm. 4.
13
Gede Panetje, 2004, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas Agung,
Denpasar , hlm. 23.
56
Perkawinan serta menjaga keseimbangan antara skala dan niskala untuk mencapai
sebuah keluarga yang ideal dan diharapkan bisa mendapatkan keturunan terutama
hukum nasional pada umumnya. Hukum tidak hanya tertulis dalam suatu aturan
perkembangan sosial masyarakat. Dari hal inilah dinilai hukum dapat berkembang
adanya delapan bentuk perkawinan, yang terdiri dari brahma wiwaha, daiwa
sebagai berikut:14
14
Gde Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta, op.cit, hlm. 136.
57
terdiri dari bapak, ibu dan anak. Anak yang lahir dari perkawinan tersebut
mendapat sanak saudara dan mempunyai hubungan dengan sanak saudara dari
pihak bapak, sedangkan dengan sanak saudara dari pihak ibu, anak tersebut tidak
moral antara anak dengan keluarga dari pihak ibu tetap ada bahkan berkaitan juga
Masyarakat Bali biasanya menyebut saudara dari pihak ibu dengan sebutan saking
pradana, memisan atau memindon ulian meme (sepupu dari pihak ibu) dan lain-
lain.
adat Bali mengenal dua cara, yaitu : (1) Perkawinan yang dilangsungkan dengan
cara memadik (meminang) dan (2) Perkawinan yang dilangsungkan dengan cara
15
Wayan P. Windia dkk, op.cit, hlm 1.
58
dilaksanakan dan segala sarana upakara yang digunakan sesuai dengan tata cara
perkawinan menurut agama Hindu, maka perkawinan itu dinyatakan sah dan
bermasyarakat. Perubahan yang terjadi itu harus tetap dikendalikan sehingga tetap
terjaga keteraturan dan keseimbangan dari sistem adat itu sendiri. Sistem kapan
pun bisa berubah mengikuti kebutuhan hidup masyarakat dan harus tetap dijaga
agar tidak mengganggu keseimbangan sistem adat yang telah ada. Perubahan yang
dimaksud dalam hal ini yaitu munculnya bentuk perkawinan baru yang mengikuti
bentuk perkawinan pada gelahang ini harus dilihat bagaimana penerapan dan
pada sistem kekeluargaan ini menempatkan pihak laki-laki dan pihak perempuan
setara, yang dimana hal ini berarti terjadinya pergeseran dari sistem kekeluargaan
59
suami istri tersebut menjadi kebapaan dan ibu secara bersama-sama, yang dimana
pada umumnya berstatus kekeluargaan kebapaan (purusa). Dalam hal ini sama
artinya bahwa pasangan suami istri itu mempunyai hak dan kewajiban yang sama,
baik pada keluarga pihak suami maupun pada keluarga pihak istri sehingga sering
memiliki beberapa faktor yang melatarbelakangi pasangan suami istri tersebut dan
gelahang, seperti:16
dilakukan karena pasangan suami istri tersebut terlahir sebagai anak tunggal
mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya,
16
Ibid, hlm. 52.
60
ada juga yang melangsungkan perkawinan pada gelahang karena di desanya tidak
Pengertian akibat hukum yaitu suatu akibat yang dapat ditimbulkan oleh
hukum terhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh subyek hukum. 17 Maka dari
itu, perkawinan yang merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek
khususnya dalam hal ini yaitu perkawinan pada gelahang tetap mengacu pada
hukum terhadap pasangan suami istri tersebut, harta perkawinan serta anak-anak
perkawinan tersebut harus memenuhi syarat sahnya suatu perkawinan. Agar suatu
menimbulkan suatu akibat hukum maka perkawinan itu harus memenuhi syarat
17
Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Edisi 2, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 192.
18
Munir Fuady, 2014, Konsep Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 15.
61
antara suami dan istri untuk melangsungkan hidup bersama-sama, dan tentu
mengakibatkan hak dan kewajiban terhadap kedua belah pihak. Setiap suami
mempunyai hak dalam keluarga, begitu juga seorang istri dalam suatu perkawinan
memiliki haknya. Adapun pengertian hak dalam hal ini adalah sesuatu yang
merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang bersangkutan yang
diperoleh dari hasil perkawinan. Hak ini dapat dihapus apabila yang berhak rela
haknya tidak dipenuhi atau dibayar oleh pihak lain 19 sedangkan yang dimaksud
dengan kewajiban adalah hal-hal yang wajib dilakukan oleh salah seorang dari
suami atau istri untuk memenuhi hak dari pihak lain. Mengenai hak dan
kewajiban suami istri dalam perkawinan telah diatur dalam Pasal 30 sampai
Suatu perkawinan dalam sistem hukum adat Bali, tidak hanya menyatukan
belah pihak dalam sistem adat. Hak dan kewajiban yang harus ditanggung dalam
orang tua dari kedua belah pihak, adanya hak dan kewajiban terhadap harta
warisan dalam keluarga, adanya tanggung jawab dari para pihak terhadap
pemeliharaan dari tempat suci di dalam rumah (sanggah atau merajan) dan lain
sebagainya. Tidak hanya hak dan kewajiban dalam keluarga, tetapi juga ada hak
19
Soemiyati, 2004, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, hlm. 87.
63
misalnya di banjar, desa pakraman, subak baik dalam bentuk ayahan (kewajiban
kerja) maupun pawedalan atau papeson (sumbangan berupa uang atau barang)
Perkawinan, kedudukan pasangan suami istri dalam rumah tangga dan kehidupan
mempunyai konsep sebuah perkawinan yang memiliki hubungan yang sangat erat
dengan keluarga dari pihak suami maupun pihak istri. Hal ini juga semakin erat
pada gelahang ini sesuai dengan ajaran agama Hindu dan hukum adat Bali.
Perkawinan pada gelahang yang dimana suami dan istri tetap berstatus sebagai
dilihat apabila telah melakukan beberapa rangkaian proses upacara agama Hindu
dilakukannya upacara mepamit dan perkawinan telah disepakati oleh kedua belah
pihak, orang tua dan keluarga. Adapun akibat yang timbul dari dilangsungkannya
sehingga tetap melanjutkan keturunan di rumah orang tuanya dan pihak laki-laki
pun tetap berstatus sebagai purusa untuk melanjutkan keturunan di rumah orang
64
tuanya. Anak yang lahir dari perkawinan pada gelahang ini yang kemudian
setempat, akan ditentukan sesuai dengan apa yang telah kedua belah pihak
sepakati bersama. Berdasarkan uraian di atas maka bentuk perkawinan ini sering
pada gelahang berstatus sebagai purusa, maka menurut sistem hukum adat Bali
kedua belah pihak harus memikul hak dan kewajiban terhadap kedua keluarga dan
mewarisi harta kekayaan dari orang tuanya, hak mendapatkan ayahan banjar
maupun hal apapun yang berkaitan dengan adat yang berlaku di daerah mereka
masing-masing serta kewajiban yang harus kedua belah pihak pikul yaitu
yang dimiliki oleh pasangan suami istri tersebut selama perkawinan berlangsung.
Akibat hukum dari perkawinan yang berkaitan dengan harta benda dalam
bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
kecuali harta bawaan masing-masing yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan.
Untuk menentukan agar harta yang diperoleh selama perkawinan atau harta
20
Wayan P. Windia dkk, op. cit, hlm. 25.
65
bawaan suami istri menjadi atau tidak menjadi harta bersama, maka suami istri
terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Hal ini dapat dilihat di dalam
dalam pasal-pasal tersebut telah dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang sah dan kedua orang tuanya wajib memelihara
dan mendidik anak tersebut sebaik-baiknya. Hal ini disebabkan karena semakin
termasuk ke dalam kondisi yang tidak dapat diprediksikan. Hal tersebut terjadi
karena tidak dapat diprediksi pasangan suami istri tersebut akan mempunyai anak
berapa banyak atau bisa saja tidak memiliki anak, memiliki hanya seorang anak,
memiliki anak lebih dari satu orang dan bahkan jenis kelamin dari anak yang akan
dilahirkan pun juga tidak dapat diprediksi. Kehadiran anak dalam perkawinan ini
dinilai penting karena anak mempunyai kaitan terhadap pewarisan hak dan
perkawinan pada gelahang ini telah diatur dalam suatu perjanjian atau
kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak dan diketahui oleh keluarganya
21
A. Suriyaman Mustari Pide, 2014, Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan Datang,
Kencana, Jakarta, hlm. 165.
66
tersebut yaitu secara otomatis memikul dua hak dan kewajiban sekaligus, kecuali
adanya kesepakatan tertentu yang telah dibuat oleh orang tuanya. Hal ini terjadi
sebagai suatu keberlanjutan tanggung jawab dari orang tua kepada anak-anak
mereka.
Memikul dua tetegenan (tanggung jawab) yang diwariskan oleh orang tua
kepada anak-anaknya tentu bukanlah hal yang mudah bagi anak-anak tersebut.
Apalagi tanggung jawab itu terus berlanjut kedepannya sampai anak-anak tersebut
dewasa dan akhirnya menikah. Waktu yang terus berlanjut ini tidak dapat
semakin berat apabila anak ini melangsungkan perkawinan dengan anak yang juga
lahir dari perkawinan pada gelahang. Bagitu juga dengan kondisi ekonomi dari
orang tua maupun anak tersebut juga tidak dapat terprediksi karena tidak ada yang
bisa memastikan kondisi ekonomi seseorang, ibarat roda kehidupan yang terus
berputar.
mengacu pada Undang-Undang Perkawinan. Maka dari itu, dapat dilihat akibat
hukum yang timbul dari adanya perkawinan pada gelahang tidak berbeda jauh
dari apa yang telah dipaparkan di atas. Perbedaannya dapat dilihat dalam hal
status antara suami istri tersebut sama-sama masih sebagai purusa yang
perkawinan pada gelahang ini disesuaikan dengan kesepakatan yang telah dibuat
dalam hal ini yaitu adanya perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pihak-pihak
disaksikan oleh masing-masing orang tua dan masing-masing keluarga dari pihak
pertama dan pihak kedua yang sepakat akan melagsungkan perkawinan pada
gelahang. Bentuk perkawinan pada gelahang dipilih oleh kedua belah pihak yaitu
untuk mencegah kedua keluarga yang bersangkutan ada dalam keadaan tidak
memiliki penerus atau keturunan. Perkawinan pada gelahang tidak sama dengan
perkawinan pada umumnya yang dilakukan oleh masyarakat adat Bali yaitu
dengan adanya pasobaya mewarang yang mana pasobaya berarti kesepakatan dan
pasangan suami istri dan keluargany. Pasobaya mewarang tidak berbeda jauh
dengan perjanjian perkawinan yang biasa dibuat pada umumnya tetapi, walau
tidak jauh berbeda dengan perjanjian perkawinan pada umumnya, tetap ada
perbedaannya yaitu dapat dilihat pada isi yang ada dalam perjanjian tersebut.
kedudukan pihak pertama dan pihak kedua setelah perkawinan, tanggung jawab
dari para pihak yang harus mereka pikul, kedudukan anak yang lahir dalam
perkawinan tersebut serta hal-hal lainnya yang telah disepakati secara bersama-
sama dan diatur dalam perjanjian tersebut dan diketahui oleh masing-masing
jawab dengan apa yang menjadi kewajiban mereka dirumah masing-masing untuk
tetap menegakkan suatu rumah tangga yang tetap berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa. Adanya perkawinan pada gelahang membuat antara pihak suami
dan pihak istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dikeluarganya masing-
masing karena suami istri tersebut sama-sama berstatus sebagai purusa. Sekalipun
dengan bentuk perkawinan lainnya yang mana status sebaga kepala keluarga tetap
mewarang tidak mengatur hal tersebut karena hal tersebut bergantung pada
kesepakatan bersama antara suami istri sepanjang tidak ada yang keberatan
dengan hal tersebut. Apapun dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang
melakukan perkawinan pada gelahang, hal tersebut sama seperti pasangan suami
istri yang melakukan bentyk perkawinan pada umumnya, hanya saja pasangan
suami istri yang melakukan perkawinan pada gelahang harus ingat dan wajib
22
Putu Dyatmikawati, op. cit, hlm. 79.
69
kesepakatan antara suami dan istri yang diketahui oleh masing-masing orang tua
dan keluarga serta diketahui oleh masing-masing prajuru tempat pasangan suami
sedangkan dalam pasobaya mewarang, tidak hanya harta saja yang diatur tetapi
keluarga dan masyarakat, kedudukan anak yang lahir dalam perkawinan tersebut
serta hal-hal lainnya yang telah pasangan suami istri tersebut sepakati bersama.
Tujuan kedua belah pihak memilih perkawinan pada gelahang yaitu untuk
(swadikara) dari orang tua ataupun leluhur dari masing-masing pihak, baik
kepastian hukum dikemudian hari terkait dengan tanggung jawab yang harus
dipikul oleh pasangan suami istri yang bersangkutan dalam keluarganya masing-
gelahang disertai dengan adanya suatu perjanjian yang dalam hal ini disebut
Hakikat suatu perjanjian pada umumnya sama yang mana berisi kehendak
dari para pihak yang mengikatkan dirinya untuk melaksanakan sesuatu dari apa
yang telah mereka perjanjikan. Hal tersebut sama juga dengan dibuatnya
sama saja dengan perjanjian seperti apa yang dijelaskan dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu suatu perbuatan dengan mana salah satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
jika dikemudian hari timbul suatu permasalahan. Sekalipun setiap pasangan suami
istri tidak menginginkan adanya permasalahan dalam rumah tangga mereka, tetapi
ketika permasalahan itu muncul, pasobaya mewarang yang telah dibuat dapat
secara kekeluargaan dan masing-masing pihak mengetahui dan sadar akan hak
apapun kehendak yang dituangkan oleh kedua belah pihak isinya tidak boleh
dalam pasobaya mewarang mengatur mulai dari identitas para pihak, hak dan
23
Putu Dyatmikawati, 2018, Perkawinan Pada Gelahang Perspektif Undang-Undang
Perkawinan, Swasta Nulus, Denpasar, hlm. 42.
24
Ibid, hlm. 43.
71
Adanya perjanjian atau kesepakatan yang dipilih oleh kedua belah pihak,
orang tua dan keluarganya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya.
Adanya perjanjian ini dapat dijadikan suatu dokumen yang memiliki kekuatan
hukum jika dikemudian hari dalam perkawinan tersebut terjadi permasalahan atau
sengketa. Perjanjian ini juga merupakan suatu bentuk negosiasi antara dua pihak
yang terlibat yaitu pihak laki-laki dan pihak perempuan sehingga apa yang
hukum bersegi dua atau dengan katalain yaitu perbuatan hukum yang dilakukan
oleh dua pihak karena terjadinya perjanjian perkawinan tersebut akibat dari
adanya persetujuan atau kesepakatan dari kedua belah pihak. Dalam Pasal 29
harta benda suami dan istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari
asas-asas atau pola yang telah ditetapkan oleh undan-undang yang berlaku”. 25
25
H. M. Anshary, 2014, Kedudukan Anak dalam Hukum Islam dan Nasional, CV. Mandar
Maju, Bandung, hlm. 190.
72
perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada
perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang tertulis antara calon
suami dan calon istri yang akan melangsungkan suatu perkawinan yang dimana isi
dari perjanjian tersebut dapat ditentukan sendiri oleh kedua belah pihak.
tersebut dilangsungkan yang dalam hukum adat bukan saja kedua calon pasangan
suami istri yang terlibat melainkan juga termasuk keluarga dari masing-masing
pihak. Hal yang paling dasar ada dalam perjanjian perkawinan itu seperti
perjanjian mengenai status dan kedudukan suami istri setelah terjadi perkawinan,
apakah masuk dikerabat suami atau masuk di kerabat istri bahkan bisa saja
keduanya. Apapun isi dari perjanjia tersebut, perjanjian itu dibuat secara tertulis
Pasobaya Mewarang. Pasobaya mewarang ini dibuat oleh pasangan calon suami
dan calon istri sebelum atau pada waktu berlangsungnya perkawinan. Pasobaya
mewarang ini pun disetujui dan diketahui oleh pasangan suami istri, orang tua
masing-masing pihak dan prajuru dari masing-masing daerah asal para pihak.
Adapun tujuan dari dibuatnya pasobaya mewarang ini tidak jauh berbeda dengan
jawab dari suami istri tersebut seperti bagaimana persiapan perkawinan, dimana
26
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1980, Hukum Orang dan Keluarga,
Alumni, Bandung, hlm. 57.
73
setelah perkawinan dan berbagai hal yang akan disepakati oleh kedua belah pihak
dan keluarganya.
saja, melainkan juga adanya ikatan adat dan ikatan kekeluargaan. Terjadinya suatu
perkawinan tidak hanya membawa akibat terhadap pasangan suami istri, harta
bersama dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu tetapi juga mempunyai
hanya itu saja, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mentaati segala perintah
dan menjauhi segala larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan
gelahang. Dalam perkawinan pada gelahang ini, kedua belah pihak bersama-
sama mempunyai dua tanggung jawab. Tanggung jawab tersebut yaitu berupa
kewajiban (swadharma) dan hak (swadikara) baik di dunia nyata (sekala) dan di
dunia tidak nyata (niskala). Apapun yang dilakukan oleh pasangan suami istri
diketahui arti dari perjanjian itu sendiri. Istilah perjanjian yang ada dalam hukum
merupakan salah satu instrumen yang sangat penting untuk tetap menjaga hak dan
kewajiban dari para pihak yang bersangkutan, hal ini ditegaskan bahwa “In
general, a promise that performance of which his economic significant, gives rises
to right which will be protected by court action, where is a promise which has
only social significant does not give rise to such rights”.28 Ini berarti secara umum
sedangkan suatu perjanjian yang dengan makna sosial tidak memberikan hak-hak
tersebut.
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”. Hal ini berarti perjanjian pada umumnya
berisi kehendak dari para pihak yang mengikatkan dirinya untuk melaksanakan
suatu perjanjian. Sejak perjanjian itu dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak
maka para pihak yang bersangkutan telah mempunyai hak dan kewajiban terhadap
syarat:
27
Munir Fuady, op.cit, hlm. 13.
28
Harold F, Lusk, 1969, Bussines Law : Principle and Cases, Homewood, Richard D.
Irwin, Inc, Illinois, hlm. 82.
75
Perjanjian ini biasanya dibuat secara tertulis. Adapun tujuan dari perjanjian
yang dibuat secara tertulis ini yaitu untuk memberikan kepastian hukum bagi para
pihak yang bersangkutan dan sebagai alat bukti yang sempurna pada saat
bahwa:
untuk mengatur beberapa hal dalam perkawinan mereka yang berwujud dalam
suatu perjanjian. Dalam sebuah perjanjian juga berlaku beberapa asas yang dapat
29
Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 97.
76
30
BN Marbun, 2009, Membuat Perjanjian Yang Aman dan Sesuai Hukum, Puspa Swara,
Jakarta, hlm. 5.
31
Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir Dari
Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, Hlm. 67.
77
dari perjanjian yang dibuat hanya mengikat para pihak secara personal,
tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak terlibat atau tidak memberikan
kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dalam
membuat perjanjian dan tidak dapat mewakili orang lain untuk membuat
perjanjian. Asas kepribadian ini dapat dilihat pada Pasal 1340 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang mana ketentuan yang ada dalam
pasal tersebut dapat dikecualikan sebagaimana dengan apa yang dijelaskan
dalam Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
6. Asas kepercayaan yaitu seseorang yang membuat suatu perjanjian
sehingga menimbulkan sebuah perikatan dengan orang yang lainnya,
antara para pihak harus ada kepercayaan bahwa mereka akan bersama-
bersama saling memenuhi prestasi. Sikap saling percaya dalam membuat
dan melaksanakan suatu perjanjian sangat penting karena dengan sikap
saling percaya antara pihak yang satu dengan yang lainnya maka dapat
meminimalisir terjadinya suatu permasalahan yang berkaitan dengan
perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
masyarakat yang tidak tunduk pada hukum barat tentunya tidaklah popular seperti
orang-orang yang memang tunduk pada hukum barat. Bagi masyarakat yang
pembuatan perjanjian perkawinan merupakan suatu hal yang biasa atau lumrah
permasalahan atau sengketa yang bisa timbul dikemudian hari selama perkawinan
perkawinan tidak hanya dibuat oleh masyarakat yang tunduk pada hukum barat
melainkan perjanjian perkawinan sudah dapat dijadikan alternatif atau solusi bagi
perkawinan mereka.
saja yang harus dibuat dalam pasobaya mewarang ini. Hal ini berarti para pihak
78
bebas menuangkan apapun yang mereka dan keluarga kehendaki selama tidak
melanggar atau bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan aturan yang
berlaku.
Perjanjian perkawinan dibuat secara tertulis dan dibuat atas kesepakatan dari
para pihak. Isi dari perjanjian perkawinan tersebut diserahkan kepada para pihak
ini termasuk ke dalam hukum perjanjian Buku Ketiga tentang Perikatan dalam
undang tidak mengatur secara khusus mengenai tujuan dari perjanjian perkawinan
tersebut sedangkan dalam pasobaya mewarang ini juga bisa saja diatur mengenai
harta kekayaan tetapi bukan harta bawaan karena masing-masing pihak tidak
1. Dibuat untuk melindungi secara hukum terhadap semua harta benda yang
dimiliki oleh suami istri, baik harta bawaan masing-masing pihak atupun
harta bersama yang mereka miliki.
32
Pugung Solahudin, 2011, Mendapat Hak Asuh Anak dan Harta Bersama di Pengadilan
Agama, Cetakan ke 1, Indonesian Legal Center Publishing, Jakarta, hlm. 18.
79
perkawinan atau yang disebut dengan pasobaya mewarang. Hal ini bertujuan
33
Husni Syawali, 2009, Pengurusan (Bestuur) Atas Harta Kekayaan Perkawina: Menurut
KUHPerdat, Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Islam, Graha
Ilmu, Bandung, hlm. 70.
34
Happy Susanto, op.cit, hlm. 87.
80
untuk mengatur secara jelas mengenai proses dari awal perkawinan termasuk
kelak dikemudian hari serta dibuatnya pasobaya mewarang ini agar salah satu
pihak tidak merasa ada yang dirugikan karena dalam hal ini pihak suami dan
pihak pihak istri adalah sama karena mereka sama-sama tidak meninggalkan
rumahnya masing-masing.
Perjanjian juga merupakan suatu perbuatan yang dimana para pihak yang
bersangkutan bisa memperoleh hak dan kewajiban yang muncul dari akibat-akibat
suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Terikatnya para pihak
yang ada di dalam perjanjian tersebut, tidak hanya sebatas dengan apa yang
diperjanjikan, tetapi juga terhadap beberapa unsur lainnya sepanjang apa yang
dikehendaki secara moral, sehingga asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang
antara dua orang atau lebih yang saling megikatkan diri untuk melaksanakam
35
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 87.
81
merupakan suatu perbuatan hukum yang dimana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya atau mereka saling mengikatkan diri terhadap satu orang atau
lebih. 37
berasal dari kata “janji” yang artinya persetujuan antara dua pihak (masing-
tidak berbuat sesuatu) dan arti dari kata perjanjian itu sendiri adalah persetujuan
(tertulis atau lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, yang mana masing-
masing pihak berjanji akan mentaati apa yang ada dalam persetujuan tersebut.
1. Adanya pihak-pihak. Pihak dalam hal ini adalah subyek perjanjian yang
sedikitnya ada dua orang dan harus mempunyai wewenang melakukan
perbuatan hukum yang sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh undang-
undang.
2. Adanya persetujuan antara pihak-pihak yang bersangkutan yang bersifat
tetap dan bukan merupakan suatu perundingan.
3. Adanya tujuan yang akan dicapai. Maksud dari hal ini yaitu adanya
tujuan dari para pihak yang hendaknya tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.
4. Adanya prestasi yang harus dilaksanakan. Maksud dari hal ini yaitu
adanya prestasi yang merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
kedua belah pihak sesuai dengan syarat-syarat yang telah mereka
perjanjikan.
5. Adanya suatu bentuk tertentu, baik lisan atau tulisan. Hal ini berarti
perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut dapat dituangkan secara
lisan atau tulisan. Hal ini sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
menentukan bahwa dengan suatu bentuk tertentu perjanjian itu
mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak terkait dan sebagai alat
bukti yang kuat.
36
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 78.
37
R. Setiawan, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hlm. 49.
38
Patrik Purwahid, 1991, Hukum Perdata II, Undip, Semarang, hlm. 23.
82
Dengan demikian, dari apa yang telah dipaparkan di ada hal yang
terkandung dari perjanjian itu yang mengartikan bahwa suatu perjanjian itu hanya
melahirkan kewajiban dan prestasi dari satu orang atau lebih kepada satu orang
atau lebih yang berhak atas prestasi yang ditimbulkan dari perjanjian tersebut.
Melaksanakan prestasi dalam hal ini bisa dalam hal harta kekayaan ataupun dalam
hal lainnya. Salah satu bentuk perjanjian tertulis yang sudah mulai banyak dikenal
calon pasangan suami istri untuk mengatur segala akibat-akibat yang terjadi dalam
kedua belah pihak yaitu pihak suami maupun pihak istri. Hal ini mempunyai
tujuan yang mana agar berlaku efektif untuk kedua belah pihak ketika perkawinan
berlangsung.
saja, tetapi juga bisa meliputi beberapa hal penting dalam perkawinan seperti hak
dan kewajiban suami istri selama perkawinan itu berlangsung, para pihak tidak
lain apabila terjadi perceraian atau kematian, mengenai warisan dan hibah,
baik dari segi keuangan dan pendidikan, dan hal-hal lainnya. Perjanjian
perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang akan melangsungkan perkawinan
mengatur tentang perjanjian perkawinan. Isi dari Pasal 29 tersebut memang tidak
jelas menentukan apa saja yang menjadi syarat-syarat dari dibuatnya perjanjian
perkawinan. Namun, jika dilihat dari apa yang dipaparkan dapat dilihat adanya
39
Charles P. Nemeth, 2008, The Paralegal Resource Manual, McGraw-Hill/Irwin, New
York, hlm. 486.
40
Martiman Prodjohamidjojo, 2011, Hukum Perkawinan Dalam Tanya Jawab, Cetakan
Keenam, Edisi Revisi, Indonesia Legal center Publishing, Jakarta, hlm. 22.
84
perbuatan hukum yang dilakukan seperti yang kita ketahui, perjanjian pada
umumnya menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang membuatnya maupun
terhadap pihak ketiga yang ikut berkepentingan dalam perjanjian tersebut. Hal
yang sama juga berlaku terhadap perjanjian perkawinan ini yang dimana juga
Perkawinan. Dari isi pasal tersebut terlihat bahwa perjanjian perkawinan harus
dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis, yang mana nantinya perjanjian tersebut
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Dari kedua pasal tersebut, dapat dilihat bahwa perjanjian
perkawinan apabila tidak didaftarkan maka tetap berlaku bagi para pihak yang
membuatnya karena tidak ada satu pasal pun yang menentukan bahwa perjanjian
perkawinan baru berlaku jika telah didaftarkan. Bisa dilihat juga pada asas
berlaku pada saat terjadinya kata sepakat antara para pihak yang membuatnya.
tetap mempunyai akibat hukum terhadap pasangan suami istri tersebut selama
tetap mengikat kedua belah pihak yang membuatnya, tetapi jika menyangkut
pihak ketiga, apabila perjanjia tersebut tidak didaftarkan maka akibat hukumnya
ketiga.
umum, dapat dilihat apa saja yang menjadi akibat hukumnya sedangkan dalam hal
ini yaitu perjanjian perkawinan pada perkawinan pada gelahang yang disebut
Adapun akibat hukumnya juga terhadap para pihak yang membuatnya. Mengenai
harta dalam perjanjian ini, harta yang masing-masing pihak miliki tetap menjadi
apa saja yang harus dilakukan selama perkawinan itu berlangsung karena ada
tersebut.