Anda di halaman 1dari 15

nama : febbi fitriani

nim : 162111246

kelas : 5g

makul : hukum perkawinan


A. Pengertian perkawinan

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa arab disebut dengan dua
kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari- hari
orang arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi (Amir Syarifuddin,
2006:35). Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau
perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang laki-
laki. Perkawinan menurut Islam ialah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk
hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membemtuk
keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tenteram, bahagia dan
kekal (M. Idris Ramulio, 1985:147).
Dengan demikian Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pengertian
perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.
Apabila pengertian tersebut dibandingkan dengan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan) dan KHI maka pada dasarnya
antara pengertian perkawinan menurut hukum Islam dan menurut UU Perkawinan tidak
terdapat perbedaan prinsipil (Hamid Sarong, 2010:33), sebab pengertian perkawinan
menurut UU Perkawinan ialah: “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam bahasia Indonesia,
perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga
dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh (Kamus Besar Bahas
Indonesia, 1994:456).
Menurut pendapat para ahli antara lain Soedharyo Saimin menyatakan perkawinan
adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara
seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan materil, yakni membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila (Soedharyo Saimin, 2002:6). Ali Afandi
menyatakan perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan. Persetujuan kekeluargaan
dimaksud disisni bukanlah persetujuan biasa, tetapi mempunyai ciriciri tertentu (Ali

2
Afandi, 1984:94). Adapun maksud akad yang sangat kuat dalam Kompilasi Hukum Islam
adalah jika pelaksanaan akat nikah sudah terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan memenuhi syarat dan rukun nikah yang ditentukan oleh syariat
islam dan hukum negara, maka ikatan pernikahan itu tidak begitu mudah putus untuk
mengakhiri hubungan suami isteri. Tali ikatan pernikahan itu tidak dapat diputuskan oleh
pasangan suami isteri dengan alasan yang tidak kuat dan dibuat-buat. Tali ikatan
pernikahan yang sudah terjadi baru dapat diputuskan jika mempunyai alasan yang kuat dan
sesuai dengan ketentuan hukum syariat serta hukum negara dan tidak ada jalan lain untuk
mempertahankan ikatan pernikahan itu untuk tetap kukuh selamalamanya.
Sementara pengertian perkawinan dalam UU Perkawinan mempunyai 4 (empat)
unsur, yakni :
1) ikatan lahir batin, maksudnya dalam suatu perkawinan tidak hanya ada ikatan
lahir yang diwujudkan dalam bentuk ijab kabul yang dilakukan oleh wali menpelai
perempuan dengan menpelai laki-laki yang disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang
disertai penyerahan mas kawin, tetapi ikatan batin yang diwujudkan dalam bentuk adanya
persetujuan yang ikhlas antara kedua calon menpelai dalam arti tidak ada unsur paksaan
dari pihak yang satu kepada pihak yang lain juga memegang peranan yang sangat penting
untuk memperkuat akad ikatan nikah dalam mewujudkan keluarga bahagia dan kekal.
2) antara seorang pria dengan seorang wanita, maksudnya dalam suatu ikatan
perkawinan menurut UU perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria sebagai
suami dengan seorang wanita sebagi isteri. Dengan demikian pasal 1 UU perkawinan
menganut azas monogami.
3) membentuk keluarga Bahagia dan kekal, maksudnya perkawinan bertujuan
untuk memperoleh ketenangan, kesenangan, kenyamanan, ketentraman lahir dan batin
untuk selama-lamanya dalam kehidupan berumah tangga. Dalam arti perkawinan untuk
membentuk sebuah keluarga harus mampu membawa ketenangan dan ketentraman sampai
akhir hayatnya.
4) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maksudnya perkawinan harus
berdasarkan pada ketentuan agama, tidak boleh perkawinan dipisahkan dengan agama.
Dalam arti sahnya suatu perkawinan diukur dengan ketentuan yang diatur dalam hukum
agama.

3
Ahli Ahmad Al-Jurjawi menyatakan Hikmah-hikmah perkawinan antara lain:
1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu banyak, maka
proses memakmurkan bumi berjalan dengan mudah, karena suatu perbuatan yang harus
dikerjakan bersama-sama akan sulit jika dilakukan secara individual.
2. Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika keadaan rumah tangga teratur.
3. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia
masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan.
4. Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cenderung mengasihi orang yang dikasihi. Adanya
isteri akan bisa menghilangkan kesedihan dan ketakutan. Isteri berfungsi sebagai teman
dalam suka dan penolong dalam mengatur kehidupan.
5. Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah (kecemburuan) untuk menjaga
kehormatan dan kemuliaan. Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat
terhadap apa yang tidak dihalalkan untuknya.
6. Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya. Didalamnya terdapat faedah
yang banyak antara lain memelihara hak-hak dalam warisan.
7. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik sedikit. Pernikahan pada
umunya akan menghasilkan keturunan yang banyak.
8. Manusia itu jika telah mati terputuslah seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan
rahmat dan pahala kepadanya. Namun bila masih meninggalkan anak dan isteri, mereka
akan mendoakannya dengan kebaikan hingga amalnya tidak terputus dan pahalanyapun
tidak ditolak.
Sayyid Sabiq juga menyebutkan hikmah-hikmah yang lain, seabagi berikut:
1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya
menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka
banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan, kacau dan menerobos jalan yang jahat.
Kawin merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyakurkan
dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata
terpelihara dari melihat yang haram, perasaan tenang menikmati barang yang halal.
2. Kawin merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasap yang oleh
islam sangat diperhatikan

4
3. Menyadari tanggung jawab beristeri dan menanggung anakanak akan
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan
seseorang.
4. Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah
tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab
antara suami isteri dalam menangani tugas-tugasnya.
5. Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan,
memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan
kemasyarakatan yang oleh islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang
saling menunjang lagi saling menyayangi akan terbentuk masyarakat yang kuat dan
bahagia.

B. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Lahirnya UU Perkawinan pada tanggal 02 Januari 1974 yang berlaku bagi semua
warga negara Republik Indonesia sebagian besar telah memenuhi tuntutan masyarakat
Indonesia. Tuntutan ini sudah dikumandangkan sejak Kongres Perempuan Indonesia
pertama tahun 1928 dengan harapan dapat memperbaiki kedudukan wanita dalam
perkawinan. Masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian pergerakan wanita pada
waktu itu adalah masalah perkawinan paksa, poligami, dan talak yang sewenang-wenang.
Pada tahun 1950-an, pemerintah Indonesia mulai melakukan pengaturan di bidang hukum
perkawinan, dengan dibentuknya Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Nikah, Talak, dan
Rujuk (disingkat NTR). Panitia NTR ini, dengan mengevaluasi pengaturan perkawinan
yang berlaku (warisan pemerintah kolonial Belanda), membuat dua macam Rancangan
Undang-Undang (RUU) perkawinan, yaitu RUU perkawinan yang bersifat umum dan
RUU perkawinan yang bersifat khusus untuk masing-masing agama (Islam, Katholik,
Kristen, Hindu, Buddha) (Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah, 2005:9).
Pada tahun 1958-1959, pemerintah Indonesia telah berusaha membuat Rancangan
Undang-Undang (RUU) sendiri. Tujuannya agar Indonesia tidak lagi mengadopsi UU yang
diwariskan oleh pemerintah kolonial belanda. RUU tersebut kemudian dibahas dalam
sidang DPR namun tidak berhasil berwujud undang-undang (Basiq Djalil, 2006:84).

5
Kemudian pada tahun 1967-1971 DPR kembali membahas RUU Perkawinan yang berisi
tentang RUU Perkawinan umat Islam yang berasal dari Departemen Agama dan RUU
ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen Kehakiman. Namun,
pembahasan kedua RUU ini pada akhirnya mengalami kemacetan karena Fraksi Katolik
menolak membicarakan suatu RUU yang menyangkut hukum agama, karena pada saat itu
wakil golongan Katolik sangat kecil jumlahnya (Taufiqurrohman Syahuri, 2013: 106).
Pada tahun 1973 pemerintah kembali mengajukan RUU kepada DPR melalui
pembicaraan empat tingkat. Tingkat pertama merupakan penjelasan pemerintah atas RUU
tersebut. Tingkat kedua merupakan pandangan umum masing-masing fraksi atas RUU
tersebut dan tanggapan pemerintah atas pandangan umum itu.

Tingkat ketiga berupa rapat komisi (gabungan Komisi III dan Komisi IX) untuk
membahas RUU, yang dalam hal ini diserahkan kepada suatu panitia yang diberi nama
Panitia Kerja RUU Perkawinan. Tingkat keempat, pengambilan keputusan (pengesahan
RUU Perkawinan) dengan didahului pendapat terakhir (stemmotivering) dari masing-
masing fraksi. Setelah melalui pembicaraan empat tingkat antara DPR dan Pemerintah,
maka RUU tersebut diteruskan kepada Sidang Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi
undangundang. Setelah semua fraksi termasuk Menteri Kehakiman diberi kesempatan
untuk menyampaikan pendapatnya, maka pada hari itu juga RUU Perkawinan disahkan
oleh DPR RI menjadi undang-undang. Tepat pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan,
dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lembaran Negara
Nomor 1 Tahun 1974, tambahan Lembaran Negara Nomor 3019/1974 (Jamaluddin,
2009:75).

C. Pencatatan Perkawinan

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.itu. Namun tiap-tiap
perkawinan perlu dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masalah

6
pencatatan perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa pasal peraturan perundang-
undangan. Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan mengatur bahwa :”Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 5 KHI mengatur
bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, setiap perkawinan
harus dicatat (ayat (1)). Untuk pencatatan pernikahan itu dilakukan oleh pegawai pencatat
nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk seperti yang
termuat didalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan
Nikah, Talak, dan Rujuk Jo, Undang-undang 32 Tahun 1954. Kemudian pada pasal 6 KHI
dijelaskan “setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan dibawah pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah ( ayat 1). Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pencatatan perkawinan juga terdapat didalam PP Nomor 9 Tahun 1975 yang
merupakan Peraturan Pelaksanaan dari UU Perkawinan. Fungsi pencatatan perkawinan
terdapat dalam penjelasan umum UU Perkawinan: “Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah
sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta
yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Jadi, dari penjelasan pencatatan perkawinan di
dalam UU Perkawinan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 serta PP Nomor 9 Tahun
1975 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari UU Perkawinan, dapat disimpulkan
bahwa sekalipun bukan merupakan syarat sahnya suatu perkawinan, pencatatan
perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan, karena
pencatatan itu merupakan syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh negara dan
hal ini membawa banyak konsekuensi hukum bagi yang bersangkutan (Beni Ahmad
Saebani, 2001: 88).
Nikah yang tidak dicatat pada pegawai pencatat nikah selaku pengawas nikah bagi
orang yang beragama islam akan dikenakan sanksi hukum. Hal ini pasal 3 ayat (1) UU No.
22 Tahun 1946 menegaskan barangsiapa yang melakukan akad nikah dengan seorang
perempuan tidak dibawah pengawasan Pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau
oleh Pegawai yang ditunjuk dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,00,- (Lima Puluh
Rupiah). Masalah sanksi bagi yang melangsungkan perkawinan yang tidak melaporkan
kepada pegawai pencatat perkawinan juga diatu dalam pasal 45 PP No. 9 Tahun 1979 yang

7
menegaskan siapa saja yang melangsungkan perkawian tidak sepengetahuan pegawa
Pencatat dihukum dengan hukuman denda Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Di
dalam ketentuan PP No. 9 Tahun 1979 tersebut hukuman tidak hanya kepada pihak yang
melangsungkan perkawinan yang tidak sepengetahuan pegawai Pencatat, tetapi kepada
kepada pegawai pencatat yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini juga akan dikenakan hukuman denda 3 (tiga) bulan kurungan atau
denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).

D. Akibat Hukum Dari Dicatat/Tidaknya Perkawinan

Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan adalah untuk menjamin ketertiban


hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan
hukum, disamping sebagai salah satu alat bukti perkawinan. Seperti yang telah
dikemukakan di atas bahwa pencatatan perkawinan bukanlah peristiwa hukum, tetapi
merupakan peristiwa penting, sama halnya dengan kelahiran,kematian, dan peristiwa
penting lainnya. Oleh sebab itu, pencatatan perkawinan menjadi sangat penting karena
kelak dapat menjadi alat bukti yang sah bahwa telah terjadi perkawinan diantara kedua
belah pihak.
Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan tidaklah
mengganggu keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum Islam
karena sekedar menyangkut aspek administratif. Hanya saja jika suatu perkawinan tidak
dicatatkan, maka suami istri tersebut tidak memiliki bukti otentik bahwa mereka telah
melaksanakan suatu perkawinan yang sah. Akibatnya, dilihat dari aspek yuridis,
perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum
(no legal force). Oleh karena itu, perkawinan tersebut tidak dilindungi oleh hukum, dan
bahkan dianggap tidak pernah ada.
Jika ditinjau dari aspek politis dan sosiologis, tidak mencatatkan suatu perkawinan
akan menimbulkan dampak yaitu :
a. Masyarakat muslim Indonesia dipandang tidak mempedulikan kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam bidang hukum, yang pada akhirnya sampai
pada anggapan bahwa pelaksanaan ajaran Islam tidak membutuhkan

8
keterlibatan negara, yang pada akhirnya lagi mengusung pandangan bahwa
agama harus dipisahkan dari kehidupan kenegaraan, yang dikenal dengan
istilah Sekularisme.
b. Akan mudah dijumpai perkawinan sirri / perkawinan dibawah tangan, yang
hanya peduli pada unsur agama saja dibanding unsur tata cara pencatatan
perkawinan.
c. Apabila terjadi wanprestasi terhadap janji perkawinan, maka peluang untuk
putusnya perkawinan akan terbuka secara bebas sesuka hati suami atau istri,
tanpa adanya akibat hukum apapun, sehingga hampir semua kasus berdampak
pada wanita yang kemudian akan berakibat buruk kepada anak-anaknya
(Anshary, 2010:30).

Indonesia telah memiliki beberapa peraturan perundangundangan tentang


pencatatan perkawinan bagi orang Islam, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
bagi Orang Islam;
2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
3) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang
Pencatatan Nikah;
4) Keputusan bersama Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan haji dan
Dirjen Protokoler dan Konsuler Nomor 280/07 Tahun 1999, Nomor: D/447/Tahun 1999
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri.

E. Tujuan Pernikahan

Pasal 3 KHI merumuskan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sedangkan tujuan
pengertian menurut UU Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan untuk

9
membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia yang dimaksud dalam UU Perkawinan sama
dengan tujuan perkawinan yang terdapat dalam KHI.
Tujuan pernikahan untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah,
suatu rumah tangga yang didalamnya terjalin keharmonisan diantara suami istri yang saling
mengasihi dan menyayangi sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah
tangganya, dan terciptalah kebahagiaan dalam rumah tangga tersebut. Selain itu, tujuan
dari disyariatkannya perkawinan adalah untuk mendapatkan anak keturunan yang sah
untuk generasi yang akan datang. Islam menganjurkan kepada umatnya untuk memilih
pasangan suami istri yang baik (agamanya) sehingga dapat melahirkan keturunan (generasi
pengganti) sebagaimana yang diharapkan.

F. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Rukun dan syarat perkawinan dalam hukum Islam merupakan hal penting demi
terwujudnya suatu ikatan perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan.
Rukun perkawinan merupakan faktor penentu bagi sah atau tidak sahnya suatu perkawinan.
Sedangkan syarat perkawinan adalah faktor-faktor yang harus dipenuhi oleh para subjek
hukum yang merupakan unsur atau bagian dari akad perkawinan (Neng Djubaidah,
2012:107).
Menurut pasal 14 KHI, rukun nikah terdiri atas lima macam yaitu adanya:
o Calon suami
o Calon istri
o Wali nikah
o Dua orang saksi, dan
o Ijab dan Kabul

Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin.
Namun, hukum Islam memberikan batasan umur kepada calon mempelai laki-laki dan
calon mempelai perempuan yang ingin menikah. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur
sekurang-kurangnya 19 tahun untuk calon mempelai laki-laki dan sekurang-kurangnya 16
tahun untuk calon mempelai perempuan (lihat Pasal 15 KHI). Setelah adanya kedua

10
mempelai, maka selanjutnya harus ada wali nikah. Dalam perkawinan wali itu adalah
seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad
nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-
laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya. Dalam suatu
perkawinan itu sendiri terdapat lafadz nikah sebagai suatu perbuatan hukum serah terima
pernikahan antara wali dari calon pengantin wanita dengan calon suaminya. Jadi, dalam
pernikahan Islam harus ada Ijab dan Kabul. Jadi sahnya perkawinan menurut hukum Islam
adalah diucapkannya ijab dari wali perempuan dan kabul dari calon suami pada saat yang
sama didalam suatu majelis akad nikah yang disaksikan oleh dua orang saksi (Jamaluddin,
2009: 38-39).

G. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan dapat dimaknai dengan usaha untuk menyebabkan tidak
berlangsungnya suatu perkawinan. Pencegahan perkawinan dilakukan sebelum terjadinya
suatu perkawinan. Pasal 13 UU Perkawinan menyebutkan bahwa, perkawinan dapat
dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Hakikatnya perkawinan dapat dilangsungkan bila sudah ada sebab-sebab,
rukun, dan syaratnya serta sudah tidak ada lagi hal-hal yang menghalangi terjadinya
perkawinan itu. Artinya, pihak keluarga atau pihak-pihak terkait sudah mengevaluasi
sendiri segala pel rsyaratan kelangsungan perkawinan tersebut. Pihak-pihak itu pula yang
akan bertindak apabila melihat adanya syarat-syarat yang belum terpenuhi. Contoh
misalnya, wali tidak akan melaksanakan perkawinan jika ia tahu calon menantunya itu
tidak seagama dengannya. Hal tersebut dapat dilakukan karena didalam Pasal 61 KHI telah
menyatakan bahwa: “tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah
perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaaf ad-din”.
Pencegahan perkawinan biasanya berkenaan dengan masalah kafaah dan mahar. Kafaah
dan mahar merupakan harga diri dan gengsi dalam suatu keluarga. Pihak keluarga
perempuan merasa harga dirinya jatuh bila anak perempuannya kawin dengan lai-laki yang
tidak sekufu atau status sosialnya lebih rendah. Demikian pula mahar yang diterima
seorang anak perempuan lebih rendah dari apa yang diterima oleh anggota keluarganya
yang lain akan merasa harga dirinya jatuh (Amir Syarifuddin, 2006:151). Karena alasan
itulah biasanya anggota keluarganya yang lain akan mencegah terjadinya suatu perkawinan

11
diantara kedua pasangan tersebut. Pasal 14 UU Perkawinan mengatur tentang siapa-siapa
yang dapat mencegah terjadinya perkawinan.
Lebih lengkapnya seperti tertera dibawah ini:
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan
lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon
mempelai dan pihakpihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada dibawah
pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan
kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan
orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Tujuan dari pencegahan perkawinan ini adalah untuk menghindari suatu
perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Oleh sebab
itu maka suatu perkawinan haruslah memenuhi segala sesuatu yang memang harus
dipenuhi untuk melakukan suatu perkawinan.

H. Perjanjian dalam Perkawinan

Perjanjian perkawinan dibuat oleh calon suami dengan calon isteri jika diperlukan
untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan harta kekayaan atau lain-lainya. Perjanjian
itu harus dibuat sebelum akat nikah dilangsungkan atau pada saat mau melakukan akat
nkah. Perjanjian perkawinan dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum.
Karena hukum perkawinan bersifat fakultatif lebih banyak mengatur, maka dalam beberapa
hal boleh disimpangi dengan memmbuat perjanjian perkawinan. Dalam KUH Perdata
tentang perjanjian kawin umumnya ditentukan dalam pasal 139 sampai dengan pasal 154.
Menurut ketentuan pasal 139, bahwa “dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon
suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan Undang-
undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila
yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan dibawah ini
menurut pasal berikiutnya. Hal ini terjadi karena dalam KUH Perdata semenjak
perkawinan berlangsung semua harta menjadi harta bersama, termasuk harta yang sudah

12
diperoleh sebelum perkawinan oleh masing-masing dari pasabgan suami isteri itu. Apabila
harta yang telah diperoleh sebelum perkawinan berlangsung tidak ingin dimasukkan
kedalam harta bersama, maka harus dibuat perjanjian antara calon suami dengan calon
isteri sebelum terjadi akat nikah. Jika sudah dilakukan akat nikah, perjanjian itu tidak boleh
dibuat lagi, karena secara hukum harta iru sudah menjadi harta bersama. Meskipun
dibenarkan membuat perjanjian kawin, namun tidaklah dibenarkan sekenhendak hatinya,
melainkan harus menjaga etika dan moral yang baik. Perjanjian perkawinan juga diatur UU
Perkawinan. Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut (ayat (1)). Perjanjian
tersebut tidak dapat disahkan bilamana melangar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan
(ayat (2). Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan (ayat (3).
Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari
kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga (ayat (4)).

13
LAMPIRAN

Judul Buku: Buku Ajar Hukum Perkawinan


Cetakan Pertama: 2016 Hak Cipta © dilindungi Undang-undang. All Rights
Reserved
Penulis: Prof. Dr. Jamaluddin, S.H., M.Hum. Nanda Amalia, SH, M.Hum.
Editor: Dr. Faisal, S.Ag, SH, MH
Perancang Sampul:
Penata Letak:
Pracetak dan Produksi: Unimal Press
Penerbit: Unimal Press
Unimal Press
Jl. Sulawesi No.1-2 Kampus Bukit Indah Lhokseumawe 24351 PO.Box. 141.
Telp. 0645-41373. Fax. 0645-44450
Laman: www.unimal.ac.id/unimalpress.
Email: unimalpress@gmail.com
ISBN: 978-602-1373-44-6
xvii + 200 hal., 14,8 cm x 21 cm

14
FOTO BUKU

15

Anda mungkin juga menyukai