Anda di halaman 1dari 11

MAKNA PERKAWINAN

(Indonesia, Thailand, Malaysia)

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Hukum Keluarga di Negara-Negara Islam

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Abdul Hadi, M.Ag

Disusun oleh :

1) M. Irham Maulana ( 1902016137 )


2) Izzul Mutho’ ( 1902016138 )
3) Khoirunnisa ( 1902016142 )
4) Malihaturrohma ( 1902016169 )

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini sering
terjadi di belahan bumi manapun dan terjadi kapanpun. Pernikahan itu sendiri merupakan
proses bersatunya dua orang insan manusia yang saling berkomitmen dan mengikat.

Pernikahan itu sendiri berawal dari sebuah hubungan dan cinta, dan mulai adanya
keinginan untuk mengikat atau berkomitmen. Harapan utama sebuah pernikahan adalah
meraih kebahagiaan. Dengan perasaan kasih sayang yang dimiliki oleh masing-masing
pasangan akan membuat sebuah hubungan harmonis yang nantinya akan berakhir dengan
sebuah kebahagiaan.

Hukum Perkawinan Islam menurut asalnya disebut Fiqh Munakahat adalah ketentuan
tentang perkawinan menurut Islam. Di Indonesia sendiri ketentuan yang berkenaan dengan
perkawinan telah diatur dalam peraturan perundangan Negara yang khusus berlaku bagi warga
negara Indonesia.

Negara Indonesia yang merupakan sebuah negara yang mempunyai penduduk yang
mayoritasnya Islam sangat berbeda pemberlakuan hukum Islam jika dibanding dengan
Thailand dan Malaysia. Thailand merupakan sebuah negara yang mayoritas penduduknya
beragama Buddha, tentu saja hukum yang berlaku pada umumnya adalah hukum nasional
umum yang meliputi dari hukum perdata dan hukum pidana. Malaysia adalah sebuah negara
yang berasaskan negara Islam. Undang-undangnya pun bersumber atau menggunakan hukum
Islam, meskipun ada sebagian sumber hukumnya yang mengadopsi dan bersumber dari produk
hukum Inggris, sebagaimana kita ketahui, Malaysia adalah bekas jajahan dari negara Inggris,
ironis sekali kalau undang-undangnya tidak mengambil dari pada hukum negara tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi Pernikahan?
2. Bagaimana Hikmah Pernikahan?
3. Bagaimana Hukum Pernikahan?
4. Bagaimana Anjuran untuk Menikah?
5. Apa Prinsip-prinsip Pernikahan?

C. Tujuan
1. Mengetahui Definisi Pernikahan
2. Mengetahui Hikmah Pernikahan
3. Mengetahui Hukum Pernikahan
4. Mengetahui Anjuran Pernikahan
5. Mengetahui Prinsip-prinsip Pernikahan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pernikahan
1. Definisi Pernikahan di Indonesia

Perkawinan di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut


tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan ‘Perikatan Keagamaan’. Hal ini
dilihat dari tujuan perkawinan yang dikemukakan dalam pasal 1, bahwa perkawinan itu
bertujuan “untuk membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.1

Pernikahan merupakan suatu proses awal terbentuknya kehidupan keluarga dan


merupakan awal dari perwujudan bentuk-bentuk kehidupan manusia. Kehidupan sehari-
hari manusia yang berlainan jenis kelaminya yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa
laki-laki dan perempuan dikatakan perempuan secara alamiah mempunyai daya tarik-
menarik antara yang satu dengan yang lain untuk berbagai kasih sayang dalam
mewujudkan suatu kehidupan bersama atau dapat dikatakan ingin membentuk ikatan lahir
dan batin untuk mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia, rukun dan
kekal.

Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 tujuan pernikahan


adalah “untuk membentuk keluarga rumah tangga. Yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhan Yang Maha Esa”. Untuk itu suami istri perlu adanya saling membantu dan
melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiaanya untuk mencapai
kesejahteraan spiritual dan material. Dapat mencapai kebahagiaan tersebut di harapkan
kekekalan dalam sebuah pernikahan, yaitu bahwa orang melakukan pernikahan tidak akan
bercerai kecuali cerai karena kematian atau dengan kata lain menikah sekali seumur hidup.
2. Definisi Pernikahan di Thailand

Thailand mendefinisikan pernikahan yang sah itu harus dicatat, maka kelakuan itu
menjadi berkekuatan dan berakibat hukum. Secara agama, pencatatan perkawinan harus
di Majlis Agama Islam (สำนักคณะกรรมกำรอสิ ลำม) atau di masjid, bukan di Pengadilan negeri.

Setelah acara perkawinan di Majlis Agama Islam (MAI) , barulah dicatatkan kembali di

1
Undang-Undang Perkawinan RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1.
pengadilan negeri. Oleh karena itu, jika terjadi suatu permasalahan misalnya ingin bercerai
yang berhak memutuskan adalah majlis Agama islam bukan pengadilan negeri, dan
perceraian tersebut langsung diputuskan oleh imam-imam di masjid masing-masing.

Hukum perkawinan yang berlaku di Thailand dalam กฏหมำยแพ่ง (Hukum Perdata).

Thailand mengatur urusan perkawinan dalam Buku ke 5 dari The Civil and Commercial
Code yang terdiri dari 163 pasal. Undang-undang ini terdiri dari bab Perkawinan yang
mengatur tentang pertunangan, syarat-syarat perkawinan, hubungan suami dan isteri, harta
suami dan isteri, batalnya perkawinan, dan berakhirnya perkawinan.

3. Defini Pernikahan di Malaysia

Malaysia juga mendefinisikan pernikahan mengharuskan adanya pendaftaran atau


pencatatan perkawinan. Proses pencatatan secara prinsip dilakukan setelah Akad Nikah.
Proses pencatatan ada tiga jenis diantaranya :

a. Pertama, untuk yang tinggal di negeri masing-masing pada dasarnya pencatatan


dilakukan segera setelah selesai akad nikah, kecuali Kelantan yang menetapkan
tujuh hari setelah akad nikah dan pencatatan tersebut disaksikan oleh wali, dua
orang saksi dan pendaftar.
b. Kedua, orang asli Malaysia yang melakukan perkawinan dikedutaan Malaysia yang
ada diluar negeri.
c. Ketiga : Orang Malaysia yang tinggal di luar negeri dan melakukan perkawinan
tidak di kedutaan atau konsul Malaysia yang ada di Negara bersangkutan.
B. Hikmah pernikahan

Bentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu berdasarkan ajaran agama
yang di anut masyarakat Indonesia, bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir
lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Untuk itu suami
isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
keperibadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT dalam surah Ar Rum ayat 21 yang artinya:
َ ٰ ْ َّ ً َ ْ َ َّ ً ََّ َّ ْ ُ َ ْ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ َ ِّ ً َ ْ َ ْ ُ ُ ْ َ ْ ِّ ْ ُ َ َ َ َ ْ َ ٰ ٰ ْ َ
‫و ِمن اي ِت ٖٓه ان خلق لكم ِمن انف ِسكم ازواجا ِلتسكنوٖٓا ِاليها وجعل بينكم مودة وَرًَْ ِان ِفي ذ ِلك‬

ِّ َ ْ ُ َّ َ َ َّ ْ َ ِّ ٰ ٰ َ
)٢١-٢١ :30/‫ ( الروم‬٢١ ‫لاي ٍت ِلقو ٍم يتفكرون‬

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk mu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di
antara mu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.2

Berdasarkan ayat di atas, dapat dikemukan bahwa pernikahan dilakukan untuk


mencapai kehidupan keluarga yang sakinah, yaitu keluarga yang tenang, tenteram, damai, dan
sejahtera. Dalam keluarga yang demikian itu terdapat rasa kasih sayang yang terjalin di antara
anggota keluarga, yaitu suami, isteri, dan anakanak.

C. Hukum pernikahan
1. Hukum Pernikahan di Indonesia

Sahnya perkawinan menurut perundangan diatur dalam pasal 2 (1) yang


menyatakan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.3

Sedangkan menurut Kitab Undang-Undang Perdata (BW) bahwa sahnya


perkawinan itu karena adanya kata sepakat yang dinyatakan secara bebas antara kedua
calon suami isteri, jadi tidak boleh adanya paksaan dari salah satu pihak. Bila ada paksaan
maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan atau setelah dilangsungkan dapat dibatalkan
kembali.4

2
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 644.
3
Undang-Undang Perkawinan RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2.
4
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam ( Suatu Analisis Dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: PT. Bumi Aksara 2002), hlm. 55.
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menyatakan dalam Pasal 4
yang bunyi ayatnya: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”

Jadi perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional Indonesia adalah
perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku menurut
agama yang diakui di Indonesia, yaitu hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai
atau keluarganya.

2. Hukum Pernikahan di Thailand

Hukum perkawinan Islam di Thailand diaturkan dalam Undang-Undang tentang


Penerapan Hukum Islam di Provinsi Pattani, Narathiwat, Yala dan Satun BE 2489 (1946)
dan dalam menyelesaikan perkaranya dengan mendasarkan pada sumber hukum tentang
Aturan Hukum Islam tentang Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan. Dalam
pelaksanaan hukum Islam di Thailand sangat terbatas, yakni di segi subjek hukumnya
dibatasi hanya pada hukum keluarga dan hukum kewarisan, di segi wilayah hukum dibatasi
hanya 4 (empat) provinsi bagian selatan yaitu Pattani, Narathiwat, Yala dan Satun.

Di Thailand Undang-undang tentang Penerapan Hukum Islam hanya khusus


berlaku di 4 provinsi saja yaitu di Pronvinsi Patani, Narathiwat, Yala, dan Satun BE 2489
(1946), jika orang yang beragama Islam yang bukan orang di 4 provinsi boleh saja
mengikuti Hukum Islam, tetapi tidak berhak untuk menyelesaikan masalah di Majlis
Agama Islam karena yang bisa menyelesaikan itu orang yang beragama Islam yang tinggal
di empat Provinsi di Thailand Selatan saja.

3. Hukum Pernikahan di Malaysia

Setelah Malaysia merdeka upaya pembaharuan hukum keluarga sudah mencakup


seluruh aspek yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian, bukan hanya
pendaftaran perkawinan dan perceraian seperti pada undang-undang sebelumnya.

Undang-undang perkawinan Islam yang berlaku sekarang di Malaysia adalah


undang-undang perkawinan yang sesuai dengan ketetapan undang-undang masing-masing
negeri. Undang-undang keluarga tersebut diantaranya :5 UU Keluarga Islam Malaka 1983,
UU Kelantan 1983, UU Negeri Sembilan 1983, UU Wilayah Persekutuan 1984, UU Perak
1984 ( No.1), UU kedah 1979, UU Pulau Pinang 1985, UU Trengganu 1985, UU Pahang
1987, UU Selangor 1989, UU Johor 1990, UU Serawak 1991, UU Perlis 1992, dan UU
Sabah 1992.

Dalam masalah hukum keluarga di Malaysia memberlakukan aturan hukum yang


berbeda-beda, tidak semua penerapan hukum yang berlaku di Malaysia sama, akan tetapi
bergantung atas hukum wilayah masing-masing khususnya masalah hukum keluarga.

D. Anjuran Untuk Menikah

Pernikahan adalah salah satu fase kehidupan manusia. Bagaimanapun, tak sedikit orang
yang lebih suka menunda-nunda menikah. Di antara dalih yang sering menjadi alasan mereka,
adalah takut tidak mampu memberikan nafkah. Padahal, ini justru bertolak belakang dengan
pesan Rasulullah SAW. Sabda beliau, "Barangsiapa yang takut menikah karena takut miskin,
maka bukan umatku" (HR Dailami dan Abu Dawud).

Rasulullah SAW juga berpesan, ''Wahai para pemuda, jika salah seorang dari kalian
mampu menikah, maka lakukanlah, sebab menikah itu baik bagi mata kalian dan melindungi
yang paling pribadi'' (HR Bukhari dan Muslim). Hadis di atas mengisyaratkan untuk segera
menikah bila lahir batin, fisik maupun mental, telah mampu. Bahkan, Rasulullah SAW
mempertegas, ''Barangsiapa yang suka syariatku, maka hendaklah mengikuti sunahku. Dan
bagian dari sunahku adalah menikah.'' (HR Baihaqi).

Nikah merupakan ibadah yang didasarkan pada kerelaan, kesediaan, serta berkomitmen
secara tulus untuk merajut rumah tangga sebagai surga yang dipenuhi kasih dan sayang
(mawaddah wa rahmah). Mawaddah secara harfiah berarti kelapangan dan kekosongan.

E. Prinsip-prinsip pernikahan

Musdah Mulia menjelaskan dalam perspektif lain bahwa prinsip-prinsip perkawinan


tersebut ada empat yang didasarkan pada ayat-ayat al-Qur'an.

5
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara; Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan
Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia ( Jakarta : INIS, 2002), hlm. 20-21.
1. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh. Prinsip ini sebenarnya kritik terhadap tradisi
bangsa Arab yang menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, sehingga untuk
dirinya sendiri saja ia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik
pada dirinya. Oleh sebab itu kebebasan memilih jodoh adalah hak dan kebebasan bagi
laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
2. Prinsip mawaddah wa rahmah. Mawaddah wa rahmah adalah karakter manusia yang
tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Jika binatang melakukan hubungan seksual
semata-mata untuk kebutuhan naluri seks dan juga dimaksudkan untuk berkembang
biak, sedangkan perkawinan manusia bertujuan untuk mencapai ridha Allah disamping
tujuan yang bersifat biologis juga membangun rumah tangga untuk membentuk
masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.
3. Prinsip saling melengkapi dan saling melindungi. Prinsip ini didasarkan pada firman
Allah SWT. yang terdapat pada surah al-Baqarah:187 yang menjelaskan istri-istri
adalah pakaian sebagaimana layaknya dengan laki-laki juga sebagai pakaian untuk
wanita. Perkawinan laki-laki dan perempuan dimaksudkan untuk saling membantu dan
saling melengkapi, karena setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan.
4. Prinsip mu’asarah bi al-ma’ruf. Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT. yang
terdapat pada surah an-Nisa: 19 yang memerintahkan kepada setiap laki-laki untuk
memperlakukan istrinya dengan cara yang ma’ruf. Didalam prinsip ini sebenarnya
pesan utamanya adalah pengayoman dan penghargaan kepada wanita.6

6
Abdul Rohman Ghozali, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 24.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkawinan menurut perundangan Indonesia adalah sah apabila dilakukan menurut


hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan menurut Kitab
Undang-Undang Perdata (BW) bahwa sahnya perkawinan itu karena adanya kata sepakat
yang dinyatakan secara bebas antara kedua calon suami isteri, jadi tidak boleh adanya
paksaan dari salah satu pihak.

Negara Thailand Undang-undang tentang Penerapan Hukum Islam hanya khusus


berlaku di 4 provinsi saja yaitu di Pronvinsi Patani, Narathiwat, Yala, dan Satun. Yang
bisa menyelesaikan perkara islam hanya orang yang beragama Islam yang tinggal di empat
Provinsi di Thailand Selatan saja.

Dalam masalah hukum keluarga di Malaysia memberlakukan aturan hukum yang


berbeda-beda, tidak semua penerapan hukum yang berlaku di Malaysia sama, akan tetapi
bergantung atas hukum wilayah masing-masing khususnya masalah hukum keluarga.

B. Kritik dan Saran

Demikian pemaparan yang dapat penulis sampaikan. Tentu penulis menyadari atas
ketidak sempurnaan dari apa yang penulis sampaikan. Karena itu, penulis mohon kritik dan
saran yang membangun, agar penulis bisa memperbaiki dari kesalahan tersebut. Penulis
juga mengucapkan terima kasih bagi yang telah membaca dan memberikan kritik dan saran
atas tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. Al- Qur’an dan Terjemahnya.

Ghozali, Abdul Rohman. 2008. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Nasution, Khoiruddin. 2002. Status Wanita di Asia Tenggara; Studi Terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Jakarta : INIS.

Ramulyo,Mohd. Idris. 2002. Hukum Perkawinan Islam. Suatu Analisis Dari Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Undang-Undang Perkawinan RI Nomor 1 Tahun 1974.

Anda mungkin juga menyukai