Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PERBANDINGAN HUKUM PERDATA TENTANG PERKAWINAN

Di Susun Oleh :

NAMA : PUTRI RUQIATUL HILAL

NPM : 191010180

KELAS : A

Dosen Pengampu :

ESY KURNIASIH S.H, M.H

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM (S1)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM RIAU


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan

rahmat-Nya , saya dapat menyusun Makalah Tugas Perbandingan Hukum Perdata

ini dengan baik dan sistematis.

Dalam penyusunan Tugas Perbandingan Hukum Perdata dengan judul

“Perbandingan hukum tentang Perkawinan “ ini, tak lupa saya menyampaikan

ucapan terima kasih kepada Ibu Esy Kurniasih S.H,M.H sebagai dosen

pengampu dan dosen pengajar Perbandingan Hukum Perdata.

Terima kasih pula kepada seluruh dosen pengajar Fakultas Hukum

UIR karena telah banyak membimbing kami selama di semester V dan kami

berharap dapat menjadi calon Sarjana Hukum yang bermanfaat bagi nusa dan

bangsa.

Demikianlah makalah ini saya sajikan, sekiranya ada kesalahan teknis

dalam penulisan maupun cara penyampaian materi, saya mohon maaf.

i
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR ......................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................ ii

ABSTRAK ........................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ........................................................................... 1

B. Rumusan masalah ...................................................................... 5

C. Tujuan dan manfaat penulisan ................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Perbandingan Hukum mengenai Perkawinan Menurut KUHPer dan

Undang-Undang Perkawinan .....................................................7

B. Perbandingan Hukum Mengenai Perkawinan Menurut Agama-Agama

Yang Ada Di Indonesia ............................................................ 10

C. Perbedaan Hukum Perkawinan Indonesia dengan Hukum Perkawinan

Malaysia ................................................................................... 15

D. Perbedaan Hukum Perkawinan Indonesia dengan Hukum Perkawinan

Singapura ................................................................................. 17

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................. 19

B. Saran ......................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA

ii
ABSTRAK

Perkawinan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan

masyarakat karena perkawinan merupakan dasar terbentuknya keluarga, dimana

keluarga adalah bagian dari masyarakat. Di Indonesia, terdapat 3 (tiga) peraturan

yang mengatur masalah perkawinan, yaitu BW, Undang-Undang Nomor 1 tahun

l974 mengenai Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam. Ketiga aturan tersebut

memiliki perbedaan dalam mengatur masalah perkawinan. 

Perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan

demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya

dikandung dalam kata nikah atau tazwīj dan merupakan ucapan seremonial yang

sacral.

Lebih luas dari itu, yang dimaksudkan dengan perkawinan adalah suatu

ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri

dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang hurus dilaksanakan sesuai

agamanya masing-masing, dan harus juga dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai

berbagai macam kebutuhan dalam hidupnya dan setiap manusia tentu

menginginkan pemenuhan kebutuhannya secara tepat untuk dapat hidup

sebagai manusia yang sempurna, baik secara individu maupun sebagai

bagian dari masyarakat. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah

kebutuhan untuk menyalurkan nafsu seknya merupakan kebutuhan

fisiologis (the physiological needs) yang di kenal dengan istilah

perkawinan (pernikahan), tetapi perlu pula dimaklumi bahwa perkawinan

tidak hanya untuk menyalurkan kebutuhan seks manusia, karena

perkawinan mempunyai makna atau pengertian yang lebih luas lagi.

Melalui perkawinan orang akan mendapat keturunan, maka perkawinan

termasuk juga dalam kelompok kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih

sayang (the belongingness and love needs).1

Istilah kawin sebenarnya berasal dari bahasa Arab, disebut dengan

kata nikah.2 Kata nikah atau na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an

yang kemudian diartikan sama dengan arti kawin, sebagaimana dijelaskan

dalam surat an-Nisa’ ayat 3 yang artinya:

1
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, (New York: Harper & Row Publishers, 1970),
h. 35-47.
2
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an, 1973), h. 468.

1
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka

(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang

demikian itu adalah lebih dekat kepada berbuat anianya”.3

Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting

terhadap manusia dengan berbagai konsekuensi hukumnya. Karena itu,

hukum mengatur masalah perkawinan ini secara detail. Perkawinan

menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan

aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwīj dan merupakan ucapan

seremonial yang sakral.

Lebih luas dari itu, yang dimaksudkan dengan perkawinan adalah

suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,

yang hurus dilaksanakan sesuai agamanya masing-masing, dan harus juga

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.4 Oleh karena

itu, dapat dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan, ikatan dalam arti

nyata atau tidak nyata antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk

tujuan membentuk keluarga, jadi perkawinan bukan hanya sekedar

bertujuan untuk memenuhi hawa nafsu, tetapi percampuran hidup bersama

3
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, h. 115.
4
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), h. 10

2
sebagai suami istri yang berbentuk keluarga atau rumah tangga yang tetap

walaupun perkawinan tidak sah itu adalah perkawinan yaitu perkawinan

yang tidak sah.

Perkawinan adalah sendi keluarga, sedangkan keluarga adalah

sendi masyarakat, bangsa, dan umat manusia. Hanya bangsa yang tidak

mengenal nilai-nilai kehormatan yang tidak mengutamakan tata aturan

perkawinan. Oleh karena itu, masalah perkawinan ini dengan prolog dan

epilognya, pengamanan, dan pengamalan tata aturannya adalah menjadi

tugas suci bagi seluruh warga negara Indonesia.5

Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat

penting dalam kehidupan manusia di dunia manapun. Oleh karena itu,

dibuat aturan terkait tata tertib perkawinan. Aturan tata tertib perkawinan

di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masyarakat sederhana yang

dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat

adat dan atau pemuka agama. Aturan tata tertib itu terus terus berkembang

maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan dan di

dalam suatu Negara. Di Indonesia sendiri, aturan tata tertib yang

berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundangan

negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Aturan

perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk Undang-Undang yaitu

UU No. 1 Tahun 1974. UU ini merupakan hukum materiil atau aturan

yang berisi substansi-substansi terkait perkawinan.

Begitu pentingnya perkawinan, maka juga tidak mengherankan jika

agama-agama di dunia mengatur masalah perkawinan bahkan tradisi atau


5
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.2.

3
adat masyaarkat dan juga institusi Negara tidak ketinggalan mengatur

perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya. Aturan tata tertib

perkawinan sebenarnya sudah ada sejak masyarakat sederhana yang

kemudian dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka

masyarakat adat dan atau pemuka agama.

Hal ini kemudian menjadi bahasan menarik mengingat

Penjajahan/kolonialisme pada masa lalu oleh Belanda kepada Indonesia

tidak hanya menyisakaan kepahitan dan kesengsaraan, banyak sekali

peninggalanpeninggalan yang diwariskan oleh belanda kepada Indonesia,

baik itu teknologi, sistem pemerintahan, ataupun hukum itu sendiri. Salah

satu produk terkenal dari Belanda kepada Indonesia adalah diwariskannya

KUHPer (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dimana mengatur

terkait hukum yang bersifat privat/keperdataan, salah satunya terkait

perkawinan.

Dengan pluralnya jenis-jenis hukum perkawinan yang ada di

Indonesia, dapat dikatakan bahwa pengaturan masalah perkawinan di

Indonesia tidak menunjukkan adanya keseragaman. Tidak hanya itu,

ketidakseragaman tersebut juga terjadi antara Hukum perkawinan

Indonesia dengan Hukum Perkawinan Negara lain. Negara Indonesia yang

merupakan sebuah negara yang mempunyai banyak sumber hukum terkait

perkawinan atau dapat disebut plural tentu saja akan memiliki hukum

perkawinan yang sangat berbeda dengan negara-negara lain yang mana

memiliki aspek historis dan filosofis yang berbeda-beda.

4
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Perbandingan Hukum mengenai Perkawinan menurut

KUHPer dan Undang-Undang Perkawinan?

2. Bagaimana Perbandingan Hukum mengenai Perkawinan menurut

agama-agama yang ada di Indonesia?

3. Bagaimana Perbedaan Hukum Perkawinan Indonesia dengan Hukum

Perkawinan Malaysia?

4. Bagaimana Perbedaan Hukum Perkawinan Indonesia dengan Hukum

Perkawinan Singapura?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai

dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan hukum mengenai

perkawinan menurut KUHper dan undang-undang perkawinan?

b. Untuk mengetahui bagaimana Perbandingan Hukum mengenai

Perkawinan menurut agama-agama yang ada di Indonesia?

c. Untuk mengetahui bagaimana Perbedaan Hukum Perkawinan

Indonesia dengan Hukum Perkawinan Malaysia?

d. Untuk mengetahui bagaimana Perbedaan Hukum Perkawinan

Indonesia dengan Hukum Perkawinan Singapura?

2. Manfaat penulisan

5
Dalam penelitian ini manfaat yang diharapkan bukan hanya bagi

peneliti secara pribadi, akan tetapi juga diharapkan bermanfaat bagi

pihak-pihak yang membutuhkan data, maupun pengetahuan yang

berkaitan dengan materi penelitian ini. Adapun manfaat dari penelitian

yang dilakukan oleh penulis ini sendiri adalah sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

- Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih

ilmu pengetahuan dan manfaat khususnya di bidang ilmu

hukum secara akademis.

- Memberikan masukan terhadap penyempurnaan perangkat

peraturan mengenai perbandingan hak waris anak di luar

perkawinan menurut hukum perdata dan hukum islam.

- Memperluas cakrawala berfikir serta melatih kemampuan

dan keterampilan penelitian ilmiah.

b. Manfaat Praktis

Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat bagi masyarakat serta memberikan sumbangan

pemikiran bagi pihak-pihak yang membutuhkan mengenai

perbandingan hak waris anak di luar perkawinan menurut

hukum perdata dan hukum islam.

BAB II

PEMBAHASAN

6
A. Perbandingan Hukum mengenai Perkawinan Menurut KUHPer dan

Undang-Undang Perkawinan

Masalah perkawinan di Indonesia merupakan suatu hal yang

memerlkukan tatanan yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat

yang ada. Oleh karena itu, jika tidak ada pedoman yang mengikat tentu

banyak pelanggaran dalam pelaksanaan perkawinan. Di Indonesia ada

beberapa hukum yang mengatur tentang perkawinan, diantaranya adalah

KUHPerdata dan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan

terkait perkawinan diatas tidak selalu sama antar satu sama lain baik. 6

Oleh karena itu, untuk dapat menemukan apa yang diatur oleh keduanya

maupun diatur secara berbeda maka dilakukanlah perbandingan ketentuan

terkait Perkawinan antara KUHPerdata dan UU No 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

Pertama,Perkawinan dalam KUHPerdata adalah suatu

persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui

sah oleh UU/peraturan negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan

kesatuan hidup yang abadi. Sedangkan dalam UU No 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antaraseorang

laki-laki dan seorang wanita sebagai suami istriyang bertujuan membentuk

keluarga yang bahagia dankekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

6
Adhisti Friska Paramita, 2007, Perbandingan Sistem Hukum Perkawinan Menurut Kitan Undang-
Undang Hukum Perdata Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan
Kompilasi Hukum Islam (Dalam Hal Terjadi Pelanggaran Perjanjian Kawin, Skripsi Fakultas Hukum,
Universitas Brawijaya : Malang, h. 36

7
Kedua, Sifat hukum perkawinan dan Konsep Perkawinan. Sifat dan

Konsep Perkawinan yang dianut KUHPerdata adalah Yuridis. Dibuktikan

dalam pasal 26 dinyatakan sahnya perkawinan jika syarat-syarat menurut

Undang-undang dipenuhi. 7
Hal tersebut yang menuntun pada dianutnya

Konsep Perkawinan dalam KUHPerdata yang hanya memandang

perkawinan dari segi keperdataan dan semata-mata hanya faktor yuridis

saja. dalam artian Undang-Undang melihat perkawinan itu sah dan syarat-

syaratnya menurut undang-undang dipenuhi. Sedangkan Sifat hukum dan

Konsep Perkawinan yang dianut UU No 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan adalah spesifik dimana dinyatakan bahwa unsur-unsur

biologis, sosiologis dan religius juga diperhatikan. Dibuktikan dalam

pasal 1 UU Perkawinan No. 1/1974 dinyatakan bahwa terdapat 4 unsur

perkawinan, yaitu:8

1) Ikatan laki-laki dan wanita sebagai suami istri

2) Ikatan lahir batin

3) Membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal

4) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa

Ketiga, Syarat-syarat Perkawinan baik menurut KUHPer terbagi

menjadi Syarat Materiil dan Formil. Menurut KUHPerdata, Syarat Materiil

adalah syarat mengenai diri pribadi calon mempelai.

Syarat ini terbagi menjadi:

7
Vide pasal Pasal 26 KUHPerdata
8
Vide pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

8
1) Syarat materiil umum, berarti syarat ini berlaku untuk seluruh perkawinan,

terdiri dari:

a. kata sepakat (Pasal 28 KUHPerdata)

b. Asas yang dianut monogami mutlak (Pasal 27KUHPerdata)

c. Batas usia (Pasal 29 KUHPerdata), Laki-laki berusia 18 tahun dan

wanita berusia 15 tahun

d. Tenggang waktu atau jangka waktu tunggu (pasal 34 KUHPerdata)

wanita adalah 300 hari.

2) Syarat Materiil Khusus, berlaku hanya untuk perkawinan tertentu terdiri

dari:

a. Larangan Perkawinan (Pasal 30, 31, 32, 33 KUHPerdata)

b. Izin kawin (pasal 39 KUHPerdata)

c. Izin mengenai anak-anak luar kawin (pasal 40 dan 42

KUHPerdata)

d. perumusan orang yang sudah berusia 21 tahun tapi belum

mencapai 30 tahun (pasal 35 s.d 38KUHPerdata)

Syarat Formil adalah mengenai tata cara perkawinan baik sebelum

perkawinan maupun setelah perkawinan sebelum perkawinan meliputi

pemberitahuan pasal 50 s.d. 53 KUHPerdata dan pengumuman yang

diumumkan 10 hari.

Sedangkan menurut U No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

tepatnya di pasal 2, perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaanya. Tiap-tiap perkawinan dicatat

9
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat Materiil

dalam menurut U No 1 Tahun 1974, terdiri dari:

1) umum yang terbagi atas:

a. sepakat

b. monogami mutlak

c. usia, Laki-laki berusia 19 tahun dan wanita berusia 16 tahun

d. tenggat waktu tunggu untuk perkawinan kedua, dalam hal

cerai mati selama 130 hari dan dalam hal cerai hidup selama

3 kali suci atau 90 hari

2) khusus

a. larangan (pasal 8 UU Perkawinan)

b. izin kawin (pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan)

Syarat Formil terdiri dari sebelum perkawinan dan sesudah

perkawinan. Syarat Formil sebelum perkawinan meliputi pemberitahuan,

penelitian, pengumuman. Sesudah perkawinan, perkawinan wajib dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Perbandingan Hukum Mengenai Perkawinan Menurut Agama-

Agama Yang Ada Di Indonesia

a. Perkawinan menurut Agama Islam

Perkawinan merupakan sunnah Nabi SAW. Setiap umat Islam

pengikut Nabi Muhammad SAW harus melakukan perkawinan, selain

mengikuti sunah Nabi, perkawinan juga merupakan kehendak

10
kemanusiaan, kebutuhan rohani dan jasmani,9 perkawinan disyariatkan

supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju

kehidupan yang bahagia didunia dan akhirat dibawah naungan cinta Illahi.

Manusia sebagai salah satu makhluk, dianugerahi ketertarikan antara laki-

laki dan perempuan oleh Allah swt. Ketertarikan ini ditandai dengan

diberikannya karunia cinta berupa nafsu seksual sebagai salah satu naluri

yang dimiliki oleh manusia. Naluri tidak akan muncul jika tidak ada yang

mendorongnya.10

Perkawinan dalam Islam menjadi keharusan untuk mentaati

perintah Allah SWT dan perintah Nabi SAW dalam kitab suci Al-Quran

surat An-Nisa ayat 3 menyebutkan:

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil

terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu

mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu

senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan

dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang

kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat

aniaya.”

b. Perkawinan menurut Agama Kristen dan Katholik

Pengertian perkawinan menurut agama Kristen secara doktriner, di

ambil dari dua bahan, yaitu perjanjian lama dan perjanjian baru dalam

perjanjian lama, perkawinan diartikan sebagai gambaran dan tiruan dari

9
Ibid, h.24
10
Iwan Januar, 2007, Sex Before Married?, Gema Insani : Jakarta, hlm.64

11
bimbingan Tuhan. Suami-istri menampakkan dan menghadiahkan cinta

kasih Tuhan dalam hidup cinta mereka. Di dalam perjanjian baru,

pernikahan seseorang Kristen diartikan sebagai suatu ikatan cinta kasih

tetap dan taat yang menggambarkan, melahirkan dan mewujudkan

hubungn cinta kristus dengan gerejanya.11

Sedangkan menurut Agama Katolik perkawinan itu adalah tuntutan

daging atau tuntutan sex supaya jangan berdosa dianjurkan lebih baik

kawin serta orang yang telah bertekad dan dibantu dengan Rahmat Tuhan

dan dengan tujuan secara total mengabdikan dirinya kepada Tuhan dan

Kerajaan Allah, orang yang mau hidup perawan atau tidak kawin itu

merupakan suatu karunia istimewa dan terpuji (istilah gereja).

Dalam pandangan Agama Katolik, kawin atau tidak kawin itu

tergantung dari pada keputusan pribadi dengan motof-motif yang wajar.

sedangkan menurut Agama Kristen (bukan Katolik) pernikahan itu atas

perintah Allah yang menjadikan langit dan bumi dan yang telah

menjadikan laki-laki dan perempuan. dan ini diperkuat dalam Kitab

Kejadian 218 dan juga ayat 21 sampai 24 yang dinyatakan ”tidak sebaik

manusia itu seorang-orangnya bahwa aku hendak memperbuat akan pria

seorang penolong yang sejodoh dengan dia.

c. Perkawinan menurut agama Hindu

Perkawinan menurut agama Hindu (Diambil dari buku karangan

Max Muller jilid 25 yang berjudul: The Law of Manuals). Perkawinan

menurut istilah Hindu sering disebut “WIWAHA”. Dalam perkawinan itu


11
Arso Sosroatmodjo, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 26-27.

12
diatur secara khusus dalam kitab undang-undang agama Hindu yang

dikenal dengan nama “Mawana darma Satwa”. Undang-undang itu sama

dengan Weda yang kedudukanya sebagai sumber hukum yang mengatur

hubungan antara manusia.12

Perkawinan dalam Agama Hindu pada hakikatnya adalah sakral

dan hanya sah kalau dilakukan menurut Agama Hindu itu sendiri. Dalam

kitab Weda bab IX hal 4 mengatakan ”Hendaknya orang tua

mengawinkan anak perempuannya pada waktunya, karena mereka yang

tidak mengawinkan anak perempuannya pada waktunya maka berdosalah

ia, karena dipersalahkan sebagai pembunuh”. Selain itu, tujuan

perkawinan menurut agama Hindu adalah menolong membebaskan arwah

nenek moyang atau orang tuanya dari kawah neraka yang di sebut “PUT”.

Oleh karena itu anak yang dilahirkan dari keluarga tersebut “PUTRA”

Yang artinya membebaskan arwah orang tua dari kawah “Put” itu.13

d. Perkawinan Agama Buddha

Perkawinan menurut Agama Buddha Dalam pandangan Agama

Budha, perkawinan adalah suatu pilihan dan bukan merupakan kewajiban,

artinya seseorang dalam menjalani kehidupan ini boleh memilih hidup

berumah tangga atau hidup sendiri, 14


hidup sendiri dapat 7 menjadi

12
Arso Sosroatmodjo, Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 29.
13
Siti Robikatun, 2020, Status Kewarisan Dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat Bali Akibat
Perpindahan Agama Menurut Hukum Islam (Studi Kasus Di Desa Bukoposo Kecamatan Way
Serdang Kabupaten Mesuji), Skripsi, Fakultas Syariah Uin Raden Intan Lampung : Lampung, H. 6
14
Miftachul Jannah, 2017, Ritus Vivaha Pada Umat Buddha Theravada Di Vihara Suvanna Dipa
Teluk Betung Selatan Bandar Lampung, Skripsi, Fakultas Ushuludiin, Uin Raden Intan Lampung :
Lampung, H. 7

13
pertapa di vihara sebagai bhikshu, sesungguhnya dalam Agama Budha

hidup berumah tangga ataupun tidak adalah sama saja.

Masalah yang terpenting disini adalah kualitas kehidupannya,

namun apabila seseorang berniat untuk berumah tangga maka hendaklah ia

mencintai dan setia pada pasangan yang telah di pilihnya, melaksanakan

tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, orang yang seperti ini

sama dengan pertapa tetapi hidup dalam rumah tangga sikap ini pula yang

dipuji oleh Agama Budha, mencari dan membina pasangan hidup itu suatu

tujuan hidup manusia salah satunya adalah tentang adanya pencapaian

kebahagiaan di dunia dengan demikian pasti ada cara untuk mencapai

kebahagiaan dalam hidup rumah tangga, serta adapula petunjuk dan cara

untuk mendapatkan pasangan hidup yang sesuai serta membina hubungan

baik, mempertahankan komunikasi setelah menjadi suami isteri.

Dalam kitab Agama Budha yaitu “Anguttara Nikaya” menjelaskan

bahwa ada minimal empat sikap hidup yang dapat dipergunakan untuk

mencari pasangan hidup sekaligus membina hubungan sebagai suami isteri

yang harmonis, yaitu:

a. Kerelaan (dana), dalam kitab “Samyutta Nikaya” disebutkan bahwa

sesuai benih yang di tabur demikian pula buah yang akan di petik,

pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan, apabila kita ingin

dicintai orang maka mulailah untuk mencintainya

b. Ucapan yang baik, di dunia ini siapapun pasti akan suka mendengar

tutur kata yang baik, termasuk pula dengan pasangan hidup kata-kata

14
yang baik inilah yang akan menjadi daya tarik yang kuat dalam

menjalankan keharmonisan dalam rumah tangga

c. Melakukan hal yang bermanfaat. Dalam melakukan hal-hal yang

seperti ini akan menambah keharmonisan dalam rumah tangga, tingkah

laku hendaknya diperhatikan untuk membahagiakan orang yang

dicintainya.

d. Batin yang seimbang, kerelaan ungkapan dengan kata yang halus, dan

tingkah laku yang bermanfaat untuk orang yang dicintai, hendaknya

tidak menimbulkan kesombongan

C. Perbedaan Hukum Perkawinan Indonesia dengan Hukum

Perkawinan Malaysia

Perbandingan hukum perkawinan antara Negara Indonesia dengan

Negara Malaysia mengenai perkawinan menghasilkan ditemukannya

perbedaan dikarenakan sistem hukum Malaysia dan Indonesia yang

berbeda, karena Malaysia merupakan Negara bekas jajahan Inggris

sedangkan Indonesia merupakan Negara bekas jajahan Belanda. Jika

dilihat dari hukum yang dibawa oleh kedua Negara penjajah tersebut maka

kita juga bisa melihat bahwa Inggris merupakan Negara yang menganut

sistem hukum Anglo saxon, yang berarti Inggris lebih memakai

Yurisprudensi untuk mengambil suatu tindakan hukum. Sedangkan

Belanda merupakan Negara yang menganut sistem hukum Eropa

Kontinental, yang berarti bahwa Belanda lebih memakai Undang-Undang

untuk mengambil suatu tindakan hukum. Selain itu, bentuk negara, sistem

15
pemerintahan dan sumber hukum dari kedua negara ini berbeda sehingga

dalam pengaturan hukum dan penerapan hukumnya pun juga berbeda.

Secara spesifik, Perbandingan antara Negara Indonesia dengan

Negara Malaysia mengenai perkawinan dapat ditemukan dalam beberapa

hal, yaitu:

1) Setiap wilayah dalam Negara Malaysia (dalam hal ini adalah Negara

bagian) terdapat perbedaan dalam hal prosedur untuk mengajukan

perkawinan dan perceraian dikarenakan kedudukan Malaysia sebagai

Negara Federal.

2) Batas usia Laki-laki yang ingin menikah di Malaysia dan Indonesia

berbeda

3) Malaysia tidak mencantumkan atau memasukkan Perjanjian perkawinan

dalam Hukum perkawinannya.

4) Dalam hal penindakan penyimpangan Poligami dan pasangan yang

berbuat Zina, Malaysia menerapkan konsep Hukum yang lebih tegas.

Tidak hanya itu, Prosedur perkawinan di Negara Malaysia adalah Permohonan

kebenaran menikah di Wilayah Persekutuan dengan cara:

1) Formulir permohonan kebenaran menikah "Formulir 1" berlaku bagi

semua pemohon yang tinggal di Wilayah Persekutuan saja atau untuk

pemohon yang berdomisili di Wilayah Persekutuan tetapi tinggal di luar

Wilayah Persekutuan.

16
2) Formulir permohonan harus di isi dengan lengkap dalam dua salinan

dengan menggunakan tinta hitam atau biru dan disahkan oleh Penolong

Pendaftar Perkawinan, Perceraian dan Ruju 'bagi daerah masingmasing.

3) Menghapus kata salah atau ditindih adalah tidak sah.

4) Pemohon dan wali harus hadir di depan Penolong Pendaftar Perkawinan,

Perceraian dan Ruju 'daerah ketika menandatangani formulir tersebut

untuk tujuan verifikasi

Asisten Pendaftar Perkawinan, Perceraian dan Ruju 'daerah harus

memastikan formulir aplikasi di isi dengan lengkap dan dokumendokumen

berhubungan dengan disertakan sebelum menandatangani formulir itu

beserta dengan cop jabatan Penolong Pendaftar Perkawinan, Perceraian

dan Ruju' daerah.

D. Perbedaan Hukum Perkawinan Indonesia dengan Hukum

Perkawinan Singapura

Perbedaan paling mendasar yaitu sistem hukum yang dianut oleh

Indonesia adalah Civil Law dan Singapura menganut sistem hukum

Common Law, sehingga norma hukum perkawinan yang diatur pun

berbeda.

Dalam Women’s Charter disebutkan bahwa: “The matrimonial law

of Singapore categorizes marriages contracted in Singapore into two

categories: civil marriages and Muslim marriages. The Registry of

Marriage (ROM) administers civil marriages in accordance to the

Women's Charter, while the Registry of Muslim Marriages (ROMM)

17
administers Muslim marriages in accordance to the Administration of

Muslim Law Act (AMLA). All marriages performed in Singapore must be

registered with the relevant registry in order to be legally valid.”

Berdasarkan hal tersebut, Negara Singapura mengatur hukum

perkawinan dalam dua peraturan, yakni Women’s Charter dan

Administration of Muslim Law Act. Women’s Charter berlaku sejak tahun

1961 yang berisikan mengenai hukum keluarga secara keseluruhan yang

mengatur warga Negara Singapura non-muslim, sementara Administration

of Muslim Law Act diberlakukan sejak tahun 1966 yang mengatur

mengenai hukum keluarga bagi warga negara yang beragama Muslim.

Aturan secara jelas terkait dasar atau sumber hukum tentang Perkawinan

tentu saja berbeda dengan Indonesia yang tidak mengatur secara jelas

terkait dasar-dasar hukum yang digunakan terkait pluralisme masyarakat.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perbandingan ketentuan terkait Perkawinan antara KUHPerdata dan UU

No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menghasilkan bahwa terdapat

perbedaan yang terletak pada pengertian, sifat hukum perkawinan dan

konsep perkawinan dan syarat-syarat Perkawinan.

2. Perkawinan dalam Agama Hindu pada hakikatnya adalah sakral dan hanya

sah kalau dilakukan menurut Agama Hindu itu sendiri. Selain itu, tujuan

perkawinan menurut agama Hindu adalah menolong membebaskan arwah

nenek moyang atau orang tuanya dari kawah neraka yang di sebut “PUT”.

Dalam Agama Buddha, perkawinan adalah suatu pilihan dan bukan

merupakan kewajiban, artinya seseorang dalam menjalani kehidupan ini

boleh memilih hidup berumah tangga atau hidup sendiri, sesungguhnya

dalam Agama Budha hidup berumah tangga ataupun tidak adalah sama

saja. Dalam pandangan Agama Budha yang terpenting adalah kualitas

kehidupannya. Dalam pandangan Agama Katolik, kawin atau tidak kawin

itu tergantung dari pada keputusan pribadi dengan motof-motif yang

wajar. sedangkan menurut Agama Kristen (bukan Katolik) pernikahan itu

atas perintah Allah yang menjadikan langit dan bumi dan yang telah

menjadikan laki-laki dan perempuan. Dalam Agama Islam, perkawinan

merupakan sunnah Nabi SAW sehingga setiap umat Islam harus

melakukan perkawinan. Selain mengikuti sunah Nabi, perkawinan juga

merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani dan jasmani serta

19
perkawinan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan

keluarga yang sah menuju kehidupan yang bahagia didunia dan akhirat

dibawah naungan cinta Illahi.

3. Perbandingan hukum perkawinan antara Negara Indonesia dengan Negara

Malaysia mengenai perkawinan menghasilkan ditemukannya perbedaan

dikarenakan sistem hukum Malaysia dan Indonesia yang berbeda dimana

Malaysia menganut sistem hukum Anglo saxon dan Indonesia menganut

sistem hukum Eropa Kontinental. Secara spesifik, perbedaan antara

Negara Indonesia dengan Negara Malaysia mengenai perkawinan terletak

pada prosedur untuk mengajukan perkawinan dan perceraian, Batas usia

Laki-laki yang ingin menikah, terkait Perjanjian perkawinan dalam

Hukum perkawinannya, penindakan penyimpangan Poligami dan

pasangan yang berbuat Zina.

4. Perbedaan paling mendasar yaitu sistem hukum yang dianut oleh

Indonesia adalah Civil Law dan Singapura menganut sistem hukum

Common Law, sehingga norma hukum perkawinan yang diatur pun

berbeda. Dalam hal perkawinan, Aturan secara jelas terkait dasar atau

sumber hukum tentang Perkawinan yang diberlakukan Negara Singapura

tentu saja berbeda dengan Indonesia yang tidak mengatur secara jelas

terkait dasar-dasar hukum yang digunakan terkait pluralisme masyarakat.

B. Saran

Dalam penulisan makalah ini saya menyadari bahwa penulisan

masih jauh dari kata sempurna, kedepannya saya akan lebih berhati-hati

dalam menjelaskan tentang makalah dengan sumber-sumber yang lebih

20
banyak dan dapat lebih dipertanggung jawabkan. Maka dari itu kepada

para pembaca saya menyarankan agar lebih banyak membaca buku yang

berkaitan dengan Perbandingan perkawinan agar lebih memahami hal

tersebut. Agar masyarakat mengetahui tentang apa saja perbandingan

hukum tentang perkawinan,baik itu dari KUHper, UU no.1 tahun 1974,

kemudian perbadingan perkawinan antara agama-agama dan perbandingan

antara beberapa negara di Negara.

Dan juga diharapkan informasi ini dapat tersebar luas ke

masyarakat agar terbentuk jiwa Rasa ingin tahu yang tentu nya

berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagai tonggak kemajuan

Negara. Semoga dengan adanya materi ini kita dapat mengamalkan nya

dalam kehidupan sehari-hari dan juga menambah wawasan &

pengetahuan seputar hukum perkawinan yang dimana Perkawinan

mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat

karena perkawinan merupakan dasar terbentuknya keluarga, dimana

keluarga adalah bagian dari masyarakat.

21
DAFTAR PUSTAKA

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya,

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara

Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an, 1973)

Maslow, Abraham H, Motivation and Personality, (New York: Harper &

Row Publishers, 1970)

Fuady, Munir, 2014, Konsep Hukum Perdata, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada

Manan, Abdul, 2006, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,

Jakarta: Kencana

Paramita, Adhisti Friska, 2007, Perbandingan Sistem Hukum Perkawinan

Menurut Kitan Undang-Undang Hukum Perdata Dengan Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Dalam Hal

Terjadi Pelanggaran Perjanjian Kawin, Skripsi Fakultas Hukum, Universitas

Brawijaya : Malang

Sosroatmodjo, Arso, Aulawi, Wasit, 1978, Hukum Perkawinan di Indonesia,

Jakarta: Bulan Bintang

Robikatun, Siti, 2020, Status Kewarisan Dalam Sistem Kekerabatan

Masyarakat Bali Akibat Perpindahan Agama Menurut Hukum Islam (Studi Kasus

Di Desa Bukoposo Kecamatan Way Serdang Kabupaten Mesuji), Skripsi,

Fakultas Syariah Uin Raden Intan Lampung : Lampung

22
Jannah, Miftachul, 2017, Ritus Vivaha Pada Umat Buddha Theravada Di

Vihara Suvanna Dipa Teluk Betung Selatan Bandar Lampung, Skripsi, Fakultas

Ushuludiin, Uin Raden Intan Lampung : Lampung

Januar, Iwan, 2007, Sex Before Married?, Gema Insani Jakarta

23

Anda mungkin juga menyukai