Anda di halaman 1dari 7

Naskah Ujian

UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

UTS Susulan UTS/UAS Semester


Ganjil / Genap TA. 2020/ 2021
UAS Antara
Program Studi : Hukum / Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik
KMK - Mata :
NIM : 181200006
Kuliah HK115028 / Hukum Perkawinan

Nama Dosen : Catherin L.T., SH., M.Hum. Nama Rosi Hartono


:
Kelas : Sore Mahasiswa

Hari /Tanggal : Jumat / 6 November 2020 Paraf Tanggal

Waktu Ujian : 19.30 WIB Validasi


KaProdi/
Sifat Ujian : Buka Buku / Tutup Buku*
Koord.
Lembar : Ya / Tidak* Matakuliah 20-10-2020
Jawaban (MKU/MKB) :

Petunjuk :
1. Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.
2. Kerjakan terlebih dahulu soal yang kamu anggap paling mudah.
3. Jawablah dengan singkat, tepat dan jelas.
4. Ketikan harus rapih, jelas dan mudah dibaca .
5. Selamat ujian, semoga sukses.

1. Apakah definisi ‘Perkawinan’ menurut : Perdata , UU. No.1/1974 (Undang- Undang Perkawinan), dan
Hukum Adat ?
b. Bagaimana tata tertib menurut Hukum Adat dalam melangsungkan Perkawinan ?
2. Sebutkan syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Hukum Perdata (5 syarat) ?
3. Menurut Hukum Perdata siapa sajakah yang diberikan hak untuk mencegah atau menahan dilangsungkannya
perkawinan (3 pihak) ?
4. Sebutkan asas-asas perkawinan menurut KUHPerdata (7 asas) dan menurut Undang-undang Perkawinan
(UU. No.1 Tahun 1974) !
5. Bagaimanakah Hak dan Kewajiban suami istri menurut Hukum Perdata ?
6. Sebutkan akibat-akibat perkawinan (8 akibat) terhadap suami istri menurut UU. No.1/1974 !
7. Jelaskan mengenai Percampuran Kekayaan menurut Hukum Perdata dan dalam kondisi bagaimanakah
Gemeenschap berakhir (5 kondisi) ?
8. Apa saja akibat perkawinan terhadap harta kekayaan, menurut UU. No.1/1974 (3 akibat) ?
9. Sebutkan 7 (tujuh) Kekuasaan Orang tua menurut UU. No.1/1974 !
10. Sebutkan 3 (tiga) Hak dan Kewajiban antara Orang tua dan Anak !
Jawab
1. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Mahaesa. ( UU Perkawinan No.1 Th 1974)
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat, sebab
perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi juga orang tua kedua belah pihak,
saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dalam hukum adat perkawinan itu
bukan hanya merupakan peristiwa penteng bagi mereka yang masih hidup saja. Tetapi perkawinan
juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatina dan diikuti
oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. ( Hukum Adat).
Bagaimana tata tertib menurut Hukum Adat dalam melangsungkan Perkawinan ?
Perkawinan atau Wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama.
Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu
kehidupan yang disebut "Yatha sakti Kayika Dharma" yang artinya dengan kemampuan sendiri
melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan
Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar
disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.Dalam perkawinan ada dua
tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang
berdasarkan Dharma.
Pada tahap persiapan, seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan amat membutuhkan
bimbingan, khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses atau memperkecil rintangan-
rintangan yang mungkin timbul. Bimbingan tersebut akan amat baik kalau diberikan oleh seorang
yang ahli dalam bidang agama Hindu, terutama mengenai tugas dan kewajiban seorang grhastha,
untuk bisa mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan
Dharma. (Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali )
Undang-Undang R.I. No. 1/1974 pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa.

2. Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun 1974. Pasal 6 s/d
Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedang Pasal 12 mengatur
mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.

Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11 UU No. I tahun 1974
yaitu:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai


2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah
meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau
pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali
memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

Dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah sebagai berikut:

1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari, dihitung sejak
kematian suami.
2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan
adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap.
3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan.
4. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan bekas suaminya
belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.

Pasal 8 Undang-undang No. I/1974 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest.


2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu anatara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya/kewangsaan.
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri/periparan.
4. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
susuan.
5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal
seorang suami beristri lebih Dari seorang
6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No. I/1974 direalisasikan dalam
Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
 Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada
Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan,
dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat
dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain
memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5)
 Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah
memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-
7).
 Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang
ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:

1. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.


2. hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9)

 Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta
perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan
telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat
dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing
diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13).

3. Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan
kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak
yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan
apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan
perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya,
yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

4. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Asas-asas Perkawinan
1. Asas-asas perkawinan menurut KUHPerdata
 Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat dilanggar.
Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan di depan pegawai catatan
sipil.
Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di
bidang hukum keluarga.
Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.
Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami dan isteri.
Perkawinan menyebabkan pertalian darah.
Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan isteri itu.
2. Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
 Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus ada kata
sepakat antara calon suami dan isteri.
 Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada asasnya, seorang pria hanya
boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami, namun ada
perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur
dalam Pasal 4-5.
Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.
Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang (Pasal 2 UU
No. 1 Tahun 1974).
Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri.
Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan tersebut.
Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut.
5. Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan saling memberi bantuan lahir dan
batin (pasal 33). Seorang suami harus melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan
berumah tangga sesuai kemampuannya, kemudian seorang istri wajib mengatur urusan rumah
tangga sebaik-baiknya (pasal 34).
6. Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri
bersama.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan
kepada Pengadilan.

7. Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

8. Terhadap harta bersama, pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri
karena perkawinan di mana harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya, adapun apabila
terjadi perselisihan antara suami-isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu
diajukan kepada Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri setempat, kemudian pertanggungjawaban
terhadap utang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing, sedangkan
pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada
harta bersama dan bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami serta bila
harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri. Akibat lain dari
perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya mengenai harta bersama
bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing yaitu menurut hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya.
Terhadap nafkah, dalam embi islam maka biaya isteri yang telah ditalak oleh suaminya tidak
menjadi tanggungan suaminya lagi, terutama dalam perceraian itu si-isteri yang bersalah. Namun
dalam hal isteri tidak bersalah, maka paling tinggi yang diperolehnya mengenai biaya hidupnya ialah
pembiayaan hidup selama ia masih dalam masa iddah yang lebih kurang selama 90 ( embilan puluh)
hari. Tetapi sesudah masa iddah, suami tidak perlu lagi membiayai bekas isterinya lagi. Kemudian
apabila bekas isteri tidak mempunyai mata pencaharian untuk nafkah sehari-harinya, maka bekas
suami harus memberikan biaya hidup sampai bekas isterinya itu menikah lagi dengan pria lain.
Pasal 126 KUHPerdata mengatur bahwa perceraian mengakibatkan bubarnya harta bersama sehingga
harta bersama tersebut harus dibagi diantara pasangan suami istri. Seiring dengan pengertian harta
bersama perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam juga mengatur pengertian tentang harta bersama yang sama
seperti dianut dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata di atas. Harta bersama
perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam diistilahkan dengan istilah “syirkah” yang berarti harta
yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Akibat hukum yang menyangkut harta bersama berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan
diserahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku,
dan jika tidak ada kesepakatan antara mantan suami istri, hakim dapat mempertimbangkan menurut
rasa keadilan yang sewajarnya. Dengan demikian, akibat suatu perceraian terhadap harta bersama
bagi setiap orang dapat berbeda-beda, tergantung dari hukum apa dan mana yang akan digunakan
para pihak untuk mengatur harta bersama
9. - Orangtua Memiliki Restu Untuk Melangsungkan Perkawinan Seorang Yang Belum Mencapai
Umur 21
- orangtua memiliki kuasa untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
- Orang tua memiliki kuasa untuk mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam
dan di luar Pengadilan
- Menurut UU No. I Tahun 1974Pasal 41; Bapak yang bertanggung jawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang di perlukan anak, bilamana bapak
dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebu t
- Menurut KUHPerdata; seorang anak yang belum mencapai usia dewasa atau kawin, berada di
bawah kekuasaan orangtuanya selama kedua orang tua itu terikat dalam hubungan
perkawinan (Pasal 299 KUHPerdata)
- Apabila perkawinan bubar (karena meninggal cerai), maka kekuasaan orangtua berubah
menjadi Perwalian. Menurut Pasal 300 KUHPerdata, kekuasa-an orang tua ini biasanya
dilakukan oleh si ayah. Hanya saja apabila si ayah tidak mampu untuk melakukannya
(mi-salnya karena sakit keras, sakit ingatan, keadaan tidak ha-dir), kekuasaan itu dilakukan
oleh isterinya.
- menurut Pasal 46 UUP ditegaskan, bahwa anak wajib menghormati orang tua dan mentaati
kehendak mereka yang baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib meme-lihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan
bantuannya.
10. 1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
2. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
3. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya

Anda mungkin juga menyukai