Anda di halaman 1dari 7

Naskah Ujian

UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA


UTS UAS Susulan UTS/UASSemester Antara Ganjil /Genap TA. 2020/ 2021
Program Studi Hukum / Fakultas : ISIP

KMK - Mata Kuliah : HK115034/ Praktek Hukum Perdata NIM : 181200006

Nama Dosen : Bambang Winahyo., SH., MH Rosi Hartono


NamaMahasiswa :
Kelas / Kampus : Sore / A dan B

Hari /Tanggal : Rabu / 4 November 2020 Paraf Tanggal

WaktuUjian : 17.30 – 19.00 ON-LINE Validasi KaProdi/


Koord.
SifatUjian : Buka Buku /Tutup Buku*
Matakuliah
Lembar Jawaban : Ya / Tidak* (MKU/MKB) : 21-10-2020
Naskahujianharapdiserahkanbesertalembarjawaban !!!
* Coretsalah satu
Peraturan Umum Prodi Hukum :

1. Berdo’alah terlebih dahulu sesuai agama dan keyakinan masing-masing.


2. Jawablah soal sesuai dengan petunjuk yang ada.
3. Tulisan harus rapih dan dapat dibaca dengan jelas.
4. Mandiri, tidak melakukan kerjasama, tidak membuka HP, catatan dan sejenisnya,
KECUALI ada ketentuan lain dari dosen pengampu mata kuliah.
5. Tanyakan dengan dosen/pengawas jika ada yang belum jelas saat ujian berlangsung.

PETUNJUK KHUSUS :
Sifat Ujian On-Line (Ikuti Instruksi yang sudah ditentukan)

SOAL

1. Dalam proses beracara dalam praktek hukum perdata ada tahap pendahuluan, tahap
penentuan dan tahap pelaksanaan. Berikan penjelasannya !
2. Bagaimana merumuskan formulasi surat gugatan yang diajukan kepada pengadilan?
3. Bagaimanakah cara pemanggilan pihak yang telah meninggal dunia, jika ahli waris
dikenal dan ahliwaris tidak dikenal?
4. Apa yang saudara ketahui tentang mediasi dan dasar hukumnya?
5. Dalam praktek peradilan perdata, pertilum dibagi ke dalam tiga bagian meliputi apa saja?
6. Alat bukti itu meliputi apa saja?

SELAMAT MENGERJAKAN
JAWAB
1. UPAYA PERDAMAIAN.
Pada perkara perceraian, seperti cerai gugat dan cerai talak, hakim wajib mendamaian
kedua belah pihak berperkara pada setiap kali persidang ( Pasal 56 ayat 2, 65, 82, 83
UU No 7 Tahun 1989. Dan selanjutnya jika kedua belah pihak hadir dipersidangan
dilanjutkan dengan mediasi PERMA No 1 Tahun 2008. Kedua belah pihak bebas
memilih Hakim mediator yang tersedia di Pengadilan Agama Kuningan tanpa
dipungut biaya. Apabila terjadi perdamaian, maka perkaranya dicabut oleh
Penggugat/Pemohon dan perkara telah selesai.
Dalam perkara perdata pada umumnya setiap permulaan sidang, sebelum pemeriksaan
perkara, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara para pihak berperkara (
Pasal 154 R.Bg), dan jika tidak damai dilanjutkan dengan mediasi. Dalam mediasi ini
para pihak boleh menggunakan hakim mediator yang tersedia di Pengadilan Agama
tanpa dipungut biaya, kecuali para pihak menggunakan mediator dari luar yang sudah
punya sertikat, maka biayanya seluruhnya ditanggung kedua belah pihak berdasarkan
kesepakatan mereka. Apabila terjadi damai, maka dibuatkan akta perdamaian ( Acta
Van Verglijk). Akta Perdamaian ini mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
putusan hakim,dan dapat dieksekusi, tetapi tidak dapat dimintakan banding, kasasi
dan peninjauan kembali.
Apabila tidak terjadi damai dalam mediasi, baik perkara perceraian maupun perkara
perdata umum, maka proses pemeriksaan perkara dilanjutkan.

PEMBACAAN SURAT GUGATAN PENGGUGAT.


Sebelum surat gugatan dibacakan, jika perkara perceraian, hakim wajib menyatakan
sidang tertutup untuk umum, sementara perkara perdata umum sidangnya selalu
terbuka.
Surat Gugatan Penggugat yang diajukan ke Pengadilan Agama itu dibacakan oleh
Penggugat sendiri atau salah seorang majelis hakim, dan sebelum diberikan
kesempatan oleh mejelis hakim kepada tergugat memberikan tanggapan/jawabannya,
pihak penggugat punya hak untuk mengubah, mencabut atau mempertahankan isi
surat gugatannya tersebut. Abala Penggugat menyatakan tetap tidak ada perubahan
dan tambahan dalam gugatannya itu kemudian persidangan dilanjutkan ketahap
berikutnya.

JAWABAN TERGUGAT.
Setelah gugatan dibacakan, kemudian Tergugat diberi kesempatan mengajukan
jawabannya, baik ketika sidang hari itu juga atau sidang berikutnya. Jawaban tergugat
dapat dilakukan secara tertulis atau lisan ( Pasal 158 ayat (1) R.Bg). Pada tahap
jawaban ini, tergugat dapat pula mengajukan eksepsi (tangkisan) atau rekonpensi
(gugatan balik). Dan pihak tergugat tidak perlu membayar panjar biaya perkara.
REPLIK PENGGUGAT.
Setelah Tergugat menyampaikan jawabannya, kemudian si penggugat diberi
kesempatan untuk menanggapinya sesuai dengan pendapat penggugat. Pada tahap ini
mungkin penggugat tetap mempertahankan gugatannya atau bisa pula merubah sikap
dengan membenarkan jawaban/bantahan tergugat.

DUPLIK TERGUGAT.
Setelah penggugat menyampaikan repliknya, kemudian tergugat diberi kesempatan
untuk menanggapinya/menyampaikan dupliknya. Dalam tahap ini dapat diulang-
ulangi sampai ada titik temu antara penggugat dengan tergugat. Apabila acara jawab
menjawab dianggap cukup oleh hakim, dan masih ada hal-hal yang tidak disepakati
oleh kedua belah pihak, maka hal ini dilanjutkan dengan acara pembuktian.

PEMBUKTIAN.
Pada tahap ini, penggugat dan tergugat diberi kesempatan yang sama untuk
mengajukan bukti-bukti, baik berupa bukti surat maupun saksi-saksi secara bergantian
yang diatur oleh hakim.

KESIMPULAN PARA PIHAK.


Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberi kesempatan yang sama untuk
mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama
sidang berlangsung menurut pandangan masing-masing. Kesimpulan yang
disampaikan ini dapat berupa lisan dan dapat pula secara tertulis.

MUSYAWARAH MAJELIS HAKIM.


Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim bersifat rahasia (Pasal 19 ayat (3) UU No. 4
Tahun 2004). Dalam rapat permusyawaratan majelis hakim, semua hakim
menyampaikan pertimbangannya atau pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis.
Jika terdapat perbedaan pendapat, maka diambil suara terbanyak, dan pendapat yang
berbeda tersebut dapat dimuat dalam putusan (dissenting opinion).

PUTUSAN HAKIM.
Setelah selesai musyawarah majelis hakim, sesuai dengan jadwal sidang, pada tahap
ini dibacakan putusan majelis hakim. Setelah dibacakan putusan tersebut, penggugat
dan tergugat berhak mengajukan upaya hukum banding dalam tenggang waktu 14 hari
setelah putusan diucapkan. Apabila penggugat/ tergugat tidak hadir saat dibacakan
putusan, maka Juru Sita Pengadilan Agama akan menyampaikan isi/amar putusan itu
kepada pihak yang tidak hadir, dan putusan baru berkekuatan hukum tetap setelah 14
hari amar putusan diterima oleh pihak yang tidak hadir itu.

Catatan:
Perkara Cerai Talak masih ada Sidang lanjutan yaitu sidang pengucapan Ikrar Talak,
dan ini dilakukan setelah putusan Berkekuatan Hukum Tetap (BHT). Kedua belah
pihak akan dipanggil lagi ke alamatnya untuk menghadiri sidang tersebut.
2. Yang dimaksud dengan formulasi surat gugatan adalah perumusan (formulation) surat
gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan itu, dalam uraian
ini akan dikemukakan berbagai ketentuan formil yang wajib terdapat dan tercantum
dalam surat gugatan. Syarat-syarat tersebut, akan ditampilkan secara berurutan sesuai
dengan sistematika yang lazim dan standar dalam praktik peradilan. Memang benar,
apa yang dikemukakan Prof. Soepomo. Pada dasarnya Pasal 118 dan Pasal 120 HIR,
tidak menetapkan syarat formulasi atau isi gugatan. Akan tetapi, sesuai dengan
perkembangan praktik, ada kecenderungan yang menuntut formulasi gugatan yang
jelas fundamentum petendi (posita) dan petitum sesuai dengan sistem dagvaarding.
Adapun hal-hal yang harus dirumuskan dalam surat gugatan yaitu (M. Yahya
Harahap, 2011: 51):
a. Ditujukan (dialamatkan) kepada PN sesuai dengan Kompetensi Relatif
Surat gugatan, secara formil harus ditujukan dan dialamatkan kepada PN sesuai
dengan kompetensi relatif. Harus tegas dan jelas tertulis PN yang dituju, sesuai
dengan patokan kompetensi relatif yang diatur dalam Pasal 118 HIR. Apabila surat
gugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif (M. Yahya Harahap,
2011: 51-52):
1) Mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil, karena gugatan disampaikan
dan dialamatkan kepada PN yang berada di luar wilayah hukum yang berwenang
untuk memeriksa dan mengadilinya;
2) Dengan demikian, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke
verklaard) atas alasan hakim tidak berwenang mengadili.
b. Diberi tanggal
Ketentuan undang-undang tidak menyebut surat gugatan harus mencantumkan
tanggal. Begitu juga halnya jika surat gugatan dikaitkan dengan pengertian akta
sebagai alat bukti, Pasal 1868 maupun Pasal 1874 KUH Perdata, tidak menyebut
pencantuman tanggal di dalamnya. Karena itu, jika bertitik tolak dari ketentuan Pasal
118 ayat (1) HIR dihubungankan dengan pengertian akta sebaga alat bukti, pada
dasarnya tidak mewajibkan pencantuman tanggal sebagai syarat formil. Oleh karena
itu, ditinjau dari segi hukum (M. Yahya Harahap, 2011: 52):
1) Pencantuman tanggal, tidak imperatif dan bahkan tidak merupakan syarat formil
surat gugatan;
2) Dengan demikian, kelalaian atas pencantuman tanggal, tidak mengakibatkan
surat gugatan mengandung cacat formil;
3) Surat gugatan yang tidak mencantumkan tanggal, sah menurut hukum, sehingga
tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Namun demikian, sebaiknya dicantumkan guna menjamin kepastian hukum atas
perbuatan dan penandatanganan surat gugatan, sehingga apabila timbul masalah
penandatanganan surat gugatan berhadapan dengan tanggal pembuatan dan
penandatangan surat kuasa, segera dapat diselesaikan (M. Yahya Harahap, 2011: 52).
c. Ditandatangani penggugat atau kuasanya
Mengenai tanda tangan dengan tegas disebut sebagai syarat formil surat gugatan.
Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan (M. Yahya Harahap, 2011: 52):
1) Gugatan perdata harus dimasukkan ke PN sesuai dengan kompetensi relatif.
2) Dibuat dalam bentuk surat permohonan (surat permintaan) yang ditandatangani
oleh penggugat atau wakilnya (kuasanya).
d. Identitas para pihak
Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahan
gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak
menyebut identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada.
Tentang penyebutan identitas dalam gugatan, sangat sederhana sekali. Bertitik tolak
dari ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR, identitas yang harus dicantumkan cukup
memadai sebagai dasar untuk menyampaikan panggilan atau menyampaikan
pemberitahuan. Dengan demikian, oleh karena tujuan utama pencantuman identitas
agar dapat disampaikan panggilan dan pemberitahuan, identitas yang wajib disebut,
cukup meliputi nama lengkap dan alamat atau tempat tinggal (M. Yahya Harahap,
2011: 53-54).
e. Fundamentum petendi
Fundamentum petendi, berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan (grondslag van de
lis). Dalam praktik peradilan terdapat beberapa istilah yang digunakan antara lain
positum atau dalam bentuk jamak disebut posita gugatan, dan dalam bahasa Indonesia
disebut dalil gugatan (M. Yahya Harahap, 2011: 57).
Posita atau dalil gugatan merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara.
Pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak boleh menyimpang dari dalil gugatan.
Mengenai perumusan fundamentum petendi atau dalil gugat, muncul dua teori (M.
Yahya Harahap, 2011: 57):
1) Pertama, disebut substantierings theorie yang mengajarkan, dalil gugatan tidak
cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga
harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi
penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.
2) Kedua, teori individualisasi (individualisering theorie), yang menjelaskan
peristiwa atau kejadian hukum yang dikemukakan dalam gugatan, harus dengan jelas
memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding) yang menjadi dasar tuntutan.
Namun tidak perlu dikemukakan dasar dan sejarah terjadinya hubungan hukum,
karena hal itu dapat diajukan berikutnya dalam proses pemeriksaan sidang
pengadilan.
f. Petitum gugatan
Syarat formulasi gugatan yang lain, adalah petitum gugatan. Supaya gugatan sah,
dalam arti tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan
yang berisi pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu per
satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan
penggugat yang harus dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak penggugat atau
hukuman kepada tergugat atau kedua belah pihak. Ada beberapa istilah yang sama
maknanya dengan petitum; seperti petita atau petitory maupun conclusum. Akan
tetapi istilah yang baku dan paling sering dipergunakan dalam praktik peradilan
adalah petitum atau pokok tuntutan (M. Yahya Harahap, 2011: 63).
g. Perumusan gugatan asesor (accesoir)
Yang dimaksud dengan gugatan asesor adalah gugatan tambahan (additional claim)
terhadap gugatan pokok. Tujuannya untuk melengkapi gugatan pokok agar
kepentingan penggugat lebih terjamin meliputi segala hal yang dibenarkan hukum dan
perundang-undangan (M. Yahya Harahap, 2011: 67).
Sarwono (2011: 32) membagi ke dalam syarat formal dan syarat substansial dari isi
suatu gugatan. Pada umumnya syarat formal yang harus dipenuhi oleh suatu gugatan
adalah tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan, meterai, dan tanda tangan.
Sedangkan syarat substansial daripada surat permohonan gugatan yang diajukan oleh
penggugat umumnya dalam praktik terdiri atas identitas para pihak, dan identitas
kuasa hukum.
Selain itu, Bambang Sugeng A.S. dan Sujayadi (2011: 28) memaparkan mengenai
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengajuan surat gugatan sebagai berikut:
a. Surat gugatan harus ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya (kuasa
hukumnya). Oleh karena itu, apabila ada surat kuasa, maka tanggal surat gugatan
harus lebih muda daripada tanggal surat kuasa.
b. Surat gugatan harus bertanggal, menyebut dengan jelas nama penggugat dan
tergugat, tempat tinggal mereka dan kalau perlu jabatan kedudukan penggugat dan
tergugat (ex Pasal 1357 BW).
c. Surat gugatan harus dibuat dalam beberapa rangkap. Satu helai ialah aslinya
untuk Pengadilan Negeri satu helai untuk arsip penggugat dan ditambah sekian
banyak salinan lagi untuk masing-masing tergugat dan turut tergugat.

d. Surat gugatan harus didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang


berkompeten dengan membayar suatu persekot (uang muka) perkara.

3. pemanggilan dalam persidangan tidak harus sampai 3 (tiga) kali jika salah satu tidak
hadir dalam pemanggilan pertama. Jika ketidakhadiran Penggugat dalam sidang
pertama hakim dapat memutuskan Penggugat gugur atau Hakim masih dapat
menunda sekali lagi untuk memanggil Penggugat untuk hadir dalam persidangan,
begitu pula sebaliknya ketidakhadiran Tergugat dalam persidangan pertama, tidak ada
keharusan bagi Hakim harus memutus perkaranya dengan mengabulkan gugatan
Penggugat dengan verstek, tetapi hakim masih dapat menunda sekali lagi untuk
memanggil Tergugat untuk hadir dalam persidangan, hal ini tercantum dalam Pasal
150 R.Bg./126 HIR.
Kebiasaan tiga kali dalam pemanggilan tumbuh dan berkembang dalam praktik
peradilan agar Hakim tidak tergesa-gesa dalam memberikan putusan dikarenakan
adanya kemungkinan para pihak tidak datang karena ada halangan-halangan tertentu.

4. Mediasi adalah suatu upaya atau proses untuk menyelesaikan sengketa antara para
pihak dengan kesepakatan bersama melalui pihak ketiga sebagai penengah (disebut
mediator) yang bersifat netral (non-intervensi) dan tidak memihak (impartial) untuk
terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar
pendapat untuk mencapai mufakat.
Istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, yaitu mediare yang artinya berada di tengah.
Kata mediasi juga terdapat dalam bahasa Inggris, yaitu mediation yang berarti
penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau
penyelesaian sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan mediator
atau orang yang menjadi penengah.

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), istilah mediasi memiliki
arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu
perselisihan sebagai penasihat.
Dasar Hukum Mediasi
Dasar hukum penerapan mediasi di Indonesia merupakan salah satu dari sistem ADR
(Administrative Alternative Dispute Resolution), yaitu sebagai berikut:
- Pancasila dan UUD 1945, disiratkan dalam filosofinya bahwa asas penyelesaian
sengketa adalah musyawarah untuk mufakat.
- Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, penjelasan pasal 3 menyatakan: "Penyelesaian perkara di luar
pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit tetap diperbolehkan".
- UU Nomor. 1 Tahun 1974 jo Pasal 39 , UU Nomor.7 Tahun 1989 jo. UU nomor 3
Tahun 2006 jo. UU nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama Pasal 65 dan
82, PP Nomor. 9 Tahun 1975 Pasal 31 dan KHI Pasal 115, 131 ayat (2), 143 ayat
(1) dan (2), dan 144.
- Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor.1 Tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks
Pasal 130 HIR/154 RBg).
- Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor. 02 tahun 2003 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
- Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor. 01 tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
- Mediasi atau APS di luar Pengadilan diatur dalam Pasal 6 UU Nomor. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
-
5. Petitum terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu:
- Petitum Primer atau tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok
perkara.
- Petitum Tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada hubungannya dengan
pokok perkara. Petitum Tambahan dapat berwujud: ...
- Petitum Subsidiari atau pengganti.

6. Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”)
disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Anda mungkin juga menyukai