Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

TATA CARA MENGAJUKAN GUGATAN/ PERMOHONAN DALAM


BERPERKARA DI PERADILAN AGAMA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Peradilan Agama di Indonesia
Dosen Pengampu : Agus Wahyudi, SHI., M.H.

Oleh Kelompok 9 :
1. Ihda Muhimma (202121019)
2. M. Ariqul Muaffaq (202121040)

KELAS 5A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia Nya kepada kami. Sholawat serta salam kami haturkan kepada Nabi
Muhammad saw, karena dengan risalahnya kepada umat manusia sebagai petunjuk dalam
menjalankan kehidupan di dunia maupun akhirat. Semoga kita semua termasuk dalam
golongan umat yang mendapatkan syafa’atnya besok di yaumul akhir. Atas pertolongan
Allah, kami dari kelompok kesembilan dari kelas HKI 5A yang mendapat tugas dari mata
kuliah Peradilan Agama Di Indonesia dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tata
Cara Mengajukan Gugatan/ Permohonan Dalam Berperkara Di Peradilan Agama”. Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas kuliah.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Agus Wahyudi, SHI., M.H. yang telah
memberikan tugas ini, sehingga bisa menambah wawasan untuk kami. Kami menyadari
dalam pembuatan makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dari segi penulisan
maupun bahan materinya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari bapak Agus Wahyudi, SHI., M.H., selaku dosen mata kuliah ini. Kami
berharap hasil dari pembuatan makalah ini, nilainya bisa memenuhi kriteria yang bapak telah
tentukan.

Sukoharjo, 28 September 2022

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut hak asasi manusia setiap orang mempunyai persamaan hak di hadapan
hukum. Setiap orang mempunyai hak untuk membela hak dan kepentingannya apabila ia
merasa dirugikan oleh pihak lain. Atas dasar itulah maka diadakannya aturan gugatan
perdata. Syarat mutlak agar dapat mengajukan gugatan adalah adanya kepentingan hukum
secara langsung dan melekat dengan Penggugat maupun karena adanya suatu persengketaan.
Secara umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu gugatan yang dilakukan di luar
pengadilan yang dikenal dengan sebutan nonlitigasi, sedangkan gugatan yang dilakukan
melalui peradilan disebut litigasi. Oleh karena itu, gugatan perdata bisa menjadi dasar
diselenggarakannya pengadilan perdata.
Berbicara mengenai gugatan, tentunya juga akan membahas mengenai tatacara
mengajukan gugatan maupun permohonan, perubahan dan pencabutan gugatan, dan hal-hal
lain yang berhubungan dengan pengajuan gugatan. Seperti masuknya pihak ketiga dalam
berperkara, jawaban tergugat, eksepsi, rekonvensi, dan lain-lainnya yang mana akan dibahas
lebih lanjut pada makalah kelompok ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gugatan/permohonan?
2. Bagaimana tatacara mengajukan gugatan/permohonan?
3. Bagaimana ketentuan mengenai masuknya pihak ketiga?
4. Apa saja perubahan dan pencabutan gugatan?
5. Apa yang dimaksud dengan jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan maksud dari gugatan/permohonan.
2. Untuk menjelaskan tentang tatacara mengajukan gugatan/permohonan.
3. Untuk menjelaskan tentang ketentuan mengenai masuknya pihak ketiga.
4. Untuk menjelaskan tentang perubahan dan pencabutan gugatan.
5. Untuk menjelaskan tentang maksud jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gugatan dan Permohonan


Gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat kepada ketua pengadilan yang
berwenang yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan
merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.
Sedangkan permohonan adalah suatu surat permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak
perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung
sengketa.1
Perbedaan antara gugatan dan permohonan yaitu:
a) Gugatan ada dikarenakan adanya suatu perkara antara penggugat dan tergugat
sedangkan permohonan hanya satu pihak yang berkepentingan dan tanpa sebuah
perkara atau sengketa.
b) Dalam gugatan terdapat istilah penggugat dan tergugat, sedang dalam permohonan
ada istilah pemohon dan termohon.
c) Penggugat bisa satu orang atau badan hukum atau lebih begitu juga dengan tergugat.
Gabungan penggugat atau tergugat disebut kumulasi subjektif. Sedang dalam
permohonan hanya satu pihak karena bukan suatu kasus perkara.
d) Didalam gugatan, hakim berfungsi sebagai yang mengadili dan memutuskan serta
berproduk vonis (putusan), sedangkan dalam permohonan hakim hanya menjalankan
fungsi eksekutif power (administratif) dan berproduk beschikking (penetapan).
e) Putusan gugatan mengikat kedua belah pihak (berkekuatan eksekutorial), sedangkan
penetapan pada permohonan hanya mengikat pemohon saja.

B. Tata Cara Mengajukan Gugatan / Permohonan


Gugatan dapat diajukan dalam bentuk tertulis dan lisan. Gugatan tertulis diajukan
secara tertulis dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang mengadili perkara,
ditandatangani oleh Penggugat atau para Penggugat, atau kuasa hukumnya sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dan Pasal 147 ayat (1) R.Bg. Berdasarkan Pasal 119
HIR dan Pasal 143 R.Bg, Ketua pengadilan berwenang memberikan nasihat dan bantuan

1
Sudirman, Hukum Acara Peradilan Agama, ed. Abdul Karim Faiz (Parepare: IAIN Parepare
Nusantara Press, 2021), hlm. 29-30.
kepada Penggugat atau kuasanya apabila mereka kurang paham tentang seluk beluk hukum
dalam mengajukan gugatan kepada pengadilan yang berwenang.2
Gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 ayat 1 Rbg) yang dapat diajukan
bagi penggugat yang tidak bisa menulis. Penggugat datang ke Panitera Pengadilan yang
mencatat segala hal yang dikemukakan penggugat, kemudian catatan tersebut diajukan
kepada hakim yang meneliti serta menanyakannya kepada penggugat kemudian
ditandatangani.3

Adapun persyaratan yang harus dipenuhi dalam membuat surat gugatan, antara lain4:
1) Syarat formal, yaitu tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan, meterai dan
tandatangan oleh penggugat atau kuasanya.
2) Syarat substantif, yaitu: Identitas para pihak, Posita dan Petitum. Identitas yaitu nama
lengkap, umur/tempat dan tanggal lahir, pekerjaan dan alamat atau domisili. Dalam
hal badan hukum, harus disebutkan nama badan hukumnya, dan nama orang yang
berwenang mewakili badan hukum tersebut menurut anggaran dasar atau peraturan
yang berlaku. Jika merupakan cabang dari badan hukum, maka tetap harus disebutkan
identitas badan hukum tersebut. Jika gugatan diajukan kepada beberapa orang/badan
hukum, maka harus dikualifikasikan sebagai Tergugat I, Tergugat II dst. Jika gugatan
diajukan oleh beberapa orang, maka harus dikualifikasikan sebagai Penggugat I,
Penggugat II dst.

Tata cara mengajukan gugatan dalam berperkara di peradilan agama antara lain5 :
a) Setelah permohonan atau gugatan dibuat dan ditandatangani oleh para pihak,
kemudian surat gugatan/permohonan didaftarkan ke panitera pengadilan agama yang
berwenang memeriksa perkara.
b) Calon Penggugat/Pemohon menghadap Meja I yang akan menaksir besarnya panjar
biaya perkara dan menulisnya pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya
biaya diperkirakan harus cukup untuk menyelesaikan perkara sesuai dengan Pasal 193
R.Bg/pasal 182 ayat (1) UU-PA. Dan bagi yang tidak mampu dapat dizinkan

2
Delfin Pomalingo, “Tata Cara Pemanggilan Para Pihak Yang Berperkara Penggugat/Tergugat Yang
Terlibat Dalam Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri (Penerapan Pasal 388 Jo Pasal 390 HIR),” Lex Privatum
V, no. 8 (2017): 76.
3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2017),
hlm. 106.
4
Yulia, Hukum Acara Perdata (Sulawesi: Unimal Press, 2018), hlm. 20-21.
5
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017),
hlm. 59-63.
berperkara secara prodeo (Cuma-Cuma) dengan melampirkan surat keterangan dari
Lurah/Kepala Desa yang dilegalisir oleh Camat.
c) Calon Penggugat/pemohon kemudian menghadap ke kasir guna membayar biaya
panjar perkara sesuai dengan yang tertera pada SKUM. Kemudian kasir mencatat
dalam jurnal biaya perkara dan menyerahkan uang panjar kepada bendaharawan
perkara. Kemudian menandatangani dan memberi nomor perkara serta tanda lunas
pada SKUM.
d) Calon Penggugat/Pemohon menghadap Meja II dengan menyerahkan Surat
Gugatan/Permohonan dan SKUM yang telah lunas. Meja II kemudian memberikan
nomor pada surat gugatan/permohonan sesuai dengan nomor yang diberikan kasir,
menandatanganinya, mencatat surat gugatan/permohonan pada buku register induk
perkara gugatan/permohonan, serta menyerahkan surat gugatan/permohonan dan
SKUM kepada penggugat/pemohon dan kepada wakil panitera untuk kemudian
disampaikan kepada ketua pengadilan melalui panitera.
e) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari, ketua pengadilan menunjuk majelis hakim
untuk memeriksa dan mengadili perkara yang dibuat dalam bentuk Penetapan Majelis
Hakim (PMH) ditandatangani oleh Ketua PA dan dicatat dalam Register Induk
Perkara yang bersangkutan.
f) Penunjukan panitera sidang baik seorang atau lebih (pasal 15 ayat 4 UU No. 14/1970)
yang ditunjuk oleh panitera (pasal 96 UU-PA) guna membantu Majelis Hakim dalam
menyelesaikan perkara.
g) Ketua Majelis Hakim bersama anggota majelis hakim mempelajari berkas perkara
kemudian menetapkan hari, tanggal, serta waktu sidang perkara. Kemudian
memerintahkan jurusita untuk memanggil para pihak dengan patut yaitu sekurang-
kurangnya 3 hari kerja sebelum pesidangan.

C. Masuknya Pihak Ketiga


Intervensi adalah suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan
melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang
berlangsung atara dua pihak yang sedang berperkara.6 Terdapat 3 macam bentuk intervensi
(Vide: Pasal 279 s/d Pasal 282 Rv), yaitu Voeging, Tussenkomst dan vrijwaring.

6
Arto, Op.Cit, hlm. 109.
a) Voeging (menyertai) yakni pihak ketiga mencampuri sengketa yang sedang
berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan bersikap memihak kepada
salah satu pihak.
b) Tussenkomst (menengahi) yaitu pihak yang mengintervensi tidak ada
keberpihakannya kepada salah satu pihak, baik tergugat maupun penggugat.
Berdasarkan aturan hukum acara perdata, mestinya pihak yang mengintervensi
dalam tussenkomst, dapat mengajukan tuntutan sendiri kepada masing-masing
pihak tanpa mencampurinya. Namun dengan penerapan Penyederhanaan perkara
dan mencegah adanya putusan yang saling bertentangan, maka pihak ketiga ini
dapat menjadi pihak yang juga melakukan tuntutan kepada kedua pihak yang
sedang berperkara itu.
c) Vrijwaring juga dianggap sebagai pihak ketiga, namun keterlibatannya bukan
karena pihak ketiga itu yang berkepentingan, melainkan karena dianggap sebagai
penanggung (garantie) oleh salah satu pihak, biasanya tergugat, sehingga dengan
melibatkan pihak ketiga itu akan dibebaskan dari pihak yang menggugatnya
akibat putusan tentang pokok perkara. Menurut Sudikno Mertokusumo,
Vrijwaring terbagi atas 2 (dua) yakni: Vrijwaring Formil (Garantie Formelle)
terjadi jika seseorang diwajibkan untuk menjamin orang lain menikmati suatu hak
atau benda terhadap suatu yang bersifat kebendaan. Dan Vrijwaring Simple/
Sederhana, terjadi apabila sekiranya tergugat dikalahkan dalam sengketa yangs
sedang berlangsung, ia mempunyai hak untuk menagih kepada pihak ketiga.7

D. Perubahan dan Pencabutan Gugatan


Perubahan gugatan, meliputi penambahan maupun pengurangan gugatan. Perubahan
gugatan diperkenankan apabila :
a) Perubahan sepanjang bukan mengemukakan hal/tuntutan baru yang sama sekali
lain daripada yang semula, dengan persetujuan majelis hakim. Jika tergugat sudah
menjawab, juga ditambah dengan persetujuan tergugat.8
b) Perubahan gugatan diperkenankan asal diajukan pada hari sidang pertama dimana
para pihak hadir dan harus ditanyakan terlebih dahulu terhadap pihak
lawan/tergugat.

7
Yulia, Op.Cit, hlm. 29-30.
8
Sudirman, Op.Cit, hlm. 75.
c) Perubahan yang bersifat menyempurnakan, menegaskan, atau menjelaskan surat
gugatan diperkenankan.9

Pencabutan gugatan diatur dalam Pasal 124 HIR, “jika penggugat datang tidak datang
menghadap pengadilan negeri pada hari yang ditentukan itu, meskipun ia dipanggil dengan
patut, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya maka surat gugatannya
dianggap gugur dan penggugat dihukum biaya perkara; akan tetapi penggugat berhak
memasukan gugatannya sekali lagi, sesudah membayar biaya perkara yang tersebut tadi”.

Adapun beberapa Syarat atau ketentuan dapat dicabutnya suatu gugatan antara lain10:
a) Apabila Penggugat telah dipanggil secara patut yaitu dipanggil oleh jurusita secara
resmi untuk menghadap pada hari dan tanggal sidang yang telah ditentukan sekurang-
kurangnya 3 (tiga) hari kerja sebelum sidang namun Penggugat tidak hadir tanpa
alasan yang sah dan juga tidak menyuruh kuasa atau orang lain untuk mewakilinya.
b) Pencabutan gugatan dilakukan sebelum tergugat menyampaikan jawaban. Dalam
keadaan yang demikian, hukum memberi hak penuh kepada penggugat mencabut
gugatan tanpa persetujuan pihak tergugat.
c) Pencabutan dilakukan sebelum pemeriksaan perkara berlangsung dan berhak
mencabutnya tanpa persetujuan tergugat (pasal 271 Rv).
d) Setelah proses pemeriksaan berlangsung, dan minimal pihak tergugat telah
menyampaikan jawaban maka pencabutan masih boleh dilakukan, dengan syarat
harus ada persetujuan pihak tergugat (Pasal 272 Rv).
e) Pencabutan dapat juga dilakukan oleh kuasa hukum yang ditunjuk oleh penggugat
berdasarkan surat kuasa khusus (Pasal 123 HIR)
f) Pencabutan hanya dapat dilakukan dan dibenarkan pada sidang pengadilan yang
memenuhi syarat contradictoir, yaitu harus dihadiri para pihak. Tidak dibenarkan
pencabutan dalam persidangan secara ex parte (tanpa dihadiri tergugat).

Menurut Pasal 272 Rv, pencabutan gugatan bersifat final mengakhiri perkara. Namun
dapat dilakukan pengajuan kembali gugatan yang telah dicabut sebagaimana diatur di dalam
Pasal 124 HIR yang masih tetap memberi hak kepada penggugat untuk mengajukan kembali
gugatan yang digugurkan sebagai perkara baru, dengan syarat membayar biaya perkara dan

9
Arto, Op.Cit, hlm. 98.
10
Yulia, Op.Cit, hlm. 31-34.
gugatan tersebut dicabut tanpa persetujuan tergugat. Namun jika gugatan yang dicabut atas
persetujuan tergugat maka tidak dapat diajukan kembali.

E. Jawaban Tergugat
Jawaban tergugat terdiri dari 3 (tiga) macam, antara lain : eksepsi atau tangkisan yaitu
jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara, jawaban tergugat mengenai pokok
perkara (verweer ten principale) dan rekonvensi yaitu gugatan balik atau gugat balas yang
diajukan tergugat kepada penggugat.11 Dalam pasal 121 ayat 2 HIR (Pasal 145 ayat 2 Rbg.)
tergugat dapat menjawab gugatan baik secara tertulis maupun lisan dan dapat berupa
pengakuan maupun bantahan.12
Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan dari penggugat baik sebagian maupun
seluruhnya. Pengakuan merupakan salah satu alat bukti. Pengakuan diatur dalam HIR (Pasal
174, 175, 176), Rbg. (Pasal 311, 312, 313) dan BW (Pasal 1923-1928). Pengakuan dapat
diberikan dimuka hakim saat persidangan maupun diluar persidangan. Dalam pasal 1926 ayat
2 BW bahwa pengakuan dimuka hakim saat persidangan tidak dapat ditarik kembali, kecuali
kalau terbukti bahwa pengakuan tersebut akibat dari suatu kesesatan atau kekeliruan.
Sedangkan pengakuan diluar persidangan daitur dalam pasal 175 HIR (Pasal 312 Rbg., 1927,
1928 BW) yang menyatakan bahwa kekuatan pembuktian dari pengakuan diluar sidang
diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan diluar sidang masih
membutuhkan pembuktian di persidangan, maka tidak termasuk alat bukti.13
Penyangkalan/ bantahan yaitu pernyataan yang tidak membenarkan atau tidak
mengakui apa yang digugat terhadap tergugat.14 Dalam pasal 113 Rv mensyaratkan agar
bantahan tergugat disertai alas an-alasan. Bantahan pada hakikatnya bertujuan agar gugatan
penggugat ditolak.

F. Eksepsi
Eksepsi adalah sanggahan terhadap suatu gugatan atau perlawanan yang tidak
mengenai pokok perkara/pokok perlawanan. Eksepsi diatur dalam pasal 136 HIR/Pasal 162
Rbg., Pasal 125 (2) HIR/133-136 HIR/ Pasal 149 (2), 160-162 Rbg., dan Pasal 356 (4) RV.
Tergugat yang mengajukan eksepsi disebut excipient. Terdapat 2 macam eksepsi antara lain :

11
Ibid, hlm. 42.
12
Mertokusumo, Op.Cit, hlm 126.
13
Ibid, hlm. 191-196.
14
Yulia, Op.Cit, hlm. 44.
1) Prosesual eksepsi (Eksepsi Formil) yaitu eksepsi yang berdasar hukum formil
(acara/proses), yang meliputi15 :
a) Eksepsi tidak berwenang secara Absolut
Yaitu pengadilan agam tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara
yang diajukan oleh penggugat karena merupakan wewenang pengadilan lain.
Eksepsi ini dapat diajukan selama proses pemeriksaan sidang, baik ditingkat
pertama maupun tingkat banding, dapat diajukan tersendiri (tidak harus
bersamaan jawaban gugatan), dan diputus tersendiri diluar putusan akhir.
b) Eksepsi tidak berwenang secara Relatif
Yaitu bahwa pengadilan agama yang dituju berwenang mengadili gugatan
penggugat tetapi menjadi wewenang pengadilan agama lain. Eksepsi ini harus
diajukan pada sidang pertama bersama-sama dengan pengajuan jawaban
pokok perkara.
c) Eksepsi Nebis In idem (eksepsi van gewisde zaak)
Suatu pekara tidak dapat diputus dua kali. Maksudnya adalah eksepsi terhadap
pengajuan kembali atas perkara yang sama dengan pihak-pihak yang sama dan
pengadilan yang sama.
d) Eksepsi diskualifikator
Adalah eksepsi yang menyatakan bahwa penggugat tidak memiliki
kedudukan/hak untuk mengajukan gugatan, atau penggugat salah menentukan
tergugat.
e) Eksepsi gugatan kabur (obscuur libel)
Yaitu eksepsi karena sautu gugatan itu kabur, tidak jelas, tidak dapat difahami
baik.

2) Materiil Eksepsi yaitu eksepsi yang berdasarkan hukum materiil, yang meliputi :
a) Dilatoir Eksepsi (belum waktunya diajukan gugatan)
b) Peremtoir Eksepsi (terlambat mengajukan gugatan)

Apabila eksepsi diterima maka hakim akan menjatuhkan putusan akhir dan dapat
dimintakan banding/kasasi. Namun apabila eksepsi tidak diterima maka hakim akan
menjatuhkan putusan sela dan pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan. Putusan sela ini hanya
dapat dimintakan banding/kasasi bersama-sama putusan akhir.

15
Arto, Op.Cit, hlm. 100-103.
G. Rekonvensi
Rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya adalah gugatan yang
diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat
kepadanya.16 Dasar hukum rekonveksi adalah pasal 132a-132b HIR / Pasal 157-158 Rbg.
Gugatan rekonvensi dibuat seperti gugatan biasa. Tujuan diadakannya gugat rekonvensi
adalah menggabungkan 2 tuntutan yang berhubungan, mempermudah prosedur, menghindari
putusan-putusan yang saling bertentangan, menetralisir tuntutan konvensi, acar pembuktian
dapat dipersiingkat dan sederhana, serta menghemat biaya.
Syarat-syarat gugat rekonvensi antara lain17 :
a) Diajukan bersama dengan jawaban gugatan.
b) Diajukan terhadap penggugat in persona (bukan kepada kuasa hukumnya)
c) Masih dalam lingkup wewenang peradilan agama
d) Hanya mengenai sengketa kebendaan bukan berkaitan dengan hukum perorangan.
e) Bukan mengenai pelaksanaan putusan

16
Yulia, Op.Cit, hlm. 45.
17
Arto, Op.Cit, hlm. 106.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat kepada ketua pengadilan yang
berwenang yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan
merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.
Sedangkan permohonan adalah suatu surat permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak
perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung
sengketa. Gugatan dapat diajukan dalam bentuk tertulis dan lisan. Setelah permohonan atau
gugatan dibuat dan ditandatangani oleh para pihak, kemudian surat gugatan/permohonan
didaftarkan ke panitera pengadilan agama yang berwenang memeriksa perkara. Kemudian
calon Penggugat/Pemohon menghadap Meja I yang akan menaksir besarnya panjar biaya
perkara, kemudian menghadap ke kasir guna membayar biaya panjar perkara, menghadap
Meja II dengan menyerahkan Surat Gugatan/Permohonan dan SKUM yang telah lunas
kemudian diberikan nomor pada surat gugatan/permohonan sesuai dengan nomor yang
diberikan kasir, kemudian menyerahkan surat gugatan/permohonan dan SKUM kepada
kepada wakil panitera untuk kemudian disampaikan kepada ketua pengadilan melalui
panitera. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari, ketua pengadilan menunjuk majelis
hakim, kemudian ketua Majelis Hakim bersama anggota majelis hakim mempelajari berkas
perkara kemudian menetapkan hari, tanggal, serta waktu sidang perkara. Selanjutnya
memerintahkan jurusita untuk memanggil para pihak dengan patut yaitu sekurang-kurangnya
3 hari kerja sebelum pesidangan.
Intervensi adalah suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan
melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang
berlangsung atara dua pihak yang sedang berperkara. Perubahan gugatan, meliputi
penambahan maupun pengurangan gugatan. Pencabutan gugatan dapat terjadi apabila
penggugat datang tidak datang menghadap pengadilan pada hari yang ditentukan itu, dan ia
telah dipanggil dengan patut. Jawaban tergugat terdiri dari 3 (tiga) macam, antara lain :
eksepsi atau tangkisan yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara, jawaban
tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principale) dan rekonvensi yaitu gugatan balik
atau gugat balas yang diajukan tergugat kepada penggugat.
DAFTAR PUSTAKA

Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2017.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Cahaya Atma


Pustaka, 2017.

Pomalingo, Delfin. “Tata Cara Pemanggilan Para Pihak Yang Berperkara


Penggugat/Tergugat Yang Terlibat Dalam Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri
(Penerapan Pasal 388 Jo Pasal 390 HIR).” Lex Privatum V, no. 8 (2017): 72–78.

Sudirman. Hukum Acara Peradilan Agama. Edited by Abdul Karim Faiz. Parepare: IAIN
Parepare Nusantara Press, 2021.

Yulia. Hukum Acara Perdata. Sulawesi: Unimal Press, 2018.

Anda mungkin juga menyukai