Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KELOMPOK 2

PENGAJUAN GUGATAN ATAU PERMOHONAN


Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Dosen Pengampu: Hotnidah Nasution, MA

Disusun Oleh
Ahmad Syauqibik 11170430000020
Andi Ramadhana Binneka

JURUSAN HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil’Alamin, puji serta syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat


Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan penyusunan
tugas makalah yang berjudul PENGAJUAN GUGATAN ATAU PERMOHONAN
ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang materi dari Pengajuan Gugatan Atau
Permohonan
Terima kasih kami ucapkan kepada Hotnidah Nasution, MA selaku dosen mata kuliah
Hukum Acara Peradilan Agama yang telah memberikan bimbingan serta kepada seluruh rekan
yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, karena berkat bantuan serta doa mereka kami
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Kritik dan saran sangat
kami butuhkan guna perbaikan di tugas selanjutnya. Kami berharap semoga makalah ini mampu
bermanfaat dikemudian harinya.

Jakarta, 14 Maret 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................
A. Latar Belakang............................................................................................................
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................
C. Tujuan Penulisan.........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................
A. Pengertian Gugatan dan Permohonan.........................................................................
B. Formulasi Gugatan......................................................................................................
C. Pihak-pihak yang Berperkara......................................................................................
D. Contoh surat gugatan dan permohonan.......................................................................
BAB III PENUTUP...................................................................................................................
A. Simpulan.....................................................................................................................
B. Saran ...........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penulisan
makalah ini antara lain:
1. Bagaimana Pengertian Gugatan/Permohonan?
2. Bagaimana Formulasi Gugatan di Peradilan Agama?
3. Apa Saja Bentuk dan Isi Gugatan?
4. Bagaimana Contoh Surat Gugatan dan Permohonan?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini
antara lain:
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
2. Untuk bagaimana pengertian gugatan dan permohonan
3. Untuk mengetahui bagaimana formulasi gugatan
4. Untuk mengetahui apa saja bentuk dan isi gugatan
5. Untuk mengetahui bagaimana contoh surat gugatan dan permohonan
BAB II
PEMBAHASAN

A. GUGATAN
1. Pengertian
Gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat melalui
pengadilan. Gugatan dalam hukum acara perdata umumnya terdapat 2 (dua) pihak atau lebih,
yaitu antara pihak Penggugat dan Tergugat, yang mana terjadinya gugatan umumnya karena
pihak Tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap hak dan kewajiban yang merugikan pihak
Penggugat yang dihadapi oleh para pihak apabila tidak bisa diselesaikan secara damai di luar
persidangan umumnya perkaranya diselesaikan oleh para pihak melalui persidangan pengadilan
untuk mendapatkan keadilan1
gugatan dijelaskan oleh Retnowulan Sutantio dalam buku Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek (hal. 10), yakni dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang
harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan.
Sementara soal gugatan, Yahya menjelaskan bahwa gugatan mengandung sengketa di antara
kedua belah pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan diminta untuk diselesaikan dalam
gugatan merupakan sengketa atau perselisihan di antara para pihak. Penyelesaian sengketa di
pengadilan ini melalui proses sanggah-menyanggah dalam bentuk replik dan duplik.[1] Dalam
perundang-undangan, istilah yang dipergunakan adalah gugatan perdata atau gugatan saja.[2]
2. Formulasi Gugatan
Menurut Soepomo mengatakan bahwa ketentuan Pasal 118 dan Pasal 120 HIR tidak memuat
tentang formulasi surat gugatan. Akan tetapi sesuai dengan perkembangan praktik, ada
kecendrungan yang menuntut formulasi gugatan yang jelas fundamentum petendi (posita) dan
petitum sesuai dengan sistem dagvaarding.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam formulasi surat gugatan, antara lain:
a. Surat gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Agama (PA) sesuai dengan Kompetensi
Relatif.
Ditujukan kepada Pengadilan Agama sesuai dengan Kompetensi Relatif. Surat gugatan
secara formil harus ditujukan dan dialamatkan kepada PN sesuai dengan kompetensi relatif
1
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-gugatan/13414
(sesuai dengan ketentuan Pasal 118 HIR). Apabila surat gugatan menyalahi kompetensi
relatif, maka akan berakibat:
 Gugatan mengandung cacat formil, karena gugatan disampaikan dan di alamatkan kepada
PN yang berada di luar wilayah hukum yang berwenang untuk memeriksa dan
mengadilinya.dengan demikian gugatan tidak dapat diterima (niet onvankelijke
verklaard) atas alasan hakim tidak berwenang mengadili.
b. Surat gugatan diberi tanggal.
Dalam HIR atau RBg tidak mencantumkan kewajiban mencantumkan tanggal dalam
surat gugatan, sehingga pencantuman tanggal tersebut bersifat fakultatif dan bukan
merupakan syarat formil dalam surat gugatan. Dan kalau dihubungkan dengan kedudukan
surat gugatan sebagai akta sebagai alat bukti Pasal 1868 maupun Pasal 1874 KUH Perdata
tidak mensyaratkan adanya pencantuman tanggal pembuatannya.
Namun demikian untuk mencapai adanya kepastian hukum apalagi kalau dihubungkan
dengan pembuatan dan penandatanganan surat gugatan, apabila timbul masalah dalam kaitan
dengan penandatanganan surat gugatan dengan surat kuasa, maka dapat dengan segera
diselesaikan.
c. Ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasa.
Mengenai tandatangan dengan tegas disebutkan sebagai syarat formil dari gugatan
tersebut. Hal ini terdapat dalam Pasal118 ayat (1) HIR yang menyatakan:
 Gugatan perdata harus dimasukkan ke PN sesuai dengan kompetensi relative,
 Dibuat dalam bentuk surat permohonan (surat permintaan) yang ditandatangani oleh
penggugat atau wakilnya (kuasanya).
Tandatangan ditulis dengan tangan sendiri (handtekening, signature) dan pada umumnya
merupakan tanda atau inisial nama yang dituliskan dengan tangan sendiri oleh penanda
tangan. Kemudian penggugat yang tidak dapat menulis (buta huruf) dapat membubuhkan cap
jempol diatas surat gugatan sebagai pengganti tandatangan, dan menurut St 1919-776, maka
cap jempol disamakan dengan tanda tangan, dan untuk mencapai adanya kepastian hukum
maka cap jempol tersebut harus dilegalisir oleh pejabat yang berwenang, misalnya camat,
hakim atau panitera.
d. Identitas para pihak.
Penyebutan identitas dalam surat gugatan merupakan syarat formil keabsahan
gugatan.Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak menyebut
identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada. Penyebutan
identitas dalam surat gugatan tidak mesti selengkap seperti dalam surat dakwaan perkara
pidana yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP (meliputi nama lengkap, tempat
lair, umur atau tanggal lair, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dsb). Dalam
ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR identitas yang dicantumkan cukup memadai sebagai dasar:
1) Menyampaikan panggilan,atau
2) Menyampaikan pemberitahuan.
Nama harus ditulis dengan lengkap, termasuk gelar kalau ada, hal ini dimaksudkan untuk
membedakan dengan orang lain, terutama nama/identitas dari tergugat, akrena kalau ada
kesalahan dalam mencantumkan nama tergugat akan bersifat fatal, karena melanggar syarat
formil, sehingga mengakibatkan gugatan cacat formil, sehingga cukup alasan untuk
menyatakan gugatan error in persona atau obscuur libel, dalam arti orang yang digugat kabur
atau tidak jelas sehingga gugatan tidak dapat diterima.
e. Fundamentum Petendi (Posita)
Fundamentum Petendi berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan, dan dalam praktik
peradilan terdapat beberapa istilah yang akrab digunakan antara lain:
1) Positum atau bentuk jamak disebut posita gugatan, dan
2) Dalam bahasa Indonesia disebut dengan dalil gugatan.
Posita atau dalil gugatan merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara.
Pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak boleh menyimpang dari dalil gugatan, juga
sekaligus membebankan beban wajib bukti kepada penggugat untuk membuktikan dalil
gugatan sesuai yang digariskan Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR, yang
menegaskan setiap orang yang mendalilkan sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya
maupun membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut.
Fundamentum Petendi yang dianggap lengkap memenuhi syarat, memuat dua unsur, yaitu:
1) Dasar Hukum (Rechtelijke Grond).
Memuat penjelasan pernyataan mengenai hubungan hukum antara penggugat dengan
materi dan atau obyek yang disengketakan, dan antara penggugat dengan tergugat berkaitan
dengan materi atau obyek sengketa.
Dasar Fakta ( Feitelijke Grond)
Memuat penjelasan pernyataan mengenai:
 Fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau disekitar hubungan
hukum yang terjadi antara penggugat dengan materi atau obyek perkara maupun
dengan pihak tergugat.
 Penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum atau
hubungan hukum yang didalilkan penggugat.
Dengan demikian, posita yang dianggap terhindar dan cacat obscuur libel, adalah surat
gugatan yang jelas sekali memuat penjelasan dan penegasan dasar hukum yang menjadi dasar
hubungan hukum serta dasar fakta atau peristiwa yang terjadi di sekitar hubungan hukum
dimaksud.
f. Petitum Gugatan
Disamping adanya posita dalam suatu surat gugatan, maka syarat yang lain yang harus ada
adalah adanya petitum gugatan agar gugatan tersebut menjadi sah. Petitum gugatan berisi pokok
tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu persatu dalam akhir gugatan
tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan
dibebankan kepada tergugat. Dengan kata lain petitum gugatan berisi tuntutan atau permintaan
kepada pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak penggugat atau hukuman
kepada tergugat atau kedua belah pihak. Petitum ini akan mendapat jawabannya dalam dictum
atau amar putusan.
Oleh karena itu penggugat harus merumuskan petitum dengan jelas dan tegas. Bentuk petitum
ada dua macam, yaitu:
Berbentuk Tunggal, yaitu apabila deskripsi petitum tersebut menyebut satu persatu pokok
tuntutan, tidak diikuti dengan susunan deskripsi petitum lain yang bersifat alternatif atau
subsider. Perlu diketahui bentuk petitum tunggal tidak oleh hanya berbentuk compositur atau ex-
aequo et bono (mohon keadilan). Tetapi harus berbentuk rincian satu persatu, sesuai dengan yang
dikehendaki penggugat dikaitkan dengan dalil gugatan.
Bentuk Alternatif: dapat diklasifikasikan menjadi: petitum primair yang merupakan tuntutan
pokok dan subsidair yang merupakan tuntutan pengganti sama-sama dirinci. Tuntutan pokok
misalnya “supaya tergugat menyerahkan barang yang dibeli” dalam perjanjian jual beli, dan
tuntutan subsidairnya misalkan dirumuskan dengan mohon putusan seadil adilnya (ex aequo et
bono)
g. Perumusan Gugatan Asesor( Accesoir)..
Yang dimaksud dengan gugatan asesor adalah gugatan tambahan (additional claim) terhadap
gugatan pokok. Tujuannya untuk melengkapi gugatan pokok agar kepentingan penggugat lebih
terjamin meliputi segala hal yang dibenarkan hukum dan perundang-undangan. Gugatan asesor
tidak dapat berdiri sendiri, oleh karena itu kebolehan dan kebenarannya, hanya dapat
ditempatkan dan ditambahkan dalam gugatan pokok. Tanpa landasan maka gugatan asesor tidak
dapat diminta dan diajukan. Landasannya adalah gugatan pokok, dan dicantumkan dalam akhir
uraian gugatan pokok. Jenis gugatan asesor dapat berupa:
1. Gugatan provisi, berdasarkan Pasal 180 Ayat (1) HIR
2. Gugatan tambahan berupa Penyitaan berdasarkan Pasal 226 dan Pasal 227 HIR
3. Gugatan tambahan permintaan nafkah berdasarkan Pasal 24 ayat (2) huruf a PP No.9
Tahun 1975.2
3. Pihak-pihak yang berperkara
a. Pemohon dan termohon
1. Permohonan pemohon adalah suatu permohonan yang didalamnya berisi suatu tuntutan
hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hak yang tidak
mengandung sengketa, sehingga badan-badan peradilan dalam mengadili suatu perkara
permohonan (voluntair) bila dianggap sebagai suatu proses peradilan yang bukan
sebenarnya.
Di lingkungan peradilan agama, sebagaimana yang dijelaskan dalam SE-MA No.
2 Tahun 1990, menyebutkan padaasasnya cerai talak adalah merupakan sengketa
perkawinan antara kedua belah pihak, sehingga karenanya permohonan cerai talak
merupakan perkara contentius dan bukan perkara voluntair, untuk itu produk hakim
adalah perkara permohonan tersebut dibuat dalam bentuk kata putusan dengan amar
dalam bentuk penetapan.
Pengadilan hanya berwenang menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan setiap perkara yang bersifat sengketa. Secara khusus peradilan agama
dibenarkan untuk menangani perkara yang bukan atas dasar persengketaan nsmun

2
https://artikelddk.com/formulasi-surat-gugatan/
bersifat permohonan kepada Pengadilan Agama, seperti perkara wali adlol (Peraturan
Menteri Agama No. 2 Tahun 1987), dispensasi nikah (UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 7 (2),
ijin nikah (UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 (5) jo. Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 (2),
dan ijin poligami (PP No. 9 Tahun 1975, Pasal 40).
Prosedur pengajuan perkara wali adlol adalah dilakukan sebagaimana perkara biasa, dan
tahapan-tahapan tingkat pemeriksaan perkara tersebut adalah dilakukan dengan tepat, cermat dan
singkat oleh hakim yang menyidangkannya, hal ini dilakukan untuk ditemukan kebenaran fakta
tentang adlolnya wali. Pemeriksaan singkat (kortgeding) diatur juga dalam pasal 283 RV
(reglemen hukum acara perdata) yakni pemeriksaan secara singkat dimuka hakim mengenai
perkara yang karena memerlukan penyelesaian cepat dan seketika itu juga menghendaki putusan
yang segera.
Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 13 Oktober 1954, menyatakan tidak
nampak suatu keharusan yang patut untuk memperlakukan peraturan pemeriksaan kilat
(kortgeding), sebagai peraturan yang berlaku atau sebagai pedoman bagi peradilan, sehingga
yang dimaksud dengan acara singkat dalam pasal 2 ayat (3) peraturan Menteri Agama Nomor 2
Tahun 1987 adalah bahwa terhadap permohonan wali adlol diharapkan prosedur pemeriksaan di
persidangan dapat dilaksanakan jauh lebih cepat.
Di samping wali adlol adalah perkara poligami, meskipun nampaknya ijin poligami itu
menurut ketentuan perundang-undangan, merupakan perkara voluntair, tetapi dalam praktik
selalu melibatkan kepentingan pihak lain, yaitu pihak isteri dan calon isteri. Sehingga Mahkamah
Agung memberikan petunjukdalam hal permohonan ijin poligami tidak dapat dilakukan secara
voluntair akan tetapi harus dalam bentuk gugatan yang bersifat contensius. Dengan demikian,
ada kewenangan peradilan agama untuk menangani perkara-perkara voluntair sejauh yang telah
ditentukan oleh undang-undang, untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan.
Perbedaannya dengan perkara gugatan murni adalah bahwa dalam perkara
gugatanterdapat persengketaan yang harus mendapatkan penyelesaian melalui putusan
pengadilan.Dalam perkara gugatan terdapat seorang atau lebih yang merasa haknya telah
dilanggar, akan tetapi orang yang dirasa melanggar hak seseorang atau beberapa orang tersebut
tidak mau secara suka rela melakukan sesuatu yang diminta itu, untuk menentukan siapa yang
benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan pengadilan. Diawali dengan pengajuan
perkara oleh pihak yang merasa haknya dilanggar, dan dalam proses persidangan terdapat
perselisihan dan persengketaan, bukan atas dasar kesepakatan rela sama rela, karena produk yang
dikeluarkan oleh pengadilan dalam perkara contentiosa bukan lagi penetapan tapi dalam bentuk
putusan.3
b. Penggugat dan Tergugat
Penggugat adalah orang yang menuntut hak perdatanya ke muka Pengadilan Perdata. Penggugat
ini disebut eiser (Belanda) atau al- mudda'y (Arab).
Penggugat mungkin sendiri dan mungkin gabungan dari be berapa orang, sehingga
muncullah istilah Penggugat 1, Penggugat 2, Penggugat 3, dan seterusnya. Juga mungkin
memakai kuasa sehingga ditemui istilah Kuasa Penggugat, Kuasa Penggugat 1, Kuasa Penggugat
2, dan seterusnya.
Lawan dari penggugat disebut tergugat atau gedagde (Belanda), atau al-mudda'a 'alaih
(Arab).
Permohonan pemohon adalah suatu permohonan yang didalamnya berisi suatu tuntutan hak
perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hak yang tidak mengandung
sengketa, sehingga badan-badan peradilan dalam mengadili suatu perkara permohonan
(voluntair) bila dianggap sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.
Di lingkungan peradilan agama, sebagaimana yang dijelaskan dalam SE-MA No. 2
Tahun 1990, menyebutkan padaasasnya cerai talak adalah merupakan sengketa perkawinan
antara kedua belah pihak, sehingga karenanya permohonan cerai talak merupakan perkara
contentius dan bukan perkara voluntair, untuk itu produk hakim adalah perkara permohonan
tersebut dibuat dalam bentuk kata putusan dengan amar dalam bentuk penetapan.
Pengadilan hanya berwenang menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap
perkara yang bersifat sengketa. Secara khusus peradilan agama dibenarkan untuk menangani
perkara yang bukan atas dasar persengketaan nsmun bersifat permohonan kepada Pengadilan
Agama, seperti perkara wali adlol (Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987), dispensasi
nikah (UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 7 (2), ijin nikah (UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 (5) jo.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 (2), dan ijin poligami (PP No. 9 Tahun 1975, Pasal 40).
Prosedur pengajuan perkara wali adlol adalah dilakukan sebagaimana perkara biasa, dan
tahapan-tahapan tingkat pemeriksaan perkara tersebut adalah dilakukan dengan tepat, cermat dan
singkat oleh hakim yang menyidangkannya, hal ini dilakukan untuk ditemukan kebenaran fakta
3
https://lawindonesia.wordpress.com/hukum-islam/pihak-dalam-
tentang adlolnya wali. Pemeriksaan singkat (kortgeding) diatur juga dalam pasal 283 RV
(reglemen hukum acara perdata) yakni pemeriksaan secara singkat dimuka hakim mengenai
perkara yang karena memerlukan penyelesaian cepat dan seketika itu juga menghendaki putusan
yang segera.
Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 13 Oktober 1954, menyatakan tidak
nampak suatu keharusan yang patut untuk memperlakukan peraturan pemeriksaan kilat
(kortgeding), sebagai peraturan yang berlaku atau sebagai pedoman bagi peradilan, sehingga
yang dimaksud dengan acara singkat dalam pasal 2 ayat (3) peraturan Menteri Agama Nomor 2
Tahun 1987 adalah bahwa terhadap permohonan wali adlol diharapkan prosedur pemeriksaan di
persidangan dapat dilaksanakan jauh lebih cepat.
Di samping wali adlol adalah perkara poligami, meskipun nampaknya ijin poligami itu
menurut ketentuan perundang-undangan, merupakan perkara voluntair, tetapi dalam praktik
selalu melibatkan kepentingan pihak lain, yaitu pihak isteri dan calon isteri. Sehingga Mahkamah
Agung memberikan petunjukdalam hal permohonan ijin poligami tidak dapat dilakukan secara
voluntair akan tetapi harus dalam bentuk gugatan yang bersifat contensius. Dengan demikian,
ada kewenangan peradilan agama untuk menangani perkara-perkara voluntair sejauh yang telah
ditentukan oleh undang-undang, untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan.
Perbedaannya dengan perkara gugatan murni adalah bahwa dalam perkara
gugatanterdapat persengketaan yang harus mendapatkan penyelesaian melalui putusan
pengadilan.Dalam perkara gugatan terdapat seorang atau lebih yang merasa haknya telah
dilanggar, akan tetapi orang yang dirasa melanggar hak seseorang atau beberapa orang tersebut
tidak mau secara suka rela melakukan sesuatu yang diminta itu, untuk menentukan siapa yang
benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan pengadilan. Diawali dengan pengajuan
perkara oleh pihak yang merasa haknya dilanggar, dan dalam proses persidangan terdapat
perselisihan dan persengketaan, bukan atas dasar kesepakatan rela sama rela, karena produk yang
dikeluarkan oleh pengadilan dalam perkara contentiosa bukan lagi penetapan tapi dalam bentuk
putusan.
Keadaan tergugat juga mungkin sendiri atau mungkin ga bungan dari beberapa orang atau
memakai kuasa, sehingga muncul istilah Tergugat 1, Tergugat 2. Tergugat 3, dan seterusnya.
Kuasa Tergugat 1, Kuasa Tergugat 2, Kuasa Tergugat 3, dan seterusnya.
D. Contoh Surat Gugatan dan Permohonan
Kepada Yth
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Jl.Harsono RM. RT.5/RW.7 Ragunan Kec. Ps.Minggu, Kota Jakarta Selatan- DKI Jakarta
12550
Dengan Hormat
Yang Bertanda tangan dibawah ini, saya Nurul Saputro, S.H. Pekerjaan sebagai Advokat
yang berkantor di Justice Law and Firm-Lebak bulus yang mana bertindak atas nama:
Nama : Sutejo
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 5 September 1989
Agama : Islam
Nomor KTP : 1314232173990
Pekerjaan : PNS
Dalam hal ini memilih tempat kediaman hukum yakni di kantor kuasanya tersebut diatas
untuk menandatangani serta mengajukan surat gugatan ini, yang mana selanjutnya
disebut Penggugat
Dengan surat ini penggugat mengajukan gugatan kepada :
Nama : Adji Santoso
Tempat, Tanggal Lahir : Cirebon, 20 April 1985
Agama : Islam
Nomor KTP : 1314237654890
Pekerjaan : Wiraswasta
Yang mana selanjutnya disebut Tergugat
Adapun duduk Perkaranya adalah sebagai berikut :
 Bahwa pada tanggal 21 Januari 2014 Penggugat dan Tergugat melakukan sebuah
transaksi jual beli tanah dengan surat perjanjian jual beli yang disepakati dengan
harga Rp.500.000.000 (Lima Ratus Juta Rupiah) dan pihak tergugat akan
melunasi sisa pembayaran sebesar Rp.250.000.000 (Dua Ratus Lima Puluh Juta
Rupiah) pada tanggal 3 April 2015 sesuai dengan kesepakatan awal
 Akan tetapi sampai tanggal 5 juli 2015 tergugat belum juga melunasi hutangnya
 Bahwa tergugat berjanji melunasi pembayaran pada awal januari 2016
 Bahwa sampai tangal 1 Februari 2016 tergugat masih belum melunasi kekurangan
pembayaran pembelian tanah kepada penggugat
 Bahwa tergugat berjanji melunasi sisa pembayaran pembelian pada tanggal 1
Januari 2017, Namun sampai tanggal 20 Januari 2017 tergugat masih belum
membayar sisa pembayaran kepada penggugat
Berdasarkan semu uraian diatas, penggugat mohon dengan hormat sudilah kiranya
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan :
 Mengabulkan Gugatan penggugat seluruhnya
 Menyatakan Sah dan Mengganti biaya kerugian sebesar Rp.100.000.000 (Seratus
Juta Rupiah)
 Memebebankan Biaya Perkara kepada Tergugat

Anda mungkin juga menyukai