DISUSUN OLEH:
Kelompok 1
FAKULTAS HUKUM
T.A 2023/2024
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt yang senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita. Salawat serta dalam senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW Karena perjuangannya membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman
yang terang benderang.
Kami kelompok 1 membuat makalah ini yang berjudul “Permohonan dan tata cara
pengajuan dalam memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara” untuk menyelesaikan
tugas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh Bapak Rivaldi Moha. Dalam
penyusunan makalah ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut
membantu dalam penyelesaian makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat memberikan
manfaat, Sebagai manusia biasa kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Oleh karenanya kami, terbuka dalam menerima saran dan kritik dari pembaca.
2
DAFTAR ISI
JUDUL ……………………………………………………..…………………………… i
KATAPENGANTAR……………………………………………………..………........... ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………............…… 4
A. Latar Belakang …………………………………………….................. 4
B. Rumusan Masalah …………………………………………….............. 5
C. Tujuan ……………………………………………................................ 5
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………...................... 6
A. Permohonan,syarat dan isi dalam permohonan ................……………. 6
B. Yang boleh memohon ...................…………………............................. 7
C. Kedudukan pemohon dan termohon serta tata cara pengajuannya ........ 10
BAB III PENUTUP ………………………………………………………...................... 13
A. Kesimpulan……………………………………………….................... 13
B. Saran………………………………………………............................. 13
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………................................. 14
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sengketa antar lembaga negara merupakan masalah dalam pertentangan yang terjadi
dilingkungan lembaga negara. Sengketa yang terjadi disebabkan adanya suatu perselisihan
menenai dilaksanakannya kewenangan antar dua lembaga negara atau lebih,ketika terjadi
sengketa dalam lembaga negara,maka dibutuhkan suatu lembaga yang mempunyai kewenangan
dalam menyelesaikan masalah mengenai sengketa tersebut. Memutus sengketa kewenangan antar
lembaga negara merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi
sebagaimana bunyi dari pasal 24C ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
dasar,memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar,memutus pembubaran partai politik,dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum”.
4
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas maka dapat kita tarik beberapa rumusan masalah yaitu :
1. Apa itu permohonan serta apa saja syarat dan isi permohonan?
2. Siapa saja yang dapat memohon (Legal Standing)?
3. Bagaimana kedudukan pemohon dan termohon serta tata cara dalam pengajuannya?
C.TUJUAN
1. Dapat mengetahui permohonan,syarat dan isi dari permohonan.
2. Dapat mengetahui siapa yang dapat dalam memohon.
3. Dapat mengetahui kedudukan dari pemohon serta tata cara dalam pengajuannya.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi disebutkan permohonan pengajuan dilakukan
secara tertulis mengenai syarat-syarat permohonan terdpat pada pasal 31 sebagai berikut:
a. Memuat nama dan alamat pemohon.
b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan.
c .Hal-hal yang diminta untuk diputuskan.
Permohonan harus melampirkan bukti sebagai pendukung yang dapat membuktikan bahwa
pemohon sunguh-sungguh. Bukti tersebut adalah bukti pertama yang bisa diajukan pemohon
dikarenakam selama dalam persidangan yang sedang berlangsung pemohon masih bisa untuk
mengajukan bukti yang dikiranya penting untuk dapat mendukung permohonannya. Permohonan
pemohon harus memuat mengenai identitas para pihak, postita dan juga petitum.
Dalam menguji Undang-Undang dan juga sengketa kewenangan antar lembaga negara
harus juga dikemukakan hak dan juga kewenangan konstitusionalnya. Namun,didalam Undang-
Undang Mahkamah Kontitusi tidak diharuskan menggunkan sebutan termohon,namun demikian,
walau tidak diharuskan dalam menyebut identitas termohon khusus mengenai perkara sengketa
kewenangan antar lembaga negara keputusan yang diminta dengan sendirinya akan menjelaskan
identitas para pihak termohon. Didalam Hukum Acarra Mahkamah Konstitusi tidak dikenal
adanya intervensi, didalam Hukum Acara Perdata sendiri intervensi disebut dengan tussenkomst
sehingga di Mahkamah Konstitusi tidak dikenal dengan intervensi, dengan alasan karena
sengketa kewenangan sesunguhnya tidak mewakili kepentingan pribadi yang mempunyai sifat
individual melainkan mengenai kepentingan umum.
7
nyata dan dilindungi oleh hukum. Seperti yang telah diketahui bahwa kepenting hukum saja
tidak begitu cukup dalam menjadi dasar dari Legal Standing didalam mengajukan permohonan
di Mahkamah Konstitusi. Ada dua hal yang dapat diuraikan secara jelas kriteria tersebut:
Kesatuan masyarakat hukum adalat merupakan salah satu pihak yang diberikan legal
standing untuk dapat menjadi pemohon di Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari
pengekuan terhadap masyarakat hukum adat, pengakuan tersebut terdapat pasal 18B ayat (2)
8
UUD 1945 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyaratkat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di atur
dalam Undang-Undang “Kesatuan masyarakat hukum adat tersebut hanya bisa diakui
sepanjang ia masih dalam konsep negara kesatuan dan secara nyara masih hidup sesui
dengan susunan dan hak yang biasa dikenal dengan hak ulayat. Hak tradisional diakui secara
konstitusional,tentu merujuk kepada hak dan kewenagan dalam pemerintahan dan juga hak
ulayat yang bisa saja dirugikan dengan adanya suatu Undang-Undang.
Sama halnya dengan orang (naturlijke person) badan hukum juga mempunyai hak dan
kewajiban di dalam satu sistem hukum. Badan hukum yang diakui mempunyai kepribadian
sendri yang biasanya mempunyai kekayaan sendiri, badan hukum bersifat publik apabila
berdiri baik dengan Undang-Undang ataupun perbuatan dari pemerintahan lainnya yang tidak
hanya mempunyai hak, namun juga memiliki kewenangan tertentu dalam menjalankan
sebagaian dari tugas dan kewenagan pemerintahan. Adapun badan hukum privat biasanya
merupakan perjanjian antara lebih dari dua orang sebagai suatu tindakan hukum majemuk
yang sebagian kekayaannya disediakan untuk disendirikan pada badan yang dibentuk dengan
adanya perjanjian. Tidakan hukum ini bersifat (majemuk) atau dilakukan lebih dari dua
orang,seperti perseroan terbatas dan juga koperasi. Badan hukum privat tidak harus selalu
dalam tindakan majemuk saja, seperti yayasan yang memiliki tujuan dalam hal ini tidak
mencari untung. Meski Mahkaamah Konstitusi menyetujui mengenai para pemohon sebagai
kumpulan perorangan yang mempunyai legal standing. Tapi seorang hakim konstitusi
berpendapat pemohon yang kualitas badan hukum privat tidak memiliki legal standing, hal
ini dikarenakan pemohon mempertahankan sebagai badan hukum privat sebagaimna dalam
Buku III KUHPerdata, tentang persekutuan perdata khususnya pada pasal 1653, 1654 dan
1655 KUHPerdata, suatu perkumpulan dapat menjadi perkumpulan berbadan hukum
haruslah mendapatkan pengesahan dari Departemen Kehakiman dan HAM c.q Jenderal
Administrasi Hukum, tidak begitu cukup pendiriannya hanya dengan menggunakan akta
notaris, apalagi tanpa akta notaris. Maka, sesungguhnya pemohon bukan merupakan subyek
9
hukum sebagaimna dimaksud dalam pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi didalam kualitas
atau kadar badan hukum privat, sehingga konsekuensi hukumannya pemohon dalam hal ini
sebagai badan hukum privat tersebut tidak mengalami kerugiaan yang berhubungan dengan
hak daripada konstitusionalnya.
4. Lembaga Negara
Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan lembaga negara bukan saja lembaga negara
yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945, akan tetapi juga lembaga negara sebagai
auxiliary institution yang praktik banyak dibentuk oleh Undang-Undang. Didalam sistem
ketatanegaraan negara Indonesia istilah dari lembaga negara tidak selalu diimaksudkan
ssebagai lembaga negara disebutkan dalam UUD 1945 yang atas perintah dari konstitusi,
namun juga termasuk lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah dari Undang-
Undang bahkan juga atas dasar dari Presiden. Contoh lembaga negara teesebut antara lain
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
PENGAJUANNYA
Kedudukan pemohon dan juga termohon didalam pemeriksaan perkara SKLN sama
(equal), keduanya mempunyai hak, kesempatan dan kebebasan yang sama dalam mengajukan
10
permohonan,membalas alasan pemohon yang dianggap benar menurut hukum,termasuk juga
mengajukan pembelaan dan bukti yang dianggap perlu. Apabila dalam permohonan pemoho
tidak memenuhi syarat subjek perkara dan objek perkara, hakim konstitusi akan menolak
karena tidak termasuk dalam ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
memeriksa, mengadili dan memutuskannya. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi,
permohonan yang tidak memenuhi syarat dinyartakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard) sebagaimana diatur dalam pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Mahmakah
Konstitusi.
Tata cara pengajuan permohonan di Mahkamah Kontitusi diatur di dalam pasal 5 dan 6
Peraturan Mahkamah Konstitusi NO.08/PMK/2006 Tentang Pedoman Beracara dalam
Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, sebagai berikut:
Pasal 5;
(1) Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia dan harus memuat:
a.) Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon,seperti nama lembaga negara, nama
ketua lembaga,dan alamat lengkap lembaga negara;
b.) Nama dan alamat lembaga negara yang menjadi termohon;
c.) Urutan yang jelas tentang:
1) Kewenangan yang dipersengketakan;
2) Kepentingan langsung pemohon atas kewenangan tersebut;
3) Hal-hal yang diminta untuk diputuskan;
(2) Permohonan dibuat dalam 12 (duabelas) rangkap dan ditandatangani oleh Presiden atau
Pemimpin lembaga negara yang mengajukan permohonan atau kuasanya.
(3) Selain dibuat dalam bentuk tertulis,permohonan dapat pula dibuat dalam formal digital
yang tersimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket,ackram padat
(compact disk), atau yang sejenisnya.
(4) Permohonan sengketa kewenagan konstitusional lembaga negara diajukan tanpa dibebani
biaya perkara.
Pasal 6:
11
(1) Permohonan tertulis dan/atau format digitalnya (soft copy) diajukan kepada Mahkamah
Konstitusi melalui kepaniteraan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai alat-alat bukti
pendukung misalnya dasar hukum keberadaan lembaga negara atau surat/dokumen
pendukung.
(3) Alat-alat bukti tertulis yang diajukan,seluruhnya dibuat dalam 12 (duabelas) rangkap
dengan bukti yang asli diberi materai secukupnya.
(4) Apabila pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi,pemohon harus
menyertakan daftar ahli dan/atau saksi yang akan memberi keterangan uang berisi
identitas, keahlian, kesaksian dan pokok-pokok keterangan yang akan diberikan.
(5) Dalam hal pemohon belum mengajukan ahli dan/atau saksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), pemohon masih dapat mengajukan ahli dan/atau selama dalam pemeriksaan
persidangan.
12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dalam judul kami yakni permohonan dan
tata cara pengajuan dalam memutus sengketa kewenangan antar lembaga
negara yakni dengan adanya proses dalam menindaklanjuti hal ini
dikarenakan dalam mengajukan adanya pemutusan sengketa yang sedang
berlangsung memerlukan adanya proses dalam hal tindakan lanjut adapun
syarat-syarat yang harus dilengkapi dalam prosesnya yakni termasuk dalam
pasal 31 yakni ada tiga poin
a. Memuat nama dan alamat pemohon.
b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan.
c. Hal-hal yang diminta untuk diputuskan.
Dan adapun legal standing yakni Hak untuk mengajukan gugatan ataupun
Permohonan dimuka pengadilan disebut dengan standing Legal Standing
dalam sengketa kewenangan lembaga negara Perorangan warga negara
Indonesia Badan Hukum Publik atau Privat Lembaga Negara. Dan yang
13
terakhir adalah dan mengenai kesamaan Antara pemohon dan termohon
memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam melakukan pembelaan
terhadap dirinya dan pembuktian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H. (2017). Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Siahaan, D. M. (2020 ). Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
14