Anda di halaman 1dari 14

HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

PERMOHONAN DAN TATA CARA PENGAJUAN DALAM MEMUTUS


SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA

DISUSUN OLEH:

Kelompok 1

Arni Yusuf (1011421016)

Nisya Purnama A.Imran (1011421306)

Tri Yunita Bempah (1011421179)

Bayu Rosa Ramadhani Pasya (1011421314)

Andika Rayhan Putra Herang (1011421173)

Muthahhar Asqalani Datau (1011421172)

Putra Krisna Suryantoro (1011421171)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

T.A 2023/2024

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt yang senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita. Salawat serta dalam senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW Karena perjuangannya membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman
yang terang benderang.

Kami kelompok 1 membuat makalah ini yang berjudul “Permohonan dan tata cara
pengajuan dalam memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara” untuk menyelesaikan
tugas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh Bapak Rivaldi Moha. Dalam
penyusunan makalah ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut
membantu dalam penyelesaian makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat memberikan
manfaat, Sebagai manusia biasa kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Oleh karenanya kami, terbuka dalam menerima saran dan kritik dari pembaca.

2
DAFTAR ISI

JUDUL ……………………………………………………..…………………………… i

KATAPENGANTAR……………………………………………………..………........... ii

DAFTAR ISI …………………………………………………........................…............. iii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………............…… 4
 A. Latar Belakang …………………………………………….................. 4
 B. Rumusan Masalah …………………………………………….............. 5
 C. Tujuan ……………………………………………................................ 5
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………...................... 6
 A. Permohonan,syarat dan isi dalam permohonan ................……………. 6
 B. Yang boleh memohon ...................…………………............................. 7
 C. Kedudukan pemohon dan termohon serta tata cara pengajuannya ........ 10
BAB III PENUTUP ………………………………………………………...................... 13
 A. Kesimpulan……………………………………………….................... 13
 B. Saran………………………………………………............................. 13
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………................................. 14

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sengketa antar lembaga negara merupakan masalah dalam pertentangan yang terjadi
dilingkungan lembaga negara. Sengketa yang terjadi disebabkan adanya suatu perselisihan
menenai dilaksanakannya kewenangan antar dua lembaga negara atau lebih,ketika terjadi
sengketa dalam lembaga negara,maka dibutuhkan suatu lembaga yang mempunyai kewenangan
dalam menyelesaikan masalah mengenai sengketa tersebut. Memutus sengketa kewenangan antar
lembaga negara merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi
sebagaimana bunyi dari pasal 24C ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
dasar,memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar,memutus pembubaran partai politik,dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum”.

Ketika Mahkamah Konstitusi belum terbentuk,hukum ketetanegaraan di Indonesia masih


belum memuat cara dalam menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara.Maka
tujuan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yaitu untuk memutus sengketa kewenangan dalam
lembaga negara.Menurut Jimly Asshiddiqie kewenangan lembaga negara yang terdapat didalam
pasal 24 C ayat (1) tersebut mempunyai dua unsur yaitu,ada kewenagan konstitusional dan
penyebab timbulnya sengketa dalam dilaksanakan kewenagan dari konstitusional tersebut yang
merupakan akibat dari perbedaan tafsiran mengenai kewenangan yang ada pada lembaga negara
yang berkaitan. Sengketa kewenagan antar lembaga negara bisa terjadi karen kurang dalam
memadai sistem yang menyusun dan juga tempat terkait antar lembaga negara yang
menimbulkan akibat perbedaan pandangan mengenai suatu ketentuan dasar dalam
penyelenggaraan negara. Untuk mengatasi masalah kewenagan dibutuhkan tata cara agar
sengketa kewenagan antar lembaga negara dalam diputus.

4
B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang diatas maka dapat kita tarik beberapa rumusan masalah yaitu :
1. Apa itu permohonan serta apa saja syarat dan isi permohonan?
2. Siapa saja yang dapat memohon (Legal Standing)?
3. Bagaimana kedudukan pemohon dan termohon serta tata cara dalam pengajuannya?

C.TUJUAN
1. Dapat mengetahui permohonan,syarat dan isi dari permohonan.
2. Dapat mengetahui siapa yang dapat dalam memohon.
3. Dapat mengetahui kedudukan dari pemohon serta tata cara dalam pengajuannya.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. PERMOHONAN, SYARAT dan ISI DALAM PERMOHONAN


 Di Mahkamah Konstitusi dikenal dengan istilah permohonan,penggunaan kata
permohonan dan bukan gugatan sebagaimana didalam Hukum Acara Perdata bisa timbulnya
pandangan seakan-akan perkara yang diajukan itu merupakan satu perkara yang mempunyai sifat
satu pihak (ex parle atau voluntaria). Dalam penggunaan kata ini berpengaruh seakan-akan tidak
adanya pihak lain sebagai termohon dan yang mempunyai hak dalam melawan permohonan.Hal
ini tidak selalu benar dikarenakan dalam beragam perkara mengenai suatu hal tertentu
diharuskan adanya pihak yang secara tegas dan jelas dipertahankan dan ditarik sebagai pihak
yang memiliki hak dalam menjawab permohonan tersebut.Dalam Peraturan Mahkamah Agung
(perma) No.2 tahun 2002 tentang Mahkamah Agunga sebagaimana dalam pasal 1 ayat (7) dan
(8) membedakan permohonan dan gugatan.Apabila perkara yang diajukan tersebuut tentang
pe,bubran partai politk dan perselisihan hasil pemilihan umum maka harus dmenggunakan
gugatan yang merupakan tuntutan tertulis.Sehingga Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun
2002 itu tidak berlaku dikarenakan adanya Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menggunakan istilah permohonan akan tetapi ada
pihak-pihak yang mempunyai kepentingan berada didalam posisi sebagai termohon.
Dimungkinkan hal ini muncul karena kuatnya nuansa mengenai kepentingan umum yang
terbawa didalam perselisihan, sehingga dijauhkan sifat berperkara. Permohonan dapat
dikemukakan secara tertulis menggunakan bahasa Indonesia dalam persyaratan 12 rangkap
mengapa demikian? Dikarenakan hakim berjumlah Sembilan dan masing-masing dari mereka
akan mendapatkan satu rangkap.
 Syarat dan isi dari permohonan

6
Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi disebutkan permohonan pengajuan dilakukan
secara tertulis mengenai syarat-syarat permohonan terdpat pada pasal 31 sebagai berikut:
a. Memuat nama dan alamat pemohon.
b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan.
c .Hal-hal yang diminta untuk diputuskan.
Permohonan harus melampirkan bukti sebagai pendukung yang dapat membuktikan bahwa
pemohon sunguh-sungguh. Bukti tersebut adalah bukti pertama yang bisa diajukan pemohon
dikarenakam selama dalam persidangan yang sedang berlangsung pemohon masih bisa untuk
mengajukan bukti yang dikiranya penting untuk dapat mendukung permohonannya. Permohonan
pemohon harus memuat mengenai identitas para pihak, postita dan juga petitum.
Dalam menguji Undang-Undang dan juga sengketa kewenangan antar lembaga negara
harus juga dikemukakan hak dan juga kewenangan konstitusionalnya. Namun,didalam Undang-
Undang Mahkamah Kontitusi tidak diharuskan menggunkan sebutan termohon,namun demikian,
walau tidak diharuskan dalam menyebut identitas termohon khusus mengenai perkara sengketa
kewenangan antar lembaga negara keputusan yang diminta dengan sendirinya akan menjelaskan
identitas para pihak termohon. Didalam Hukum Acarra Mahkamah Konstitusi tidak dikenal
adanya intervensi, didalam Hukum Acara Perdata sendiri intervensi disebut dengan tussenkomst
sehingga di Mahkamah Konstitusi tidak dikenal dengan intervensi, dengan alasan karena
sengketa kewenangan sesunguhnya tidak mewakili kepentingan pribadi yang mempunyai sifat
individual melainkan mengenai kepentingan umum.

B. YANG BOLEH MEMOHON (LEGAL STANDING)


Dalam hal memohon tidak semua orang dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah
Konstitusi dan menjadi pemohon,hanya mereka yang mempunyai kepentingan politik saja.
Didalam Hukum Acara Perdata apabila ada kepentingan hukum boleh mengajukan gugatan. Hak
untuk mngajukan gugatan ataupun permohonan dimuka pengadilan (standing to sue) disebut
dengan standing atau personac standi in judicio.Standing sendiri merupakan satu konsep yang
dipakai dalam menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara cukup maka satu
perselisihan diajukan dimuka pengadilan ini merupakan satu hak untuk dapat mengambil sebuah
langah merumuskan mengenai masalah hukum sehingga memperoleh putusan akhri dari
pengadilan. Adapun persyaratan standing telah dipernuhi ketika penggugat memiliki kepentingan

7
nyata dan dilindungi oleh hukum. Seperti yang telah diketahui bahwa kepenting hukum saja
tidak begitu cukup dalam menjadi dasar dari Legal Standing didalam mengajukan permohonan
di Mahkamah Konstitusi. Ada dua hal yang dapat diuraikan secara jelas kriteria tersebut:

1) Kuatifikasi pemohonn apakah sebagai:


a. Perorangan warga negara Indonesia (termasuk juga kelompok orang yang memiliki
kepentingan sama.
b. Kesatuan dari masyrakat hukum adat sepanjang masih hidup dan berkembang sesuai
dengan masyarakat dan prinsip dari negara Indonesia yang diatur didalam Undang-
Undang.
c. Badan hukum publik atau privat.
d. Lembaga negara.
2) Adanya anggapan didalam kualifikasi demikian ada hak dan kewenangan konstitusional
dari pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang.

Berikut ini merupakan pemohon (legal standing):

1. Legal Standing dalam sengketa kewenangan lembaga negara


Legal Standing didalam UUD 1945 diatur didalam pasal 61 ayat (1) yang berbunyi
sebagai berikut: “pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhada kewenangan yang
dipersengketakan”. Sehingga baik pemohon ataupun termohon harus merupakan lembaga
negara yang kewenagan diberikan oleh UUD 1942, harus mempunyai kewenagan
konstitusional yang dipersengketakan oleh pemohon ataupun termohon,dimana
kewenangan konstitusi dari pemohon diambil ahli ataupun merasa terganggu dengan
tindakan termohon, pemohon harus memiliki kepentingan langsung dengan kewenagan
konstitusi yang sedang dipersengketakan.

2. Perorangan warga negara Indonesia

Kesatuan masyarakat hukum adalat merupakan salah satu pihak yang diberikan legal
standing untuk dapat menjadi pemohon di Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari
pengekuan terhadap masyarakat hukum adat, pengakuan tersebut terdapat pasal 18B ayat (2)

8
UUD 1945 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyaratkat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di atur
dalam Undang-Undang “Kesatuan masyarakat hukum adat tersebut hanya bisa diakui
sepanjang ia masih dalam konsep negara kesatuan dan secara nyara masih hidup sesui
dengan susunan dan hak yang biasa dikenal dengan hak ulayat. Hak tradisional diakui secara
konstitusional,tentu merujuk kepada hak dan kewenagan dalam pemerintahan dan juga hak
ulayat yang bisa saja dirugikan dengan adanya suatu Undang-Undang.

3. Badan Hukum Publik atau Privat

Sama halnya dengan orang (naturlijke person) badan hukum juga mempunyai hak dan
kewajiban di dalam satu sistem hukum. Badan hukum yang diakui mempunyai kepribadian
sendri yang biasanya mempunyai kekayaan sendiri, badan hukum bersifat publik apabila
berdiri baik dengan Undang-Undang ataupun perbuatan dari pemerintahan lainnya yang tidak
hanya mempunyai hak, namun juga memiliki kewenangan tertentu dalam menjalankan
sebagaian dari tugas dan kewenagan pemerintahan. Adapun badan hukum privat biasanya
merupakan perjanjian antara lebih dari dua orang sebagai suatu tindakan hukum majemuk
yang sebagian kekayaannya disediakan untuk disendirikan pada badan yang dibentuk dengan
adanya perjanjian. Tidakan hukum ini bersifat (majemuk) atau dilakukan lebih dari dua
orang,seperti perseroan terbatas dan juga koperasi. Badan hukum privat tidak harus selalu
dalam tindakan majemuk saja, seperti yayasan yang memiliki tujuan dalam hal ini tidak
mencari untung. Meski Mahkaamah Konstitusi menyetujui mengenai para pemohon sebagai
kumpulan perorangan yang mempunyai legal standing. Tapi seorang hakim konstitusi
berpendapat pemohon yang kualitas badan hukum privat tidak memiliki legal standing, hal
ini dikarenakan pemohon mempertahankan sebagai badan hukum privat sebagaimna dalam
Buku III KUHPerdata, tentang persekutuan perdata khususnya pada pasal 1653, 1654 dan
1655 KUHPerdata, suatu perkumpulan dapat menjadi perkumpulan berbadan hukum
haruslah mendapatkan pengesahan dari Departemen Kehakiman dan HAM c.q Jenderal
Administrasi Hukum, tidak begitu cukup pendiriannya hanya dengan menggunakan akta
notaris, apalagi tanpa akta notaris. Maka, sesungguhnya pemohon bukan merupakan subyek

9
hukum sebagaimna dimaksud dalam pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi didalam kualitas
atau kadar badan hukum privat, sehingga konsekuensi hukumannya pemohon dalam hal ini
sebagai badan hukum privat tersebut tidak mengalami kerugiaan yang berhubungan dengan
hak daripada konstitusionalnya.

4. Lembaga Negara

Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan lembaga negara bukan saja lembaga negara
yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945, akan tetapi juga lembaga negara sebagai
auxiliary institution yang praktik banyak dibentuk oleh Undang-Undang. Didalam sistem
ketatanegaraan negara Indonesia istilah dari lembaga negara tidak selalu diimaksudkan
ssebagai lembaga negara disebutkan dalam UUD 1945 yang atas perintah dari konstitusi,
namun juga termasuk lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah dari Undang-
Undang bahkan juga atas dasar dari Presiden. Contoh lembaga negara teesebut antara lain
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Demikian mengenai sengketa kewenangan antar lembaga negara yang memperoleh


wewenang dari UUD 1945 yaitu MPR, Presiden, DPR, DPD dan BPK. Namun terjadinya
perubahan UUD 1945 Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial di samping Mahkamah
Agung adalah juga lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945. Dalam
hal tentang sengketa kewenagan secara khusus diatur dalam Bab V bagian kesembilan dari
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang mengatur lembaga negara sebagai salah satu
kategori pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang yang lebih luas dari lembaga
negara yang memperoleh kewenanganya dari UUD 1945.

C. KEDUDUKAN PEMOHON DAN TERMOHON SERTA TATA CARA

PENGAJUANNYA

Kedudukan pemohon dan juga termohon didalam pemeriksaan perkara SKLN sama
(equal), keduanya mempunyai hak, kesempatan dan kebebasan yang sama dalam mengajukan

10
permohonan,membalas alasan pemohon yang dianggap benar menurut hukum,termasuk juga
mengajukan pembelaan dan bukti yang dianggap perlu. Apabila dalam permohonan pemoho
tidak memenuhi syarat subjek perkara dan objek perkara, hakim konstitusi akan menolak
karena tidak termasuk dalam ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
memeriksa, mengadili dan memutuskannya. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi,
permohonan yang tidak memenuhi syarat dinyartakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard) sebagaimana diatur dalam pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Mahmakah
Konstitusi.

Tata cara pengajuan permohonan di Mahkamah Kontitusi diatur di dalam pasal 5 dan 6
Peraturan Mahkamah Konstitusi NO.08/PMK/2006 Tentang Pedoman Beracara dalam
Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, sebagai berikut:

 Pasal 5;
(1) Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia dan harus memuat:
a.) Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon,seperti nama lembaga negara, nama
ketua lembaga,dan alamat lengkap lembaga negara;
b.) Nama dan alamat lembaga negara yang menjadi termohon;
c.) Urutan yang jelas tentang:
1) Kewenangan yang dipersengketakan;
2) Kepentingan langsung pemohon atas kewenangan tersebut;
3) Hal-hal yang diminta untuk diputuskan;
(2) Permohonan dibuat dalam 12 (duabelas) rangkap dan ditandatangani oleh Presiden atau
Pemimpin lembaga negara yang mengajukan permohonan atau kuasanya.
(3) Selain dibuat dalam bentuk tertulis,permohonan dapat pula dibuat dalam formal digital
yang tersimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket,ackram padat
(compact disk), atau yang sejenisnya.
(4) Permohonan sengketa kewenagan konstitusional lembaga negara diajukan tanpa dibebani
biaya perkara.

 Pasal 6:

11
(1) Permohonan tertulis dan/atau format digitalnya (soft copy) diajukan kepada Mahkamah
Konstitusi melalui kepaniteraan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai alat-alat bukti
pendukung misalnya dasar hukum keberadaan lembaga negara atau surat/dokumen
pendukung.
(3) Alat-alat bukti tertulis yang diajukan,seluruhnya dibuat dalam 12 (duabelas) rangkap
dengan bukti yang asli diberi materai secukupnya.
(4) Apabila pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi,pemohon harus
menyertakan daftar ahli dan/atau saksi yang akan memberi keterangan uang berisi
identitas, keahlian, kesaksian dan pokok-pokok keterangan yang akan diberikan.
(5) Dalam hal pemohon belum mengajukan ahli dan/atau saksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), pemohon masih dapat mengajukan ahli dan/atau selama dalam pemeriksaan
persidangan.

12
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dalam judul kami yakni permohonan dan
tata cara pengajuan dalam memutus sengketa kewenangan antar lembaga
negara yakni dengan adanya proses dalam menindaklanjuti hal ini
dikarenakan dalam mengajukan adanya pemutusan sengketa yang sedang
berlangsung memerlukan adanya proses dalam hal tindakan lanjut adapun
syarat-syarat yang harus dilengkapi dalam prosesnya yakni termasuk dalam
pasal 31 yakni ada tiga poin
a. Memuat nama dan alamat pemohon.
b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan.
c. Hal-hal yang diminta untuk diputuskan.
Dan adapun legal standing yakni Hak untuk mengajukan gugatan ataupun
Permohonan dimuka pengadilan disebut dengan standing Legal Standing
dalam sengketa kewenangan lembaga negara Perorangan warga negara
Indonesia Badan Hukum Publik atau Privat Lembaga Negara. Dan yang
13
terakhir adalah dan mengenai kesamaan Antara pemohon dan termohon
memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam melakukan pembelaan
terhadap dirinya dan pembuktian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H. (2017). Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Siahaan, D. M. (2020 ). Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.

14

Anda mungkin juga menyukai