DAN OBJEKNYA
Tugas ini dilaksanakan untuk memenuhi mata kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Dosen Pengampu:
Oleh:
Kelompok 4
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam yang telah melimpahkan
Rahmat serta Hidayah kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tersanjungkan kepada baginda
Rasul Muhammad SAW yang dengan jerih payahnya telah mampu merubah
peradaban yang tidak mengenal perikemanusiaan menuju peradaban yang penuh
dengan kebaikan.
Dalam kesempatan ini dengan penuh rasa suka cita penulis mengucapkan
rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pembuatan
makalah ini, terutama kepada bapak dosen mata kuliah Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi yang telah memberikan kepercayaannya kepada penulis untuk membuat
makalah yang berjudul “Permohonan dalam Perkara Pembubaran Partai Politik
dan Objeknya” ini.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah yang telah dibuat ini masih
banyak kesalahan yang harus diperbaiki, oleh karena itu penulis mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca yang budiman agar dalam pembuatan makalah
yang berikutnya tidak terjadi kesalahan serupa.
Penulis
(Kelompok 4)
i
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
A. Simpulan .................................................................................... 22
B. Saran .......................................................................................... 23
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi, menjamin adanya partai politik
yang merupakan salah satu manfestasi dari hak kebebasan berserikat sebagaimana
tercermin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD NRI) Tahun 1945. Partai politik tersebut menjadi sangat dibutuhkan oleh
karena partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) sebagai
penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga
negara. Bahkan sistem kepartaian yang baik akan menentukan bekerjanya sistem
ketatanegaraan berdasarkan prinsip check and balances dalam arti yang luas.
Dalam konteks politik, terutama pada relasi kekuasaan, partai politik telah
mengubah relasi antara rakyat dengan penguasa dari semula mendiskualifikasi
rakyat dari panggung kekuasaan politik, menjadi memposisikan rakyat sebagai
aktor dan poros penting dalam relasi itu, bahkan dalam demokrasi kontemporer
keberadaaan partai politik telah menjadi instrumen utama rakyat untuk
berkompetisi dan mendapatkann kendali atas institusi-institusi politik.
Melihat jumlah partai politik yang berbeda-beda disetiap pemilihan umum dari
masa kemasa menandakan terdapat partai politik yang tetap bertahan sebagai
peserta pemilihan umum, dan terdapat partai politik yang tidak mampu untuk
mempertahankan keberadaanya sebagai partai politik yang diakui di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Melihat realita ini tentunya terdapat beberapa alasan
yang menyebabkan partai politik tersebut tidak mampu untuk mempertahankan
keberadaannya sebagai partai politik yang diakui di Indonesia, antara lain
membubarkan diri, menggabungkan diri dengan partai politik lain dan dibubarkan.
Dalam praktiknya di Indonesia, pengawasan terhadap partai politik dilakukan
melalui dua cara, yakni melalui pemilu dan melalui pembubaran partai politik.
Berkenaan dengan pembubaran partai politik, Mahkamah Konstitusi (MK) yang
lahir pada tahun 2003 berdasar Pasal 25 C ayat (1) UUD NRI 1945 telah diberi
1
mandat oleh konstitusi untuk membubarkan partai politik. Secara umum alasan
pembubaran partai politik oleh MK adalah karena partai politik telah melakukan
kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD NRI 1945, menggangggu
NKRI dan terbukti menyebarkan faham komunisme dan leninisme. Sesuai dengan
Pasal 68 ayat (1) UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pemohon
dalam pembubaran partai politik adalah pemerintah8 dan termohonnya adalah
partai politik.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas diambil rumusan masalah di antaranya:
1. Apa pengertian permohonan?
2. Apa saja alasan pembubaran Partai Politik?
3. Bagaimana tahap pengajuan permohonan ke Mahkamah Konstitusi?
4. Bagaimana tahap persidangan di Mahkamah Konstitusi?
5. Apa objek permohonan pembubaran Partai Politik?
6. Apa saja urgensi perluasan permohonan pembubaran Partai Politi di
Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Dengan adanya makalah ini maka dapat meraih pemahaman di antaranya:
1. Untuk memahami pengertian permohonan.
2. Untuk memahami alasan pembubaran Partai Politik.
3. Untuk memahami tahap pengajuan permohonan ke Mahkamah
Konstitusi.
4. Untuk memahami tahap persidangan di Mahkamah Konstitusi.
5. Untuk memahami objek permohonan pembubaran Partai Politik.
6. Untuk memaham urgensi perluasan permohonan pembubaran Partai
Politi di Indonesia.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Permohonan
Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada
Mahkamah Konstitusi mengenai:
1. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Pembubaran partai politik;
4. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
5. Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Mengenai istilah permohonan ini, Maruarar Siahaan dalam buku Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagaimana kami sarikan berikut ini:
“Mekanisme constitutional control digerakkan oleh adanya permohonan dari
pemohon yang memiliki legal standing untuk membela kepentingannya yang
dianggap dirugikan oleh berlakunya satu undang-undang, atau berangkat dari
kewenangan konstitusional suatu lembaga negara dilanggar atau dilampaui oleh
lembaga negara lainnya.”
Pemilihan kata “permohonan” dan bukan “gugatan” yang diajukan kepada MK
sebagaimana dalam hukum acara perdata yang menyangkut contentieus
rechtspraak dapat menimbulkan kesan seolah-olah yang diajukan merupakan satu
perkara yang bersifat satu pihak (ex parte atau volontair). Pemilihan kata
permohonan ini juga berdampak seolah-olah tidak ada pihak lain yang ditarik
3
sebagai pihak atau termohon dan yang mempunyai hak untuk melawan permohonan
tersebut. Padahal hal ini tidak selalu benar karena dalam jenis perkara tertentu harus
ada pihak yang secara tegas ditetapkan dan ditarik sebagai pihak dan yang
mempunyai hak untuk menjawab atau menanggapi permohonan tersebut.
UU MK memilih istilah “permohonan” akan tetapi sesungguhnya ada pihak
yang berkepentingan untuk berada dalam posisi sebagai termohon. Mungkin hal ini
timbul karena kuatnya nuansa kepentingan umum yang terlibat dalam perselisihan
demikian sehingga dihindarkan sifat berperkara yang adversarial.1
1
Ilman Hadi, “Sebutan untuk Para Pihak yang Beracara di Mahkamah Konstitusi - Klinik
Hukumonline,” hukumonline.com, accessed November 24, 2021,
https://hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5134638c21e69/sebutan-untuk-para-pihak-yang-
beracara-di-mahkamah-konstitusi.
4
penggabungan partai-partai tentunya tidak sulit untuk diterima. Namun cara
pembubaran partai politik oleh karena keputusan otoritas negara dapat
menimbulkan perdebatan dan permasalahan dikarenakan dilakukan atas dasar
keputusan otoritas negara secara paksa (enforced dissolution). Pemberian sanksi
demikian dari negara terhadap partai politik tidak menutup kemungkinan dapat
dinilai inkonstitusional dan melanggar peraturan perundang-undangan.2
Dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Beraracara dalam Pembubaran Partai Politik yang menyatakan, bahwa
“Partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi apabila:
a. Ideologi, asas, tujuan, program partai politik bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b. Kegiatan partai politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 atau akibat yang ditimbulkannya
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.”3
Alasan-alasan pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi merupakan
bentuk pembatasan undang-undang terhadap pelaksanaan hak atas kebebasan
berserikat, sehingga partai politik yang melanggar larangan-larangan yang telah
ditetapkan dijatuhi sanksi pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi. Pembatasan
terhadap pelaksanaan kebebasan berserikat sebagai HAM juga telah diatur dalam
UUDNRI 1945 yaitu dalam Pasal 28J yang mengatur mengenai kewajiban dasar
dalam pelaksanaan HAM. Pelaksanaan HAM tersebut harus memperhatikan
kewajiban dasar yang tertuang dalam Pasal 28J UUDNRI 1945 sebagai bentuk
mengakui dan menghormati HAM individu lainnya, jangan sampai pelaksanaan
HAM menyinggung atau menciderai HAM orang lainnya. Adapun kewajiban dasar
dalam pelaksanaan HAM tersebut adalah kewajiban untuk menghormati HAM
2
Ahmad Iskandar Nasution, “Pembubaran Partai Politik di Indonesia,” Dharmasisya Jurnal
Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1, no. 2 (June 2021): 605.
3
“Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Prosedur Beracara Dalam
Pembubaran Partai Politik” (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, June 2, 2008), 2–3.
5
individu lainnya dan kewajiban untuk menaati larangan-larangan dalam perundang-
undangan yang berlaku.4
Pembatasan terhadap kebebasan berserikat melalui partai politik berupa
larangan-larangan yang diatur dalam undang-undang dengan sanksi berupa
pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi dari perspektif HAM merupakan hal yang
diperbolehkan. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam Pasal 4 ICCPR 1966
hak atas kebebasan berserikat merupakan hak yang dapat ditunda pemenuhannya
(derogable rights), sehingga dimungkinkan untuk di-lakukan pembatasan-
pembatasan. Pembatasan atas kebebasan berserikat haruslah diatur dalam hukum
sebagaimana diamanatkan oleh ICCPR 1966.
Dengan demikian maka pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi
merupakan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan partai politik bersangkutan
terhadap pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan dalam undang-undang
terhadap kebebasan berserikat sebagai derogable right. Pembatasan-pembatasan
terhadap kebebasan berserikat melalui partai politikyang diatur dalam undang-
undang perlu dilakukan untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain,
menjaga, ketertiban bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta terutama untuk
menjaga keutuhan NKRI berdasarkan ideologi Pancasila dan UUDNRI 1945.
Jangan sampai pelaksanaan kebebasan berserikat melalui partai politik dengan
mengatasnamakan demokrasi dapat membahayakan persatuan dan kesatuan, serta
keutuhan NKRI.5
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Mahkamah Agung dapat
membubarkan partai politik yang melakukan pelanggaran tertentu. Kewenangan itu
dilakukan dengan terlebih dahulu mendengar keterangan dari Pengurus Pusat Partai
Politik dan setelah melalui proses peradilan yang memiliki kekuatan hukum yang
tetap. Dengan demikian, proses pembubaran partai politik oleh Mahkamah Agung
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 harus melalui proses
pengadilan untuk membuktikan pelanggaran yang dilakukan. Jika proses
4
Putu Eva Ditayani Antari, “Kewenangan Pembubaran Partai Politik Oleh Mahkamah Konstitusi
Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM),” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana
Master Law Journal) 7, no. 3 (November 18, 2014): 391.
5
Ibid., 391–392.
6
pengadilan tersebut telah diputus dan memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat
dilanjutkan dengan proses peradilan pembubaran untuk memeriksa keterangan dari
pengurus partai pilitik yang bersangkutan. Bahkan sebelum proses peradilan
pembubaran partai politik, Mahkamah Agung harus memberikan peringatan tertulis
sebanyak 3 kali berturut-turut selama 3 bulan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 digantikan dengan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2002 di mana yang memutus pembubaran partai politik adalah
Mahkamah Konstitusi sesuai dengan perubahan UUD NRI 1945. Ketentuan tentang
pembubaran partai politik melalui proses pengadilan di Mahkamah Konstitusi juga
diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Alasan pembubaran partai politik menurut Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2002 adalah jika pengurus partai politik menggunakan partainya untuk
melakukan kegiatan menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau
paham Komunisme-Marxisme-Leninisme sehingga dituntut berdasarkan Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan
kejahatan terhadap keamanan negara. Sedangkan alasan yang ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 adalah ideologi, asas, tujuan, program, dan
kegiatan partai politik yang bertentangan dengan UUD 1945.6
Berikut beberapa alasan-alasan yang dijadikan dasar dalam rangka melakukan
pembubaran partai politik yang pernah terjadi di Indonesia pada rezim orde lama
dan Rezim orde baru yang di ambil dari penelitian Disertasi M. Ali Safa’at7:
6
Gema Perdana, “Hak Rakyat dalam Mekanisme Pembubaran Partai Politik di Indonesia,” Jurnal
Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 4, no. 1 (June 30, 2019): 72.
7
Ibid., 73–74.
7
3. Perpres 25 2. Programnya bermaksud dalam pemberontakan
Tahun 1960. merombak asas dan tujuan PRRI/ Permesta dan
negara. partai politiknya tidak
3. Sedang melakukan secara resmi
pemberontakan karena menyalahkan perbuatan
pemimpinnya turut serta anggotanya itu.
dalam pemberontakan, dan
partai tidak dengan resmi
menyalaHkan perbuatan
anggotanya itu.
4. Tidak memenuhi syarat
sesuai syarat pengakuan.
8
perbuatan bertentangan dengan Pancasila
anggotanya itu. dan para penganut paham
4. Tidak memenuhi tersebut, khususnya PKI, telah
syarat sesuai syarat terbukti beberapa kali berusaha
pengakuan. merobohkan kekuasaan yang sah
dengan jalan kekerasan.
9
5. Menganut, mengembangkan dan menyebarkan faham
atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya.
6. Menerima bantuan dari pihak asing.
7. Memberikan bantuan kepada pihak asing yang mengikat
kepentingan bangsa dan negara.
10
menjadi suatu keharusan yang tidak dapat dinafikkan. Dengan begitu, secara sadar
negara telah melangkahkan kakinya menuju sistem pemilu yang lebih demokratis.
Jika kita melihat Pasal 40 ayat (2) huruf a UU Partai Politik, Partai Politik
dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan
peraturan perundang-undangan. hal ini menjadi sangat luas makna penafsirannya
karena apakah sebuah partai politik di daerah yang dalam proses pemilihan umum
melakukan sebuah kecurangan “money politic” dapat menjadi alasan pembenar atas
adanya pemenuhan unsur-unsur kejahatan yang dapat menjadi alasan pembenar
dalam pembubaran partai politik. Jika melihat pengaturan partai politik di
Philippina, di mana partai politik yang terdaftar dan memiliki kursi di parlemen
berhak atas bantuan pendanaan dari negara untuk operasional kegiatan
pengembangan partai dan sosialisasi pada pemilu, namun hak tersebut juga
melekatkan kewajiban yaitu adanya laporan pertanggungjawaban atas
penggunaannya kepada negara. Jika terdapat penyalahgunaan dan/atau tidak
memenuhi kewajiban maka partai politik dapat dibubarkan oleh negara.
Adanya berbagai macam formulasi pengaturan terhadap partai politik pada
prinsipnya dibuat untuk melindungi kepentingan masyarakat. Akan tetapi, maksud
yang baik tersebut tidak akan dapat terwujud jika dalam pengaturannya tidak rigid
dan spesifik sehingga akan banyak celah yang digunakan sebagai alasan pembenar
dari partai politik untuk dapat membantah segala tindakan yang telah dilakukan
yang dapat diindikasikan telah memenuhi kualifikasi pelanggaran dan layak untuk
dibubarkan. Serta dibutuhkan institusi yang memang kredibel dan objektif
menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap partai politik.8
8
Ibid., 74–75.
11
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai
politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum”. Berdasarkan Pasal
tersebut maka kewenangan memutus pembubaran partai politik secara
konstitusional diberikan kepada Mahkamah Konstitusi yang berarti secara yuridis
menghapuskan kewenangan Mahkammah Agung dalam membubarkanpartai
politik.9
Terkait permohon dan termohon dalam perkara ini yakni disebutkan dalam
Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi No 12 Tahun 2008 tentang prosedur
beracara dalam pembubaran partai politik, pemohon adalah Pemerintah yang dapat
diwakili oleh jaksa Agung dan atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden, Termohon
merupakan parpol yang diwakili oleh pimpinan parpol yang dimohonkan untuk
dibubarkan dan Teromohon sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat didampingi
atau diwakili oleh kuasa hukumnya. Pemerintah dalam urusan ini hanya bertindak
sebagai penuntut dengan cara mengajukan permohonan pembubaran partai politik
secara resmi kepada Mahkamah Konstitusi. Apabila dalam persidangan, dalil dan
argumen tentang konstitusionalitas yang dipakai untuk pembubaran partai politik
itu dinilai memang cukup beralasan, maka tentunya Mahkamah Konstitusi akan
menyatakan bahwa partai politik yang bersangkutan bubar sebagaimana mestinya.
Proses Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai politik
selanjutnya dijabarkan sebagai berikut:
1. Proses mengajukan permohonan pembubaran partai politik
2. Pendaftaran permohonan dan penjadwalan sidang
3. Persidangan
4. Rapat Permusyawaratan Hakim
5. Putusan
Terkait dengan prosedur pengajuan permohonan pembubaran partai politik,
Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur
9
Herdianto H Lalenoh, “Kewenangan Mahkamah Kinstitusi dalam Memutuskan Pembubaran Partai
Politik Ditinjau dari Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945,” Lex Administratum VI, no. 4 (September
2018): 30.
12
Beracara dalam Pembubaran Partai Politik yang menjadi pedoman dalam beracara
perkara pembubaran partai politik tidak memberikan persyaratan khusus dalam
pengajuan permohonan pembubaran partai politik. Secara umum, Pasal 4 PMK
hanya menyebutkan sebagai berikut10:
1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon
atau kuasanya kepada Mahkamah.
2. Permohonan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua
belas) rangkap.
3. Permohonan sekurang-kurangnya memuat:
a. Identitas lengkap pemohon dan kuasanya jika ada yang dilengkapi surat
kuasa khusus untuk itu;
b. Uraian yang jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan
partai politik yang dimohonkan pembubaran yang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
c. Alat-alat bukti yang mendukung permohonan.
Artinya, apabila pemerintah akan mengusulkan pembubaran terhadap partai
politik kepada MK, pemerintah cukup memenuhi prosedur administratif
sebagaimana yang telah diatur dalam PMK tersebut. Apabila pembubaran partai
politik dalam hal ini adalah pelanggaran pidana pemilu dan pemohonnya adalah
perseorangan atau kelompok masyarakat dan/atau Bawaslu, maka pemohon harus
mendapatkan hasil putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
(inkracht) yang membuktikan terjadinya pelanggaran pidana pemilu yang bersifat
terstruktur, sistematis dan masif (khususnya terhadap pelanggaran politik uang,
manipulasi suara, pemalsuan suara, mobilisasi PNS, dan perolehan suara melalui
kerjasama dengan oknum penyelenggaran pemilu) yang dilakukan oleh partai
politik bersangkutan. Putusan pengadilan inilah yang kemudian menjadi dasar
perseorangan atau kelompok masyarakat dan/atau Bawaslu untuk mengajukan
10
“Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Prosedur Beracara Dalam
Pembubaran Partai Politik,” 3.
13
permohonan pembubaran partai politik ke MK disamping juga harus memenuhi
persyaratan administratif lainnya sebagaimana yang telah ditentukan.
Permohonan pembubaran partai politik yang telah diterima MK dicatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Selanjutnya MK menyampaikan permohonan
yang sudah dicatat tersebut kepada partai politik yang bersangkutan dalam waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pencatatan dilakukan untuk kemudian
diteruskan ketahap pemeriksaan pendahuluan dan persidangan. Penetapan hari
sidang pertama diberitahukan kepada para pihak (pemohon dan termohon) dan
diumumkan kepada masyarakat melalui penempelan salinan pemberitahuan di
papan pengumuman Mahkamah yang khusus untuk itu.11
11
Sri Hastuti Puspitasari, Zayanti Mandasari, and Harry Setya Nugraha, “Urgensi Perluasan
Permohonan Pembubaran Partai Politik di Indonesia,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Faculty of
Law 23, no. 4 (October 2016): 567.
14
Apabila dalam pemeriksaan pendahuluan dinyatakan bahwa permohonan yang
diajukan tersebut tidak lengkap, pemohon wajib melengkapi dan/atau memperbaiki
permohonannya dalam jangka waktu 14 hari sejak permohonan tersebut
dikembalikan oleh MK. Dalam peraturan yang berlaku saat ini, tidak diatur
mengenai apa akibat hukum jika dalam waktu 14 hari tersebut pemohon tidak
melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya. Namun sebagai konsekuensi
dari proses peradilan yang profesional, apabila dalam waktu 14 hari tersebut
pemohon tidak melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya, hakim MK
wajib memutus untuk tidak menerima permohonan tersebut (niet onvankelijk
verklaaard).
Kedua, persidangan lanjutan untuk mendengarkan petitum pemohon. Tahapan
ini dilaksanakan apabila permohonan yang diajukan oleh pemohon telah dinyatakan
lengkap oleh MK. Pada tahapan ini, dilakukan kegiatan untuk mendengarkan
keterangan dari pemohon berkenaan dengan materi permohonan yang telah
diajukan.
Ketiga, persidangan lanjutan untuk mendengakan keterangan termohon. Setelah
pemohon menyampaikan keterangannya berkenaan dengan materi yang
dimohonkan, dalam persidangan mendengarkan keterangan termohon ini pihak
termohon diberikan kesempatan atau hak untuk menyampaikan keterangannya
berkenaan dengan permohonan yang telah diajukan oleh pemohon.
Keempat, persidangan pembuktian yang meliputi pembuktian dokumen,
pembuktian fakta serta mendengarkan kesaksian ahli dan pihak-pihak terkait.
Pembuktian dokumen dalam hal ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk menilai
apakah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap berkenaan
pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh partai politik bersangkutan dapat menjadi
dasar dalam pengajuan permohonan pembubaran partai politik. Apabila dokumen
putusan tersebut kurang meyakinkan hakim konstitusi, maka dilakukan pembuktian
lainnya melalui fakta-fakta berkenaan dengan pelanggaran pemilu yang dilakukan.
Tahap kelima adalah sidang pembacaan putusan. Setelah seluruh tahapan
persidangan sebagaimana peneliti uraian di atas selesai dilaksanakan, tahapan
selanjutnya adalah sidang pembacaan putusan. Sidang putusan terhadap
15
permohonan pembubaran partai politik dilaksanakan selambat-lambatnyan 60 hari
kerja sejak permohonan diregistrasi. Waktu 60 hari tersebut merupakan waktu yang
ideal (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama) mengingat perkara pembubaran
partai politik merupakan perkara yang juga perlu diperiksa secara cermat. Batasan
waktu ini diperlukan untuk menjamin terselenggaranya prinsip peradilan yang cepat
sehingga cepat pula diperoleh kepastian hukum.12
Putusan yang telah diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim diucapkan
dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum tersebut, sebelumnya dijelaskan
mengenai Rapat Permusyawaratan Hakim yang tercantum dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 12 Tahun 2008 Tentang Prosedur Beracara dalam
Pembubaran Partai Politik, yang isinya bahwa:
1. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) diselenggarakan untuk mengambil
putusan setelah pemeriksaan persidangan oleh Ketua Mahkamah dipandang
cukup.
2. Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan secara tertutup oleh Pleno Hakim
dengan sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 (tujuh) orang hakim Konstitusi.
3. Pengambilan keputusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan
secara musyawarah untuk mufakat.
4. Dalam hal musyawarah tidak mencapai mufakat, keputusan diambil dengan
suara terbanyak.
5. Dalam hal putusan tidak dapat dicapai dengan suara terbanyak, suara
terakhir Ketua Rapat Permusyawaratan Hakim menentukan.
Berkenaan dengan putusan, amar putusan dapat berupa putusan yang
menyatakan permohonan tidak dapat diterima, permohonan ditolak, atau
permohonan dikabulkan. Jika MK berpendapat bahwa pemohon dan alasan
permohonan tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 68 UU MK, amar
putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Apabila pemohon dan
alasan permohonan telah sesuai dengan ketentuan UU MK, serta MK berpendapat
permohonan beralasan, maka amar putusannya menyatakan permohonan
12
Ibid., 570.
16
dikabulkan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) PMK Nomor 12 Tahun 2008
tentang Prosedur Beracara dalam Pembubaran Partai Politik, dalam hal
permohonan dikabulkan, amar putusan berbunyi13:
“Dalam hal permohonan dikabulkan, amar putusan:
a. Mengabulkan permohonan pemohon;
b. Menyatakan membubarkan dan membatalkan status badan hukum partai
politik yang dimohonkan pembubaran;
c. Memerintahkan kepada Pemerintah untuk:
1. Menghapuskan partai politik yang dibubarkan dari daftar pada
Pemerintah paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak
putusan Mahkamah diterima;
2. Mengumumkan putusan Mahkamah dalam Berita Negara Republik
Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diterima.”
Oleh karena itu, jika diputuskan permohonan pembubaran partai politik
dikabulkan, pelaksanaannya dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada
pemerintah yang berarti pembatalan status badan hukumnya. Putusan tersebut
diumumkan oleh pemerintah dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam
jangka waktu 14 hari sejak putusan diterima. Mengingat yang menangani
pendaftaran partai politik adalah Kementerian Hukum dan HAM, maka
pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi adalah dalam bentuk pembatalan
pendaftaran partai politik. Apabila MK berpendapat bahwa permohonan tidak
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.14
Terhadap putusan yang telah dibacakan, MK wajib menyampaikan putusan
tersebut kepada partai politik yang bersangkutan. Selain disampaikan kepada partai
politik yang bersangkutan, putusan tersebut juga wajib disampaikan kepada
Pemohon, Termohon, KPU, DPR, MA, Polri, dan Kejaksaan Agung. Sesuai dengan
Pasal 10 ayat 2 PMK No 12 Tahun 2008, Putusan pembubaran partai politik yang
dijatuhkan oleh MK kemudian menimbulkan akibat hukum antara lain:
13
“Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Prosedur Beracara Dalam
Pembubaran Partai Politik,” 6.
14
Puspitasari, Mandasari, and Nugraha, “Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai Politik
di Indonesia,” 571.
17
1. Pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan simbol-simbol partai
tersebut di seluruh Indonesia
2. Pemberhentian seluruh anggota DPR dan DPRD yang berasal dari partai
politik yang dibubarkan
3. Pelarangan terhadap mantan pengurus partai politik yang dibubarkan untuk
melakukan kegiatan politik; dan
4. Pengambilalihan oleh negara atas kekayaan partai politik yang dibubarkan.
15
Erikson P Simangunsong, “Kajian Yuridis Terhadap Permohonan Pembubaran Partai Politik Oleh
Perorangan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-IX/2011),” 24–25, last modified
2017, accessed November 22, 2021,
http://repository.uhn.ac.id/bitstream/handle/123456789/867/Erikson%20P.%20Simangunsong.pdf?
sequence=1&isAllowed=y.
18
segala peraturan perundang-undangan itu dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
hukum yang berlaku.16
Perluasan pemohon pembubaran partai politik pada dasarnya dapat diberikan
kepada perseorang ataupun kelompok serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Keterlibatan perseorangan/kelompok masyarakat sebagai pemohon pembubaran
partai politik tentunya menjadi hal yang relevan dalam mewujudkan sistem pemilu
yang demokratis. Pada sistem pemilu yang demokrasi, menempatkan rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tinggi termasuk dalam kehidupan berpolitik. Dengan
demikian, keterlibatan rakyat secara aktif dalam hal pengawasan dan evaluasi
terhadap partai politik menjadi suatu hal yang tidak dapat dinafikkan.17 Pada pasal
1 ayat 2 UUD1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat
diposisikan sebagai pemilik kekuasaan tertinggi di Indonesia. Pemilik kekuasaan
tertinggi yang sesungguhnya di negara Indonesia adalah rakyat. Kekuasaan itu
harus disadari berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bahkan kekuasaan
hendaklah diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat.18
Pembubaran partai politik merupakan suatu mekanisme dari pengawasan
terhadap partai politik. Dalam artian, sistem pemilu yang demokratis sudah
semestinya rakyat diberikan hak untuk mengusulkan pembubaran partai politik.
Jika rakyat tidak dilibatkan sebagai pemohon dalam usul pembubaran partai politik,
maka sama saja telah menolak dari sistem pemilu yang demokratis itu sendiri.19
Pada hakekatnya masyarakat merupakan pemilik suara dalam pemilu. Jika
kepentingan tersebut terganggu dikarenakan adanya pelanggaran pemilu yang
dilakukan oleh partai politik, suatu masyarakat dalam pemilu dimanipulasi, dan
suara tersebut diperoleh dengan cara yang tidak fair serta melanggar UU pemilu
16
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, Dan Mahkamah
Konstistusi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), 138.
17
Puspitasari, Mandasari, and Nugraha, “Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai Politik
di Indonesia,” 564.
18
Muhammad Sukroni, “Gagasan Perluasan Legal Standing dalam Permohonan Pembubaran Partai
Politik di Indonesia,” JOM Fakultas Hukum II, no. 1 (February 2015): 9.
19
Puspitasari, Mandasari, and Nugraha, “Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai Politik
di Indonesia,” 564.
19
maka seharusnya masyarakat dilibatkan sebagai pemohon dalam pembubaran partai
politik.
Pemberian legal standing untuk warga negara sebagai pemohon perkara
pembubaran partai politik adalah dalam rangka menerjemahkan pelaksanaan
kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Sebagai pelaksanaan kedaulatan
rakyat pemberian legal standing tersebut sangat penting karena pada dasarnya partai
politik itu berdiri atas kebutuhan rakyat. Jika tujuan dan aktivitas partai politik itu
sudah melenceng dan tak sesuai lagi dengan kehendak rakyat bahkan melanggar
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka rakyat harus mengevaluasinya.
Pemberian legal standing tersebut adalah bagian dari cara mengevaluasi partai
politik. Jika eksistensi partai politik membahayakan negara maka seharusnya rakyat
diberikan hak untuk mengusulkan pembubaran partai politik sebagaimana dia
punya hak untuk mendirikan partai politik.20
Di sisi lain, sebagai pelaksanaan prinsip negara hukum, pemberian legal
standing sebagaimana dimaksud di atas sangat penting karena salah satu prinsip
utama dalam negara hukum adalah adanya jaminan terhadap perlindungan hak asasi
manusia. Pembubaran partai politik merupakan bagian dari pembatasan hak asasi
dalam rangka menjamin hak asasi warga negara lainnya. Namun apabila usul
pembubaran partai politik itu hanya diberikan kepada pemerintah, tentu belum
menjamin hak asasi seluruh warga negara. Sebagai upaya mewujudkan jaminan hak
asasi manusia terhadap seluruh warga negara, maka pemberian legal standing
terhadap perseorangan atau kelompok masyarakat tidak dapat ditawar lagi, karena
dengan hal inilah Indonesia dapat menguatkan eksistensinya sebagai negara hukum.
Tidak hanya perseorang dan kelompok masyarakat saja yang perlu dilibatkan
sebagai pemohon terkait pembubaran partai politik. Pihak lain yang perlu dilibatkan
dalam pemohon adalah Bawaslu. Hal ini disebabkan karena dari segi kewenangan,
Bawaslu telah diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan
penyelenggaran pemilu sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum. Bawaslu termasuk dalam lembaga independen yang
20
Sukroni, “Gagasan Perluasan Legal Standing dalam Permohonan Pembubaran Partai Politik di
Indonesia,” 9.
20
terlepas dari kepentingan politik manapun sehingga kinerjanya (terutama dalam hal
pengajuan permohonan pembubaran parpol ke MK) bisa dijamin akan lebih objektif
dan terukur.21
Keterlibatan Bawaslu bukanlah tanpa alasan, jika partai politik telah terbukti
secara sah melakukan kejahatan pemilu yang bersifat tersruktur, sistematis, dan
masif yang berdampak luas terhadap sistem politik secara umum, maka parati
politik tersebut berarti telah melanggar ketentuan yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan pemilu sehingga dapat diberikan usulan untuk dibubarkan.
Oleh sebab itu, yang memilki otoritas dan kewenangan dalam mengawasi
penyelenggaraan pemilu tersebut adalah Bawaslu, maka masuk akal jika Bawaslu
dapat dilibatkan sebagai pemohon dalam pembubaran partai politik. Hal ini
diperkuat dengan adanya pendapat dari Jimly Asshidiqqiw dalam forum
internasional mengatakan bahwa “dinamika pemilu di Indonesia kian dinamis.
Termasuk dalam hal pelanggaranpelanggaran pemilu yang dilakukan oleh partai
politik peserta pemilu. Untuk itu, dibutuhkan sebuah gagasan-gagasan baru dalam
memperbaharui sistem pemilu kita. Salah satunya memaksimalkan fungsi
pengawasan Bawaslu dengan memberikannya legal standing sebagai pemohon
dalam pembubaran partai politik yang terbukti melakukan pelanggaran pemilu”.22
21
Puspitasari, Mandasari, and Nugraha, “Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai Politik
di Indonesia,” 565.
22
Ibid.
21
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada
Mahkamah Konstitusi mengenai: Pengujian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Pembubaran partai politik; Perselisihan
tentang hasil pemilihan umum; atau Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Beraracara dalam Pembubaran Partai Politik yang menyatakan, bahwa
“Partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi apabila: Ideologi, asas,
tujuan, program partai politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau Kegiatan partai politik bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau akibat
yang ditimbulkannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.”
Adapun proses Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai
politik selanjutnya dijabarkan sebagai berikut: (1) Proses mengajukan permohonan
pembubaran partai politik, (2) Pendaftaran permohonan dan penjadwalan sidang,
(3) Persidangan, (4) Rapat Permusyawaratan Hakim dan (5) Putusan.
Dapat dikatakan bahwa proses persidangan permohonan pembubaran partai
politik di MK dapat dibagi menjadi 5 tahapan. Pertama, pemeriksaan pendahuluan
untuk memeriksa kelengkapan administrasi pemohon, dan memeriksa legal
standing pemohon. Kedua, persidangan lanjutan untuk mendengarkan petitum
22
pemohon. Ketiga, persidangan lanjutan untuk mendengakan keterangan termohon.
Keempat, persidangan pembuktian yang meliputi pembuktian dokumen,
pembuktian fakta serta mendengarkan kesaksian ahli dan pihak-pihak terkait.
Tahap kelima adalah sidang pembacaan putusan.
Perluasan pemohon pembubaran partai politik pada dasarnya dapat diberikan
kepada perseorang ataupun kelompok serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Keterlibatan perseorangan/kelompok masyarakat sebagai pemohon pembubaran
partai politik tentunya menjadi hal yang relevan dalam mewujudkan sistem pemilu
yang demokratis.
B. Saran
Semoga dengan makalah yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi pembaca
terutama bagi kelompok kami.
23
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Ilman. “Sebutan untuk Para Pihak yang Beracara di Mahkamah Konstitusi -
Klinik Hukumonline.” hukumonline.com. Accessed November 24, 2021.
https://hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5134638c21e69/sebutan-
untuk-para-pihak-yang-beracara-di-mahkamah-konstitusi.
Puspitasari, Sri Hastuti, Zayanti Mandasari, and Harry Setya Nugraha. “Urgensi
Perluasan Permohonan Pembubaran Partai Politik di Indonesia.” Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum Faculty of Law 23, no. 4 (October 2016): 552–575.
iii
53/PUU-IX/2011).” Last modified 2017. Accessed November 22, 2021.
http://repository.uhn.ac.id/bitstream/handle/123456789/867/Erikson%20P.
%20Simangunsong.pdf?sequence=1&isAllowed=y.
iv