Anda di halaman 1dari 27

PEMILIHAN KEPALA DAERAH DITINJAU DARI DEMOKRASI

PANCASILA

‘’diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila yang diampu
oleh Bapak Dr. H. Walidun Husain, M.Si.’’

OLEH :

NURUL KHAIRUNNISA KOBIS

941419030

PRODI ADMINISTRASI PUBLIK

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang saya panjatkan Puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas paper Pendidikan Pancasila yang berjudul Pelaksanaan
Pilkada Ditinjau dari Demokrasi Pancasila.

Makalah ini telah saya susun dengan maksimal berkat bantuan, dorongan,
dan bimbingan orang tua serta Bapak Dr. H. Walidun Husain, M.Si selaku dosen
pengajar mata kuliah Pendidikan Pancasila, sehingga dapat memperlancar
pembuatan paper ini. Untuk itu, saya menyampaikan banyak terima kasih
terhadap semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan paper ini.

Akhir kata, saya berharap paper ini dapat memberikan pemahaman kepada
pembaca agar lebih peka terhadap masalah-masalah dalam Pemilu khususnya
Pilkada bagi saya sendiri maupun pembaca. Saya menyadari bahwa penyusunan
paper ini jauh dari sempurna, baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Untuk itu saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar
paper ini jauh lebih baik, saya sadar bahwa kesempurnaan hanya milik Tuhan
yang Maha Esa.

Gorontalo, November 2019

Nurul Khairunnisa Kobis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................

DAFTAR ISI..........................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...............................................................................4

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................4

1.3 Tujuan.............................................................................................4

1.4 Manfaat...........................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengantar........................................................................................6

2.2 Definisi Pimpinan Daerah..............................................................7

2.3 Sejarah Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia.............................8

2.4 Dasar Hukum Pemilihan Kepala Daerah.....................................10

2.5 Sistem Pemilihan Kepala Daerah.................................................11

2.6Sistem Demokrasi Pancasila..........................................................19

2.7 Pelaksanaan Pilkada Ditinjau dari Demokrasi Pancasila.............22

2.8 Sistem Pilkada Ditinjau dari Demokrasi Pancasila......................22

2.9 Perbandingan Sistem Pilkada Langsung dan Sistem Pilkada Tidak Langsung
Berdasarkan Demokrasi Pancasila......................................................23

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...................................................................................26

3.2 Saran.............................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA........................................................................27
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem pemerintahan di Indonesia tidak terlepas dari peran pemerintahan


daerah, dimana pemerintahan daerah dan struktur pemerintahannya meliputi
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang didapatkan melalui Pemilukada atau
Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dewasa ini, muncul berbagai macam
pembahasan mengenai pemilihan kepala daerah yang kemudian memunculkan
polemik dan permasalahan dengan disahkan nya UU No.22 tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur,Bupati dan Walikota.

Perjalanan Pemilukada sejak era kemerdekaan hingga era reformasi seperti


sekarang ini sering berganti mekanisme pemilihan. Mulai mekanisme pemilihan
langsung hingga mekanisme pemilihan secara tidak langsung.Hingga puncaknya
pada saat disahkan UU No.22 Tahun 2014, polemik yang muncul adalah
masyarakat cenderung kontra terhadap Undang-Undang tersebut, karena
mekanisme pemilihan secara tidak langsung dianggap bertentangan dengan
Pancasila dan Konstitusi.

Disisi lain, pemerintah justru segera mengeluarkan Perppu No.1 Tahun


2014 untuk membatalkan UU No.22 Tahun 2014.Otomatis, mekanisme
Pemilukada yang diberlakukan secara tidak langsung berganti kembali dengan
menggunakan sistem pemilihan secara langsung. Berdasarkan penggantian
kebijakan tersebut, saya ingin mengkaji, apakah ada yang salah dengan
Pemilukada menggunakan sistem pemilihan secara tidak langsung?

1.2 Rumusan Masalah

 Bagaimanakah sejarah Pemilihan kepala daerah di Indonesia


 Bagaimana sistem Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia?
 Apakah Pilkada secara langsung memiliki nilai-nilai Demokrasi
Pancasila?
 Bagaimana dengan Pilkada secara tidak langsung?
 Apaperbandingan sistem Pilkada langsung dan sistem Pilkada tidak
langsung ditinjau berdasarkan Demokrasi Pancasila?

1.3 Tujuan

 Untuk mengetahui sejarah Pilkada di Indonesia


 Untuk memahamisistem Pilkada secara langsung dan tidak langsung
ditinjau dari Demokrasi Pancasila
 Untuk mengetahui keuntungan dan kerugian pelaksanaan Pilkada secara
langsung dan tidak langsung dilihat berdasarkan Demokrasi Pancasila
 Untuk memahami perbandingan yang mendasar antara pilkada langsung
dan tidak langsung dalam sistem Demokrasi Pancasila.

1.4 Manfaat

 Manfaat teoritis, yaitu pertama, hasil penelitian ini diharapkan dapat


memberi kontribusi terhadap perkembangan atau terobosan baru dalam
sistem pemilihan umum terutama pemilihan Kepala daerah di Indonesia
dengan sepenuhnya mengacu pada Demokrasi Pancasila baik dilaksanakan
melalui Pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung. Kedua,
penelitian ini diharapkan dapat melengkapi bahan bahan penelitian dan
menjadi acuan penyelesaian pro dan kontra sistem pemilihan Pilkada tidak
langsung serta pertimbangan untuk memperbaharui Perppu nomor 1 tahun
2014.

 Manfaat praktis, yaitu pertama penelitian ini diharapkan dapat


menambah gagasan dalam berpikir bagi masyarakat,akademisi dan
pembuat Undang-undang dalam upaya penyempurnaan penerbitan
Undang-undang yang mengatur tentang Pemilihan umum ataupun
Pemilihan Kepala daerah agar tidak menimbulkan polemik bagi bangsa
Indonesia. Kedua, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangsih gagasan terhadap para pembuat Undang-undang dan
masyarakat agar melihat suatu permasalahan serta memahami betul arti
dari Demokrasi Pancasila.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengantar

Pancasila adalah Philosophische Grondslag, atau dasar negara yang


disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai satu kesatuan dengan UUD
1945, wajib dijadikan dasar penyelenggaraan negara dalam seluruh aspek
kehidupan. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 UU 12/2011, wajib dijadikan sebagai rujukan penyusunan
seluruh peraturan perundang-undangan, termasuk UU Pemilu maupun UU
Pilkada.

Sila ke-4 Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mengandung makna bahwa
kedaulatan rakyat merupakan esensi dari demokrasi berdasarkan Pancasila.
Demokrasi yang demikian itu dapat dijalankan melalui Pemilu dan Pilkada secara
langsung maupun secara tidak langsung (oleh DPR/DPRD), dan/atau
diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam bingkai
permusyawaratan rakyat.

Dasar konstitusional Pemilu dan Pilkada diatur di dalam Pasal 18 (4) UUD
NKRI 1945 yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota, dipilih secara
demokratis”. Pasal ini sesungguhnya telah mengakomodir model Pemilu dan
Pilkada, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, dan dipandang
kedua model tersebut berkesuaian dengan sila ke-4 Pancasila.

Pada tataran yuridis normatif dan pengalaman empirik, pengisian Kepala


Daerah oleh DPR telah menjadi kesepakatan, sebagai hasil permusyawaratan.
Dalam UU Pemilu No.8 Tahun 2012, sementara untuk Pilkada di atur dalam UU
Pemerintah Daerah UU No. 22 Tahun 1999 dan UU 32 tahun 2004. Di dalam UU
22/1999 Pasal 18 (1.a) berbunyi “DPRD mempunyai tugas dan wewenang
memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil
Walikota”, dan diperkuat Pasal 34 (1) berbunyi “Pengisian jabatan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara
bersamaan”.

Pasal ini secara eksplisit membenarkan Pilkada secara tidak langsung.


Pada tatanan yuridis normatif dan pengalaman empirik, sejak tahun 2004,
menujukkan perbedaan karena Pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Akan tetapi, memiliki kesamaan dasar filosofis dan konstitusional yaitu melalui
suatu kesepakatan dalam permusyawaratan. UU 32/2004 Pasal 24 (5) berbunyi
“Kepala Daerah dan Wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah
yang bersangkutan.” Pasal ini, secara eksplisit membenarkan Pilkada secara
langsung oleh rakyat.

Dari semangat living constitution, dan pada tataran yuridis empiris,


pilkada langsung maupun tidak langsung pernah menjadi pilihan dan dipraktikkan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta keputusan tersebut didasarkan
pada hasil permusyawaratan. Kedua model tersebut masing-masing memiliki
berbagai macam kelebihan dan kekurangan, sehingga terdapat ruang tarik ulur
bagi partai politik untuk memilih satu diantaranya dengan maksud memberikan
kemaslahatan terbesar bagi rakyat Indonesia.

Regulasi tentang Pilkada menjadi topik hangat di negeri ini. Usulan agar
pemilihan Kepala Daerah dikembalikan pada DPRD menuai pro-kontra. Sekali
lagi, bangsa ini terbelah seperti di Pilpres kemarin. Kedua sistem pemilihan kepala
daerah (langsung dan tak langsung), masing masing memiliki kelebihan dan
kekurangannya sendiri. Pada sistem pemilihan kepala daerah secara langsung,
partisipasi masyarakat sangat dimungkinkan. Sehingga Kepala Daerah yang
terpilih lebih legitimate. Sementara pada pemilihan Kepala Daerah tidak langsung
(DPRD yang memilih) tidak membutuhkan cost penyelenggaraan pemilihan yang
besar, juga lebih cepat dan efisien.

Kerikil mewarnai proses demokratisasi di negeri ini. Sistem pemilihan


langsung, menyuburkan praktek money politic sebagai efek samping yang justru
merusak tatanan kemasyarakatan serta sebagian sistem nilai. Misalnya ketulusan
yang berganti pragmatisme material. Perbedaan pilihan dilevel grass root yang
berakibat renggangnya relasi sosial kekeluargaan. Orang yang bersepupu bahkan
bersaudara bisa jadi bermusuhkan karena pemilihan langsung. Sementara
pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD memberi ruang tersanderanya Kepala
Daerah yang terpilih oleh kepentingan tertentu dari DPRD.

2.2 Definisi Pimpinan Daerah

Pimpinan daerah secara yuridis dalam hubungannya dengan Pasal 18 UUD


1945 yang menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintahan Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang dipilih secara
demokratis. Selain itu UU No. 32 Tahun 2004 selaku aturan yang melaksanakan
amanah UUD NKRI Tahun 1945 yang diatur dalam Pasal 18ayat (4)diatas, dalam
Pasal 24 ayat (1) menyatakan: “Setiap daerah dipimpin oleh kepala
pemerintahandaerah yang disebut kepala daerah”. Disamping itu, Pasal 24 ayat (2)
UU No. 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerahmenyebutkan bahwa kepala
daerahsebagaimana dimaksud ayat (1) untuk Provinsi disebut Gubernur,
untukKabupaten disebut Bupati, dan untuk Kotadisebut walikota.

Selanjutnya dalammenentukan tugas dan wewenang kepala daerah yaitu


Gubernur, Bupati, dan Walikota, oleh UU No, 32 Tahun 2004, dalam Pasal 25
mengatur bahwa kepaladaerah memiliki tugas dan wewenangmemimpin
penyelenggaraan pemerintahandaerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD. Dalam Pasal21 UU No. 32 Tahun 2004 mengatur hakdan
kewajiban daerah dalam menyelenggarakanotonomi daerah memakai
katapimpinan dalam ayat (6) yang menyatakanmemilih pimpinan daerah.

Adapun wewenang dan tugas dari kepala daerah antara lain adalah :
 Memimpin sebuah penyelenggaraan pemerintahan daerah atas dasar suatu
kebijakan yang telah ditetapkan saat bersama DPRD.
 Mengajukan sebuah rancangan peraturan daerah atau perda.
 Menetapkan adanya peraturan sebuah daerah (perda) yang sudah disetujui
bersama DPRD.
 Menyusun serta mengajukan sebuah rancangan peraturan daerah atau
perda mengenai APBD untuk dibahas dan ditetapkan kepada DPRD secara
bersama.
 Mengusahakan untuk terlaksananya sebuah kewajiban daerah.
 Mewakili daerahnya baik didalam maupun di luar pengadilan, namun bisa
diwakilkan oleh seorang kuasa hukum sesuai aturan perundang-undangan
yang ditetapkan.
 Menjalankan tugas serta wewenang yang lainnya berdasarkan aturan
perundang-undangan.

2.3 Sejarah Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia

Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah pelaksanaan


pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah merupakan sarana manifestasi
kedaulatan dan pengukuhan bahwa pemilih adalah masyarakat di daerah.

Pemilihan Kepala daerah memilik 3 (tiga) fungsi penting dalam


penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pertama, memilih kepala daerah sesuai
dengan kehendak masyarakat di daerah sehingga ia diharapkan dapat memahami
dan mewujudkan kehendak masyarakat di daerah. Kedua, melalui pemilihan
kepala daerah diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan pada visi, misi,
program, serta kualitas dan integritas calon kepala daerah, yang sangat
menentukan
keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Ketiga, pemilihan kepala
daerah merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan
kontrol publik secara politik terhadap seorang kepala daerah
dan kekuatan politik yang menopangnya.

Selain itu, fungsi pilkada juga dikemukakan oleh Sartono Sahlan dan
Awaludin Marwanyaitu, pertama, pilkada merupakan institusi pelembagaan
konflik. Di mana, pilkada didesain untuk meredam konflik-konflik apalagi yang
berbau kekerasan, guna mencapai tujuan demokrasi dan pengisian jabatan politik
di daerah. Kedua, pilkada sebagai sarana pencerdasan dan penyadaran politik
warga. Ketiga, mencari sosok pemimpin yang kompeten dan komunikatif dan
keempat, menyusun kontrak sosial baru. Di mana hasil dari pilkada tersebut bukan
hanya lahirnya pemimpin baru, juga sirkulasi komunikasi yang membuat
perjanjian-perjanjian sang kandidat sebelum menjadi pemenang dituntut untuk
merealisasikannya secara riil.

Sejarah politik mencatat, pemilihan kepala daerah telah dilakukan dalam 5


(lima) sistem yakni:

1. Sistem penunjukan atau pengangkatan oleh pusat (masa pemerintahan


kolonial Belanda, penjajahan Jepang, Undang-Undang Nomor 27 Tahun
1902). Kemudian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1957, ketika berlakunya sistem parlementer yang
liberal. Pada masa itu, baik sebelum dan sesudah pemilihan umum 1955
tidak ada partai politik yang mayoritas tunggal. Akibatnya pemerintah
pusat yang dipimpin oleh Perdana Menteri sebagai hasil koalisi partai,
mendapat jabatan biasanya sampai ke bawah;

2. Sistem penunjukan (Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 jo


Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1956 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956), yang lebih
dikenal dengan era Dekrit Presiden ketika ditetapkannya demokrasi
terpimpin. Penerapan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 Penetapan
Presiden Nomor 5 Tahun 1960 disertai alasan “situasi yang memaksa”;

3. Sistem pemilihan perwakilan (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974), di


era demokrasi Pancasila. Pemilihan kepala daerah dipilih secara murni
oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan kemudian calon yang
dipilih itu akan ditentukan kepala daerahnya oleh Presiden;

4. Sistem pemilihan perwakilan (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dan


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999), di mana kepala daerah dipilih
secara murni oleh Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tanpa
intervensi pemerintah pusat;

5. Sistem pemilihan langsung (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004), di


mana kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.

Sedangkan menurut Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, sistem


pemilihan kepala daerah di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) periode yaitu:

1. Periode penunjukan Gubernur oleh Presiden atas pengusulan beberapa


calon oleh DPRD Provinsi sedangkan Bupati ditunjuk oleh Menteri Dalam
Negeri melalui pengusulan beberapa calon oleh DPRD Kabupaten/Kota.
Periode ini ditandai dengan dikeluarkannya beberapa dasar hukum yaitu
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

2. Pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota melalui pemilihan di DPRD


Provinsi/ Kabupaten/Kota. Pengaturan ini dapat ditemukan di dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota.

3. Pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota secara langsung, yang diatur dalam


beberapa undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
menjadi undang-undang dan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi
undang-undang.

2.4 Dasar Hukum Pemilihan Kepala Daerah

Undang Undang Dasar 1945 merupakan suatu perangkat peraturan yang


menentukan kekuasaan dan tanggung jawab dari berbagai alat kenegaraan,
Undang Undang Dasar 1945 juga menentukan batas batas berbagai pusat
kekuasaan itu dan memaparkan hubungan-hubungan diantara mereka. Materi yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berada dibawah Undang
Undang Dasar 1945 tidak diperbolehkan bertentangan dengan materi Undang –
Undang Dasar 1945. Materi - materi tentang penyelenggaraan pemerintahan,
pemilihan umum maupun tentang penyelenggara pemilihan umum yang terdapat
dalam Undang – Undang Dasar 1945 harus diterjemahkan kembali dalam Undang
– Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Pemerintah
PenggantiUndang-Undang (Perpu), dan sebagainya. Pasal pasal yang terdapat di
dalam Undang – Undang Dasar 1945 harus dijadikan rujukan utama dalam
pembuatan Undang – undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang – Undang (Perpu) dan sebagainya. Yang menjadi
Dasar Hukum Pemilihan Kepala Daerah adalah:

 Undang – Undang Dasar 1945.


 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
 Undang Undang No 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan kedua atas
Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang Undang.
 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor
3 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau
Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2017.
 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2016 Tentang Perubahan kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil
Walikota.

2.5 Sistem Pemilihan Kepala Daerah

Sistem pemilu adalah seperangkat metode yang mengatur warga negara


untuk memilih para wakilnya yang akan duduk di lembaga legislatif dan
eksekutif. Sistem pemilihan ini penting dalam suatu sistem pemerintahan
demokrasi perwakilan, sebab :
 Sistem pemilihan mempunyai konsekuensi pada tingkat proporsionalitas
hasil pemilihan.
 Sistem pemilihan memengaruhi bentuk kabinet yang akan dibentuk.
 Sistem pemilihan membentuk sistem kepartaian, khusus berkaitan dengan
jumlah partai politik yang ada di dalam sistem kepartaian tersebut.
 Sistem pemerintahan memengaruhi akuntabulitas pemerintahan,
khususnya akuntabilitas para wakil terhadap pemilihmya
 Sistem pemilu mempunyai dampak pada tingkat kohesi partai politik
 Sistem pemilihan berpengaruh terhadap bentuk dan tingkat partisipasi
politik warga.
 Sistem pemilihan adalah elemen demokrasi yang lebih mudah untuk
dimanipulasi dibandingkan dengan elemen demokrasi lainnya, oleh karena
itu, jika suatu negara bermaksud mengubah tampilan atau wajah
demokrasinya. Hal itu dapat dilakukan dengan mudah melalui perubahan
sistem pemilunya
 Sistem pemilihan juga dapat dimanipulasi melalui berbagai peraturan yang
tidak demokratis dalam tingkat pelaksanaannya.

2.5.1 Pemilihan Kepala Daerah Tidak Langsung

Pada saat pembahasan rancangan Undang-undang tentang pemilihan


kepala daerah yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dimana terjadi
perubahan besar, yaitu pergeseran pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dari
pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD (tidak langsung).
Dalam Pembukaan Alinea Keempat UUD NKRI Tahun 1945 sebagai salah satu
acuan berdemokrasi di Indonesia. Gagasan perubahan ini mengemukakan sebagai
hasil evaluasi dari praktik pelaksanaan pemilukada yang dijalankan sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Setidaknya ada dua argumentasi utama yang melatari gagasan pemilihan
gubernur, bupati dan walikota oleh DPRD. Pertama, pelaksanaan pemilukada
membutuhkan biaya sangat besar, baik biaya yang dikeluarkan oleh negara
melalui
penyelenggara pemilukada, maupun biaya yang dikeluarkan oleh pasangan calon.
Kedua, praktik pemilukada selalu diwarnai dengan politik uang, mulai dari yang
besifat sporadis hingga yang bersifat masif, terstruktur dan sistematis dan upaya
untuk meminimalkannya hanya dapat dilakukan dengan cara mengubah pemilihan
oleh rakyat secara langsung menjadi pemilihan oleh DPRD. Belajar dari
pelaksanaan pemilihan kepala daerah sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun

Penekanan Pembukaan UUD 1945pada kedaulatan rakyat memberikan


salahsatu arti bahwa Indonesia adalah negarademokrasi, oleh karena itu sistem
yangada dalam pemerintahan maupunkehidupan bernegara haruslah dijiwai
olehkedaulatan rakyat atau demokrasi dankarenanya pasal-pasal yang
terdapatdalam UUD NKRI Tahun 1945 bemafaskankedaulatan rakyat atau
demokrasi yangtercermin dalam Pasal 1 ayat (2) yangmenyatakan kedaulatan
berada di tanganrakyat dan dilaksanakan menurut UUD.

Dalam pelaksanaan pemerintahan negara,kedaulatan rakyat merupakan


sesuatuyang sakral tercermin dalam Pasal 7 UUD NKRITahun 1945 menyatakan
Presidentidak dapat memberhentikan dan ataumembubarkan DPR. Hal ini
menunjukkanbetapa rakyat dihargai dalam negarademokrasi sebab Presiden
selakupemegang kekuasaan pemerintahan tidakdapat menganggu gugat
DPR.Suatu hal yang sudah dipahami bahwaUUD di hampir semua negara
mengaturhal-hal yang disebutkan di atas yangmerupakan aturan pokok tertulis
yang dimaksudkan untuk mencapai kesatuan hukum kesederhanaan hukum dan
tentunya kepastian hukum.

Demikian juga dengan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun


1945 yang mengatur antara lain tentang pemerintahan negara termasuk
didalamnya tentang pemerintahan daerah dan lain-lain yang hanya merupakan
aturan pokok saja dimaksudkan agar mencapai kesatuan hukum, kesederhanaan
hukum dan kepastianhh hukum.

Pada Era Orde Baru berdasarkan UU nomor 5 tahun 1974, Pilkada tidak
dapat dilepaskan dari keterlibatan elit politik di pusat atau lingkaran kekuasaan
Presiden. Menurut UU Nomor 5 Tahun Kepala daerah dipilih dan dicalonkan oleh
DPRD, hasil pemilihan lalu diajukan kepada pemerintah untuk diangkat.
Pengangkatan kepala daerah oleh pemerintah tidak terikat oleh pemilihan yang
dilakukan oleh DPRD, dalam hal ini DPRD selaku pelaksana keinginan
pemerintah pusat.

Setelah reformasi bergulir, berdasarkan UU No.22 Tahun 1999, Pilkada


dilakukan menggunakan sistem pemilihan demokrasi tidak langsung dimana
Kepala daerah dan Wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan penegasan
asas desetralisasi yang kuat. Berdasarkan UU ini, Pilkada dilakukan dengan
sistem Pilkada tidak langsung dalam banyak praktik. Sistem seperti ini tidak
mampu menyerap aspirasi masyarakat secara optimal,banyak ditemukan seperti
kecenderungan oligarki partai politik yang menyebabkan politisasi aspirasi publik.

Di samping rawan politik uang pemilihan dengan sistem demokrasi tidak


langsung sering kali menghasilkan Kepala daerah yang tidak popular dan tidak
mengenal karate dan potensi khas daerah, calon yang diajukan tidak dikenal
secara luas oleh masyarakat. Dari hal demikian maka timbul konflik kekerasan
secara vertikal dan horizontal.

2.5.2 Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Sejak dilakukannya perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia


mengalami perubahan. Salah satu dampak dari perubahan tersebut adalah
perubahan sistem pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang
dilakukan secara langsung. Perubahan ini penting untuk meletakan kembali
kedaulatan berada ditangan rakyat, sehingga rakyat daerah khususnya memiliki
peran dan kesempatan terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan di bidang
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perubahan ini tidak terlepas dari
perubahan kehidupan masyarakat yang mulai demokratis.

Pemilihan umum merupakan wujud kebebasan masyarakat dan rasionalitas


individu untuk memilih pemimpinnya. Hal ini memiliki korelasi dengan
pembentukan pemerintahan daerah sebagai bentuk rasionalitas masyarakat daerah
yang diwujudkan melalui pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
secara langsung. Tujuan diadakannya pilkada langsung adalah untuk membentuk
pemerintahan yang kuat berdasarkan pilihan dan legitimasi dari rakyat.

Pilkada langsung merupakan perubahan penting dalam proses konsolidasi


demokrasi, pilkada langsung dipandang memiliki jumlah keunggulan dibanding
dengan sistem rekruitment politik melalui institusi DPRD. Pilkada dilakukan
secara langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi
pertumbuhan, pendalaman, dan perluasan demokrasi lokal. Pilkada langsung
adalah suatu mekanisme yang sangat demokratis berbeda dengan sebelumnya.
Pemilihan kepala daerah pada saat berlakuanya UU No. 5 Tahun 1974 dan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 rakyat tidak terlibat langsung dalam
menentukan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sehingga terkadang yang
menjadi kepala daerah hanya merupakan representasi dari partai politik, elit
politik lokal dan pemerintah pusat.

Pilkada langsung adalah wujud nyata dari pembentukan demokratisasi di


daerah. Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilh dalam satu pasangan calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil. Pengajuan pasangan calon Kepala Daerah bisa dilakukan
oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD
dengan persyaratan tertentu dan/atau dari calon perseorangan dengan persyaratan
tertentu pula. Dibutuhkan suatu pilihan yang tepat oleh rakyat terhadap pasangan
Kepala Daerah sehingga dapat dihasilkan pasangan Kepala Daerah yang memiliki
visi meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah.

a) Hal-hal yang melandasi Pilkada Langsung

Beberapa pertimbangan yang melandasi pilkada langsung


adalah :Pertama, sistem pemerintahan sesuaiUUD 1945 memberikan
keleluasaankepada daerah untuk menyelenggarakanotonomi daerah. Kedua, dalam
menyelenggarakanotonomi daerah perluditekankan prinsip-prinsip
demokrasi.Ketiga, dalam rangka pengembangankehidupan demokrasi, keadilan,
pemerataan,kesejahteraan rakyat, hubunganyang serasi antara pemerintah pusat
dandaerah serta antar daerah unuk menjagakeutuhan NKRI, Kedudukan
kepaladaerah mempunyai peran yang sangat
strategis.

Berdasarkan ketentuan peralihan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004


tentang Pemerintahan Daerah, proses politik pilkada langsung akan dimulai pada
bulan Juni 2005. Bagi Kepala Daerah yang habis masa jabatannya sebelum bulan
tersebut, maka pimpinan daerah harus diserahkan pada pejabat pelaksana harian
yang ditunjuk, sembari menunggu waktu pelaksanaan pilkada yang telah
ditetapkan. Implikasi dari kebijakan ini adalah menumpuknya pelaksanaan pilkada
pada waktu yang relatif bersamaan. Sekilas barangkali ini bukanlah persoalan
yang krusial, sebab pelaksanannya ada di daerah masing-masing. Tapi bila dilihat
dari kepentingan nasional, dimana harus ada keselarasan proses politik yang
dilakukan maka ini akan memunculkan satu persoalan tersendiri.

Pola koordinasi yang harus dikembangkan oleh pemerintah pusat untuk


mengontrol pelaksanaan pilkada ini menjadi harus makin intensif. Keputusan-
keputusan politik lokal tidak boleh dibiarkan berjalan terlalu cepat sehingga
mengabaikan pertimbangan-pertimbangan nasional didalamnya. Pola koordinasi
pusat dan daerah dalam proses inilah yang harus segera dirumuskan, agar proses
politik lokal ini tidak terfragmentasi. Implikasinya adalah bahwa berbagai
introduksi yang ditawarkan harus memiliki perspektif nasional, sehingga berbagai
kebijakan publik yang dihasilkan nantinya juga tidak hanya memuat kepentingan
lokal semata.

Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah, menyebutkan bahwa : ”Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dilaksanakan melalui masa persiapan dan tahap pelaksanaan”.

Masa persiapan meliputi:


 Pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah mengenai berakhirnya masa
jabatan;
 Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan
Kepala Daerah;
 Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal
tahapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah;
 Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS;
 Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.

Tahap pelaksanaan meliputi :


 Penetapan daftar pemilih;
 Pendaftaran dan Penetapan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
 Kampanye;
 Pemungutan suara;
 Penghitungan suara;
 Penetapan pasangan calon Kepala daerah/Wakil Kepala Daerah terpilih,
pengesahan dan pelantikan.

b) Masalah yang munculdalam Pilkada langsung

Salah satu prasyarat penting dalam penyelenggaraan Pemilu di negara


demokrasi adalah bahwa penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh lembaga
yang mandiri dari pemerintah. Hal ini telah terjamin dalam UUD 1945 Pasal 22
(5)Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah, lembaga penyelenggara pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah secara langsung ini berbeda dengan penyelenggaraan
pemilihan umum lembaga legislatif maupun Presiden dan Wakil Presiden yang
dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU), melainkan oleh KPUD.

Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD tidak bertanggung jawab kepada


DPRD. Perubahan ini didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam
perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 dan Nomor 005/PUU-III/2005. Perubahan
ini membawa implikasi hukum dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah. Demikian pula dengan kewajiban dari KPUD untuk
mempertanggungjawabkan anggaran kepada DPRD sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 6e PP Nomor 6 Tahun 2005 yang kemudian dihapuskan berdasarkan
PP Nomor 17 Tahun 2005.

Meskipun begitu, pelaksanaan Pilkada langsungjuga menimbulkan


masalah. Di satu sisi Pilkada dipandang sebagai bagian dari otonomi daerah, di
sisi yang lain, pilkada juga menggunakan instrument rezim pemilu. Terobosan
yang dilakukan oleh MK dengan mengabulkan sebagian permohonan yang
diajukan para LSM, tidak berjalan dengan tuntas. Meskipun Departemen Dalam
Negeri berusaha mengantisipasi hal tersebut dengan membentuk desk pilkada,
dengan tujuan untuk membantu KPUD dalam pelaksanaan pilkada, kenyataanya
lembaga ini tidak berjalan dengan baik. Dikarenakan tugas yang dilaksanakan
KPUD ini sangat berat yaitu mengatur pelaksanaan pilkada ini agar dapat
terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas
suara, hingga pelaksanaan pilkada ini.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul, banyak sekali
ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para
bakal calon seperti :

1. Money politik

Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap


pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang
cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan
mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis yaitu desa
Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah
satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan
syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat
membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka
dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena
uang.

2.Intimidasi

Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah
penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar
mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan
pelaksanaan pemilu.

3. Pendahuluan start kampanye

Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan
aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti
pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang
merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah.
Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat
berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering
digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya
dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.

4. Kampanye negatif

Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal


calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih
sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan
orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini
dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah
tersebut.

Dapat disimpulkan kondisi politik lokal yang amat heterogen, kesadaran


dan pengetahuan politik masyarakat yang rendah, jeleknya sistem pencatatan
kependudukan, dan penyelenggaraan pemilihan (electoral governance) sering
menyebabkan kegagalan tujuan pilkada langsung. Selain itu, munculnya konflik
politik dan kekerasan disejumlah daerah, memunculkan analisis bahwa budaya
politik di dalam masyarakat masih belum sepenuhnya mendukung pelaksanaan
pilkada langsung menurut Kacung Marijan (2007).

c) Solusi

Untuk menanggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain :

 Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama
menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh
masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi souri tauladan bagi
masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik.

 Semua warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika


muncul perbedaan pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan
konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka
pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.

 Sosialisasi kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini


diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat.
Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain.

 Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus memilih
dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga
prinsip prinsip dari pemilu dapat terlaksana dengan baik.

2.5.3 Dasar& Alasan Masyarakat memilih Pilkada secara Langsung

Electoral reform atau pembaharuan tata pemilihan telah mulai berlangsung


sejak tahun 1999, yaitu dengan dilakukannya Pemilu yang paling demokratis dan
adil sejak lima puluh tahun terakhir. Pemilu itu memang telah menghasilkan
dilahirkannya kepemimpinan yang ideal yang baru, meskipun secara umum masih
jauh dari ideal. Pemilu yang mengharuskan rakyat memilih Partai Politik
merupakan salah satu hambatan terbesar dalam mengupayakan perbaikan
akuntabilitas kepempinan nasional.

Wakil-wakil dari partai yang menduduki kursi kepresidenan dan jabatan-


jabatan politik lain tidak mampu mendapatkan justifikasi dan legitimasi sebagai
wakil rakyat. Sebab pada kenyataanya memang mereka dipilih oleh partai. Maka
sering dikatakan bahwa para pejabat politik lebih merupakan wakil partai dari
pada wakil rakyat. Apakah sistem pemilihan tidak langsung dan langsung
merupakan alasan utama dari buruknya mutu keterwakilan di Indonesia? Mungkin
secara umum-teoritis dapat dikatakan bahwa sistem pemilihan adalah sama saja,
sejauh kepentingan dan aspirasi rakyat dipentingkan dan diperhatikan oleh para
pejabat politik (Agung Djokosoekerto:2003)

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupaka suatu kebutuhan


untuk mengoreksi terjadinya penyimpangan penerapan otonomi daerah yang
ditunjukan para elit ditingkat lokal. Asumsi bahwa otonomi daerah akan lebih
meningkatkan kualitas pelayanan publik, dalam banyak kasus ternyata hanya janji
kosong yang tidak terbukti kebenaranya. Yang terlihat justru maraknya perilaku
elit lokal baik dari kalangan pemerintah maupun DPRD yang mempertontonkan
semangat mengeruk keuntungan pribadi dengan mengabaikan pandangan dan
kritik masyarakat luas. Situasi ini salah satunya disebabkan oleh pemilihan kepala
daerah yang dilakukan oleh DPRD (Lili Hasanudin:2003).

Sementara itu, menurut Eko Prasodjo (2008), Pemilihan kepala daerah


langsung adalah instrumen untuk meningkatkan participatory democracy dan
memenuhi semua unsur yang diharapkan. Apalagi, sebenarnya demokrasi bersifat
lokal, maka salah satu tujuan pilkada adalah memperkuat legitimasi demokrasi.
Meski demikian, di negara-negara lain, keberhasilan pilkada langsung tidak
berdiri sendiri, tetapi ditentukan kematangan partai dan aktor politik, budaya
politik di masyarakat, dan kesiapan dukungan administrasi penyelenggaraan
pilkada.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung harus dimasukan dalam


kerangka besar untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis.
Setidaknya ada tiga alasan pokok mengapa pemilihan Kepala Daerah secara
langsung harus dikaitkan dengan pemerintahan lokal yang demokratis. Pertama,
pemerintahan lokal yang demokratis membuka ruang bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik ditingkat lokal (political equality).
Kedua, pemerintahan lokal yang demokratis mengedepankan pelayanan kepada
kepentingan publik (local accountability). Ketiga, pemerintahan lokal yang
demokratis meningkatkan akselerasi pembangunan sosial ekonomi yang berbasis
pada kebutuhan masyarakat setempat (local responsiveness). Ketiga hal tersebut
menjadi acuan pokok dalam upaya menggulirkan wacana pemilhan langsung agar
arah pengembangannnya memiliki sandaran yang kokoh.

Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan Pilkada langsung bagi


perkembangan demokrasi di Indonesia.
 Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena
pemilihan Presiden & Wakil Presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa
selama ini telah dilakukan secara langsung.
 Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945 seperti
telah diamanatkan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 Gubernur, Bupati dan Wali
Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi,
Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam
UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
 Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi politik bagi
rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik
berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran
kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang
benar sesuai nuraninya.
 Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh
pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam
pilkada langsung, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan
tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi
masyarakat agar dapat diwujudkan.
 Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi
kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional
amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 1 juta,
jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka
sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi
Pemilu. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari
pilkada langsung ini.

Menurut Bambang Widjojanto (2003), setidaknya ada tiga hal penting


yang menjadi dasar serta alasan utama desakan masyarakat agar pemilihan kepala
daerah secara langsung :

 Masyarakat menginginkan agar kepala daerah lebih akuntabel kepada


rakyat pemilihnya dan bukan pada fraksi dari partai politik yang
memilhnya atau pejabat pemerintahan lain yang ikut menentukan hasil
pemilihan itu;

 Rakyat menghendaki agar kepala daerah lebih berorientasi pada


kepentingan rakyat pemilihnya. Rakyat pemilih kelak akan dapat
menentukan sendiri, apakah Kepala Daerah tertentu dapat dipilih kembali
untuk masa jabatan kedua;

 Pemilihan langsung akan membuat basis tanggung jawab Kepala Daerah


untuk berpucuk kepada para pemilih sejatinya bukan hanya kepada interest
politik dari kekuatan partai politik saja.

2.6Sistem Demokrasi Pancasila

2.6.1 Definisi Demokrasi

Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata Yunani yaitu demos
yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein atau cratos yang
berarti kekuasaan dan kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-
cratos (demokrasi) memiliki arti suatu keadaan negara di mana dalam sistem
pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada
dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan
kekuasaan oleh rakyat. Sedangkan pengertian demokrasi menurut istilah atau
terminologi adalah seperti yang dinyatakan oleh para ahli sebagai berikut:

 Joseph A. Schemer, demokrasi merupakan suatu perencanaaninstitusional


untuk mencapaikeputusan politik di mana individu-individumemperoleh
kekuasaan untukmemutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat

 Sidney Hook, demokrasiadalah bentuk pemerintahan di manakeputusan-


keputusan pemerintah yangpenting secara langsung atau tidaklangsung
didasarkan pada kesepakatanmayoritas yang diberikan secara bebasoleh
rakyat biasa.

 Philippe C. Schmitter&Terry LynnKarl, demokrasi sebagaisuatu sistem


pemerintahan dimintaitanggung jawab atas tindakan-tindakanmereka yang
telah terpilih.

 Lincoln, demokrasi adalahsuatu bentuk pemerintahan di manakekuasaan


politik tertinggi (supremepolitical authority) dan
kedaulatan(sovereignty)ada di tangan rakyat. Rakyat yang memiliki
sovereigntyberhak untukmemerintah. Karena itu, pemerintahanyang
demokratis adalah pemerintahanyang mendapat persetujuan rakyat
ataupemerintahan yang sudah memilikimandat untuk memerintah dari
rakyat(democratic government by and with theconsent of the
people).Dalam sistempemerintahan rakyat atau yang olehLincoln disebut
government by peopletersebut direpresentasi dalam bentuklembaga
perwakilan yang mengatasnamakankepentingan rakyat.

2.6.2 Definisi Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila tidak saja demokrasi dalam bidang politik, tetapi


juga mengatur masalah ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Pengaturan pokok
masalah itu terdapat di dalam UUD 1945 dalam Pasal 31 mengenai pendidikan,
Pasal 32 mengenai kebudayaan, Pasal 33 mengenaiperekonomian, Pasal 34
mengenai fakir miskin.

Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa demokrasi Pancasila adalah


demokrasi politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dalam hal iniberarti bahwa
dalam bidang-bidang tersebut rakyat diikut sertakan dalam keterlibatannya.
Dengan demikian, gagasan demokrasi sebagai suatu perkembangan populisme
(ketertiban atau ikut campur tanpa rakyat) diatur secara konstitusional.

Di samping sebagai suatu sistempemerintahan, demokrasi juga


merupakanWay of life atau cara hidup dalam bidangpemerintah. Demokrasi
sebagai suatu carahidup yang bayak antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut :
Pertama, segalapendapat atau perbedaan pendapatmengenai msalah kenegaraan
dan lain-lainyang menyangkut kehidupan bangsa danmasyarakat diselesaikan
lewat lembaga-lembaganegara. Kedua, dimana rakyatdiikursertakan dalam
masalah negara,maka pertukaran pikiran yang bebas demiterselenggaranya
kepentingan rakyat/diskusi harus dibuka seluas-luasnya.

Di bawah demokrasi PancasilaIndonesia dapat merasakan


stabilitasNasional yang cukup memadai.Keamanan terkendali, sektor
ekonomimaju pesat, pembangunan diupayakandapat merata ke pelosok-pelosok
negeri,meskipun hanya sedikit yang berhasil.Target dari sistem Demokrasi
Pancasilaadalah pembangunanekonomi yangberencana, untuk kesejahteraan
rakyat,karena stabilitas politik dan keamananmenjadi persoalan bangsa yang
amatpenting. Untuk lebih jelasnya demokrasi Pancasila merupakan salah satu
tujuan sederhana yang manfaatnya luar biasa bagi kehidupan bangsa Indonesia,
yaitu:

 Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan pada asas


kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan demi kesejahteraan
rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, yang
berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur,berkepribadian
Indonesia, dan berkesinambungan.

 Dalam demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan


oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat.

 Dalam demokrasi Pancasila kebebasan individu tidaklah bersifat mutlak,


tetapi harus diselaraskan atau disesuaikan dengan tanggung jawab sosial.

 Dalam demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan


dengan cita-cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat
kekeluargaan, sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas.

Dalam demokrasi Pancasila terdapat 2 asas yang membentuk, yakni:

 Asas kerakyatan, yaitu asas atas kesadaran kecintaan terhadap rakyat,


manunggal dengan nasib dan cita-cita rakyat, serta memiliki jiwa
kerakyatan atau dalam arti menghayati kesadaran senasib dan secita-cita
bersama rakyat.

 Asas musyawarah untuk mufakat, yaitu asas yang memperhatikan dan


menghargai aspirasi seluruh rakyat yang jumlahnya banyak dan melalui
forum permusyawaratan dalam rangkapembahasan untuk menyatukan
berbagai pendapat yang keluar serta mencapai mufakat yang dijalani
dengan rasa kasih sayang dan pengorbanan agar mendapat kebahagiaan
bersama-sama.

2.7 Pelaksanaan Pilkada Ditinjau Berdasarkan Demokrasi Pancasila


Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung dan tidak
langsung memiliki legitimasi yuridis konstitusional dan empirik. Agar
pelaksanaan lebih efisien, model sistem Pilkada harus berdasarkan asas demokrasi
dan nilai-nilai pancasila. Demokrasi Pancasila menyerukan pembuatan keputusan
melalui musyawarah mencapai mufakat.

Ini adalah demokrasi yang menghidupkan prinsip-prinsip Pancasila. Hal


ini mengimplikasikan bahwa hak demokrasi harus selalu diiringi dengan sebuah
kesadaran bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut
keyakinan beragama masing-masing, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan
ke atas harkat dan martabat manusia, serta memperhatikan penguatan dan
pelestarian kesatuan nasional untuk menuju keadilan sosial.

Kepala Pusat Studi Pancasila Sudjito menyatakan Pusat Studi Pancasila


tidak bermaksud memihak kelompok yang mengusung Pilkada langsung dan
Pilkada melalui DPRD. Dari hasil kajian, terjadi pereduksian nilai dalam
pemilihan Kepala Daerah langsung maupun tidak langsung karena pelaksanaan
Undang-Undang tentang pemilihan kepala daerah melupakan dimensi moralitas
perundang-undangan atau tidak dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Undang-Undang
Pilkada efektif atau tidak, tergantung seberapa besar pelaksanaannya dibarengi
dengan nilai-nilai moralitas atau nilai-nilai Pancasila.

Tim Ahli Pusat Studi Pancasila Muhammad Jazir menyatakan


pelaksanaan demokrasi di Indonesia selama ini tidak bersifat asimetris, tidak
mutlak berbasis satu sistem. Undang-Undang mengamanatkan pemilihan
Gubernur, Bupati, Walikota secara langsung, pelaksanaannya tidak semua daerah
melaksanaan sistem teresebut.

2.8 Sistem Pilkada Ditinjau Berdasarkan Demokrasi Pancasila

Rezim pemilu di dalam UUD NKRI Tahun 1945 Pasal 22 E ayat (2) hanya
ada 4 jenis pemilu, yaitu pemilu anggota DPR, pemilu anggota DPD, pemilu
anggota DPRD, dan pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pilkada
menurut UUD 1945 tidak termasuk rezim Pemilihan umum. Disisi lain, jika
otonomi diberikan kepada Provinsi, maka pemilihan Bupati, dan Walikota dapat
diserahkankepada DPRD. Apabila merujuk padaPasal 18 UUD NKRI Tahun
1945,dikatakan, Gubernur-Wakil gubernur,Bupati-Wakil Bupati, Walikota-Wakil
Walikota dapat dipilih dengan carademokratis. Demokratis dapat diartikan
secara langsung dan dapat diartikan secaratidak langsung.

Terkait dengan pemilihan kepaladaerah, pemilihan kepala daerah


initerdapat dalam amandemen UUD NKRITahun 1945 Pasal 18. Pasal 18
hanyamenyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih melalui cara-
cara yang
demokratis. Cara-cara yang demokratisbermakna multitafsir, tergantung
bagaimana UU menterjemahkannya. Padaawalnya, pemilihan dilakukan dengan
mekanisme keterwakilan oleh DPRD dansaat ini sistem pemilihan berganti
kembalisecara langsung oleh rakyat.

Pada dasarnya kedua sistem Pemilukadatersebut sama-sama tidak


bertentangandengan Dasar Negara dan Konstitusi. Apabila Pilkada dilakukan
secaralangsung, maka demokrasi yangdigunakan adalah demokrasi secara
murni,dimana dilakukanoleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyatberdasarkan
nilai-nilai Dasar NegaraIndonesia yaitu Pancasila. Disisi lain,sistem pilkada
secara tidak langsung jugamerupakan perwujudan dari pelaksanaandemokrasi
Pancasila.

Perbedaannya,demokrasi yang diterapkan adalah demokrasiketerwakilan,


dimana pemilihankepala daerah dilakukan oleh anggotaDPRD setempat. Anggota
DPRD disinijuga merupakan perwujudan rakyatIndonesia. Dengan demikian,
pemilihansecara tidak langsung tidak bertentangandengan demokrasi Pancasila,
sebagaimanaJ. DINAMIKA SOSBUD Volume 17 Nomor 2, Desember 2015 : 300
- 310 307 tercermin dalam sila keempat kerakyatanyang dipimpin oleh hikmat
dalampermusyawaratan perwakilan.

2.9 Perbandingan Sistem Pilkada Langsung dan Sistem Pilkada Tidak


Langsung Berdasarkan Demokrasi Pancasila

Semangat dilaksanakannya pilkada langsung adalah koreksi terhadap


sistem
demokrasi tidak langsung di era sebelumnya, dimana Kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilh oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada
pilihan rakyat. Oleh karena itu keputusan politik untuk menyelenggarakan pilkada
langsung adalah langkah strategis dalam rangka memperluas,memperdalam dan
meningkatkan kualitas demokrasi.

Hal ini juga sejalan dengan semangat otonomi yaitu pengakuan terhadap
aspirasi inisiatif masyarakat lokal untuk menentukan nasibnya sendiri. Jika agenda
desentralisasi dilihat dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan bangsa, maka
pilkada semestinya memberikan kontribusi yang besar terhadap hal itu. Berikut
hasil perbandingan mengenai sisi positif pilkada secara langsung dan
dibandingkan dengan sistem pilkada secara tidak langsung.
Tabel 1. Perbandingan Sistem Pilkada Langsung dan Tidak Langsung

PILKADA LANGSUNG PILKADA TIDAK LANGSUNG

Pilkada langsung merupakan Apakah kedaulatan rakyat harus


perwujudan kedaulatan rakyat dan sampai level memilih pemimpin
demokrasi seluas-luasnya. daerah?
Sebagaimana pemeo demokrasi:
“dari rakyat, oleh rakyat, untuk Apakah kedaulatan rakyat tidak
rakyat” maka sebagai rakyat kita cukupdiwakilkan ke wakil rakyat
sangat berhak untuk menentukan (DPRD) ? Bukankah DPRD juga
siapa yang akan memimpin kita, dipilih oleh rakyat untuk
siapa yang berhak mengelola uang mewakilinya?
pajak yang kita bayar, dan kepada
siapa kita mempercayakan Apakah perwujudan kedaulatan
pembangunan daerahkita dalam rakyat tersebut merupakan
jangka waktu lima tahunke depan. perwujudan sesungguhnya?

Berapa banyak jumlah warga


daerah yang berpartisipasi memilih
pemimpin daerah?

Berapa banyak rakyat yang justru


tidak merasa perlu untuk memilih
Bupati/Walikota/Gubernur
sehingga memutuskan golput?

Apabila benar kedaulatan rakyat ini


mau diwujudkan dengan seluas-
luasnya, apakahrakyat mengetahui
siapa calon kepala daerah
danbagaimana kualitasnya?

Pilkada langsung merupakan Bukankah dasar Negara kita (Sila


pengejawantahan dari tuntutan keempat Pancasila) menyaratkan
reformasi dan demokratisasi politik pemerintahan demokratis harus
serta merupakan hak konstitusi didasarkan asas keterwakilan?
rakyat
Bukankah UUD 1945 hanya
menyebutkan presiden, DPR,
DPRD, dan DPD yang langsung
dipilih oleh rakyat melalui
pemilihan umum,
sama sekali tidak menyebutkan
Bupati / Walikota / Gubernur
dipilih lewat pemilu?
Apakah apabila Kepala Daerah
Menghindari terjadinya dipilih langsung dijamin tidak ada
persekongkolan politik Kepala persekongkolan politik antara
Daerah dengan DPRD Kepala Daerah dengan DPRD?

Apakah selama ini tidak ada kasus


korupsi yang melibatkan Kepala
Daerah yang dipilih langsung
dengan oknum-oknum DPRD?

Bukankah politik uang masalahnya


ada di perilaku saja? Apabila
anggota DPRD jujur maka politik
uang dapat dihindarkan?

Meminimalisasi politik uang Apakah selama ini semua kandidat


Kepala Bupati/Walikota/Gubernur yang
Daerah kepada DPRD, baik selama akan dipilih langsung sama sekali
masih jadi calon maupun setelah tidak melakukan politik uang
menjabat. kepada DPRD?

Pilkada secara langsung disertai Apakah pengawasan dapat


dengan pengawasan oleh lembaga dilakukan secara efektif?
yang berwenang

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Pada dasarnya, pilkada dengan sistem pemilihan tidak langsung, tidak


bertentangan dengan Dasar Negara dan Konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Inti dari Demokrasi Pancasila adalah pemerintahan
yang dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dengan
berlandaskan nilai-nilai Pancasila, sehingga dapat disimpulkan, meskipun
pemilihan dilakukan secara tidak langsung melalui anggota DPRD, namun
anggota DPRD juga merupakan simbol keterwakilan masyarakat sebagai
pemilih. Artinya, sama-sama dipilih oleh rakyat.

 Mekanisme pemilukada dengan menggunakan sistem secara langsung dan


secara tidak langsung, jika dibandingkan, cenderung lebih menguntungkan
dengan menggunakan sistem pemilihan secara tidak langsung. Berbagai
sisi positif tersebut yaitu, menghemat biaya APBD dan APBN hingga
triliunan rupiah, menjalankan amanah Konstitusi Dasar Negara kita.

3.2 Saran

Dari hasil kajian tersebut, terjadi pereduksian nilai dalam pemilihan


Kepala Daerah langsung maupun tidak langsung karena pelaksanaan Undang-
Undang tentang pemilihan Kepala Daerah melupakan dimensi moralitas
perundang-undangan atau tidak dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Undang-Undang
Pilkada efektif atau tidak, tergantung seberapa besar pelaksanaannya dibarengi
dengan nilai-nilai moralitas atau nilai-nilai Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA
Kaelan, 2010. Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma.

Suharizal, 2012. Pemilukada Regulasi,Dinamika dan Konsep Mendatang, Jakarta:


PT.Raja Grafindo Persada

Jimly Asshiddiqie, Komentar atas Undang- Undang Dasar Negara Republik


Indonesia

Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2006. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi,


Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah

Ahmad Nadir, 2005. Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi, Averroes
Press

Adi &Rianto,2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit

Asshiddiqie & Jimly,2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan


Keempat , Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI

Sarundajang, 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Problematika dan


Prospek. Jakarta : Kata Hasta Pustaka

Anda mungkin juga menyukai