Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH SOSIOLOGI HUKUM

“SISTEM MASYARAKAT ADAT PAPUA PADA PEMILUKADA”

Oleh :
Aulia Fajrin
B012212011

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
dalam menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya,
penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa
shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi agung Muhammad SAW yang
syafa’atnya kita nantikan kelak.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, sehingga makalah “Sistem Masyarakat Adat Papua pada Pemilukada”
dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Sosiologi Hukum.
Penulis menyadari makalah ini masih perlu banyak penyempurnaan karena
kesalahan dan kekurangan. Kami terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar
makalah ini dapat lebih baik. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah
ini, baik terkait penulisan maupun konten, Kami memohon maaf.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfaat.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Makassar, Juni 2022

Aulia Fajrin

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 5

C. Tujuan Penulisan 5

BAB II PEMBAHASAN 6

A. Sistem Noken Pada Penyelenggaraan Pemilu di Papua 6


B. Sistem Noken Dalam Pluralisme Hukum di Indonesia 7

BAB III PENUTUP 10

A. Kesimpulan 10

B. Saran 10

DAFTAR PUSTAKA 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbicara tentang pemilu maka tidak terlepas dari demokrasi. Indonesia


merupakan salah satu negara yang menerapkan prinsip demokrasi tercermin dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara yang demokratis. Dalam konsep demokrasi
terkandung prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie). Salah satu wujud
kedaulatan rakyat di Indonesia terejawantahkan dalam bentuk pemilihan kepala
daerah, yang diatur pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yang berbunyi
“Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan
Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.
Hakikat demokrasi dalam sistem pemerintahan memberikan penekanan
pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat, baik dalam pemeritahan maupun
dalam penyelenggaraan negara, yang mencangkup tiga hal: pertama, pemerintah
dari rakyat (government of the people); kedua, pemerintah oleh rakyat
(government by people); ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government by
people)1. Salah satu sisi yang menarik dalam implementasi demokrasi aalah
tentang demokrasi adalah tentang demokrasi tidak langsung ( indirect democracy )
atau demokrasi perwakilan. Berbeda dengan demokrasi lansung ( direct
democracy ) seperti yang pernah dikembangkan pada zaman Yunani Kuno, maka
hak-hak yang politik rakyat dilakukan oleh sekelompok kecil orang yang
berkedudukan sebagai wakil resmi dari seluruh penduduk di dalam suatu negara.2
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Dan Walikota (selanjutnya disebut UU Pilkada) mengatur tata cara

1
Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, Pancasila dan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga, 2005), hal.69
2
Afan Gaffar “Pengantar” dalam Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda (ed.), Pemilu dan Lembaga
Perwakilan Dalam Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Jurusan HTN Fakultas Hukum UII,
1992) ,hlm. Viii.

1
pemilihan umum dengan menetapkan asas LUBERJURDIL (langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil).
Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu berdasarkan Pasal 1
Angka 1 UU Pemilu, dijelaskan bahwa sarana kedaulatan rakyat untuk memilih
anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakil presiden, dan untuk memilih
anggota DPRD, yang dilaksanakan secara Luber-Jurdil dalam NKRI. Pelaksanaan
pemilu berpedoman asas pemilu yang diatur pada Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 yang dijabarkan dalam Pasal 2 dan 3 UU Pemilu, yaitu:
1. Langsung, artinya rakyat pemilih mempunyai hak secara langsung
memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa
perantara.
2. Umum, artinya semua warga negara yang telah berusia 17 tahun / telah
menikah berhak memilih dan telah berusia 21 tahun berhak dipilih
dengan tanpa ada diskriminasi.
3. Bebas, artinya rakyat pemilih berhak memilih menurut hati nuraninya
tanpa ada pengaruh, tekanan/paksaan dari siapapun/dengan apapun.
4. Rahasia, artinya rakyat pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan
diketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang
dipilihnya atau kepada siapa suaranya diberikan.
5. Jujur, artinya dalam penyelenggaraan pemilu, penyelenggara
pelaksana, pemerintah dan Parpol peserta pemilu, pengawas dan
pemantau termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara
tidak langsung gharus bersikap jujur sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
6. Adil, artinya dalam penyelenggaraan pemilu setiap pemilihan dan
partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama serta
bebas dari kecurangan pihak manapun.3
Namun dalam praktiknya, dengan beragamnya adat dan kebiasaan setiap
daerah di indonesia, asas-asas tersebut tidak dapat dilaksanakan disetiap
3
Frenki, “Asas-Asas Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia Menurut Fiqh Siyasah”.
Jurnal Hukum Ekonomi Syari’ah. Volume 8, Nomor 1 Tahun 2016, Universitas Muhamadiyah
Purwokerto, 2016, Puwokerto, hal. 57-58. (DOI:https://doi.org/10.24042/asas.v8i1.1223)

2
masyarakat secara sama di seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana sistem
pemilihan di Papua yang menggunakan sistem “Noken”. Sistem Noken
merupakan sistem pemilu oleh masyarakat Papua dengan mekanisme adat, yaitu
pencontrengan kertas suara diwakilkan kepada kepala-kepala suku. Pencontrengan
tidak dilakukan di dalam bilik suara dan kertas suara yang dicontreng tersebut
tidak dimasukkan ke dalam kotak suara, tapi dimasukkan ke dalam tas khas orang
Papua yang disebut “Noken”. Noken adalah tas (kantung) tradisional masyarakat
Papua. Dalam konteks demokrasi pemilu, noken dipakai sebagai tempat
menampung suara pengganti kotak suara.4

Sistem noken ini bertumpu pada ‘Big Man” atau kepala suku/ketua suku.
Seorang Big man tidak sekedar menjadi pemimpin politik yang menentukan
aturan yang harus diikuti oleh warga suku, tapi juga pemimpin ekonomi, sosial,
dan budaya. Kekuasaanya bukan diperoleh dari keturunan melainkan pengaruh,
dan warna kepemimpinannya yang disegani kadang ditakuti. Big man terjadi pada
momentum pemilihan umum DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden,
Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Bupati dan Wakil Bupati. Pemilu ini
merupakan simbol demokrasi yang menghendaki. “One man, one vote” dan one
value ” dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER). Jika sistem ini
diterapkan maka big man akan kehilangan power-nya untuk mengendalikan
sukunya karena setiap warga bebas mengambil keputusan sendiri untuk
menentukan pilihannya. “ketidak kompakan” ini selain akan dapat menimbulkan
konflik antar warga suku, juga akan membuat big man merasa kewenangannya
untuk mengambil keputusan yang mengikat sukunya menjadi hilang, karena
loyalitas warganya telah memudar. Ini juga akan dapat membuat system
kehidupan mereka menjadi kacau dan berpotensi konflik lebih luas.
Metode pemungutan suara dengan sistem noken ini terlegitimasi
berdasarkan pendapat yudisial MK dalam Putusan No. 47-81/PHPU.A-VII/2009
dalam perkara perselisihan Pemilu di Kabupaten Yahukimo, dinyatakan:
“Menimbang bahwa Mahkamah berpandangan, Pemilu di Kab Yahukimo tidak

4
Hasyim Asy’ari, Pemilu 2019, KPU Ingin Penggunaan Sistem Noken Berkurang (Jakarta: Tempo
Co, 24 April 2018), 2018

3
diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU
No 10 Tahun 2008 yang telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD) karena tidak dengan cara pencontrengan surat suara, melainkan dengan
“kesepakatan warga” atau “aklamasi” dan hasilnya tetap ke dalam rekapitulasi
hasil pemungutan suara yang dilaksanakan pada tanggal 6 Mei 2009 di KPU
Provinsi Papua.5
Sehubungan dengan putusan MK No. 47-81/PHPU.A-VII/2009, sistem
noken mempunyai legitimasi. Implikasi dari legitimasi MK tersebut, praktek
noken ini menuai kriktik tajam, karena sistem ini tidak menerapkan secara
prosedural praktek demokrasi yang sesungguhnya. Sistem noken ini berpotensi
menimbulkan distorsi, penyelewengan atau pembelokan suara oleh perwakilan
warga. Artinya bahwa sistem noken ini membunuh hak perorangan untuk memilih
dengan hati nurani, siapa yang harus dipilih, karena sistem noken ini terdiri atas 2
pola, yaitu: pertama, Pola Big Man yaitu pilihan suara seluruh anggota suku
diwakilkan kepada kepala suku masing-masing; kedua, sistem noken gantung atau
ikat di mana masyarakat dapat melihat suara yang telah disepakati masuk kedalam
yang sebelumnya telah ditetapkan. Kedua sistem noken tersebut dapat mengklaim
suara salah satu kampung dan diberikan ke salah satu calon dari beberapa calon.
Sistem noken ini setiap pasangan calon sejak awal sudah dapat diketahui menang
atau kalah tanpa menunggu hari pemungutan suara, karena dukungan setiap suku
bisa diketahui dari awal.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dicermati bahwa sistem noken ini jelas
bertentangan dengan asas “Luber-Jurdil” sebagai asas konstitusi.6 namun pendapat
yudisial MK dalam Putusan No. 47-81/PHPU.A-VII/2009, justru memberikan
legitimasi dalam pelaksanaannya. Persoalan muncul ketika noken digunakan
sebagai simbol dalam pemilu. Sejak nama calon kepala daerah atau anggota
legislatif atau presiden dan wakil presiden ditetapkan, orang Papua di berbagai
5
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 47-81/PHPU.A-VII/2009, hal 46
6
Yerianto Tarima, Piers Andreas Noak dan Muhammad Ali Azhar, Peran Kepala Suku Dalam
Sistem Noken Pada Pemilukada Di Distrik Kamu Kabupaten Dogiyai Provinsi Papua Tahun 2013

4
kampung di pegunungan mulai terlibat dalam diskusi-diskusi, baik yang terjadi
secara spontan maupun terencana. Diskusi dilakukan di rumah adat, halaman
tempat ibadah, halaman balai desa, atau halaman rumah tertentu, dan dipimpin
tokoh agama, tokoh pemuda, guru, atau pegawai negeri yang dipercayai oleh
penduduk lokal. Berdasarkan hal tersebut maka makalah ini akan membahas
mengenai “Sistem Masyarakat Adat Papua pada Pemilukada”

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sistem noken yang diterapkan dalam penyelenggaraan
Pemilu di Papua ?
2. Bagaimana Sistem Noken jika dipandang dari konsep pluralisme
hukum yang di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana sistem noken yang diterapkan dalam
penyelenggaraan Pemilu di Papua
2. Untuk mengetahui bagaimana sistem noken dalam hubungannya
dengan konsep pluralisme hukum yang ada di Indonesia.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistem Noken Pada Penyelenggaraan Pemilu di Papua

Di Indonesia sendiri ada 3 (tiga) jenis sistem pemilu yang perlu kita
ketahui yaitu sistem pemilu distrik, sistem pemilu proporsional, dan sistem pemilu
campuran. Di wilayah Papua khususnya di wilayah pedalaman atau perbatasan
cenderung mengikuti pilihan ketua sukunya untuk menentukan pilihan. Dari 29
kabupaten/kota di Papua ada 13 daerah yang diberikan hak khusus (privilege)
untuk menggunakan sistem pemilu tersendiri. Sistem khusus tersebut dinamakan
sistem noken. Noken dalam bahasa Papua berarti tas atau kantong. Sistem noken
tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pemilihan Umum yaitu pada Pasal
1 yang menjelaskan bahwa pemilu adalah sarana untuk melaksanakan kedaulatan
rakyat yang dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil atau
biasanya kita menyebut (luber jurdil) berdasarkan UUD NRI 1945.

Noken adalah nama tas khas Papua. Namun dalam urusan Pemilu atau
Pilkada, noken adalah sebuah sistem. Ada dua pola yang dipakai dalam sistem ini.
Pola pertama, pilihan suara seluruh anggota suku, diwakilkan kepada kepala suku
masing-masing. Pola kedua, noken berfungsi sebagai pengganti kotak suara. Di
mana kertas suara pemilih, dimasukkan dalam noken-noken yang digantung
sesuai jumlah partai atau pasangan calon.7 Noken mempunyai fungsi sosial, yaitu
menjadi identifikasi asal suku. Karena corak, bentuk, dan pewarnaan pada noken
dari setiap suku berbeda-beda. Noken juga mempunyai fungsi budaya, karena
digunakan dalam semua acara adat. Noken juga mempunyai fungsi ekonomi, yaitu
sebagai penyimpan bahan makanan untuk keperluan mendesak. Noken juga
mempunyai fungsi politik, dengan digunakannya noken dalam pemilu. Oleh
karenanya, tidak heran jika proses pemilihan umum yang berlangsung di daerah
pegunungan tengah Papua disebut dengan sistem noken.

7
https://www.voaindonesia.com/a/tarik-menarik-sistem-noken-di-papua-/4362266.html, dikutip
pada tanggal 14 November 2021 pukul 13.16 WITA

6
Noken adalah nilai budaya lokal di Papua yang harus dihormati dan
dilindungi dalam sistem hukum nasional terutama dalam pelaksanaan proses
pemilu dan Pemilihan Umum Kepala daerah. Penggunaan sistem noken sebagai
kearifan lokal merupakan pengertian demokrasi yang lain. Yakni, bagaimana
memadukan berbagai kesepakatan yang muncul dari kehendak masyarakat adat
untuk memilih calon pemimpin. Sistem noken berasal dari kearifan lokal di
beberapa wilayah pegunungan di Papua yang telah menjadi tradisi dari generasi ke
generasi. Meskipun telah lama berlangsung penggunaan noken dalam pemilu dan
Pemilihan Umum Kepala daerah, tetapi sistem noken tidak ada pengaturannya
dalam undang-undang pemilu atau undang-undang Pemilihan Umum Kepala
daerah. Sehingga noken menjadi salah satucara dalam sistem pemilu yang tidak
tertulis dalam hukum nasional. Akibat tidak diaturnya noken dalam perundang-
undangan pemilu dan Pemilihan Umum Kepala daerah, implementasi penggunaan
noken sebagai pengganti pemungutan suara, tidak seragam untuk masing-masing
daerah-daerah pegunungan di Papua. Model sistem penggunaan noken bervariasi
tergantung penyebaran penduduk dan kondisi georafis setiap wilayah.

B. Sistem Noken Dalam Pluralisme Hukum Indonesia

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa pluralisme hukum yang


tercipta di Indonesia bukan tidak terpengaruh dari hukum-hukum adat yang eksis
dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat Indonesia baik pra-kemerdekaan masa
pra-reformasi saat ini. Pluralisme hadir dalam tatanan bernegara merupakan
konsekuensi dari keragaman kebudayaan dan nilai-nilai yang dianut dalam
masyarakat Indonesia yang tersebar luas sangat sulit untuk dibentuk menjadi
sebuah unifikasi hukum yang mewadahi semua nilai-nilai kebudayaan dan adat
istiadat tersebut.

Untuk menggaris bawahi, bahwa hukum-hukum yang tidak berasal dari


negara sangat berperan dalam kehidupan sehari-hari, dan menjadi salah satu
pilihan utama dalam beberada daerah dalam penyelesaian sengketa horizontal
yang terjadi. Sesuai dengan sebuah konsep yang dikemukakan oleh Von Savigny
yaitu “Volkgeist” maka hukum yang digambarkan Savigny harusnya berasal dari

7
nilai-nilai yang ada di masyarakat, sehingga hukum menjadi perwujudan apa yang
telah ada dan diakui di dalam masyarakat sebagai kebiasaan.

Dalam sistem kebudayaan Papua, dalam hal demokrasi sejak dulu hingga
saat ini, untuk mengambil keputusan yang berdampak luas atau kepentingan
umum masyarakatnya digunakan sistem noken/atau sistem ikat. Dalam hal ini,
kepala suku (the big man) diberi hak oleh adat Papua untuk mengambil keputusan
karena kemampuannya untuk mempengaruhi perilaku masyarakat adat sekitarnya.
Harold D. Laswell, dan Abraham Kaplan 8 menjabarkan hal tersebut dalam kalimat
“Kekuasaan adalah suatu hal hubungan dimana seseorang atau sekelompok orang
dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak
pertama”

Pembahasan mengenai sistem noken yang acapkali dibenturkan dengan


konsep dasar demokrasi yang dikenal di Indonesia sebenarnya dapat dijawab
dengan penjabaran menggunakan konsep yang disebut demokrasi deliberatif.9
Dalm hal ini, keputusan masyarakat untuk tetap menggunakan sistem noken
menjadi bentuk demokrasi tersendiri yang dipilih masyarakat dan harus jaga
sebagai bentuk penghormatan terhadap pilihan masyarakt itu. Dalam konteks
kelembagaan lokal atau kelembagaan non pemerintah praktek deliberasi ini
merupakan hal yang sering dilakukan khususnya pada masyarakat tradisional dan
masyarakat adat di Provinsi Papua. Pada masyarakat tersebut selalu ada
mekanisme musyararah mufakat dan gotong royong dalam membicarakan dan
melaksanaan pekerjaan-pekerjaan yang ditujukan kepada publik termasuk
didalamnya mengenai pemilu atau pilkada.

Ditinjau dari konteks demokrasi deliberatif, penggunaan sistem noken


merupakan bentuk budaya dimana pengkultusan pemimpin lokal yaitu kepala
suku atau kepala adat dalam mengambil putusan akhir dalam setiap musyawarah
yang dilangsungkan. Mekanisme diskusi, menampung masukan dari masyarakat
8
Harold D. Laswell, dan Abraham Kaplan, 1950, Power and Society, Yale University Press, New
Haven, hlm 74.
9
Konsep demokrasi deliberatif merupakan sebuah pandangan yang menempatkan delibersai
publik atas masyarakat yang bebas dan setara sebagai inti legitimasi pembuatan keputusan
politik oleh penguasa atau pemerintahan itu sendiri.

8
serta membentuk dan bergabung dengan asosiasi otonom termasuk partai politik,
kelompok kepentingan yang berusaha untuk mempengaruhi pemerintah melalui
kompetisi dalam pemilu atau melalui kegiatan damai lainnya bermakna bahwa
pemilu merupakan bagian dari kriteria demokrasi dimana didalamnya terdapat hak
asasi manusia dalam lingkup politik.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwal noken merupakan sebuah
benda yang digunakan secara luas oleh masyarakat adat Papua yang tidak hanya
terbatas pada sistem pemilihan umum, melainkan diberbagai aspek kehidupan
masyarakatnya. Noken dalam sistem pemilu sendiri merupakan perwujudan dari
pengkultusan seorang kepala suku / big man dalam menentukan suara kelompok
masyarakat adat yang harus dianggap sebagai demokrasi dalam bentuk lain
sebagai penghormatan pilihan yang diambil oleh masyarakat adat Papua sendiri
dan sebagai bukti pluralisme hukum yang ada di Indonesia dalam bidang pemilu.
Suara per-orangan yang seringkali dianggap tidak tersampaikan dengan sistem
noken tersebut bisa terpatahkan dengan anggapan bahwa suara mereka telah di
salurkan secara suka rela kepada kepala suku / big man sebagai bentuk kontrak
sosial di dalam masyarakat adat Papua itu sendiri. Pengambilan keputusan-pun
bukan tanpa musyawarah sebelumnya, karen amsyarakat Papua juga telah terbiasa
dalam menentukan keputusan yang bersifat meluas dan publik akan mengadakan
pertemuan sehingga suara mereka tetapdianggap terdengar.

B. Saran
Dalam sudut pandang pluralisme hukum, keberadaan sistem noken justru
memperkaya khazanah hukum di Indonesia sebagai salah satu keadilan dalam
bentuk lain yang diterima dalam masyarakat Indonesia, sehingga penghormatan
dan penjaminan atas keberlangsungan sistem tersebut harus tetap diupayakan oleh
negara, selama masyarakat tersebut eksis dan menghendaki hal tersebut.

10
DAFTAR PUSTAKA

Afan Gaffar. 1992. Pengantar dalam Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda. Edisi
Pemilu dan Lembaga Perwakilan Dalam Ketatanegaraan Indonesia.
Yogyakarta: Jurusan HTN Fakultas Hukum UII)
Frenki. 2016. Asas-Asas Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia
Menurut Fiqh Siyasah. Jurnal Hukum Ekonomi Syari’ah. Volume 8, Nomor
1 Tahun 2016, Universitas Muhamadiyah Purwokerto.
DOI:https://doi.org/10.24042/asas.v8i1.1223
Harold D. Laswell, dan Abraham Kaplan, 1950, Power and Society, Yale
University Press, New Haven.
Hasyim Asy’ari. 2018. Pemilu 2019, KPU Ingin Penggunaan Sistem Noken
Berkurang Jakarta: Tempo Co
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 47-81/PHPU.A-VII/2009

Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga. 2005. Pancasila dan Kewarganegaraan.


Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga

Yerianto Tarima, Piers Andreas Noak dan Muhammad Ali Azhar, Peran Kepala
Suku Dalam Sistem Noken Pada Pemilukada Di Distrik Kamu Kabupaten
Dogiyai Provinsi Papua Tahun 2013

11

Anda mungkin juga menyukai