Oleh :
Aulia Fajrin
B012212011
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
i
KATA PENGANTAR
Aulia Fajrin
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL i
KATA PENGANTAR ii
BAB I PENDAHULUAN 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penulisan 5
BAB II PEMBAHASAN 6
A. Kesimpulan 10
B. Saran 10
DAFTAR PUSTAKA 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, Pancasila dan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga, 2005), hal.69
2
Afan Gaffar “Pengantar” dalam Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda (ed.), Pemilu dan Lembaga
Perwakilan Dalam Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Jurusan HTN Fakultas Hukum UII,
1992) ,hlm. Viii.
1
pemilihan umum dengan menetapkan asas LUBERJURDIL (langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil).
Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu berdasarkan Pasal 1
Angka 1 UU Pemilu, dijelaskan bahwa sarana kedaulatan rakyat untuk memilih
anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakil presiden, dan untuk memilih
anggota DPRD, yang dilaksanakan secara Luber-Jurdil dalam NKRI. Pelaksanaan
pemilu berpedoman asas pemilu yang diatur pada Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 yang dijabarkan dalam Pasal 2 dan 3 UU Pemilu, yaitu:
1. Langsung, artinya rakyat pemilih mempunyai hak secara langsung
memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa
perantara.
2. Umum, artinya semua warga negara yang telah berusia 17 tahun / telah
menikah berhak memilih dan telah berusia 21 tahun berhak dipilih
dengan tanpa ada diskriminasi.
3. Bebas, artinya rakyat pemilih berhak memilih menurut hati nuraninya
tanpa ada pengaruh, tekanan/paksaan dari siapapun/dengan apapun.
4. Rahasia, artinya rakyat pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan
diketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang
dipilihnya atau kepada siapa suaranya diberikan.
5. Jujur, artinya dalam penyelenggaraan pemilu, penyelenggara
pelaksana, pemerintah dan Parpol peserta pemilu, pengawas dan
pemantau termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara
tidak langsung gharus bersikap jujur sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
6. Adil, artinya dalam penyelenggaraan pemilu setiap pemilihan dan
partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama serta
bebas dari kecurangan pihak manapun.3
Namun dalam praktiknya, dengan beragamnya adat dan kebiasaan setiap
daerah di indonesia, asas-asas tersebut tidak dapat dilaksanakan disetiap
3
Frenki, “Asas-Asas Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia Menurut Fiqh Siyasah”.
Jurnal Hukum Ekonomi Syari’ah. Volume 8, Nomor 1 Tahun 2016, Universitas Muhamadiyah
Purwokerto, 2016, Puwokerto, hal. 57-58. (DOI:https://doi.org/10.24042/asas.v8i1.1223)
2
masyarakat secara sama di seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana sistem
pemilihan di Papua yang menggunakan sistem “Noken”. Sistem Noken
merupakan sistem pemilu oleh masyarakat Papua dengan mekanisme adat, yaitu
pencontrengan kertas suara diwakilkan kepada kepala-kepala suku. Pencontrengan
tidak dilakukan di dalam bilik suara dan kertas suara yang dicontreng tersebut
tidak dimasukkan ke dalam kotak suara, tapi dimasukkan ke dalam tas khas orang
Papua yang disebut “Noken”. Noken adalah tas (kantung) tradisional masyarakat
Papua. Dalam konteks demokrasi pemilu, noken dipakai sebagai tempat
menampung suara pengganti kotak suara.4
Sistem noken ini bertumpu pada ‘Big Man” atau kepala suku/ketua suku.
Seorang Big man tidak sekedar menjadi pemimpin politik yang menentukan
aturan yang harus diikuti oleh warga suku, tapi juga pemimpin ekonomi, sosial,
dan budaya. Kekuasaanya bukan diperoleh dari keturunan melainkan pengaruh,
dan warna kepemimpinannya yang disegani kadang ditakuti. Big man terjadi pada
momentum pemilihan umum DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden,
Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Bupati dan Wakil Bupati. Pemilu ini
merupakan simbol demokrasi yang menghendaki. “One man, one vote” dan one
value ” dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER). Jika sistem ini
diterapkan maka big man akan kehilangan power-nya untuk mengendalikan
sukunya karena setiap warga bebas mengambil keputusan sendiri untuk
menentukan pilihannya. “ketidak kompakan” ini selain akan dapat menimbulkan
konflik antar warga suku, juga akan membuat big man merasa kewenangannya
untuk mengambil keputusan yang mengikat sukunya menjadi hilang, karena
loyalitas warganya telah memudar. Ini juga akan dapat membuat system
kehidupan mereka menjadi kacau dan berpotensi konflik lebih luas.
Metode pemungutan suara dengan sistem noken ini terlegitimasi
berdasarkan pendapat yudisial MK dalam Putusan No. 47-81/PHPU.A-VII/2009
dalam perkara perselisihan Pemilu di Kabupaten Yahukimo, dinyatakan:
“Menimbang bahwa Mahkamah berpandangan, Pemilu di Kab Yahukimo tidak
4
Hasyim Asy’ari, Pemilu 2019, KPU Ingin Penggunaan Sistem Noken Berkurang (Jakarta: Tempo
Co, 24 April 2018), 2018
3
diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU
No 10 Tahun 2008 yang telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD) karena tidak dengan cara pencontrengan surat suara, melainkan dengan
“kesepakatan warga” atau “aklamasi” dan hasilnya tetap ke dalam rekapitulasi
hasil pemungutan suara yang dilaksanakan pada tanggal 6 Mei 2009 di KPU
Provinsi Papua.5
Sehubungan dengan putusan MK No. 47-81/PHPU.A-VII/2009, sistem
noken mempunyai legitimasi. Implikasi dari legitimasi MK tersebut, praktek
noken ini menuai kriktik tajam, karena sistem ini tidak menerapkan secara
prosedural praktek demokrasi yang sesungguhnya. Sistem noken ini berpotensi
menimbulkan distorsi, penyelewengan atau pembelokan suara oleh perwakilan
warga. Artinya bahwa sistem noken ini membunuh hak perorangan untuk memilih
dengan hati nurani, siapa yang harus dipilih, karena sistem noken ini terdiri atas 2
pola, yaitu: pertama, Pola Big Man yaitu pilihan suara seluruh anggota suku
diwakilkan kepada kepala suku masing-masing; kedua, sistem noken gantung atau
ikat di mana masyarakat dapat melihat suara yang telah disepakati masuk kedalam
yang sebelumnya telah ditetapkan. Kedua sistem noken tersebut dapat mengklaim
suara salah satu kampung dan diberikan ke salah satu calon dari beberapa calon.
Sistem noken ini setiap pasangan calon sejak awal sudah dapat diketahui menang
atau kalah tanpa menunggu hari pemungutan suara, karena dukungan setiap suku
bisa diketahui dari awal.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dicermati bahwa sistem noken ini jelas
bertentangan dengan asas “Luber-Jurdil” sebagai asas konstitusi.6 namun pendapat
yudisial MK dalam Putusan No. 47-81/PHPU.A-VII/2009, justru memberikan
legitimasi dalam pelaksanaannya. Persoalan muncul ketika noken digunakan
sebagai simbol dalam pemilu. Sejak nama calon kepala daerah atau anggota
legislatif atau presiden dan wakil presiden ditetapkan, orang Papua di berbagai
5
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 47-81/PHPU.A-VII/2009, hal 46
6
Yerianto Tarima, Piers Andreas Noak dan Muhammad Ali Azhar, Peran Kepala Suku Dalam
Sistem Noken Pada Pemilukada Di Distrik Kamu Kabupaten Dogiyai Provinsi Papua Tahun 2013
4
kampung di pegunungan mulai terlibat dalam diskusi-diskusi, baik yang terjadi
secara spontan maupun terencana. Diskusi dilakukan di rumah adat, halaman
tempat ibadah, halaman balai desa, atau halaman rumah tertentu, dan dipimpin
tokoh agama, tokoh pemuda, guru, atau pegawai negeri yang dipercayai oleh
penduduk lokal. Berdasarkan hal tersebut maka makalah ini akan membahas
mengenai “Sistem Masyarakat Adat Papua pada Pemilukada”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sistem noken yang diterapkan dalam penyelenggaraan
Pemilu di Papua ?
2. Bagaimana Sistem Noken jika dipandang dari konsep pluralisme
hukum yang di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana sistem noken yang diterapkan dalam
penyelenggaraan Pemilu di Papua
2. Untuk mengetahui bagaimana sistem noken dalam hubungannya
dengan konsep pluralisme hukum yang ada di Indonesia.
5
BAB II
PEMBAHASAN
Di Indonesia sendiri ada 3 (tiga) jenis sistem pemilu yang perlu kita
ketahui yaitu sistem pemilu distrik, sistem pemilu proporsional, dan sistem pemilu
campuran. Di wilayah Papua khususnya di wilayah pedalaman atau perbatasan
cenderung mengikuti pilihan ketua sukunya untuk menentukan pilihan. Dari 29
kabupaten/kota di Papua ada 13 daerah yang diberikan hak khusus (privilege)
untuk menggunakan sistem pemilu tersendiri. Sistem khusus tersebut dinamakan
sistem noken. Noken dalam bahasa Papua berarti tas atau kantong. Sistem noken
tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pemilihan Umum yaitu pada Pasal
1 yang menjelaskan bahwa pemilu adalah sarana untuk melaksanakan kedaulatan
rakyat yang dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil atau
biasanya kita menyebut (luber jurdil) berdasarkan UUD NRI 1945.
Noken adalah nama tas khas Papua. Namun dalam urusan Pemilu atau
Pilkada, noken adalah sebuah sistem. Ada dua pola yang dipakai dalam sistem ini.
Pola pertama, pilihan suara seluruh anggota suku, diwakilkan kepada kepala suku
masing-masing. Pola kedua, noken berfungsi sebagai pengganti kotak suara. Di
mana kertas suara pemilih, dimasukkan dalam noken-noken yang digantung
sesuai jumlah partai atau pasangan calon.7 Noken mempunyai fungsi sosial, yaitu
menjadi identifikasi asal suku. Karena corak, bentuk, dan pewarnaan pada noken
dari setiap suku berbeda-beda. Noken juga mempunyai fungsi budaya, karena
digunakan dalam semua acara adat. Noken juga mempunyai fungsi ekonomi, yaitu
sebagai penyimpan bahan makanan untuk keperluan mendesak. Noken juga
mempunyai fungsi politik, dengan digunakannya noken dalam pemilu. Oleh
karenanya, tidak heran jika proses pemilihan umum yang berlangsung di daerah
pegunungan tengah Papua disebut dengan sistem noken.
7
https://www.voaindonesia.com/a/tarik-menarik-sistem-noken-di-papua-/4362266.html, dikutip
pada tanggal 14 November 2021 pukul 13.16 WITA
6
Noken adalah nilai budaya lokal di Papua yang harus dihormati dan
dilindungi dalam sistem hukum nasional terutama dalam pelaksanaan proses
pemilu dan Pemilihan Umum Kepala daerah. Penggunaan sistem noken sebagai
kearifan lokal merupakan pengertian demokrasi yang lain. Yakni, bagaimana
memadukan berbagai kesepakatan yang muncul dari kehendak masyarakat adat
untuk memilih calon pemimpin. Sistem noken berasal dari kearifan lokal di
beberapa wilayah pegunungan di Papua yang telah menjadi tradisi dari generasi ke
generasi. Meskipun telah lama berlangsung penggunaan noken dalam pemilu dan
Pemilihan Umum Kepala daerah, tetapi sistem noken tidak ada pengaturannya
dalam undang-undang pemilu atau undang-undang Pemilihan Umum Kepala
daerah. Sehingga noken menjadi salah satucara dalam sistem pemilu yang tidak
tertulis dalam hukum nasional. Akibat tidak diaturnya noken dalam perundang-
undangan pemilu dan Pemilihan Umum Kepala daerah, implementasi penggunaan
noken sebagai pengganti pemungutan suara, tidak seragam untuk masing-masing
daerah-daerah pegunungan di Papua. Model sistem penggunaan noken bervariasi
tergantung penyebaran penduduk dan kondisi georafis setiap wilayah.
7
nilai-nilai yang ada di masyarakat, sehingga hukum menjadi perwujudan apa yang
telah ada dan diakui di dalam masyarakat sebagai kebiasaan.
Dalam sistem kebudayaan Papua, dalam hal demokrasi sejak dulu hingga
saat ini, untuk mengambil keputusan yang berdampak luas atau kepentingan
umum masyarakatnya digunakan sistem noken/atau sistem ikat. Dalam hal ini,
kepala suku (the big man) diberi hak oleh adat Papua untuk mengambil keputusan
karena kemampuannya untuk mempengaruhi perilaku masyarakat adat sekitarnya.
Harold D. Laswell, dan Abraham Kaplan 8 menjabarkan hal tersebut dalam kalimat
“Kekuasaan adalah suatu hal hubungan dimana seseorang atau sekelompok orang
dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak
pertama”
8
serta membentuk dan bergabung dengan asosiasi otonom termasuk partai politik,
kelompok kepentingan yang berusaha untuk mempengaruhi pemerintah melalui
kompetisi dalam pemilu atau melalui kegiatan damai lainnya bermakna bahwa
pemilu merupakan bagian dari kriteria demokrasi dimana didalamnya terdapat hak
asasi manusia dalam lingkup politik.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwal noken merupakan sebuah
benda yang digunakan secara luas oleh masyarakat adat Papua yang tidak hanya
terbatas pada sistem pemilihan umum, melainkan diberbagai aspek kehidupan
masyarakatnya. Noken dalam sistem pemilu sendiri merupakan perwujudan dari
pengkultusan seorang kepala suku / big man dalam menentukan suara kelompok
masyarakat adat yang harus dianggap sebagai demokrasi dalam bentuk lain
sebagai penghormatan pilihan yang diambil oleh masyarakat adat Papua sendiri
dan sebagai bukti pluralisme hukum yang ada di Indonesia dalam bidang pemilu.
Suara per-orangan yang seringkali dianggap tidak tersampaikan dengan sistem
noken tersebut bisa terpatahkan dengan anggapan bahwa suara mereka telah di
salurkan secara suka rela kepada kepala suku / big man sebagai bentuk kontrak
sosial di dalam masyarakat adat Papua itu sendiri. Pengambilan keputusan-pun
bukan tanpa musyawarah sebelumnya, karen amsyarakat Papua juga telah terbiasa
dalam menentukan keputusan yang bersifat meluas dan publik akan mengadakan
pertemuan sehingga suara mereka tetapdianggap terdengar.
B. Saran
Dalam sudut pandang pluralisme hukum, keberadaan sistem noken justru
memperkaya khazanah hukum di Indonesia sebagai salah satu keadilan dalam
bentuk lain yang diterima dalam masyarakat Indonesia, sehingga penghormatan
dan penjaminan atas keberlangsungan sistem tersebut harus tetap diupayakan oleh
negara, selama masyarakat tersebut eksis dan menghendaki hal tersebut.
10
DAFTAR PUSTAKA
Afan Gaffar. 1992. Pengantar dalam Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda. Edisi
Pemilu dan Lembaga Perwakilan Dalam Ketatanegaraan Indonesia.
Yogyakarta: Jurusan HTN Fakultas Hukum UII)
Frenki. 2016. Asas-Asas Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia
Menurut Fiqh Siyasah. Jurnal Hukum Ekonomi Syari’ah. Volume 8, Nomor
1 Tahun 2016, Universitas Muhamadiyah Purwokerto.
DOI:https://doi.org/10.24042/asas.v8i1.1223
Harold D. Laswell, dan Abraham Kaplan, 1950, Power and Society, Yale
University Press, New Haven.
Hasyim Asy’ari. 2018. Pemilu 2019, KPU Ingin Penggunaan Sistem Noken
Berkurang Jakarta: Tempo Co
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 47-81/PHPU.A-VII/2009
Yerianto Tarima, Piers Andreas Noak dan Muhammad Ali Azhar, Peran Kepala
Suku Dalam Sistem Noken Pada Pemilukada Di Distrik Kamu Kabupaten
Dogiyai Provinsi Papua Tahun 2013
11