Anda di halaman 1dari 7

UJIAN AKHIR SEMESTER

HUKUM TATA NEGARA

OLEH
KELVIN FEBRIAN SIGA SARI (22220298)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN NASIONAL
TAHUN 2023
1. SISTEM PEMILU PROPOSIONAL TERBUKA

Pada tahun 2009 sistem pemilu proposional terbuka resmi dilaksanakan. Sistem ini
merupakan norma baru yang berbasis pada penentuan caleg terpilihberdasarkan pada suara
terbanyak berdasarkan amar PutusanMahkamah KonstitusiNomor 22-24/PUU-VI/2008tentang
uji materiilPasal 214 UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan
DPRD. Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 214 UU
No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRDmengandung
standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing calon.
Hal ini tentunya bertentangan dengan pengakuan terhadap kesamaan kedudukan hukum
dan kesempatanyang sama dalam pemerintahan (equality and opportunity before the law).
Sistem proporsional terbuka memiliki beberapa keunggulan sebagaimana yang telah
dipaparkan di awal berupa adanya penghargaan terhadap hak pilih warga negara,
menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.
Namun dalam pelaksanaannya sistem proporsional terbuka ini menimbulkan dampak
negatif bagi sistem kepartaian di Indonesia. Hal ini karena sistem proporsional terbuka telah
meminimalkan loyalitas calon pada parpol, sebaliknya garis komando parpol terputus dan
akan melahirkan krisis kewibawaan parpol. Adanya peluang bagi calon-calon popular
tanpa kompetensi untuk dipilih, ketimbang calon-calon berkompeten namun tidak popular.
Dampak negative sistem proporsional terbuka juga dikemukakan oleh Marcus Mietzner
terkait dengan biaya penyelenggaraan pemilu. Sistem penentuan calon terpilih berdasarkan
suara terbanyak telah menjadikan pemilu menjadi sangat mahal dan melahirkan problem
yang multikompleks.33Masalahyang dimaksud tersebut dapat berupa adanya mahar
politik yang harus disetorkan oleh calon legislatifuntuk mendapatkan posisi yang
menguntungkan, kemudian besarnya biaya untuk mengkampanyekan diri sebagai
calon legislative,dan adanya praktik jual-beli suarayang masih kerap terjadi di masyarakat.
Hal ini menjadikan sistem proporsional terbuka sesungguhnya amat beresiko bila
diterapkan pada negara yang masih merintis demokrasi dan belum memiliki
kedewasaan dalam berpolitik. Sehingga pemilu dipergunakan sebagai kontestasi politik
semata dengan tujuan memperoleh kekuasaan dan menghiraukan tujuan awal pemerintahan
yang demokratis guna meraih tujuan bersama demi kesejahteraan rakyat.

Tingginya biaya yang diperlukan untuk mencalonkan diri sebagai calon legislative
dalam pemilu juga berimbas pada semakin meningkatnya kasus korupsi yang terjadi di
Indonesia. Setelah mampu memperoleh posisi dalam lembaga perwakilan rakyat, maka
akan timbul niat menggunakan kekuasaannya untuk mengumpulkan pundi-pundi uang
sebanyak-banyaknya. Kekuasaan tersebut akhirnya digunakan sebagai bisnis tambahan yang
mengakibatkan turunnya kualitas dan kewibawaan lembaga perwakilan ranyat. Anggota
legislative tidak lagi bertindak sebagai wakil rakyat, namun hanya mewakili kepentingan
kelompok, golongan, bahkan kepentingan pribadinya semata.
2. SISTEM PEMILU PROPOSIONAL TERTUTUP

Pemilihan umum (pemilu) sampai saat ini diakui sebagai instrumen kelembagaan
demokrasi yang absah dan menjadi parameter bekerjanya sistem politik yang demokratis.
Melalui pemilu, suara atau kehendak rakyat menjadi dasar untuk menentukan pejabat
publik (legislatif dan eksekutif). Sebuah sistem politik dikatakan demokratis apabila
terdapat mekanisme pemilu yang dilaksanakan secara berkala untuk sebuah sirkulasi elit.
Sirkulasi elite dan pergantian elite atau pergantian kekuasaan diharapkan dapat
berlangsung secara damai tanpa kekerasan melalui pemilu yang demokratis.12Pemilihan
Umum sudah berlangsung sejak 1955 di Indonesia dengan menggunakan sistem
proporsional.

Sistem pemilihan proporsional adalah sistem Pemilu dimana kursi yang tersedia di
parlemen dibagikan kepada partai-partai politik yang turut dalam Pemilu tersebut sesuai
dengan imbangan suara yang diperolehnya dalam pemilihan yang bersangkutan. Pada
dasarnya, kedua model sistem proporsional baik terbuka maupun tertutup pernah
diberlakukan dalam sistem Pemilu di Indonesia. Dimana sistem proporsional tertutup
digunakan untuk Pemilu 1999 dan 2004, sedangkan sistem proporsional terbuka digunakan
untuk Pemilu 2009, 2014 dan 2019.13Pasca 2004, sistem proporsional terbuka merupakan
antitesa dari sistem proporsiona tertutup yang digunakan sebelumnya.

Sistem Proporsional tertutup memilik model surat suara pileg yang berbeda(hanya
memuat gambar parpol) dan akan berdampak pada proses penghitungan dan rekapitulasi
di TPS yang tidak akan lagi memerlukan waktu hingga 16-24 jam, melainkan cukup 5 hingga
7,5 jam dengan asumsi proses penghitungan dan rekapitulasi setiap entitas 179surat suara
memakan waktu 1 hingga 1,5 jam. Jika demikian, maka kegiatan penghitungan dan
rekapitulasi dapat berakhir maksimal pukul 21.00

Penggunaan anggaran pada sistem pemilu prporsional tertutup dapa dibilang cukup
lebih kecil dibandingkan dengan proporsional terbuka, hal itu dapat dilihat dari kertas
surat suara. Pada tahun 2019 untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD surat suaranya
menggunakan desain potraitatau vertikal dengan ukuran 51 cm × 82 cm. Ukuran tersebut
hampir sama dengan satu setengah kali ukuran halaman koran. Sedangkan untuk surat
suara Pilpres berukuran 22 cm × 31 cm atau sedikit lebih besar dari ukuran kertas A4 dengan
desain landscapeatau horizontal. Ukuran surat suara yang super besar itu tidak lepas dari
banyaknya jumlah partai yang berpartisipasi dalam Pemilu 2019, ukuran kertas tersebut
berpotensi menjadi lebih besar lagi apabila pada Pemilu 2024 nanti jumlah partai yang ikut
dalam kontestasi lebih dari 16 Parpol. Apabila sistem Pemilu yang semula dengan daftar
terbuka diubah menjadi daftar tertutup yaitu hanya dengan memilih gambar parpol saja
dengan asumsi peserta Pemilu sebanyak 16 Parpol maka ukuran kertas untuk Pemilu DPR,
DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat direduksi menjadi sekitar 600%. Sebagai
gambaran, bila jumlah pemilih dalam DPT sekitar 190 juta maka jumlah surat suara yang
dicetak secara keseluruhan ada 970 milyar lembar temasuk cadangan. Sedangkan anggaran
yang digunakan untuk memproduksi surat suaraPemilu 2019 sebesar lebih dari Rp 603,34
miliar. Dengan berubahnya ukuran kertas surat suara Pileg yang kurang lebih seukuran kertas
surat suara Pilpres maka biaya pengadaan keseluruhan surat suara Pemilu serentak dapat
dihemat sebesar 38%. Sistem proporsional daftar tertutup berkontribusi pada efisiensi
pengadaan surat suaradengan selisih (hemat) sebesar Rp. 407.222.250.000

Meskipun sistem proporsional tertutup bisa menjadi solusi untuk kondisi politik dan
demokrasi Indonesia saat ini untuk pemilu, akan tetapioligarki bisa bermain lewat sistem ini,
dan partai akan lebih mendominasi serta kedaulatan rakyat bisa terancam. 22Meski memiliki
kelemahan, masih ada upaya yang bisa dilakukan pemerintah dan upaya ini bisa
dimaksimalkan dalam perbaikan sistem proporsional tertutup, yakni sistem proporsional
tertutup bisa dibarengi dengan primary election atau konvensi di internal partai untuk
menyaring caleg yang kredibel sembari mengurangi oligarki dan praktik suap di tingkat elit.

3. SISTEM NOKEN DI PROVINSI PAPUA

Pemilihan umum berasal dari kata “general election”, dalam Kamus Hukum Black
bermakna sebuah pemilihan yang dilaksanakan dalam periode waktu tertentu dan dilakukan
untuk mengisi seluruh kursi (legislatif dan eksekutif). Di Indonesia, terkait dengan pemilu
diatur melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU Pemilu,
dijelaskan bahwa sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD,
presiden dan wakil presiden, dan untuk memilih anggota DPRD, yang dilaksanakan secara
Luber-Jurdil dalam NKRI.

Namun terjadi fenomena pelaksanaan pemilu yang menggunakan metode pemungutan


suara dengan jalan “Kesepakatan Warga” atau “Aklamasi” yang dikenal dengan istilah
“Noken”. Noken adalah tas (kantung) tradisional masyarakat Papua. Dalam konteks demokrasi
pemilu, noken dipakai sebagai tempat menampung suara pengganti kotak suara. Mekanisme
dan proses pemilu dengan menggunakan Noken dapat dikatakan sangat unik, sangat jauh
berbeda dengan prosedural pemilihan nasional, yang laksanakan serentak di seluruh wilayah
NKRI. Dalam Pemilu, Noken model masyarakat adat Papua, proses pengambilan suara
dilakukan oleh kepala suku. Di sini kepala suku berperan sangat penting, yaitu sebagai
eksekutif pemegang kedaulatan suara rakyat yang kemudian dimusyawarahkan dan disepakati
atau disetujui bersama masyarakat adat (aklamasi).

Dasar pertimbangan hukum Hakim Konstitusi dalam Putusan MK NO 47- 81/PHPU.A-


VII/2009 terkait dengan Legitimasi Sistem Noken Di Provinsi Papua, merujuk kepada
pendapat Bagir Manan tidak terpenuhi, salah satunya yuridis yaitu terkait dengan tata cara
pelaksanaan dengan menggunakan sistem pemilu noken sebagai pengganti kotak suara dan
pengambilan suara secara transparan dengan prosedur musyawarah dan kemudian
menyerahkan segala putusan kepada kepala suku, tidak sesuai dengan sistem pemilu nasional
yang tata caranya didasarkan pada Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yaitu Pemilu
dilaksanakan secara Luber-Jurdil; pertimbangan sosiologis tercermin pada kenyataan bahwa
sesungguhnya pemerintah secara tegas menyatakan perlindungan dan penghormatan kepada
masyarakat Provinsi Papua sebagai daerah istimewa dan memberikan legitimasi untuk
melaksanakan pemilu dengan sistem noken. Unsur filosofis tercermin pada saat Mahkamah
Konstitusi mengesampingkan peraturan tertulis demi menegakkan keadilan bagi masyarakat
hukum adat yang masih hidup di wilayah pegunungan.
PERBANDINGAN SISTEM PEMILU PROPOSIONAL TERBUKA, TERTUTUP, DAN NOKEN.

Sistem Terbuka Tertutup Noken


Pemilu/Perban
dingan
Persamaan Merupakan suatu sistem pemilu Merupakan suatu sistem pemilu yang Merupakan sistem pemilu yang
yang pernah berlaku di Indonesia pernah berlaku di Indonesia berlaku di Indonesia

Perbedaan Dalam sistem pemilu proporsional Dalam sistem pemilu Sistem noken adalah sistem pemilihan
terbuka, pemilih dapat memilih proporsional tertutup, pemilih di mana pemilih menggunakan noken,
kandidat secara langsung, bukan memilih partai politik, bukan yaitu simbol atau tanda, untuk
hanya partai politik. kandidat individu. memberikan suara mereka.
Pemilih memiliki kebebasan untuk Partai politik telah menentukan Noken dapat mewakili pemilih,
memilih kandidat individu yang daftar calon mereka sebelum kelompok pemilih, atau pemilih yang
dianggap paling baik, tanpa harus pemilu, dan pemilih memilih belum ditentukan identitasnya.
mempertimbangkan afiliasi partai. partai berdasarkan preferensi Sistem ini tidak mengikuti prinsip
Kursi-kursi di parlemen mereka terhadap program dan pemilihan individu atau partai, tetapi
didistribusikan berdasarkan jumlah platform partai tersebut. lebih berfokus pada representasi
suara yang diperoleh oleh kandidat Kursi-kursi di parlemen kelompok atau elemen yang diwakili
individu, tanpa mempertimbangkan didistribusikan berdasarkan oleh noken.
partai politik. Kandidat dengan perolehan suara partai secara Distribusi kursi dalam sistem noken
suara terbanyak mendapatkan kursi. keseluruhan. Partai yang dapat bervariasi tergantung pada
Sistem ini memberikan representasi memperoleh suara tertinggi aturan yang ditetapkan untuk
langsung bagi individu-individu mendapatkan kursi pertama, dan pemilihan tersebut.
dalam proses pemilihan. seterusnya.
Sistem ini memberikan representasi
bagi partai politik dan lebih
mempertimbangkan kestabilan partai
dalam pembentukan pemerintahan.
Dasar Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi - Putusan No. 47-81/PHPU.A-VII/2009
Nomor 22-24/PUU-VI/2008
tentang uji materiil Pasal 214 UU
No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Anggaran Penggunaan biaya pemilu tergolong Penggunaan biaya pemilu tergolong -
besar rendah

Anda mungkin juga menyukai