Anda di halaman 1dari 12

Nama : Anissa Rizky Alfiyyah (205120500111019)

Absen : 04
REVIEW MATERI SISTEM PEMILIHAN UMUM
1. Review buku Kajian Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu, dan Sistem
Presidensil halaman 16—22
Pada bagian ini dijelaskan tentang sistem pemilihan umum,
perangkat pendukungnya, serta jenis-jenisnya. Sistem pemilihan umum sendiri
di negara dan dunia politik dapat kita ibaratkan sebagai acara Indonesian Idol,
yaitu sebuah metode atau cara menentukan siapa yang akan menjadi bintang baru
dan menguasai dunia tarik suara di Indonesia dan dalam menentukannya
masyarakat juga ikut berperan serta melalui voting via aplikasi atau sms. Lalu,
mengapa demikian? dan apa persamaanya dengan sistem pemilihan umum? Di
negara ini serta dalam kaitannya dengan politik, sistem pemilihan umum
merupakan sebuah metode untuk memilih pemegang estafet kekuasaan yang baru
(wakil rakyat) dan biasanya dalam metode ini yang bersangkutan dan
menentukan siapa pemegang kekuasaan yang baru, sepenuhnya adalah rakyat
yang memilih mereka melalui metode yang telah ditentukan oleh negara. Selain
itu, sama halnya dengan kontes music Indonesian Idol yang tadi disebutkan,
dalam berjalannya proses sistem pemilihan umum ini juga para calon atau para
politikus saling bersaing merebut hati rakyat untuk bisa menang. Dalam hal ini,
rakyat hanya tinggal mengikuti alur atau proses dari sistem pemilu agar bisa
terjadi estafet pemegang kekuasaan nantinya.
Efriza dalam Pengantar Politik: Sebuah Telaah Empirik dan Ilmiah
mengatakan bahwa pemilihan umum merupakan proses politik dan akan selau
berhubungan dengan sistem politik di suatu negara. Pemilihan umum yang baik
dan berkualitas adalah pemilihan umum yang demokratis, karena pemilihan
umum merupakan alat legtimasi yang begitu penting bagi sebuah sistem
kekuasaan di sebuah negara.1
Pemilihan umum sebagai metode untuk memilih siapa pemegang
kekuasaan selanjutnya juga memiliki dua elemen penting yaitu, Electoral Law
(hukum pemilu) yang terdiri dari dua macam yaitu Plural Majority dan
Proportional Representation; dan, Electoral Process yang meliputi D’hont, St.
League, Electoral Threshold, dan Parliamentary Threshold. Electoral Law yang
dimaksud disini ialah pelaksanaan pemilihan umum atau aturan dalam
pelaksanaan pemilihan umum yang harus ditaati setiap elemen di dalam sistem
dan proses pemilihan umum itu sendiri, sedangkan Electoral Process merupakan
implementasinya atau metodenya untuk memilih siapa yang pantas menduduki
estafet kepemimpinan selanjutnya yang legitimate (sah).

1
Parafrase. Efriza. Pengantar Politik: Sebuah Telaah Empirik dan Ilmiah. Hlm. 212—213.
Dalam mengimplementasikan elemen tersebut di dalam sebuah
sistem, seperti yang telah disebutkan tadi, pelaksanakan pemiluhan umum
(pemilu) haruslah LUBER JURDIL (langsun, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil). Dalam padal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dinyatakan, pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Asas-
asas pemilu tersebut haruslah benar-benar sesuai dengan elemen electoral law
dan electoral process. Hal ini dilakukan demi kualitas pemilihan umum yang
terjaga serta output dari pemilihan umum itu sendiri yaitu, penguasa atau
pemimpin baru yang berkualitas sesuai dengan pelaksanaannya.
Derajat kualitas pemilu yang diadakan mempunyai beberapa
indikator sebagai tolak ukurnya agar kita mengetahui kecocokan sistem
pemilihan yang diadakan dengan negara. Indikator yang dipakai ialah:
akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan
(fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, reliabel, dan
numerical.
Selain adanya indikator kunci demi menjaga kualitas pemilihan
umum, sistem pemilihan umum-pun memiliki beberapa unsur dari berjalannya
atau ditentukannya bagaimana sistem pemilihan umum berlangsung, maka dari
itu sistem pemilihan umum memiliki beberapa dimensi, yaitu: penyuaraan
(balloting), besaran distrik (district magnitude), pembuatan batas-batas
representasi (pendistrikan), formula pemilihan (electoral formula), ambang batas
(threshold), dan jumlah kursi legislatif.
Pertama, dimensi penyuaraan atau balloting merupakan proses yang
berhubungan dengan para pemilih atau bisa kita sebut dengan proses voting atau
pemilihan oleh peserta pemilihan umum. Para pemilih biasanya terbagi menjadi
dua kategori yaitu tipe pemilih kategorikal dan ordinal.
Secara teori besaran daerah pemilihan dikelompokkan pada tiga
jenis, yaitu besaran antara 10 ke atas; besaran daerah pemilihan yang sedang
(antara 6—10 kursi) dan terakhir besaran daerah pemilihan kecil (2—5 kursi)
(Surbakti dkk, 2011 : 67).2 Dimensi besaran distrik atau district magnitude
berhubungan dengan angka. Dimensi ini menyangkut besaran pemilih dan wakil
dalam suatu daerah pemilihan juga alokasi kursi yang ada lalu nanti aka nada
angka kemungkinan untuk menentukan jumlah kursi wakil rakyat yang akan
terpilih nanti. Hal ini sangat berpengaruh terhadap implementasi pemilihan
umum dan perebutan estafet kekuasaan. di setiap distrik tentu hasil magnitudenya
akan berbeda-beda dan akan sesuai dengan besaran orang sebagai wakil rakyat,
jumlah kursi, serta pemilih nantinya. Dimensi ini juga berhubungan dengan

2
Singgih Manggalau. (2020) Rekayasa District Magnitude Besaran Daerah Pemilihan dalam
Pemilihan Umum, Pojok Wacana. Diakses 16 Maret 2021. Available at:
http://www.pojokwacana.com/rekayasa-district-magnitude-besaran-daerah-pemilihan-dalam-
pemilihan-umum/.
dimensi batas-batas representasi atau kedistrikan yang mempertimbangkan
masalah keterwakilan dan kesetaraan kekuatan suara.
Selanjutnya, ada dimensi ambang batas atau familiar disebut dengan
threshold. Threshold ini yang nantinya menentukan apakah aktor politik bisa
melaju ke tahap pencalonan yang sebenarnya atau tidak.
Lalu ada electoral formula atau formula pemilihan yang berhubungan
dengan proses terpilihnya para wakil rakyat. Formula pemilihan dalam hal ii
dibagi menjadi tiga yaitu formula pluralitas, formula mayoritas, dan formula
perwakilan berimbang. Dan dimensi yang terakhir ialah dimensi yang
berhubungan dengan jumlah kursi legislative ideal untuk sebuah parlemen dalam
satu prosesi pemilihan umum saat berlangsung.
Dimensi-dimensi tersbeut merupakan dimensi pendukung dari
berjalannya suatu sistem pemilihan umum di suatu negara yang diselenggarakan
secara demokratis. Semua kebutuhan, tujuan, dan kepentingan pemilu didasarkan
kepada dimensi-dimensi tersebut yang tadi seperti yang kita ketahui ada dimensi-
dimensi yang berpengaruh terhadap jumlah kursi juga jumlah calon wakil rakyat
yang akan terpilih sebagai pemegang estafet kekuasaan di publik.
Selain daripada hal-hal yang sudah disebutkan sebelumnya,
pemilihan sistem pemilu di suatu negara juga tentunya memiliki kriteria yang
harus diterapkan yaitu: Elemen Demokrasi, Keseimbangan serta Dampak
terhadap Sistem Politik nantinya.
Pemilihan umum bukan hanya terjadi di Indonesia saja, namun
pemilihan umum adalah sistem yang diakui oleh dunia atau sistem global yang
biasaya dipakai untuk pesta demokrasi di sebuah negara yang demokratis. Maka
dari itu, secara global, sistem pemilihaan umum terbagi ke dalam 4 (empat) sistem
turunannya, yaitu sistem distrik, sistem proporsional, sistem campuran, dan sistem
di liuar ketiga sistem utama.
Selain dari ada 4 rumpun sistem pemilihan umu, sistem pemilihan
umum juga terbagi menjadi banyak lagi subsistem yang biasanya
diimplementasikan saat pemilihan umum, yaitu:3
Pertama, FPTP atau First Past the Post yang merupakan sistem paling
sederhana dan berpusat pada calon, pemenangnya nanti adalah calon yang
memiliki suara paling banyak. Sistem ini menggunakan single member district
Kedua, TRS atau Two Round System. Sesuai dengan Namanya, sistem
ini terbagi menjadi dua putaran untuk menentukan hasil akhirnya, namun dengan
beberapa syarat yaitu juka pada putaan pertama sudah ada suara mayoritas makas
tidak perlu ada putaran kedua.
Ketiga, sistem AV atau Alternative Vote. Sistem AV ini tidak jauh
berbeda dengan FPTP yaitu menggunakan single member district. Namun, para

3
Parafrase. Kacung Marijan. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca- Orde
Baru. Hlm 85
pemilih menentukan pilihannya melalui ranking, dan calon dengan preferensi
terbanyak akan menjadi pemenangnya.
Keempat, sistem BV atau Block Vote. Sistem ini menggunakan
multimember district. Biasanya, para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih
calon-calon individu tanpa harus memikirkan background partai pengusung
mereka.
Kelima, sistem PBV atau Party Block Vote. Sistem ini menggunakan
sistem yang tidak jauh berbeda dengan sistem BV (Block Vote), namun pada
sistem ini lebih pada partai—oriented sebagai pijakan pemilih untuk memilih
siapa pemegang estafet kekuasaan selanjutnya.
Keenam, sistem PR atau list Proportional Representation. Dalam
sistem ini para pemilih cukup memilih apartai yang telah menunjuk calon yang
akan duduk di kursi nantinya. Ketujuh, sistem STV atau Single Transferable Vote.
Kedelapan, sistem MMP atau Mixed Member Proportional yang
memberikan kesempatan terhadap ketidakproporsionalan yang terjadi kepada
partai sewaktu pemilihan dengan memberikan beerapa kompensasi seperti kursi.
Lalu ada sistem parallel (parallel system) yang menjalankan sistem PR dan sistem
distrik secara bersamaan.
Selain itu ada juga STNV atau Single Nontransferable Vote, LV atau
Limited Vote, dan BC atau Borda Count. Sistem STNV sendiri menentukan
pemenang dari calin-calon partai pemenang suara terbanyak. Sedangkan sistem
LV menggunakan nilai acuan untuk menentukan pemenangnya. Namun, sisten
BC menggunakan sistem preferensial untuk menentukan pemenang dari para
calon.
Subsistem dari empat sistem pemilu diatas merupakan cara-cara
pelaksanaan atau cara-cara implementasi pemilihan umum di kehidupan
sebenarnya. Selain itu, dari bagan di atas kita juga bisa ketahui bahwa:
Pertama, dalam sistem distrik atau dalam dunia global dikenal dengan
sistem plurality/majority biasanya memiliki beberapa sistem pemilihan lagi yaitu
sistem first past the post, alternative vote, two round system, block vote, dan party
block vote. Sistem distrik ini merupakan sistem yang wilayah—oriented dalam
pelaksanaannya dan biasanya pemilihan dibagi ke dalam beberapa distrik dan
didasarkan atas jumlah penduduknya. Sistem ini biasanya digunakan di
negaranegara dengan sistem dwipartai seperti Amerika Serikat dan Inggris.4
Kedua, ada sistem proporsional yang menganut prinsip
proporsionalitas dan menggunakan multimember district. Serta, pemilihan atau
penghitungan suara dipilah menjadi dua, yaitu Teknik kuota yang dikenal dengan
the largest reminder dengan varian Hare dan Droop. Lalu ada Teknik Divisor atau
the highest average dengan barian D’Hondt dan Saint Lague. Seperti yang kita

4
Parafrasa: Efriza, op.cit… 2019; dan Kajian Sekretariat Jenderal Bawaslu RI, op.cit.. 2015.
ketahui juga, variasi dari sistem ini yaitu proportional representation dan single
transferable vote.5
Selain itu, sistem proporsional juga memiliki gagasan bahwa jumlah
kursi yang diperoleh partai akan sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh dari
masyarakat dan diadakan perimbangan dan dalam sistem ini juga setiap suara
dihitung.6 Dalam sistem proporsional paprtai kecil relative terwakili karena suara
di daerah bisa diakumulasi dan suara lain sesedikit mungkin akan dibuang. Sistem
proporsional memiliki tingkat representasi yang tinggi, berbeda dengan sistem
distrik yang akuntabilitasnya yang tinggi.
Ketiga, Sistem campuran atau sistem yang memadukan antara sistem
distrik dan sistem proporsional. Dalam sistem ini terdapat dua variasi yaitu
parallel system dan mixed member proportional.
Terakhir, sistem pemilihan umum di luar ketiga sistem utama
pemilihan umum. Sistem ini memuat variasi single non-transferable vote, limited
vote, dan borda count.
Setelah penjelasan mengenai elemen-elemen penting dalam pemilu
dan implementasinya, tentunya setiap sistem pemilu mempunya side-effect
masing-masing terhadap sistem politik atau pembangunan politik di setiap negara.
Di dalam kajian ini dijelaskan beberapa dampak digunakannya sistem pemilu,
yaitu mempengaruhi tingkat proposionalitas perwakilan yang berhubungan
dengan keterwakilan masuarakat banyak, dalam sistem distrik hal ini sangat
mungkin terjadi; mempengaruhi sistem kepartaian; serta mempengaruhi kabinet
yang nantinya akan dibentuk. Hal terakhir yang berhubungan dengan kabinet
yang akan dibentuk sangat memengaruhi pemerintahan dan stabilitas nasional.
Di halaman 16-22 dijelaskan tentang pemilihan umum, elemen-
elemennya, serta jenis-jenis dari sistem pemilihan umum yang diterapkan di
setiap negara dengan elaborasi yang sangat singkat dan padat serta tidak lupa juga
disebutkan beberapa efek dari sistem pemilihan umum di suatu negara terhadap
sistem politik setiap negara kedepannya serta stabilitas politik, karena di dalam
negara yang demokratis, sistem pemilihan umum dangat menentukan masa depan
perpolitikan dan pembangunan politik di suatu negara.
Nantinya, kecocokan sistem pemilihan umum yang dipilih oleh
pemerintah harus melihat empat unsur yang sudah disebutkan tadi yaitu, dapil,
pola pencalonan, model penyuaraan dan formula pemilihan dan penetapan calon.
Karens setiap sistem pemilihan umum nantinya akan berdampak besar terhadap
berjalannya sistem politik di sebuah negara.
2. Jurnal Majelis Edisi 7 ”Evaluasi Pemilu Serentak 2019: Distorsi Asumsi
Akademik dan Praktik” (Moh. Nurhasim)
Jurnal ini muncul sebagai evaluasi dari pemilihan umum yang berbeda
dari tahun-tahun sebelumnya yaitu pemilihan umum yang dilaksanakan serentak

5
Parafrasa: Kajian Sekretariat Jenderal Bawaslu RI, op.cit… 2015; Kacung Marijan, op.cit… 2016
6
Parafrasa: Efriza, hlm 222.
tahun 2019 yang menyatukan pemilihan presiden dan pemilihan anggota
perwakilan yaitu anggota DPR dan DPR. Artikel ini muncul karena adanya
keyakinan dari sejumlah pihak yang mengusulkan judicial review UU No.
42/2008 yang menyebut bahwa melalui pemilu serentak akan terjadi perbedaan
sistem pemilihan dan perbedaan hasil akhir yang ada yaitu adanya efisiensi
anggaran, adanya efek ekor jas (coattail effect) dan kecerdasan politik pemilih
(political efficacy) untuk memilih calon presiden ataupun calon anggota dewan
perwakilan negara. Lebih lanjut, menurut tafsiran MK dengan terlaksananya
pemilihan umum serentak efisiensi dari dana akan sangat terasa karena aka nada
penghematan dalam pembiayaan pemilihan umum kali ini. Namun ternyata,
setelah adanya evaluasi dari beberapa segi, pemilihan umum seretak 2019 dalam
implementasinya tidak dapat menunjukan efek dsignifikan dalam dunia
perpolitikan kita sebagaimana yang telah dituliskan di judicial review dan
sebagaimana yang telah di klaim oleh MK sendiri sebagai pihak yang menyetujui
hal tersebut. ternyata, pemilihan umum tahun 2019 dalam implementasinya tidak
jauh berbeda dengan pemilihan-pemilihan umum sebelumnya yang tidak
dilaksanakan satu tarikan nafas.
Jika dikaji sejara akademik dan faktual dalam pelaksanaam pemilihan
umum serentak tahun 2019, beberapa partai tidak mengalami perubahan suara
yang signifikan contohnya adalah PDIP dan Gerindra yang hanya mengalami
kenaikan tipis 0,38 dan 0,76 persen, selain itu partai-partai koalisi pengusung
calon Presiden dan Wakil Presiden –pun tidak mendapatkan angka perubahan
yang signifikan, bahkan ada partai yang tidak beruntung dan mengalamu
penurunan dalam perolehan suara pilihan masyarakat dan hal imi malah makin
menambah praktik multipartai ekstrem di Indonesia yang jika kita padukan
dengan sistem presidensil di Indonesia, praktik ini digadang-gadang akan
mendapatkan banyak kesulitan dan dampak yang tidak terlalu baik bagi sistem
politik dan sistem pemerintahan kedepannya.
Selain itu, menurut banyak studi yang beredar, pemilihan umum
serentak ternyata tidak jauh beda dari pemilihan umum tunggal yang biasanya.
Campbell dalam studinya menghipotesiskan bahwa pemilihan umum serentak
hanya berfungsi sebagai stimulasi politik untuk meningkatkan kpartisipasi politik.
Selain itu, studi lain menyatakan bahwa pemilihan umum serentak hanya akan
meningkatkan partisipan pemilih atau peserta pemilu. Sebenarnya pemilihan
umum serentak dalam implementasinya hanya akan menyebabkan gelombang
penurunan dan pelonjakan dan hanya akan menimbulkan stimulasi politik kepasa
para pemilih untuk berbartisipasi dalam pemilihan umum serentak tersebut.
disebutkan juga bahwa ada beberapa negara yang melakukan pemilihan umum
serentak seperti Uruguay, Venezuela, Mexico, Brazil, dan masih banyak lagi,
dalam elaksanaannya ternyata tidak ada bedanya dengan pemilihan umum yang
terpisah dan tidak memberikan efek yang super kepada politik kita. Selain itu di
Brazil, multipartai ektresm juga tidak berubah dan tetap seperti itu bahkan setelah
diadakannya pemilihan umum serentak.
Dalam jurnal ini disebutkan juga bahwa distorsi akademik yang
dibangun para perancang UU pemiluhan umum 2019 terlalu meyakini asumsi-
asumsi pada judicial review dan menyebabkan ekspetasi yan gtinggi pada publik,
padahal dalam implementasinya tasumsi-asumsi tersebut tidak
terimplementasikan dengan baik. Disebutkan juga dalam jurnal ini bahwa salah
satu alasan mengapa hasil pemilihan umum serentak dan hasil pemilihan umum
terpisah memiliki hasil yang sama dikarenakan sistem pemilu yang digunakan
tidak mengalami perubahan khususnya dari sisi daerah pemilihan.
Jika membicarakan pemilihan umum maka hubungannya dengan
sistem politik dan sistem pemerintahan Indonesia kedepannya. Indonesia yang
menjalankan pemerintahan dengan presidensialisme namun di sisi lain terdapat
multipartai ekstrim. Hal ini berdampak kepada jalannya pemerintahan
kedepannya. Biasanya partai dominan yang malah akan mempengaruhi kestabilan
sistem pemerintahan, selain itu, jika kita melihat pada teori sistem, menurut teori
sistem, sistem multipartai adalah sistem yang cenderung tidak stabil dan bisa
diprediksi dengan beberapa teori threshold.
Bisa disimpulkan bahwa pemilihan umum 2019 tidak membuktikan
efek ke pembenahan atau hasil pemilu yang berbeda dan mengarah kea rah
pembenahan dari yang sebelum-sebelumnya. Selain itu, penyederhanaan hasil
pemilu yang mengarah ke multipartai moderat sulit terjadi karena beberapa faktor
yaitu, Pertama, adanya polarisasi politik yang terjadi antara dua poros yaitu poros
kubu Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi, seingga masyarakat terbagi menjadi
dua kubu ekstrem yang besar dan hanya melihat sentral dari pemilihan umum kali
ini adalah dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan untuk
pemilihan wakil rakyat yang lain tidak menjadi sentral dari pemilihan umum 2019
kali ini; Kedua, dampak dari polarisasi politik yang terjadi yang menyebabkan
banyaknya anomali yang terjadi yang berdampak kepada proses kampanye tiap
calon anggota legislative karena kekuatan kekuatan yang terbagi di setiap daerah
berbeda. Sehingga terjadi ketidaksinergian dalam kampanye dan perebutan
kekuasaan, setiap calon berjaman masing-masing untuk memperoleh kursi di
parlemen dan dibuktikan dengan hasil pemilu yang tidak kongruen karena suara
yang dihasilkan oleh calon Presiden dan partai koalisi pengusuh presiden berbeda
dari apa yang diprediksikan; Ketiga, adanya bukti dari penyebaran suara kedua
kubu dan tidak terbuktinya asumsi akan terjadinya efek ekor jas; Keempat, hasil
pemilu serentak yang tidak menunjukan signifikansi perbedaan dari pemilu
terpisah dan dibuktikan dengan partai yang tidak mendapatkan perbedaan
perolehan suara secara signifikan, malahan persebaran suara menyebar ke setiap
partai dan jikapun ada kenaikan atau penurunan suara selisihnya sangat sedikit
dari yang sebelumnya.
Dari tabel perbandingan Hasil Pemilu 2014 dan Pemilu Serentak 2019
dapat kita ketahui bahwa yang mengalami penurunan signifikan dalam suaranya
yaitu ada partai Demokrat dengan penurunan sebesar 3,13 persen dan partai
Hanura dengan penurunan sebesar 3,72 persen. Lali, kenaikan signifikan yang
terjadi ada pada prtai Nasdem dengan kenaikan sebesar 2,33 persen. Lalu, partai
yang menduduku puncak dengan pendapatan suara terbanyak adalah partai
pengusung Presiden dan Wakil Presiden yaitu PDIP dengan perolehan suara
sebesar 19.33 persen dari yang sebelumnya, pada pemilihan umum 2014 PDIP
memperoleh suara tidak jauh beda yaitu sebesar 18.95 persen. Namun nampaknya
persentase suara yang dipilih ini terlalu menyebar sehingga di parlemen nanti
suara-suara tidak akan bisa dengan mudah terkonsolidasi, walaupun banyak kubu
Presiden, namun partai yang menduduku parlemen banyak karena suara yang
tersebar-sebar ini.
Lebih dari itu, pemilihan umum serentak 2019 ini juga memiliki
implikasi khususnya bagi efektivitas Demokrasi presidensil kita (Indonesia).
seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa sistem pemerintaha presidensial
dengan adanya multipartai ekstrem yang terjadi di Indonesia akan memunculkan
anyak kesulitan dalam pelaksanaan pemerintahan. Ternyata, lebih dari itu, di
jurnal ini dimuat bahwa dengan adanya kondisi yang seperti itu pun bisa
memunculkan kekuatan politik yang tidak terkonsoloidasi di parlemen sehingga
Presiden nantinya biasanya akan mengalami kesulitan saat bekerja dengan
pendukung yang tidak mayoritas di parlemen dan worse thing yang akan terjadi
adalah adanya deadlock akibat ketidakharmonisan hubungan parlemen dan
presiden. Asumsi tersebut dikembangkan oleh Mainwaring, namun ternyata pasa
implementasi lapangannya hal itu dimungkinkan terjadi dan dimungkinkan jug
atidak terjadi, terjadi dan tidaknya hal tersebut didasarkan adan Kembali lagi
kepada kondisi pemerintahan saat itu serta komitmen antara Presiden dan
Parlemen. Karena dalam beberapa periode nyatanya deadlock tidak terjadi dan
pemerintahan bisa berjalan dengan semestinya. Namun, banyak juga expert yang
mengatakan bahwa tidak ada hubungannya antara multipartai dan presidensil jika
dikaitkan dengan deadlock, malah Arend Lijphart mengatakan bahwa dalam
sistem multipartai juga bisa menghasilkan sistem demokrasi presidensi yang
effektif dan stabil dan bisa diatasinya dengan cara mengembangkan demokrasi
consensus yang memiliki ciri adanya koalisi pemerintahan atau kabinet di antara
partai-parutai politik.
Dalam konteks ini, jika kita kaitkan efektivitas demokrasi yang ada di
demokrasi presidensil pasca-pemiluhan umum serentak 2019, maka jawabannya
adalah pemerintaan pemenang atau Jokowi yang sekarang sedang dijalankan
tidak akan membuat stabilitas demokrasi di Indonesia terganggu dan sangat kecil
kemungkinan posisi oposisi Presiden di DPR. Hal ini dikarenakan jumlah partai
di parlemen sekarang lebih banyak yang mendukung kubu jokowo atau dalam
artian posisi partai rivalnya tidak banyak yang menduduki kursi parlemen. Di
journal ini disebutkan, jika kondisi itu terjadi maka stabilitas demokrasi tidak
akan goyah dan hal paling menyulitkan dalam pemerintahan Jokowi ialah dalam
membangun komunikasi dengan parlemen saja karena partai yang harus
dikonsolidasikan masih terlalu banyak.
Dari hal-hal yang telah disebutkan di atas, pemilihan umum 2019
nampaknya tidak membawa banyak perubahan kepada sistem politik di
Indonesia. Bahkan, ekspetasi-ekspetasi yang ada bahwa pemilihan umum ini akan
mengurangi pembiayaan serta akan membuat efek jas merah pun ternyata tidak
terjadi. Malahan, yang terjadi di lapangan adalah banyaknya korban yang
disebabkan oleh sistem pemilu serentak kemarin. Banyak petinggi TPS yang
meninggal serta panitia-panitia TPS yang dibayar tidak seberapa pun ikut
meregang nyawa ditempat karena rumitnya, lelahnya, dan banyaknya tugas di
lapangan yang harus dikerjakan. Hal tersebut menjadi catatan yang harus
diperhatikan oleh pemerintah kedepannya.
Sebagai salah satu peserta pemiluhan umum 2019, rasa-rasanya
pemilihan umum 2019 tidak efektif untuk diselenggarakan dikarenakan banyak
hal-hal yang justru membingungkan. Di daerah sendiri, tidak ada sosialisasi yang
baik kepada masyarakat bahkan banyak sekali terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Banyak sekali orang yang memang lebih fokus terhadap pemilihan
presiden, namun malah tampak bodo amat terhadap wakil rakyat yang nantinya
akan terpilih. Hal tersebut malah akan membuat banyaknya hal-hal di
pemerintahan selama lima tahun kedepan akan banyak terjadi karena kurang
pitarnya masyarakat dalam memilih juga. Selain itu, alih-alih menghemat
anggaran dan biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan pemilihan umum,
ongkos pemilihan umum nampaknya meningkat karena banyaknya persoalan
yang ada. Belum lagi, hal-hal kotor yang terjadi yang dilakukan oleh para pejabat
berwenang.
Maka dari itu, dengan timbulnya banyak persoalan dari skema
pelaksanaan pemilihan umum serentak 2019, kerumitan pelaksanaannya,
kesemwawutannya, serta banyaknya korban jiwa, nampaknya Indonesia tidak
cocok dengan desain pemilu yang seperti itu. Banyak model pemilu serentak lain
yang mungkin bisa dipertimbangkan demi meminimalisir persoalan dan
meningkatkan efektivitas pelaksanaan pemilihan umum serentak. Mahkamah
Konstitusi juga sebenarnya telah mempunyai beberapa model lain dari model
pemilihan umum serentak kemari yang telah konstitusional menurut putusan MK
No. 14/PUU-XI/2013. Sekarang tinggal pilih pertimbangan apa yang
mengharuskan Indonesia mengambil sistem apa untuk pemilihan umum yang
akan datang, yang tentunya tidak membawa banyak persoalan, serta
pelaksanaannya tidak membuang banyak energi dan pikiran sampai-sampai bisa
memakan korban (lagi).
3. Jurnal “Sistem Pemilu Proposional Daftar Terbuka di Indonesia: Melahirkan
Korupsi Politik?” (Diah Ayu Pratiwi)
Sistem proporsional daftar terbuka merupakan salah satu sistem
pemilihan umum yang banyak menimbulkan kontroversi dalam pelaksanaannya.
Sistem proporsional terbuka merupakan salah satu sistem proporsional yang
dalam pelaksanaannya ada suara representative dari masyarakat yang nantinya
bisa memilih calon. Dalam implementasinya masyarakat memilih siapakah calon
yang akan dipilihnya lalu jika nanti ada calon yangmemiliki suara terbanyak
maka itulah yang akan menempati kursi legislatif. Dalam pelaksanaannya sistem
ini
Dahulu Indonesia sebelum menganut sistem pemilihan umum
proposional daftar tebuka terlebih dahulu menganut sistem pemilihan
proporsional daftar tertutup. Peralihan dari tertutup ke terbuka menurut banyak
pihak dinilai merupakan sebuah kemajuan di sistem politik karena dalam
implementasinya akan lebih ideal. Selain itu dengan sistem pemilihan
proporsional terbuka akan lebih mudah masyarakat memberikan representasi dan
tertarik terhadap suatu pihak saat mengkampanyekan dirinya masing masing
sebagai calon legislatif baru.
Dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRF direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 sistem pemilu proporsional daftar terbuka ditetapkan dan mulai
dilaksanakan sejak tahun 2014.
Salah satu ciri dari sistem pemilihan proporsional daftar terbuka adalah
ditetapkannya ambang batas parlemen. Dengan ambang batas parlemen, maka
partai pengusung yang bisa mengikuti pemilihan menjadi lebih sedikit.
Disebutkan pula di dalam journal bahwa sistem ini membuat para wakil rakyat
semakin dekat dengan konstituennya, sehingga akuntabilitas dalam pelaksanaan
fungsi terhadap rakyat semakin nyata. Sistem ini juga memiliki kelebihan bagi
para pemilih agar dapat lebih selektif dalam memilih calon legislative yang akan
menempati kursi perwakilan. Selain itu, kelemahan dari sistem ini ialah adanya
potensi para caleg dalam menggunakan kekayaannya untuk melakukan segala
cara agar dapat menarik perhatian dari masyarakat sebagai pemilih mereka nanti
dan timbulnya banyak pendukung atau pemilih yang nantinya akan lebih mudah
termobilisasi oleh apa yang dilakukan oleh para calon legislatif.
Selain itu, pada realitasnya karena setiap calon dipilih oleh masing-
masing pemilih dan kadang kala ada pemilih yang acuh terhadap partai politik
pengusungnya, maka sistem ini menjadi sistem yang membuat kompetensi antar-
individu yang sangat ketat dan terjadinya intra-party competition ataui kompetisi
oleh para calon individu legislative yang berasal dari partai politik yang sama.
Dalam journal disebutkan, menurut Ramlan Surbakti karena ketatnya kompetisi
antar-individu maka tingkat keterpilihan calon legislative akan semakin tidak
pasti dan kecenderungan melakukan korupsi untuk melakukan kampanye pribadi
termasuk mobilisasi money-politic akan semakin tinggi.
Karena hal-hal yang telah disebutkan tadi, bagi para individu calon
legislative, pemilihan umum dengan sistem proporsional terbuka ini menjadi
pemilihan umum atau konpetisi yang sangat mahal untuk mendapatkan satu kursi
untuk duduk di parlemen. Partai politik nantinya juga sebenarnya ikut
memperebutkan kursi tersedia di parlemen, namun karena ada beberapa teori
perhitungan maka sangat mungkin setiap partai politik yang mencalonkan akan
memiliki beberapa kursi di parlemen nantinya.
Dengan tingginya dan biaya politik, khususnya bagi calon kandidat
legislatif yang semakin kedepan akan mengalami kenaikan terus menerus,
diindikasikan korupsi politik terjadi dalam proses ini.
Sebelum masuk kepada pembahasan tentang korupsi politik yang
terjadi, di journal ini juga disebutkan bahwa dengan sistem proporsional terbuka
yang dilaksanakan hingga saat ini membuat partai politik menjadi melemah pada
posisinya sebagai sebuah institusi demokrasi. Selain itu, partai politik juga bisa
diibaratkan hanya sebuah event organizer bagi para calon lagislatif, petugas
pemilu dalam transaksi suara. Karena dalam hal ini kondisi calon dalam
pemilihan sangat berperan penting untuk mengamankan partai politik. Seorang
calon hanya memerlukan jumlah suara lebih banyak daripada jumlah suara calon
lain dari partai yang sama dan di dapil yang sama untuk ditetapkan sebagai calon
terpilih. Dalam hal ini, calon memegang peran lebih besar dibandingkan peran
partai politik sebagai pengusungm dan partai politik sebagai pengusung hanya
memfasilitasi transaksi jual—beli suara untuk calon. Selain itu, calon juga
menjadi paling bernilai, reputasinya, dan kampanyenya berpusat pada calon dan
kandidat. Maka tidak heran, bahwa setiap calon akan lebih loyal dalam
mengkampanyekan dirinya masing-masing. Saking besarnya biaya agar bisa
diusung oleh badan legislative, maka beberapa calon banyak yang menghalalkan
segala cara dalam mencapai tujuannya salah satunya dengan menghalalkan
korupsi politik.
Jimly Asshiddiqie, ketua Dewan Kehoratan Penyelenggaraan Pemilu
(DKPP) menilai, penyelengaraan pemilihan umum 2014 yangmana pemilihan
umum proporsional terbuka pertama kali ditetapkan di indonesia
mengindikasiakan banyak praktik kotor politik yang merajalela di masyarakat
yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dan caleg. Sebab, jika kita lihat
faktanya, sistem proporsional terbuka mendorong—mau tidak mau— money
politics dan kecurangan-kecurangan dalam bentuk lain.7
Abdul halim juga dalam jurnalnya mengatakan bahwa dalam sistem
proporsional baik itu yang bersifat tertutup maupun terbuka sama-sama
mengundang seluruh elemen yang aktif dalam politik untuk bermain duit (uang).
Agen-agen politik memanfaatkan sistem yang dibuat negaa sebagai ladang
memanen uang. 8
Dengan sistem proporsional terbuka ini para caleg biasanya sengaja
membiayai kampanye semaksimal-mungkin agar saat mereka menang mereka
bisa mengembalikan modalnya dan mendapatkan untung dari uang yang ia
keluarkan saat masa kampanye. Keperluan-keperluan semasa kampanye tidaklah
sedikit karena stiap calon legislasi akan membiayi semua keperluan promosi diri

7
Abdul Halim. Dampak Sistem Proporsional terbuka Terhadap Perilaku Politik (Studi Kasus
Masyarakat Sumenep madura dalam Pemilihan Legislatif 2014). Jurnal Humanity. Hal. 2
8
Ibid.
mereka dengan percetakan, tekstik, transportasi, komunikasi, jasa komunikasi,
massa, serta banyak biaya tak terduga lainnya.
Hal-hal tersebut, karena biaya kampanye yang besar, para anggota
legislative setelah masuk parlemen berpotensi tinggi untuk berperilaku korupsi
politik. Korupsi politik atau yang bisa kita sebut dengan tindakan illegal yang
melawan pemerintah dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, akumulasi dan
ekstraksi dimana adanya penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan
keuntungan dari beberapa proyek yang didapat oleh para pejabat di posisinya saat
itu. Kedua adalah mengambil keuntungan dari sumber-sumber seperti dana
publik untuk menyelamatkan dan memperkuat kekuasaannya.
Pasca-kampanye, para legislatif biasanya berisikeras mengembalikan
modal saat kampanye yang telah mereka keluarkan semaksimal mungkin dari
dompet mereka. Biasanya para legislative dari tahun ketahun selalu saja ada
kasus-kasus korupsi yang menjerat. Salah satu dari motif perilaku korupsi politik
mereka ialah karena mereka ingin mengembalikan modal kampanye. Selain itu,
tidak jelasnya model pembiayaan organisasi partai politik juga menyadi salah
satu penyebabnya.
Pemilihan umum seharusnya menjadi ajang pesta demokrasi dan
sebagai bentuk dari kedaulatan rakyat, namun dengan adanya praktik-praktik
kotor seperti ini yang mencoreng, proses pemilihan umum tidak lagi menjadi
sesuatu yang menyenangkan bagi masyarakat sebagai salah satu unsur politik
yang paling berpengaruh terhadap masa depan politik dan pemerintahan di
negara.
Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa penerapan pemilu
proporsional daftar terbuka sebenarnya dimaksudkan untuk menghasilkan wakil
rakyat yang akuntabel dan dekat dengan konstituennya yang difasilitasi oleh
partai politik. Namun, melihat fakta yang terjadi, partai politik perlu juga
memperkuat sistem rekrutemen dan kaderisasi politik mereka guna menghindari
rekrutmen yang didasarkan pada hal yang tidak logis dan menghindari legislative
karbitan.
Dengan fakta-fakta tersebut harus ada pembenahan lain dari
pemerintah dan fakta tersebut mencerminkan bahwa dewasa ini, uang menjadi
salah satu tangga pijakan untuk mendapatkan posisi yang kita mau, bukan
kapabilitas. Adanya uang dan kesempatan itulah yang nantinya juga berdampak
kepada korupsi politik yang kentara menimpa para anggota legislatif.

Anda mungkin juga menyukai